Prinsip-prinsip Mengkaji Agama

Posted on 7 Februari 2011. Filed under: Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Prinsip-prinsip mengkaji agama dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.
Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

Makna Manhaj

Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama.

Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)
Dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya.” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)

Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi shalallahu alaihi wasallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: “Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]
Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihad yang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

4. Waspada dari para da’i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:
“Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.”
(Ali-Imran: 7)

Ibnu Katsir mengatakan: “Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur’an untuk (membela) bid’ah mereka padahal Al Qur’an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan.” (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah. Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.”
(Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:
“Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.”
Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas:Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah (Ya, Muhammad): ‘sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.”
(Al-Anbiya: 45)
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(An-Najm: 3-4)

Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.
(Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

Ibnu Rajab mengatakan: “Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:
“Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.”
(An-Nahl: 125).

Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Penulis: al Ustadz Qomar Zainuddin, Lc,

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=67
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Rambu-rambu dalam Beribadah

Posted on 7 Februari 2011. Filed under: Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Kata ibadah tentu sangat akrab bagi kaum muslimin. Ibadah merupakan aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Bahkan tujuan diciptakannya manusia dan jin oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala tiada lain hanya untuk beribadah kepadaNya.

Di tengah rutinitas menjalankan aktivitas ibadah, bisa jadi tidak semua muslim paham makna ibadah itu sendiri. Padahal, ketidakpahaman makna ibadah bisa mengakibatkan tertolaknya ibadah yang dilakukan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Ubudiyyah menerangkan, ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bisa terdiri dari ucapan maupun perbuatan, baik nampak maupun tidak.

Semua yang Allah cintai telah Allah bawakan dalam Al Qur’an dan diterangkan oleh RasulNya. Begitu pula apa yang Allah benci, telah Allah jelaskan. Sehingga di dalam Al Qur’an dan Al Hadits, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan suatu perbuatan karena Allah mencintainya dan Allah melarang sebuah perbuatan karena Allah membencinya. Karena itu, dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyyah mengatakan ibadah adalah taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan melakukan apa yang Allah perintahkan melalui lisan para RasulNya.

Pendapat Al Qurthuby bisa melengkapi penjelasan Ibnu Taimiyyah. Menurut Al Qurthuby, asal ibadah adalah kehinaan dan ketundukan. Karena itu amalan-amalan syar’i pada seorang mukallaf (seorang mukmin yang sudah terbebani syariat) disebut ibadah karena mereka mengamalkannya dalam keadaan tunduk dan menghinakan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dari dua pengertian ibadah tersebut, diperoleh penjelasan bahwa sesuatu dikatakan sebagai ibadah kepada Allah jika dilakukan pada segala yang dicintai dan diridhai Allah serta dilakukan dalam keadaan tunduk dan hina di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dari sini, dipahami pula bahwa ibadah terbagi ke dalam dua jenis, yaitu ibadah lahir dan ibadah batin. Ibadah lahir mencakup ucapan lisan dan perbuatan anggota badan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya.

Dalam melakukan ibadah, seseorang harus memiliki landasan agar ibadah tersebut diterima Allah. Dalam hal ini, para ulama menjelaskan, ada tiga landasan yang harus dimiliki seorang muslim dalam beribadah. Landasan pertama adalah mahabbah, yaitu rasa cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, RasulNya Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan syariatNya. Landasan kedua adalah raja’, yaitu mengharap pahala dan rahmat Allah, dan yang ketiga adalah khauf, rasa takut dari siksa Allah dan khawatir akan nasib jelek di akhirat nanti.

Seorang ulama bernama Ibnu Rajab Al Hambaly mengatakan, ibadah hanya akan terbangun di atas tiga prinsip, yaitu khauf, raja’, dan mahabbah. Masing-masing dari ketiganya harus ada dan wajib menggabungkannya. Karena itu para ulama salaf mencela orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan salah satunya saja. Demikian Ibnu Rajab menerangkan. (Syarh Wasithiyyah karya Abdul Aziz Ar Rasyid hal. 76).

Sebagian ulama salaf bahkan mengatakan, barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan cinta, dia adalah zindiq (orang yang menyembunyikan kekafiran). Siapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanya dengan rasa takut maka dia adalah harury (Khawarij, yang menganggap setiap yang berdosa besar telah kafir). Siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan raja’ (penuh optimis), maka dia adalah murji’ (orang yang menganggap amal shaleh tidak berpengaruh terhadap imannya, selama masih ada iman di hatinya). Dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta, takut, dan mengharap maka dialah orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Ma’arijul Qabul 2/437).

Jadi, pengakuan cinta kepada Allah tanpa disertai rasa hina, takut, mengharap, dan tunduk kepada Allah adalah pengakuan dusta. Karena itu, sering dijumpai orang yang berperilaku demikian seringkali terjatuh dalam maksiat dan dilakukan tanpa ia peduli. Demikian pula orang yang hanya memiliki sikap raja’ (mengharap, penuh optimis dengan ampunan Allah), jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat berani melakukan maksiat dan merasa aman dari makar Allah Subhanahu Wa Ta’ala.Dan orang yang hanya memiliki rasa takut dalam beribadah kepada Allah, jika terus dalam keadaan demikian akan berakibat su’udhan (buruk sangka) kepada Allah dan akan berputus asa dari rahmatNya.

Perlu diketahui dan diingat pula bahwa tidak semua ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah baru akan menerima ibadah bila memenuhi syaratnya. Allah jelaskan dalam surat Al Kahfi ayat 110, artinya:
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah hendaknya ia beramal shaleh dan tidak membuat sekutu di dalam ibadah kepada Rabb-nya sesuatupun.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan dalam ayat ini bahwa seseorang yang menghendaki pertemuan denganNya hendaklah melakukan dua hal.

Pertama, beramal shaleh menuruti syariat ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Hal ini mutlak dilakukan, sebab bila menyalahi contoh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam akan ditolak karena terjerumus ke dalam bid’ah. Hal ini sebagaimana Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam jelaskan :
“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang bukan atas perintahku maka tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah).

Kedua, tidak membuat sekutu apapun dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Artinya, ia harus benar-benar ikhlas dalam ibadahnya. Hanya ia niatkan dan tujukan kepada Allah semata. Tidak kepada selainNya, baik benda-benda yang dikeramatkan atau makhluk-makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat atau mudharat.

Orang yang melakukan kesyirikan dalam ibadahnya akan Allah tolak sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala terangkan dalam hadits Qudsi :
“Aku paling tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan ibadah yang ia menyekutukan Aku, maka aku akan meninggalkannya bersama sekutunya.” (HR. Muslim)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menerangkan di dalam Al Qur’an :
“Dialah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalannya.” (Al Mulk : 2-3).

Perhatikan, Allah menyatakan yang paling baik amalannya bukan sekadar paling banyak amalannya, tetapi salah. Seorang ulama bernama Abu Ali Fudhail bin Iyadh berkata menafsiri ayat tersebut : “Yakni yang paling ikhlas dan paling benar”. Beliau ditanya, “Wahai Abu Ali, bagaimana yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab, “sesungguhnya sebuah amalan jika ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar tapi tidak ikhlas, tidak diterima hingga menjadi benar dan ikhlas (baru diterima). (Majmu’ Fatawa 11/6)

Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanya akan menerima ibadah seorang hamba jika dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan dipersembahkan hanya untukNya semata. Ibadah itu juga dilakukan dengan dilandasi rasa cinta, penuh mengharap, dan juga takut. Dengan demikikan sempurnalah ibadah itu dan diharap Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menerimanya. Wallahu A’lam.

 

Penulis: al-Ustadz Qomar Zainuddin, Lc
http://www.geocities.com/dmgto/ahkam201/rambu.htm
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Rahasia Alam Ghaib dalam Islam

Posted on 7 Januari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Penglihatan manusia tentu tidak bisa menjangkau benda yang berada di balik tembok. Contoh kecil di atas menunjukkan betapa indera manusia mempunyai keterbatasan. Oleh karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan mendewakan panca inderanya.

Merunut sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu kala– mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang bersifat ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian di masa datang. Saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca: mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan kesialan atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan ada kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang diramal oleh orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap mengerti akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya dan meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural. Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka. Wallahul musta’an.

Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan semata. Namun kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut terkontaminasi dengan itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian berbagai macam ‘ilmu’ yang konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak ke permukaan dan banyak dipelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam prakteknya kerap kali harus bekerja sama dengan jin (baca: setan).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata: “Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di muka bumi ini1. Orang yang tidak tahu (proses ini, -pen) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ فِيْهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ

“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid, hal. 353)

Rahasia Alam Ghaib

Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghaib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ

“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)

Tentang hal ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dalam firman Allah:

وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْب

“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)

Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)

Di antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan untuk diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari kiamat:

فِيْ خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} الآية

“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut,-pen.).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah surat Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghaib (yang terdapat dalam Luqman: 34, -pen.) tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih (Al-Bukhari, -pen.).” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)

Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ

“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)

Maka dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)

Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib? Jawabannya adalah: Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah nyatakan:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba`: 14)

Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghaib, maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ. إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِيْنٌ

“Dan Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17-18)

Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia

Para pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan menentukan suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia. Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru mengingkarinya?!

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 109)

Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya setiap orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan sangat kacau dan tidak mendapatkan ketentraman. Bagaimana tidak?! Ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita, baik karena ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh, dan lain sebagainya. Tentu hidupnya akan diselimuti dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang selalu merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti, maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya dan proses pengobatan pun akan selalu diupayakannya.

Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya ketenangan hidup tidak akan didapatkannya. Demikian pula ketika masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada pada hati masing-masing orang dapat dirasakannya.

Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan bersikap semena-mena terhadap sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri apa yang ditentukan-Nya tersebut.

Fenomena Umat tentang Alam Ghaib

Para pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri alam ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi bisnis yang cukup menjanjikan. Dengan sekian bumbu klenik dan racikan mistiknya, maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan khurafat. Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.

Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara ghaib. Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan akal daripada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok3:

1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.). Demikian pula orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua Nabi.

2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut menggambarkan kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab, padahal kenyataannya tidak demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi) lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.

3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya dari semua itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal. Inilah pemikiran ahli kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah, Kullabiyyah, Salimiyyah, Karramiyyah, Syi’ah dll.

Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap mengedepankan akal atas dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa dibenarkan, bahkan sangat berbahaya. Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis -la’natullah-. Pemicunya adalah mengedepankan akal daripada nash, dan mengekor hawa nafsu untuk menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kesombongannya terhadap bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni api) atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam ‘alaihissalam (tanah liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)

Bahkan perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)

Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):

Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4

Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan

Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami

Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)

Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa

Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)

Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/160)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy Syahrastani:

“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut

Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya

Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu

Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”

(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)

Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib

Para pembaca, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.

Adapun keilmuan semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya. Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan, kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya. Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap berlebihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada yang memulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa 2/4)

Para pembaca, alam ghaib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Hadits).

Bila demikian, berarti semua perkara ghaib haruslah ditimbang dengan timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an dan Al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika perkara ghaib (baca: yang dianggap ghaib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghaib tersebut diterangkan di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat dll, maka keberadaannya harus diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghaib ini mencakup keimanan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib di masa lampau dan di masa yang akan datang, berbagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 24)

Beriman dengan (adanya) perkara ghaib yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkara ghaib tersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Hakekat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indra, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat disaksikannya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat dijangkaunya.

Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, -pen.) dan para pendusta perkara ghaib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 23)

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap muslim, -pen.) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghaib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakekat maknanya.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)

Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَالَّذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. صِرَاطِ اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ أَلاَ إِلَى اللهِ تَصِيْرُ اْلأُمُوْرُ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Asy-Syura: 52-53)

Penutup

Para pembaca, dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa:

1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua peristiwanya yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.

2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.

3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan pemahaman para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang menyesatkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

________________________________________________________________________________________________

1 Kondisinya, setiap satu berita yang benar diiringi dengan seratus berita dusta. Sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3210, 3288, 5762, 6213, 7561 dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2228.

2 Sebagaimana diterangkan dalam catatan kaki no. 1, hal. 5

3 Diringkas dari Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 5/3-4, 6/3-4, dan 1/8-13.

4 Yakni tidak menemukan solusi dari masalah yang dibahasnya.

http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=348
Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Judul asli: Alam Ghaib dalam Sorotan

 

Keyakinan SufiAqidah >  Ziarah Kubur dalam Islam

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...