“Indonesia Hari Ini”

Posted on 26 Maret 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , |

Pembaca yang budiman, hari demi hari Indonesia Raya diuji dan dihantam dengan berbagai musibah dan cobaan besar, bermula dari musibah Tsunami yang menenggelamkan Serambi Mekah ‘Aceh’, gempa yang menggoncangkan Daerah Istimewa Yogya, Banjir bandang yang menyapu rata sebagian daerah Sulsel, seperti Sinjai; demikian pula lumpur panas yang memaksa masyarakat Sidoarjo meninggalkan kampung halamannya, jatuhnya Adam Air, tenggelamnya KM Senopati, dan banjir yang menyadarkan penduduk Ibu Kota Jakarta. Ditambah lagi dengan bencana dimana-mana, seperti gempa bumi, tanah longsor, banjir, wabah penyakit, kekeringan puso (gagal panen) dan lain-lain. Beginilah gambaran “Indonesia Hari Ini”

Semua rentetan peristiwa ini memancing kita mengernyitkan dahi untuk sedikit berpikir , apa gerangan yang menyebabkan Allah menurunkan cobaan dan musibah yang bertubi-tubi. Jawabannya singkat, karena dosa-dosa yang dilakukan oleh anak-anak Adam, baik dosa itu berupa kekafiran, ke-syirik-an, bid’ah (ajaran baru yang tak ada contohnya dalam agama), dosa-dosa besar, dan kecil.

Al-Imam Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata dalam Shoid Al-Khothir (hal. 195-196),

“Seyogyanya bagi setiap orang yang memiliki hati, dan pikiran agar khawatir terhadap akibat maksiat, karena tak ada hubungan kerabat, dan silaturrahmi antara seorang anak Adam dengan Allah. Allah hanyalah Penegak dan Pemutus keadilan. Jika kelembutan Allah mampu meliputi (menutupi) dosa-dosa, namun jika Allah ingin mengampuni dosa itu maka Dia akan mengampuni segala dosa yang besar. Jika hendak menyiksa seseorang, maka Allah akan menyiksanya, akan menyiksa dengan siksaan yang masih dianggap ringan. Maka takut dan khawatirlah kalian. Sungguh aku telah menyaksikan beberapa kaum dari kalangan orang-orang yang hidup mewah bergelimang dalam kezhaliman dan maksiat, yang tersembunyi maupun yang nampak. Mereka telah lelah dari arah yang mereka tak sangka; merekapun meninggalkan prinsipnya, dan membatalkan sesuatu yang mereka bangun berupa aturan-aturan yang mereka telah buat untuk keturunan mereka. Perkara itu tidaklah terjadi, kecuali karena mereka telah melalaikan hak-hak Allah -Azza wa Jalla-. Mereka menyangka bahwa apa yang mereka lakukan berupa kebaikan mampu menghadapi segala sesautu yang sedang terjadi berupa kejelekan (maksiat). Akhirnya, bahtera imaginasi mereka melenceng, lalu masuk kedalam air berbahaya yang menenggalamkannya… Takutlah kepada Allah, senantiasalah kalian merasa diawasi oleh Allah ”.

Dosa-dosa yang mereka lakukan beragam bentuknya, bisa berupa: ke-syirik-an (seperti menyembelih untuk makhluk, berdo’a/meminta kepada makluk), kezhaliman, munculnya pemikiran-pemikiran sesat, khurafat, demonstrasi, tawuran, terorisme, pembunuhan, perampokan, perjudian, penipuan, perzinaan, aborsi, penebangan hutan secara liar, penyelundupan, kekerasan, menghalalkan musik, riba dan masih banyak lagi tindak-tindak kejahatan yang lainnya, yang sudah sering terdengar di telinga kita.

Lalu kapankah masyarakat kita dapat menghirup udara segar dari sebuah ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan? Keadaan bangsa kita telah banyak diwarnai dengan serba-serbi perbuatan amoral dan tindakan anarkis. Harusnya kita merasa malu dan menutup muka dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang tersebut ; bersegera taubat kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala– dari perbuatan-perbuatan tersebut. Maraknya perbuatan-perbuatan amoral dan anarkis di negara kita disebabkan karena kaum muslimin jauh dari agamanya, dan tidak ditegakkannya syari’at Allah.

Sebagian kaum muslimin bangsa kita malas dan enggan untuk mempelajari agama ini. Mereka lebih cenderung untuk menghadiri acara-acara yang berbau haram dan merusak daripada menghadiri majlis-majlis ilmu -yakni ilmu agama yang sesuai dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan pemahaman salafus shaleh-. Mereka (sebagian kaum muslimin) lebih cenderung membaca buku-buku yang berbau bid’ah, khurafat dan zina daripada membaca Al-Qur’an. Padahal Allah -Subhanahu wa Ta’ala– telah menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, sebagaimana dalam firman-Nya :

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (QS. Al -Baqarah :2)

Turunnya berbagai musibah berupa gempa bumi, tanah longsor, banjir, wabah penyakit dan kekeringan, tidak lain karena bertebarannya berbagai kemaksiatan yang dilakukan oleh tangan-tangan kita, dan jauhnya kaum muslimin dari agamanya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Rum: 41)

Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- berkata dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (3/572),

“Abul ‘Aliyah berkata, “Barangsiapa yang berbuat maksiat di muka bumi, maka ia telah melakukan kerusakan di muka bumi”, karena, kebaikan bumi dan langit lantaran ketaatan. Karena ini, telah datang dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, “Benar-benar hukuman hadd ditegakkan di muka bumi lebih dicintai oleh penduduk bumi dibandingkan mereka diberi hujan selama 40 hari”. Sebabnya, karena hukuman hadd (hukuman yang ditetapkan batasannya dalam nas, seperti hukum hadd zina adalah rajam bagi yang telah nikah, dan cambuk bagi yang belum nikah, pen) jika ditegakkan, maka manusia atau mayoritas atau kebanyakan mereka akan berhenti melakukan perkara-perkara yang haram. Jika maksiat tidak lagi dikerjakan, maka itu merupakan sebab datangnya berkah dari langit, dan bumi. Oleh karena ini, ketika Isa –alaihis salam- turun di akhir zaman, maka ia akan berhukum dengan syari’at Islam yang suci ini saat itu berupa pembunuhan babi-babi, pematahan salib-salib, dan pembatalan jizyah. Maka ia tak akan menerima kecuali Islam dan pedang (perang). Bila Allah membinasakan Dajjal, pengikutnya, Ya’juj, dan Ma’juj di zamannya maka diperintahkan kepada bumi, “Keluarkanlah berkahmu”, lalu sekelompok manusiapun memakan delima dan berteduh dengan batangnya serta susu seeekor onta mencukupi sekelompok manusia. Hal itu tak terjadi, kecuali karena berkah diterapkannya syari’at Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- . Semakin ditegakkan keadilan, maka berkah, dan kebaikan semakin banyak ”

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan musibah apapun yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri”. (QS. Asy-Syura: 30)

Jadi, musibah menimpa manusia karena ulah tangan mereka sendiri. Diantara manusia ada yang menampakkan kekejian, mengurangi timbangan, dan takaran, membatalkan perjanjian, dan tidak mau memberlakukan Kitabullah (Al-Qur’an) sebagai Pemutus perkara yang paling adil ; malah mereka membuang Kitabullah di belakang punggung. Kalaupun mereka ambil, maka mereka ambil sebagian dari Kitabullah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Nab -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعلنوا بها إلا فشا فيهم الطاعون والأوجاع التي لم تكن مضت في أسلافهم الذين مضوا ولم ينقصوا المكيال والميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المؤنة وجور السلطان عليهم ولم يمنعوا زكاة أموالهم إلا منعوا القطر من السماء ولولا البهائم لم يمطروا ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلط الله عليهم عدوا من غيرهم فأخذوا بعض ما في أيديهم وما لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم

“Apabila berbagai macam perbuatan keji bertebaran di suatu kaum, sehingga mereka melakukan dengan terang-terangan, pastilah akan tersebar wabah tha’un dan berbagai macam wabah penyakit lainnya yang tidak pernah menyerang generasi-generasi terdahulu (sebelum mereka) ; apabila ia mengurangi takaran dan timbangan, niscaya mereka akan tertimpa kemarau yang panjang, krisis (kegentingan) ekonomi dan kezhaliman penguasa ; apabila mereka enggan menunaikan zakat harta mereka, niscaya mereka tidak diberi hujan dari langit, dan andaikan tidak dikarenakan adanya hewan ternak, mereka sama sekali tidak diberi hujan; apabila mereka membatalkan perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah jadikan musuh-musuh menguasai mereka, lalu musuh-musuh itu mengambil semua kekayaan yang mereka miliki. Apabila penguasa yang memimpin mereka tidak menegakkan hukum berdasarkan kitabullah (Al-Qur ‘an) atau hanya memilih sebagian saja dari hukum-hukum yang diturunkan Allah, niscaya Allah menjadikan permusuhan berkobar diantara sesama mereka”. [HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (4019), dan lainnya. Hadits ini shohih sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Allamah Al-Muhaddits Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- dalam As-Silsilah Ash-shahihah (106)]

Dalam hadits ini Anda lihat bagaimana besarnya pengaruh jelek maksiat bagi manusia. Maksiat-maksiat yang disebutkan dalam hadits ini dan selainnya merupakan sebab datangnya musibah menimpa. Hadits ini juga menjelaskan kepada kita bahwa terkadang musibah disebabkan oleh perkara yang tidak diperhatikan dan tidak disadari oleh manusia. Manusia pada hari ini sibuk berbuat maksiat, bid’ah, kekafiran, dan kesyirikan, namun mereka lalai bahwa perkara-perkara itu menyebabkan turunnya musibah.

Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyahrahimahullah– dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawa’ (hal.65-66) berkata,

“Diantara perkara yang seyogyanya diketahui dosa-dosa dan maksiat mendatangkan musibah –dan memang harus demikian-, dan mudharatnya pada hati laksana racun, mudharatnya pada tubuh sesuai tingkatannya. Tak ada suatu keburukan, dan penyakit di dunia dan akhirat kecuali sebabnya adalah dosa dan maksiat. Apakah yang menyebabkan kedua orang tua kita diturunkan dari surga, negeri yang penuh kelezatan, nikmat, kebahagian dan kegembiraan menuju negeri yang penuh sakit, kesedihan dan musibah?…Apakah yang menyebabkan seluruh penduduk bumi tenggelam sehingga air meluap (menutupi) puncak-puncak gunung? Apakah yang menyebabkan angin menyapu rata kaum ‘Aad sehinggga angin itu menghempaskan mereka dalam keadaan mati, laksana mayang korma kosong; angin meluluh-lantahkan segala sesuatu yang dilaluinya diantara negeri-negeri mereka, tanaman, hewan ternak mereka, sehingga mereka menjadi ibrah (pelajaran) bagi umat-umat sampai hari kiamat?”

Jadi, solusi bagi bangsa kita untuk melepaskan diri dari tendensi moral dan akhlak, tiada lain kecuali kaum muslimin bangsa kita mau kembali ke jalan Allah dan bertakwa kepada-Nya. Selain itu, hendaklah kaum muslimin bangsa kita merenungi dosa-dosa yang telah diperbuat dan merenungi siksa Allah yang keras bagi orang yang melakukan maksiat.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“D an bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Baqarah: 196)

Jika seseorang bertaqwa kepada Allah dengan menunaikan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya solusi, dan jalan keluar dari arah yang tidak ia sangka. Allah -Ta’ala- berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (QS. Ath- Thalaaq: 2)

Solusi kedua, kaum muslimin bangsa ini mau bertobat dan memohon ampun kepada Allah . Bertaubat dari syirik, sihir, menggunakan jimat, dan tukang sihir (paranormal), bid’ah, ucapan kufur, memakan harta manusia secara batil, zina, merampok, mencuri, melihat perkara cabul, dan lainnya.

Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,

إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم الجهاد سلط الله عليكم ذلا لا ينزعه حتى ترجعوا إلى دينكم
“Apabila kalian melakukan transaksi “al-inah”(riba) dan kalian sibuk beternak sapi, serta kalian rela (puas) dengan bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, pastilah Allah menimpakan kehinaan kepada kalian, dan Allah tidak akan melepaskan kehinaan itu dari kalian sebelum kalian kembali ke agama kalian”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4825), Ath-Thabraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (3/208/1), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)].

Hadits ini menjelaskan bahwa solusi dari segala musibah adalah manusia mau bertobat kepada Allah, dengan cara menerapkan seluruh agamanya, dan meninggalkan maksiat, karena kehinaan (seperti turunnya musibah) tak mungkin akan hilang, kecuali semua kaum muslimin sadar dan mau meninggalkan segala kesalahan, maksiat, dan kelalaiannya, serta kembali kepada Agama Allah yang suci. Jika kalian tak mau kembali dan berpegang teguh dengan agama Allah ‘Islam’ yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- , maka siapkanlah diri kalian sebagai korban musibah yang siap mengancam diri kalian sewaktu-waktu.

 


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 13 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas. (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/indonesia-hari-ini.html#more-54
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Penjelasan Syirik Kepada Allah

Posted on 12 Maret 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Setelah kita membahas pada edisi yang lalu bagaimana membersihkan diri kita dari penyakit-penyakit hati seperti nifaq, angkuh, dan hasad. Maka pada edisi kali ini kita masih dalam rangka membersihkan diri dari penyakit hati yang berbahaya, yaitu syirik dan keyakinan-keyakinan yang bathil seperti keyakinan adanya orang yang mengetahui hal-hal ghaib.

Ini penting karena meratanya kesyirikan di segenap penjuru negeri ini. Tidak satu desa pun kecuali di sana ada tempat yang dikeramatkan, dimintai berkah, dan diyakini adanya kekuatan-kekuatan ghaib yang menunggunya. Semoga dengan tulisan ini menjadi nasehat bagi orang yang memiliki hati dan pemikiran.

Syirik (Mempersekutukan Sesuatu Dengan Allah)

Syirik merupakan bahaya yang terbesar dan penyakit yang paling berbahaya. Saya cantumkan pembahasan syirik dalam pembahasan penyakit hati ini karena sumber kesyirikan bermula dari keyakinan (i’tiqad) yang ada di dalam hati. Perlu pembaca ketahui bahwa ulama membagi jenis syirik menjadi dua bagian :

a) Syirik Akbar (besar)

– Yang tidak diampuni (apabila pelakunya mati dan belum bertaubat).

– Diharamkan baginya Surga.

– Kekal di dalam neraka.

– Membatalkan semua amalan-amalan yang lalu.

b) Syirik Ashghar (kecil)

– Di bawah kehendak Allah. Kalau Allah ampuni pelakunya maka tidak diadzab dan kalau tidak diampuni, pelakunya masuk terlebih dahulu di neraka meskipun setelah itu dimasukkan ke dalam Surga.>

– Tidak kekal dalam neraka (kalau dia dimasukkan ke dalam neraka).

– Tidak membatalkan semua amalan tetapi sebatas yang dilakukan.

– Tidak diharamkan baginya Surga.

Penjelasan Syirik Akbar

Sebagaimana penjelasan di atas, syirik akbar merupakan dosa yang terbesar yang tidak akan diampuni oleh Allah apabila tidak bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’ : 48) 1

Juga pelaku Syirik Akbar tempat kembalinya adalah neraka dan diharamkan baginya Surga.

Allah Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.’ Padahal Al Masih (sendiri) berkata : ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang yang zhalim itu seorang penolong pun.” (Al-Ma`idah: 72)

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa syirik akbar menggugurkan amalan-amalan adalah firman Allah Ta’ala:

ذَلِكَ هُدَى اللّهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am : 88)

.

Macam-Macam Syirik Akbar

Macam-macam dari Syirik Akbar ini sangat banyak sekali, tetapi bisa kita kelompokkan menjadi tiga bagian :

1) Syirik di dalam Al-Uluhiyyah

Yaitu kalau seseorang menyakini bahwa ada tuhan selain Allah yang berhak untuk disembah (berhak mendapatkan sifat-sifat ubudiyyah). Yang mana Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam berbagai tempat dalam Kitab-Nya menyeru kepada hamba-Nya agar tidak menyembah atau beribadah kecuali hanya kepada-Nya saja. Firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشاً وَالسَّمَاء بِنَاء وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ فَلاَ تَجْعَلُواْ لِلّهِ أَندَاداً وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah : 21-22)

Perintah Allah dalam ayat ini agar semua manusia2 beribadah kepada Rabb mereka dan bentuk ibadah yang diperintahkan antara lain syahadat, shalat, zakat, shaum, haji, sujud, ruku’, thawaf, doa, tawakal, khauf (takut), raja’ (berharap), raghbah (menginginkan sesuatu), rahbah (menghindarkan dari sesuatu), khusu’, khasyah, isti’anah (minta tolong), isti’adzah (berlindung), istighatsah (meratap), penyembelihan, nadzar, sabar dan lain lain dari berbagai macam ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Di sisi lain ada kerancuan yang terdapat di kalangan umum dalam memahami ibadah. Mereka mengartikan ibadah dalam definisi yang sempit sekali seperti shalat, puasa, zakat, haji. Ada pun yang lainnya tidak dikategorikan di dalamnya.

Sungguh indah perkataan Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam mendefinisikan ibadah, beliau berkata :

“Ibadah itu ialah suatu nama yang mencakup semua perkara yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, apakah berupa perkataan ataupun perbuatan, baik dhahir maupun yang bathin.”

Inilah pengertian ibadah yang sesungguhnya, yaitu meliputi segala perkara yang dicintai dan diridhai Allah, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan.

Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 21 di atas menyatakan sembahlah Rabb kamu, dimaksudkan untuk mendekatkan pemahaman kepada semua manusia bahwa Ar-Rabb yang wajib disembah adalah yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, yang menciptakan langit dan bumi serta yang mampu menurunkan air (hujan) dari langit. Yang dengan air hujan itu dihasilkan segala jenis buah-buahan sebagai rezeki bagi kalian agar kalian mengetahui semua. Maka janganlah mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah dengan menyembah dan meminta rezeki kepada selain-Nya. Apakah kalian tidak malu dan berpikir bahwa Allah yang menghidupkan dan yang memberi rezeki kemudian kalian tinggalkan untuk beribadah kepada selain-Nya?

Firman Allah Ta’ala:

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِّنَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ شَيْئًا وَلاَ يَسْتَطِيعُونَ . فَلاَ تَضْرِبُواْ لِلّهِ الأَمْثَالَ إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tak dapat memberi rezeki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi dan tidak berkuasa (sedikit jua pun). Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl : 73-74)

.

2) Syirik Di Dalam Ar-Rububiyyah

Yaitu jika seseorang meyakini bahwa ada selain Allah yang bisa menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan atau mematikan, dan yang lainnya dari sifat-sifat ar-rububiyyah. Orang-orang seperti ini keadaannya lebih sesat dan lebih jelek daripada orang-orang kafir terdahulu.

Orang-orang terdahulu beriman dengan tauhid rububiyyah namun mereka menyekutukan Allah dalam uluhiyyah. Mereka meyakini kalau Allah satu-satunya Pencipta alam semesta namun mereka masih tetap berdoa, meminta pada kuburan-kuburan seperti kuburan Latta.

Sebagaimana Allah kisahkan tentang mereka:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. Al Ankabut : 61)

Firman Allah Ta’ala:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاء مَاء فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al Ankabut : 63)

Firman Allah Ta’ala:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah.” Katakanlah : “Segala puji bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. (QS. Luqman : 25)

Firman Allah Ta’ala:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az Zukhruf : 9)

Ayat-ayat ini semua menunjukkan kalau orang-orang musyrik terdahulu mengakui Allah-lah satu-satunya pencipta yang menciptakan langit dan bumi, yang menghidupkan dan mematikan, yang menurunkan hujan dan seterusnya. Akan tetapi mereka masih memberikan peribadatan kepada yang lainnya. Maka bagaimanakah dengan orang-orang yang tidak menyakini sama sekali kalau Allah-lah Penciptanya atau ada tuhan lain yang menciptakan, menghidupkan, dan mematikan, yang menurunkan hujan dan seterusnya atau ada yang serupa dengan Allah dalam masalah-masalah ini. Tentu yang demikian lebih jelek lagi. Inilah yang dimaksud syirik dalam rububiyah.

.

3) Syirik Di Dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifat

Yaitu kalau seseorang mensifatkan sebagian makhluk Allah dengan sebagian sifat-sifat Allah yang khusus bagi-Nya. Contohnya, menyakini bahwa ada makhluk Allah yang mengetahui perkara-perkara ghaib.

Firman Allah Ta’ala:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.“ (QS. Al Jin : 26)

Lihat pembahasan selengkapnya pada sub judul Keyakinan Adanya Makhluk Yang Mengetahui Hal Yang Ghaib di belakang tulisan ini.

.

Penjelasan Syirik Asghar

Meskipun dalam masalah ini ada khilaf (sebagaimana yang telah kita bahas di atas) akan tetapi wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati terhadap penyakit ini dan jangan menganggap remeh. Pelakunya diwajibkan untuk bertaubat. Di antara yang dikategorikan dalam Syirik Ashghar antara lain:

a) Ar Riya’ (mengamalkan suatu ibadah supaya dilihat manusia dalam rangka mendapatkan popularitas).

Meskipun syirik ini tidak membatalkan semua amalan secara keseluruhan namun ia membatalkan amalan yang diniatkan untuk manusia tersebut. Maka wajib bagi pelakunya untuk bertaubat.

Firman Allah yang menerangkan bahwa riya’ itu membatalkan amalan yang disertai riya’ tersebut adalah sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hujan lebat lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak berkuasa sedikit pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Baqarah : 264)

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid bahwa dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata:

إنَّ أَخْوَفُ مَا أَخَا فُ عَلَيكْمُ الشِّرْكُ اْلأَ صْغَر. قالوُا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَ صْغَرُ يَا رَسُوْلُ الله ؟ قال الرِّيَاءُ “.يقول الله تعالى يوم القيامة إذا جازى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون جزاء

“Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari perkara yang aku takutkan atas kalian ialah syirik kecil. Para shahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu wahai rasulullah? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Riya’, Pada hari kiamat, ketika membalas amalan-amalan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berfirman: “Pergilah kepada orang yang kamu dahulu sewaktu di dunia berbuat riya’ kepadanya, dan lihatlah apakah kamu dapakan balasan (pahala) darinya? (HR. Ahmad, At-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Dan juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam: “Allah Ta’ala berfirman:

أنا أغنى الشركاء عن الشرك,من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركته وشركه
‘Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutunya, barang siapa beramal, dan menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalam amalan tersebut maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya” (HR. Muslim)

Dalam masalah membatalkan amalan, riya’ ini terbagi menjadi dua bagian:

1. Apabila riya’ sejak awal, yaitu bahwa orang tersebut dalam melakukan amalannya sudah mempunyai niat untuk riya’. Yang seperti ini membatalkan amalan.

2. Apabila datang dengan tiba-tiba di tengah-tengah atau di akhir amalan dan orang tersebut berusaha untuk menolak atau menghilangkan dari hatinya. Maka yang seperti ini tidak sampai membatalkan amalannya.

b) Sum’ah (mengamalkan suatu ibadah supaya didengar orang lain dalam rangka mendapatkan popularitas).

Pada hakekatnya sum’ah merupakan riya’ juga.

Dua penyakit ini yang sangat rawan dalam hati karena sangat samar tidak terlihat oleh mata sehingga seorang Muslim harus sangat berhati-hati. Ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah 264 serta hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari shahabat Mahmud bin Labid di atas menjadi perhatian bagi kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil dengan panggilan ‘Wahai orang-orang yang beriman’ dan Rasulullah mengkhawatirkan riya’ tersebut akan menimpa para shahabat. Hal ini menunjukkan bahwa orang Mukmin pun apabila tidak hati-hati akan terkena penyakit ini. Mudah-mudahan Allah selamatkan kita darinya.

Pembaca yang semoga dimuliakan Allah, Syirik Akbar dan Syirik Ashghar memiliki cabang yang sangat banyak dan memerlukan pembahasan yang sangat panjang. Tidak mungkin kita paparkan dalam satu kali pertemuan. Tetapi yang penting untuk kita ketahui adalah sifat atau ciri-ciri dari keduanya serta bahayanya sehingga kita berhati-hati terhadap kedua-duanya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam salah satu di antara dua jenis syirik ini hendaknya ia segera bertaubat.

Firman Allah Ta’ala:

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada Surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran : 133)

Firman Allah Ta’ala:

إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqan : 70)

Firman Allah Ta’ala:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah : “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar : 53)

.

Keyakinan Adanya Makhluk Allah Yang Mengetahui Hal Ghaib

Meyakini adanya makhluk Allah yang mengetahui perkara-perkara ghaib termasuk salah satu dari bentuk-bentuk kesyirikan. Karena salah satu dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah meyakini bahwa tidak ada satu pun dari makhluk Allah yang ada di langit (seperti malaikat) ataupun di bumi (seperti Nabi-Nabi dan manusia atau jin) yang mengetahui hal ghaib.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keyakinan Ahlus Sunnah ini adalah sebagai berikut :

1) Secara Umum Tidak Ada Satu Makhluk Pun Yang Mengetahui Hal Ghaib

Dalil-dalil yang menunjukkan secara umum tidak adanya satu makhluk pun yang mengetahui hal-hal ghaib. Seperti ucapan Allah dalam surat Hud:

وَلِلّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 123)

Dan firman Allah dalam surat Al-Jin:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.” (QS. Al Jin : 26)

2) Malaikat Tidak Mengetahui Hal Yang Ghaib

Para malaikat walaupun mereka adalah makhluk Allah yang paling dekat dengan-Nya juga tidak mengetahui hal yang ghaib kecuali terhadap masalah-masalah yang Allah beritahukan kepada mereka. Di antara dalilnya adalah ucapan Allah dalam surat Al Baqarah 32:

قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Mereka menjawab : “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah : 32)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat As Saba’ 23:

وَلَا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ عِندَهُ إِلَّا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat itu. Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata : “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab : “(Perkataan) yang benar.” Dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. As Saba’ : 23)

Dalam ayat ini diceritakan bahwa malaikat bertanya-tanya tentang apa yang baru dikatakan oleh Rabbnya. Ini menunjukkan kalau malaikat pun tidak mengetahui yang ghaib.

3) Rasulullah Serta Para Nabi Tidak Mengetahui Tentang Hal Ghaib

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta para Nabi dan Rasul tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui hal ghaib kecuali perkara-perkara ghaib yang telah Allah beritakan kepadanya.

Adapun apa yang dikecualikan oleh Allah setelah ayat 26 dalam surat Al-Jin di atas adalah tidak mutlak. Ketika Allah mengatakan kecuali Rasul yang diridlai artinya kecuali Rasul yang diberitahu sebagian tentang hal-hal ghaib. Adapun yang tidak diberitahukan oleh Allah kepadanya, Rasul pun tidak mengetahuinya. Dengan demikian Rasulullah tidak mengetahui hal yang ghaib secara mutlak. Yang mengetahui hal-hal ghaib secara keseluruhan dan mutlak hanyalah Allah. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahuinya. Allah berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui hal yang ghaib:

قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf : 188)

Beliau hanya mengetahui apa-apa yang diberitakan oleh Allah dalam wahyu-Nya sebagaimana apa yang Allah katakan dalam firman-Nya:

قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ

Katakanlah : “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah : “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al An’am : 50)

Demikian pula ketika Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang ucapan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam kepada kaumnya, juga meniadakan dari dirinya ilmu ghaib:

وَلاَ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلاَ أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلاَ أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ لَن يُؤْتِيَهُمُ اللّهُ خَيْرًا اللّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي أَنفُسِهِمْ إِنِّي إِذًا لَّمِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan aku tidak mengatakan kepada kamu bahwa aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah dan tidak mengatakan bahwa aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu (( : sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka)). Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka, sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Hud: 31)

4) Jenis Jin Pun Tidak Mengetahui Hal Ghaib

Bahkan makhluk dari jenis jin pun tidak mengetahui hal yang ghaib. Ini sebagai bantahan langsung dari Allah kepada para dukun-dukun yang mengaku mengetahui hal ghaib:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’ : 14)

5) Kahin (Dukun), Ahli Nujum, Dan Musya’widzin (Tukang Sihir) Tidak Mengetahui Hal Ghaib

Kalau kita sudah mengetahui bahwa malaikat-malaikat dan Nabi-Nabi kemudian jin-jin tidak ada yang mengetahui perkara ghaib apalagi para kahin 3, dukun-dukun, ahli nujum 4, tukang ramal, musya’widzin (tukang sihir), dan lain-lain.

Berikut ini firman Allah Ta’ala yang menerangkan bahwa mereka tidak mengetahui hal ghaib.

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib.” (QS. Ali Imran : 179)

Firman Allah Ta’ala:

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula) dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh).” (QS. Al An’am : 59)

Firman Allah Ta’ala:

وَلِلّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan semua urusan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud : 123)

Ayat-ayat ini semuanya mengajak bicara orang kedua dengan lafadh kamu tidak mengetahui atau tidak memperlihatkan kepadamu dan seterusnya. Ini menunjukkan kalau semua manusia tidak mengetahui hal yang ghaib termasuk dukun, tukang sihir, paranormal, dan lain-lain.

Bahkan manusia itu sendiri tidak mengetahui berapa lamanya ia tidur sebagaimana yang Allah kisahkan tentang ashabul kahfi yang tidur di dalam gua selama 309 tahun:

قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
Katakanlah : “Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua), kepunyaan-Nya-lah semua yang ghaib (tersembunyi) di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi : 26)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda berkaitan dengan masalah di atas : Dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:

مفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ اللهُ؛ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُوْنُ فِي غَدٍ، وَلاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُوْنُ فِي اْلأَرْحَامِ، وَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا، وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ، وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيْءُ الْمَطَرُ

“Kunci-kunci keghaiban ada lima. Tiada yang mengetahui kelimanya kecuali Allah. Tiada seorang pun yang mengetahui apa-apa yang dalam rahim kecuali Allah dan tiada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, tiada seorangpun yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah dan tiada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat kecuali Allah.” (Telah mengeluarkan hadits ini, Al Bukhari dan Imam Ahmad dengan sanad yang shahih)

Maka para pembaca sekalian hendaknya mengambil pelajaran dan menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahui bahwa kita tidak perlu datang ke dukun-dukun, tukang ramal, tukang sihir, ‘orang pintar’ atau ahli nujum, dan lain-lain dengan tujuan untuk mengetahui perkara-perkara ghaib seperti siapa jodohnya, darimana rezekinya, kapan ajalnya, dan seterusnya. Karena dua sebab :

Pertama, perbuatan itu sia-sia karena sesungguhnya kita telah menyakini bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal ghaib kecuali Allah.

Kedua, kita telah berbuat suatu kesyirikan karena meyakini adanya ‘alimul ghaibi atau yang mengetahui keghaiban selain Allah yang berarti menyamakan makhluk dengan khaliqnya dalam masalah mengetahui ilmu ghaib.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengancam:

مَنْ أَتَى كََاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun-dukun kemudian mempercayainya maka dia telah kafir dengan apa yang telah diturunkan pada Muhammad.”

Demikianlah, semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan seluruh kaum Muslimin kepada jalan yang lurus dan selamat. Selamat dari kesyirikan dan kesesatan di dunia dan selamat dari adzab Allah di akhirat.

.

(Ditulis oleh Al Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin Al Atsari dengan sedikit perubahan dari redaksi)


[1] Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan secara mutlak (umum). Artinya, semua jenis syirik yang besar ataupun yang kecil kalau pelakunya mati dan tidak sempat bertaubat tidak akan diampuni dosanya. Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Yang benar adalah pendapatnya jumhur ulama yaitu membedakan antara syirik besar dan kecil. Sedang yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat ini adalah syirik akbar (besar). Adapun syirik ashghar (kecil) menurut mereka di bawah kehendak Allah (kalau Allah menghendaki mengampuni, pelakunya tidak akan diadzab tetapi kalau Allah menghendaki untuk mengadzab, ia harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam neraka meskipun setelahnya akan dimasukkan ke dalam Jannah). Wallahu a’lam. Syaikh Shalih Al Utsaimin berkata : “Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan tetapi yang wajib bagi setiap individu adalah berhati-hati terhadap kedua-duanya (syirik besar maupun syirik kecil).”

[2] Manusia di sini mencakup yang Muslim ataupun yang kafir, pria ataupun wanita, tua atau pun muda.

[3] Kahin (dukun) yaitu orang yang selalu mengabarkan kepada manusia tentang sesuatu yang ghaib yang belum terjadi atau arraf (paranormal) yaitu yang selalu memberitahukan tentang tempat barang-barang yang hilang, sihir dan kecurian, atau nama pencurinya, siapa yang menyihir, dan lain-lainnya dari semua kejadian yang telah lewat dan manusia tidak mengetahuinya.

[4] Orang yang mengatakan dirinya tahu tentang hal yang ghaib melalui perbintangan dengan mempelajari gerak-geriknya untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di bumi.

Peringatan :
Mengenai majalah Salafy terbitan Degolan, Jogjakarta, semenjak adanya kasus Ambon & Poso – Sekarang, layak berhati-hati darinya, terutama tentang politik, mukernas, fiqhul waqi’, tulisan Ja’far Umar Thalib, dll, yang hingga kini masih mengidap penyakit sufi dan semisalnya. Allahu a’lam.

(Dikutip dari Majalah SALAFY XXXVI/1421/2001, judul asli Membersihkan Diri Dari Noda Syirik, tulisan Al Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin Al Atsari. Sumber http://www.assunnah.cjb.net).

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=672
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Mengapa Anak Bisa Serupa dengan Orang Tuanya?

Posted on 12 Maret 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , |

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, demikian kata pepatah. Dan kiranya kalau kita mau sekadar mencocok-cocokkan, pepatah ini bisa berlaku pada anak Adam. Maksudnya bagaimana? Coba kita perhatikan seorang anak dari suatu keluarga. Biasanya anak itu kalau nggak mirip ayahnya atau keluarga ayahnya, ya… mirip dengan ibunya atau keluarga ibunya. Artinya, sebagaimana buah yang jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Demikian pula anak yang terlahir, tak jauh dari sifat salah satu dari orang tuanya (keluarga orang tuanya) atau membawa sifat kedua-duanya. Terkadang anak itu laki-laki tapi sifat seperti ibunya, dan sebaliknya anak perempuan tapi sifatnya seperti bapaknya.

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala mengatur ciptaan-Nya, karena itu hendaknya manusia pandai-pandai bersyukur kepada-Nya dan memperhatikan dirinya dari apa ia diciptakan, sebagaimana Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

فَلْيَنظُرِ اْلإِنسَانُ مِمَّ خُلِقَ خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada.” (Ath Thariq: 5-7)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala (4/498):“Firman Allah ta’ala: (Ia diciptakan dari air yang terpancar), yakni air yang keluar dengan terpancar dari laki-laki dan perempuan, maka akan terjadilah (lahirlah) anak dari keduanya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla, dan karena itu Dia berfirman: (yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada), yakni dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah menciptakan anak manusia dengan pertemuan air mani yang terpancar yang keluar dari sepasang suami istri tatkala keduanya melakukan jima’. Lalu Dia jadikan anak itu laki-laki atau perempuan, serupa dengan ayah atau ibunya, sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa.

Bagaimana Anak yang Terlahir Bisa Laki-laki dan Bisa Perempuan, dan Bagaimana Bisa Terjadi Penyerupaan dengan Orang Tua?

Anda mungkin sedang menanti-nantikan lahirnya anak laki-laki di tengah keluarga atau sebaliknya Anda sedang mendambakan lahirnya anak perempuan. Sebenarnya bagaimana sih prosesnya sehingga anak yang lahir bisa laki-laki dan bisa perempuan, bisa serupa ayahnya atau ibunya?

Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, ia berkata:

Abdullah bin Salam (seorang Yahudi) mendengar berita kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Madinah. Maka ia pun mendatangi beliau, lantas berkata: “Aku akan menanyaimu dengan tiga perkara, tidak ada yang mengetahui jawabannya kecuali Nabi.” Lalu ia mulai bertanya: “Apa tanda awal datangnya hari kiamat? Makanan apa yang pertama kali disantap penduduk surga? Apa sebab seorang anak bisa serupa dengan bapaknya dan apa sebab bisa serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya)?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menjawab: “Baru saja Jibril mengabarkan kepadaku.” Maka berkata Abdullah: “Jibril adalah musuh Yahudi dari kalangan malaikat.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam lalu menjawab (tiga pertanyaan tersebut):

أَمَّ أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ فَنَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنَ الْمَشْرِقِ إِلىَ الْمَغْرِبِ وَأَمَّا أَوَّلُ طَعَامٍ يَأْكُلُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَزِيَادَةُ كَبَدِ حُوْتٍ. وَأَمَّا الشِّيْهُ فِيْ الْوَلَدِ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَشَّى الْمَرْأَةَ فَسَبَقَهَا مَاؤُهُ كَانَ الشِّبْهُ لَهُ، وَإِذَا سَبَقَ مَاؤُهَا كَانَ الشِّبْهُ لَهَ. قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ

“Adapun tanda awal terjadinya hari kiamat adalah keluarnya api yang akan mengumpulkan manusia dari timur ke barat. Makanan yang pertama kali disantap penduduk surga adalah hati ikan yang besar. Sedangkan masalah penyerupaan anak, apabila suami menggauli istrinya lalu air maninya keluar mendahului air mani istrinya maka anak (yang akan lahir) itu serupa dengan dirinya. Apabila air mani istrinya keluar lebih dulu maka anak itu akan serupa dengan istrinya.” (Mendengar jawaban dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam), Abdullah berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” (Abdullah bin Salam kemudian masuk islam, radhiyallahu ‘anhu-pen). (HR. Bukhari)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwasanya wanita juga mengeluarkan mani sebagaimana laki-laki dan dengan mani itulah anak bisa serupa dengan ayah atau ibunya.

Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwasanya Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلىَ الْمَرْأَةِ الْغُسْلَ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ. فَضَحِكَتْ أُمَّ سَلَمَةَ فَقَالَتْ: تَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فِيْمَا تُشْبِهُ الْوَلَدَ؟

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari perkara yang haq. Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi (ihtilam)?” Beliau menjawab: “Ya, apabila melihat air.” Maka tertawalah Ummu Salamah dan berkata: “Apakah wanita juga mimpi (ihtilam)?” Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Bagaimanakah bisa terjadi penyerupaan anak?” (HR Bukhari no. 3328)

هَلْ تَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ إِذَا احْتَلَمَتْ وَأَبْصَرَتِ الْمَاءَ؟ فَقَالَ: (نَعَمْ) فَقَالَتْ لَهَا عَائِشَةُ: تَرِبَتْ يَدَاكِ وَأَلَّتْ، قَالَتْ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم دَعِيْهَا، وَهَلْ يَكُوْنُ الشَّبْهُ إِلاَّ مِنْ قِبَلِ ذَلِكَ، إِذَا عَلاَ مَاؤُهَا مَاءَ الرَّجُلِ أَشْبَهَ الْوَلَدُ أَخْوَالَهُ، وَإِذَا عَلاَ مَاءُ الرَّجُلِ مَاءَهَا أَشْيَهُ أَعْمَامَهُ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Apakah wanita juga harus mandi jika ia bermimpi dan melihat air?” Beliau menjawab: “Ya.” Maka ‘Aisyah berseru: “Taribat yadaki.” (kalimat pengingkaran yang ditujukan ‘Aisyah kepada wanita tersebut karena ia bertanya dengan pertanyaan demikian-pen). Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam: “Biarkan dia, dari manakah persamaan bila tidak dari demikian. Bila air mani perempuan melebihi air mani laki-laki maka anak (yang terlahir) akan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya) dan bila air mani laki-laki melebihi air mani perempuan maka anak akan serupa dengan a’mamnya (keluarga ayahnya).” (HR Imam Muslim hal. 251 Tartib Muhammad Fuad Abdul Baqi)

Dari hadits ‘Aisyah di atas dipahami bahwa pengunggulan dari air mani yang keluar, dengan izin Allah merupakan sebab penyerupaan anak. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Imam Muslim dari Tsauban maula Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dijelaskan bahwa pengunggulan merupakan sebab anak yang terlahir itu laki-laki atau perempuan, dengan izin Allah. Yakni ketika datang seorang pendeta Yahudi kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Ia bertanya tentang beberapa perkara, salah satunya ia bertanya tentang anak. Maka Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menjawab:

مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ فَإِذَا اجْتَمَعَا فَعَلاَ مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ ذَكَرًا بِإِذْنِ اللهِ، وَإِذَا عَلاَ مَنِيُّ الْمَرْأَة مَنِيَّ الرَّجُلِ أُنْثًا بِإِذْنِ اللهِ

“Air mani laki-laki itu warnanya putih sedang air mani perempuan itu kuning. Apabila keduanya berkumpul, lalu air mani laki-laki lebih banyak dari air mani perempuan maka anak (yang akan lahir) laki-laki, dengan izin Allah. Bila air mani perempuan lebih banyak dari air mani laki-laki maka anak (yang akan lahir) perempuan, dengan izin Allah….” (HR Muslim no. 315)

Asy Syaikh Musthafa Al Adawi dalam kitabnya Ahkamun Nisa’ mengatakan bahwasanya dari kedua hadits tersebut (hadits ‘Aisyah dan hadits Tsauban) menjadi jelaslah bahwa pengunggulan merupakan sebab penyerupaan anak dan sebab anak itu laki-laki atau perempuan. Artinya bila air mani laki-laki lebih banyak dari mani perempuan maka anaknya laki-laki serupa dengan a’maamnya (keluarga ayah). Sebaliknya bila air mani perempuan lebih banyak dari mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan akhwalnya (keluarga ibunya).

Namun terkadang kita dapatkan justru sebaliknya. Ada anak laki-laki tapi serupa dengan akhwalnya dan kadang ada anak perempuan yang serupa dengan a’maamnya, karena sebab itulah sebagian ulama mengarahkannya kepada ta’wil. Di antaranya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, beliau menakwilkan kata “al ‘uluw” dalam hadits ‘Aisyah dengan makna “As Sabq” (mendahului), sedangkan kata “al ‘uluw” pada hadits Tsauban, sesuai dengan makna zhahirnya (yakni unggul/melebihi). (Fathul Bari 7/273)

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (7/273): “As Sabq” merupakan tanda (anak yang akan lahir) laki-laki atau perempuan sedangkan “Al ’uluw” sebagai tanda keserupaan.” Kemudian Al Hafizh melanjutkan: “Seakan-akan yang dimaksud dengan “Al ’uluw” yang merupakan sebab keserupaan itu adalah bila mani dari salah satunya (laki-laki atau perempuan) keluar dalam jumlah yang banyak sehingga membanjiri yang lainnya. Dengan keadaan ini maka tercapailah keserupaan. Perkara ini ada enam keadaan:

Pertama: Apabila mani laki-laki lebih banyak dan keluar mendahului mani perempuan. Maka anak yang akan lahir laki-laki dan serupa dengan ayah/keluarga ayahnya.

Kedua: Sebaliknya, bila mani perempuan lebih banyak dan keluar mendahului mani laki-laki, maka anak yang akan lahir perempuan dan serupa dengan ibu/keluarga ibunya.

Ketiga: Bila mani laki- laki keluar lebih dahulu namun mani perempuan lebih banyak, maka akan lahir anak laki-laki dan serupa dengan ibunya.

Keempat: Sebaliknya, bila mani perempuan keluar lebih dahulu namun mani laki-laki lebih banyak maka akan terlahir anak perempuan dan serupa dengan ayahnya.

Kelima: Bila mani laki-laki keluar mendahului mani perempuan dan sama banyaknya maka akan terlahir anak laki-laki dan tidak khusus penyerupaannya dengan ayah dan ibunya.

Keenam: Sebaliknya, bila mani perempuan mendahului mani laki-laki dan sama banyaknya maka akan lahir anak perempuan dan tidak khusus penyerupaannya.”

Semuanya itu bisa terjadi dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Bila Dia menghendaki akan terjadi dan bila tidak maka tidak mungkin akan terjadi.

Wallahu a’lam.

 


Maraji’:
1. Al Qur’anul Karim
2. Ahkamun Nisa’, Asy Syaikh Musthafa al Adawi
3. Ahkamut Thifl, Ahmad Al ‘Aysawi
4. Fathul Bari, Ibnul hajar Al Asqalani
5. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam An Nawawi.

 

(Sumber: Majalah SALAFY edisi XVIII/Shafar/1418/1997 Lembar Muslimah halaman 10-13, ditulis oleh Ibnatu Husein dan Abu Ishaq Al Atsary)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=504

 


Read Full Post | Make a Comment ( 3 so far )

Memahami Prinsip Dasar Islam: لاإله إلا الله “Laa Ilaaha Illallah”

Posted on 11 Maret 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , |

Pembahasan edisi kali ini dimulai dari prinsip yang paling mendasar dari ajaran Islam, sebagai pengingat bagi yang lupa, nasehat bagi yang lalai dan meluruskan bagi yang salah dalam memahaminya.

Dalam rangka menjalankan perintah Allah:

فَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Maka ingatkanlah, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin”. (Adz-Dzariyat: 55)

Dalam sebuah hadits masyhur disebutkan: Dari Umar radiyallahu ‘anhu , beliau berkata:

“Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak ada padanya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalinya. Dia datang dan duduk menghadap Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian merapatkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab:

اْلاِسلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إَلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتُحِجُّ الْبَيْتِ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً

“Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi ke-cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, dan menjalani ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya”. (HR. Muslim)

Inilah dasar-dasar Islam.

Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat yang dengannya seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu adalah kalimat yang sangat besar dan harus dipahami dengan benar.

Kalimat لاإله إلا الله adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik dzikir. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan kalimat tersebut. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah saja. Konsekuensinya adalah orang yang mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak beribadah kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk apapun semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali kepada Allah, untuk Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki.
Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’) dan penetapan (itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang diibadahi dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Tidak bisa salah satunya dikatakan tauhid kecuali harus bersama yang lainnya. Artinya, peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan tanpa peniadaan adalah paganisme dan kesyirikan.

Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah dan inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid لاإله إلا الله

Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan dan amalan dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita pahami sebagai tauhid rububiyah. Juga meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi yang dikenal dengan Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang datangnya dari Al-Qur`an dan lisan Rasul-Nya dalam hadits-hadits yang shahih. Beriman kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat لاإله إلا الله

Akan tetapi, seorang yang percaya bahwa Allah adalah penguasa dan penciptanya belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik): “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 9)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنىَّ يُؤْفَكُوْنَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?”. (az-Zukhruf: 87)

قُلْ لِمَنِ اْلأَرْضُ وَمَنْ فِيْهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ سَيَقُوْلُنَّ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ. قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُوْنَ. قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْئٍ وَهُوَ يُجِيْرُ وَلاَ يجُاَرُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنِ سَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلْ أَفَلاَ تُسْحَرُوْنَ

“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertaqwa.” Katakanlah: “Siapakah yang ada di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedangkan Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Kata-kanlah: “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (al-Mu’minun: 84-89)

Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah-pun terkandung konsekuensi tauhid uluhiyah juga. Artinya, orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan berdoa hanya kepada-Nya.

Oleh karena itu Allah mempertanyakan orang yang mengerti bahwa Allah sebagai penguasanya, namun ia berdo’a dan beribadah kepada selain-Nya dengan kalimat اَفلا تسحرون (maka dari jalan manakah kamu ditipu?)

Oleh karena itulah kalimat لاإله إلا الله lebih luas dan lebih lengkap kandungan maknanya daripada kalimat لا خالق إلا الله (“Tidak ada Pencipta kecuali Allah”) atau kalimat لا مالك إلا الله (“Tidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuktikan dengan amalannya.

Dengan demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam kalimat syahadat لاإله إلا الله yang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang hamba terhadap Allah:

1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan setinggi-tingginya cinta, berharap kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya.

2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan keadilan-Nya.

3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yakni menetapkan dengan keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah kenalkan diri-Nya dalam Al-Qur`an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih.

Dalam mengenal dan mengimani nama dan sifat Allah harus dengan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Menetapkan semua itu dengan lafadz dan maknanya sekaligus.
Karena sebagian ahlul bid’ah dari kalangan ahlul kalam, mu’tazilah dan asy’ariyah dan sejenisnya menerima lafadz-lafadznya tetapi menolak maknanya dengan tahrif (penyimpangan maknanya) atau tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara zhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).

Tidak seperti ahlut tahrif, mereka menerima sifat يد (Tangan) bagi Allah tetapi mereka mengatakan bahwa يد maknanya bukan tangan tetapi kekuatan. Mereka menerima sifat غضب (marah) tetapi mereka mengatakan bahwa غضب maknanya bukan marah tetapi berkehendak untuk membalas. Dengan kata lain ahlul bid’ah tersebut menerima lafadznya tetapi menyimpangkan maknanya kepada makna-makna lain yang diistilahkan oleh Ibnu Taimiyah dengan “at-tahrif”.

Tidak pula seperti golongan ahlu tafwid yang tidak mau menterjemahkan makna dari lafadz-lafadz tersebut dan menyatakan bahwa Allah memiliki يد tapi kami tidak tahu maknanya; Allah memiliki sifat غضب . Tetapi kami tidak tahu maknanya, kami serahkan semuanya kepada Allah. Dan mereka tidak mau mengartikan يد dengan tangan dan غضب dengan marah.

Pendapat mereka ini bertentangan dengan hikmah diturunkannya Al-Qur`an dengan bahasa Arab, yaitu untuk dipahami maknanya sebagaimana Allah berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَكُمْ تَعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur`an dengan berbahasa Arab, agar kalian memahaminya”. (Yusuf: 2)

b. Kita menetapkan nama dan sifat Allah dengan yakin bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi maha Melihat. (Asy-Syura: 11).

Maka kita harus meyakini Allah memiliki يد (tangan), tetapi tidak sama dengan tangan makhluk-Nya. Kita juga meyakini bahwa Allah mempunyai sifat غضب (marah), tetapi tidak sama dengan kemarahan makhluk-Nya.
Tidak seperti golongan lain dari ahlul bid’ah yaitu para mumatsilin yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tangan seperti kita dan memiliki sifat marah seperti kita marah. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.

c. Tanpa menanyakan bagaimananya.
Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah seperti apa adanya di dalam al-Qur’an dan dalam hadits-hadits yang shahih tanpa menanyakan seperti apa atau bagaimana? Kita beriman dengan apa yang Allah beritakan kepada kita tentang diri-Nya dan kita tidak tahu apa yang tidak diberitakan kepada kita. Karena masalah ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin kita mengetahuinya kecuali sebatas apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wahyu telah berhenti, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Islam telah sempurna. Maka siapakah yang akan menjawab pertanyaan kita tentang apa yang tidak diberitakan kepada kita oleh Allah dan Rasul-Nya?!!!

Pertanyaan كيْفَ (seperti apa atau bagaimana) adalah pintu setan. Sedemikian berbahayanya pintu takyif sampai-sampai para ulama bersikap keras kepada mereka yang memiliki pikiran-pikiran usil dan kotor. Tercatat di antaranya Imam Malik bin Anas, pemilik Kitab Al-Muwatha’, menunjukan rasa marahnya saat seseorang bertanya –tepatnya mempertanyakan—bagaimana istiwa’nya Allah di atas Arsy-Nya. Beliau rahimahullah menjawab:

اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ. وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ وَأُمِرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ مِنْ مَجْلِسِهِ .

“Al-Istiwa’ adalah bukan (kalimat) yang asing, kaifiyah (bagaimana istiwa’nya Allah)nya adalah tidak mungkin diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Tidaklah aku melihat engkau kecuali orang yang sesat. Kemudian diperintahkan agar ia dikeluarkan dari majlisnya.

Dengan demikian dalam beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah, kita harus memenuhi syarat-syarat di atas yaitu:

1. Menerima lafadz dengan maknanya secara zhahir.
2. Tanpa tahrif (penyimpangan makna).
3. Tanpa ta’thil (penolakan sebagian maupun keseluruhan).
4. Tanpa tafwidh (tidak mau menerjemahkannya secara zhahir dengan alasan menyerahkannya kepada Allah).
5. Tanpa tasybih atau tamtsil, yaitu tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
6. Tanpa takyif, yaitu tidak menanyakan seperti apa dan bagaimananya.


(Dinukil dari risalah dakwah “Manhaj Salaf”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, dengan judul asli “Prinsip Dasar Islam : Makna Laa ilaaha ilallah”, edisi II. Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Ahmad Subiyandi.)

Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=474
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tanya Jawab: Akidah Setiap Muslim

Posted on 5 Maret 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Untuk apa Allah menciptakan kita?
Bagaimana kita menyembah Allah Ta’ala?
Apakah kita menyembah kepada Allah dengan perasaan takut dan harapan?
Apa yang dimaksudkan Ihsan dalam ibadah?
Untuk apa Allah mengutus para rasul?
Apa yang dimaksud dengan tauhidullah?
Apa makna ungkapan : “laa ilaaha illallah”?
Apa makna tauhid dalam masalah sifat Allah?
Apa faedah tauhid bagi seorang muslim?
Dimana Allah?
Apakah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya atau dengan Dzat-Nya?
Apa dosa yang paling besar?
Apa syirik besar itu?
Apa bahaya syirik besar?
Apakah amalan bermanfaat jika dibarengi dengan kesyirikan?
Apakah kesyirikan itu ada di kalangan kaum muslimin?
Apa hukum berdoa kepada selain Allah seperti para wali?
Apakah do’a itu ibadah kepada Allah?
Apakah orang mati mendengar doa?
Apakah kita minta bantuan kepada orang mati?

Apakah boleh minta pertolongan kepada selain Allah?
Apakah kita minta bantuan kepada yang hidup dan hadir?
Apakah boleh nadzar untuk selain Allah?
Apakah boleh menyembelih untuk selain Allah?
Apakah boleh thawaf di kuburan?
Apakah boleh sholat sementara kuburan ada di depan kita?
Apa hukum melakukan sihir?
Apakah kita boleh mempercayai dukun dan peramal?
Apakah ada yang mengetahui yang ghaib?
Dengan hukum apa kaum muslimin wajib menghukumi?

Apa hukum undang-undang yang bertentangan dengan Islam?
Apakah boleh bersumpah dengan selain Allah?
Apakah boleh menggantungkan kalung pengaman dan jimat?
Dengan apa kita bertawassul kepada Allah?
Apakah do’a memerlukan perantara makhluq?
Apa tugas yang diperankan rasul?
Dari siapa kita mohon syafa’at nabi?
Bagaimana kita mencintai Allah dan Rasulullah?
Apakah boleh berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah?
Siapa makhluq pertama kali?
Dari apa diciptakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?
Apa hukum jihad dijalan Allah?
Apa wala’ untuk orang beriman?
Apakah boleh berloyalitas kepada orang kafir dan menolong mereka?
Siapa wali itu?
Untuk apa Allah menurunkan Al-Qur’an?
Apakah kita mencukupkan diri dengan Alqur’an dari hadits?
Apakah kita mendahulukan satu ucapan diatas ucapan Allah dan rasul-Nya?
Apa yang kita lakukan jika kita berselisih?
Apa bid’ah dalam agama itu?
Apakah ada bid’ah yang baik?
Apakah dalam Islam ada sunnah yang baik?
Apakah cukup bagi seorang untuk memperbaiki diri sendiri?
Kapan kaum muslimin menang?

–ooOoo–

 

Soal 1: Untuk apa Allah menciptakan kita?

  • Jawaban:

Dia menciptakan kita agar beribadah kepada-Nya serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu”. (Adz-Dzariyat: 56)

Dalil dari sunnah:

حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً
“Hak Allah atas hambaNya bahwa mereka menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun” (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 2: Bagaimana kita menyembah Allah Ta’ala?

  • Jawaban:

Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya perintahkan.

Dalil dari Al-Qur`an:

ومَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar beribadah kepada Allah dengan hanya mengikhlaskan diin untuk-Nya”. (Al-Bayyinah: 5)

Dalil dari sunnah:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردّ
“Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada dalam perkara kami maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim)

.

Soal 3: Apakah kita menyembah kepada Allah dengan perasaan takut dan harapan?

  • Jawaban:

Ya! Kita menyembah Allah dengan rasa takut dan harapan.

Dalil dari Al-Qur`an :

وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً
“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). (Al-A’raf: 56)

Dalil dari sunnah:

أسأل الله الجنة وأعوذ به من النار
“Aku memohon surga kepada Allah dan berlindung dengan-Nya dari neraka”. (HR. Abu Daud)

.

Soal 4: Apa yang dimaksudkan Ihsan dalam ibadah?

  • Jawaban:

Merasa diawasi oleh Allah saja, yang Dia selalu melihat kita.

Dalil dari Al-Qur`an:

إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
“Sesungguhnya Allah atas kalian selalu mengawasi”. (An-Nisa`:1)

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ
“Yang melihatmu ketika engkau berdiri (untuk shalat)” (Asy-Syu’ara`:218)

Dalil dari sunnah:

الإحسان أن تعبدوا الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim)

.

Soal 5: Untuk apa Allah mengutus para rasul?

  • Jawaban:

Untuk mengajak beribadah hanya kepada-Nya dan menghilangkan penyekutuan dari-Nya.

Dalil dari Al-Qur`an :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[1] itu” (An-Nahl: 36)

Dalil dari sunnah:

والأنبياء إخوة ودينهم واحد
“Para nabi itu bersaudara dan agama mereka satu (yakni semua rasul mengajak kepada tauhid)”. (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 6: Apa yang dimaksud dengan tauhidullah?

  • Jawaban :

Mengesakan-Nya dalam Ibadah, do’a, nadzar dan hukum.

Dalil dari Al-Qur`an:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah”. (Muhammad: 19)

Dalil dari sunnah:

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله
“Hendaklah yang pertama kali engkau menyeru mereka kepadanya persaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah”. (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 7: Apa makna ungkapan : “laa ilaaha illallah”?

  • Jawaban:

Tidak ada yang disembah dengan haq kecuali Allah saja.

Dalil dari Al-Qur`an:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِل
Demikian itu karena Alloh adalah Dialah yang haq dan apa yang mereka seru selainnya adalah yang batil. (Al-Hajj: 62)

Dalil dari sunnah:

من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه
“Barang siapa yang berkata: “tidak ada Ilah yang haq disembah kecuali Allah, haramlah hartanya (untuk diambil) dan darahnya (untuk ditumpahkan)”. (HR. Muslim)

.

Soal 8: Apa makna tauhid dalam masalah sifat Allah?

  • Jawaban:

Mengukuhkan apa yang disifatkan Allah dan Rasul-Nya untuk diri-Nya.

Dalil dari Al-Qur`an:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada yang seperti Dia sesuatu-pun, dan Dia Maha Mendengar dan Melihat. (Asy-Syuraa: 11)

Dalil dari sunnah:

ينـزل ربنا تبارك وتعالى في كل ليلة إلى السماء الدنيا
“Rabb kita Yang Maha Agung dan Maha Tinggi setiap malam turun ke langit dunia”. (Muttafaqun ‘alaihi)[2]

.

Soal 9: Apa faedah tauhid bagi seorang muslim?

  • Jawaban:

Petunjuk di dunia dan keamanan di akherat.

Dalil dari Al-Qur`an:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur keimanan mereka dengan kezhaliman (kesyirikan), mereka mendapatkan keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk”. (Al-An’am: 82)

Dalil dari sunnah:

حق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئاً
“Hak hamba terhadap Allah bahwa Dia tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 10: Dimana Allah?

  • Jawaban :

Allah di atas langit, diatas Arsy.

Dalil dari Al-Qur`an:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas Arsy”. (Thaha: 5)[3]

Dalil dari sunnah:

إن الله كتب كتاباً إن رحمتي سبقت غضبي فهو مكتوب عنده فوق العرش
Sesungguhnya Allah telah menulis: (yang tertulis di dalamnya) “sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku kitab itu tertulis di sisi-Nya di atas Arsy”. (HR. Bukhari)

.

Soal 11: Apakah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya atau dengan Dzat-Nya?

  • Jawaban :

Allah bersama kita dengan ilmu-Nya mendengar dan melihat.

Dalil dari Al-Qur`an:

قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Allah berfirman: jangan kalian berdua takut sungguh Aku bersama kalian berdua mendengar dan melihat.” (Thaha: 46)

Dalil dari sunnah:

إنكم تدعون سميعاً قريباً وهو معكم
“Sesungguhnya kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar Maha Dekat dan Dia bersama kalian. Yaitu dengan Ilmu-Nya melihat dan mendengar kalian.” (HR. Muslim)

.

Soal 12: Apa dosa yang paling besar?

  • Jawaban:

Dosa yang paling besar adalah syirik menyekutukan Allah.

Dalil dari Al-Qur`an:

يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu kezhaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Dalil dari sunnah:

سئل صلى الله عليه وسلم أي الذنب أعظم قال : أن تدعو لله ندّاً وهو خلقك
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang dosa apa yang paling besar. Beliau bersabda: “Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu”. (HR. Muslim)

.

Soal 13: Apa syirik besar itu?

  • Jawaban:

Yaitu mengarahkan ibadah untuk selain Allah seperti do’a.

Dalil dari Al-Qur`an:

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلا أُشْرِكُ بِهِ أَحَداً
“Katakanlah tiada lain aku menyeru (berdoa) kepada Rabb-ku dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. (Al-Jin: 20)

Dalil dari sunnah:

أكبر الكبائر الإشراك بالله
“Dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah”. (HR. Bukhari)

.

Soal 14: Apa bahaya syirik besar?

  • Jawaban:

Syirik besar penyebab kekal di neraka.

Dalil dari Al-Qur`an:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka”. (Al-Maa`idah: 72)

Dalil dari sunnah :

من مات يشرك بالله شيئاً دخل النار
“Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)

.

Soal 15: Apakah amalan bermanfaat jika dibarengi dengan kesyirikan?

  • Jawaban:

Amal tidak bermanfaat jika dibarengi dengan syirik.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al-An’am: 88)

Dalil dari sunnah:

من عمل عملاً أشرك فيه معي غيري تركته وشركه

“Barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang dia menyekutukan didalamnya selain Aku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya”. (HR. Muslim)

.

Soal 16: Apakah kesyirikan itu ada di kalangan kaum muslimin?

  • Jawaban:

Ya!, banyak dan amat di sayangkan.

Dalil dari Al-Qur`an :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf: 106)

Dalil dari sunnah :

لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين وحتى تعبد الأوثان
“Tidaklah terjadi kiamat sehingga beberapa kabilah dari umatku bergabung dengan musyrikin dan sehingga berhala disembah.” (HR. Tirmidzi)

.

Soal 17: Apa hukum berdoa kepada selain Allah seperti para wali?

  • Jawaban:

Berdoa kepada mereka suatu kesyirikan memasukkan ke neraka.

Dalil dari Al-Qur`an:

فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab”. (Asy-Syu’ara`: 213)

Dalil dari sunnah :

من مات وهو يدعو من دون الله ندّاً دخل النار
“Barang siapa mati dan dia menyeru selain Allah sebagai tandingan pastilah ia masuk neraka.” (HR. Bukhari)

.

Soal 18: Apakah do’a itu ibadah kepada Allah?

  • Jawaban:

Ya, doa adalah ibadah kepada Allah ta’ala.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir: 60)

Dalil dari sunnah:

الدعاء هو العبادة
“Doa itu ibadah.” (HR. Tirmidzi)

Soal 19: Apakah orang mati mendengar doa?

  • Jawaban:

Orang-orang mati tidak mendengar doa.

Dalil dari Al-Qur`an :

إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar..” (An-Naml: 80)

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Fathir: 22)

Dalil dari sunnah:

إن لله ملائكة سياحين في الأرض يبلغون عن أمتي السلام
“Sesungguhnya Allah memiliki Malaikat-Malaikat yang terbang ke berbagai tempat di bumi menyampaikan kepadaku salam dari umatku.” (HR. Ahmad)

.

Soal 20: Apakah kita minta bantuan kepada orang mati?

  • Jawaban:

Kita tidak minta bantuan kepada mereka, bahkan kita istighatsah kepada Allah.

Dalil dari Al-Qur`an:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ingatlah ketika kalian istigatsah kepada Rabb kalian maka Dia mengabulkan bagi kalian”. (Al-Anfal: 9)

Dalil dari sunnah:

كان إذا أصابه هم أو غم قال : يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث
“Adalah Nabi jika terkena kesusahan dan kesedihan beliau berdoa : “wahai Dzat Yang Maha Hidup, Wahai Dzat Yang Mengurusi Makhluk-Nya dengan rahmat-Mu aku beristighatsah”. (Hadits Hasan)

.

Soal 21: Apakah boleh minta pertolongan kepada selain Allah?

  • Jawaban:

Tidak boleh minta pertolongan kecuali kepada Allah.

Dalil dari Al-Qur`an:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (Al-Fatihah: 5)

Dalil dari sunnah:

إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله
“Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah dan jika engkau memohon pertolongan maka minta tolonglah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi)

.

Soal 22: Apakah kita minta bantuan kepada yang hidup dan hadir?

  • Jawaban:

Ya, (yaitu) apa yang mereka mampu melakukannya.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong-menolonglah dalam masalah kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Ma`idah: 2)

Dalil dari sunnah:

والله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه
“Allah senantiasa membantu seorang hamba, selama hamba tersebut membantu saudaranya”.

.

Soal 23: Apakah boleh nadzar untuk selain Allah?

  • Jawaban:

Tidak boleh nadzar kecuali untuk Allah.

Dalil dari Al-Qur`an:

إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitulmakdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Ali-Imran: 35)

Dalil dari sunnah:

من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصيه الله فلا يعصه
“Siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah hendaklah ia mentaatinya (melaksanakan nadzarnya) dan barang siapa bernadzar untuk maksiat kepada Allah, maka janganlah ia mendurhakai-Nya (yaitu dengan tidak melaksanakan nadzarnya)”. (HR. Bukhari)

.

Soal 24: Apakah boleh menyembelih untuk selain Allah?

  • Jawaban:

Tidak boleh, karena hal itu termasuk syirik besar.
Dalil dari Al-Qur`an:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah (untukNya saja). (Al-Kautsar: 2)

Dalil dari sunnah:

لعن الله من ذبح لغير الله
“Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. (HR. Muslim)

.

Soal 25: Apakah boleh thawaf di kuburan?

  • Jawaban:

Tidak boleh thawaf kecuali di Ka’bah.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan thawaflah kalian di Rumah Atiq tersebut (Ka’bah)”. (Al-Hajj: 29)

Dalil dari sunnah:

من طاف بالبيت سبعا وصلى ركعتين كان كعتق رقبة
“Barang siapa yang thawaf di Baitullah tujuh kali dan shalat dua raka’at, adalah seperti memerdekakan budak”. (HR. Ibnu Majah)

.

Soal 26: Apakah boleh shalat sementara kuburan ada di depan kita?

  • Jawaban:

Tidak boleh shalat ke-arah kuburan.

Dalil dari Al-Qur`an:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
“Maka arahkanlah wajahmu ke Al-Masjidil Haram yaitu menghadaplah ke Ka’bah. (Al-Baqarah: 144)

Dalil dari sunnah:

لا تجلسوا على القبر ولا تصلّوا إليها
“Janganlah kalian duduk diatas kuburan dan janganlah shalat kepadanya”. (HR. Muslim)

.

Soal 27: Apa hukum melakukan sihir?

  • Jawaban:

Hukum melakukan sihir adalah kafir.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْر
“..Akan tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajari manusia sihir.” (Al-Baqarah: 102)

Dalil dari sunnah:

اجتنبوا الموبقات : الشرك بالله، والسحر
“Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan : syirik, sihir…..” (HR. Muslim)

.

Soal 28: Apakah kita boleh mempercayai dukun dan peramal?

  • Jawaban:

Kita tidak boleh mempercayai keduanya dalam memberitakan masalah ghaib.

Dalil dari Al-Qur`an:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan”. (An-Naml: 65)

Dalil dari sunnah:

من أتى عرافاً أو كاهناً فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد
“Barang siapa yang mendatangi paranormal atau dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad)

Soal 29: Apakah ada yang mengetahui yang ghaib?

  • Jawaban:

Tidak ada satupun yang mengetahui yang ghaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalil dari Al-Qur `an:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ
“Dan di sisi-Nya kunci-kunci ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia”. (Al-An’am: 59)

Dalil dari sunnah:

لا يعلم الغيب إلا الله
“Tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Dia”. (HR. Thabarani)

.

Soal 30: Dengan hukum apa kaum muslimin wajib menghukumi?

  • Jawaban:

Mereka wajib menghukumi dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalil dari Al-Qur `an:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”. (Al-Maa`idah: 44)

Dalil dari sunnah:

الله هو الحكم وإليه المصير
“Allah adalah penentu hukum, dan kepada-Nya tempat kembali.” (HR. Abu Daud)

.

Soal 31: Apa hukum undang-undang yang bertentangan dengan Islam?

  • Jawaban:

Mengamalkannya hukumnya kafir, jika ia membolehkannya.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
“Dan hukumilah diantara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah”. (Al-Maa`idah: 49)

Dalil dari sunnah:

ومن لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم شديد
“Dan barang siapa yang pemimpin-pemimpin mereka tidak menghukumi dengan kitab Allah dan memilih dari apa yang Allah turunkan kecuali Allah jadikan permusuhan kuat diantara mereka.”

.

Soal 32: Apakah boleh bersumpah dengan selain Allah?

  • Jawaban:

Tidak boleh bersumpah kecuali dengan Nama Allah.

Dalil dari Al-Qur`an:

بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُن
“Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan..”. (At-Taghabun: 7)

Dalil dari sunnah:

من حلف بغير الله فقد أشرك
“Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah sungguh ia telah musyrik”. (HR. Ahmad)

.

Soal 33: Apakah boleh menggantungkan kalung pengaman dan jimat?

  • Jawaban:

Tidak boleh menggantungkannya, karena hal tersebut termasuk syirik.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُو
“Dan jika menimpamu suatu bahaya, maka tidak ada yang bisa menghilangkan kecuali Dia”. (Al-An’am: 17)

Dalil dari sunnah:

من علق تميمة فقد أشرك
“Barang siapa menggantungkan azimat maka ia telah musyrik”. (HR. Ahmad)

.

Soal 34: Dengan apa kita bertawassul kepada Allah?

  • Jawaban:

Kita tawassul kepada Allah dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan amal shaleh.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَلِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Milik Allah-lah nama-nama yang baik maka berdo’alah dengannya”. (Al-A’raf: 18)

Dalil dari sunnah:

أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك
“Aku mohon kepada-Mu dengan segala nama yang dia adalah milik-Mu, yang Engkau beri nama dengannya akan Dzat-Mu”. (HR. Ahmad)

.

Soal 35: Apakah do’a memerlukan perantara makhluq?

  • Jawaban:

Doa tidak memerlukan perantara.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Jika hambaku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat, Aku mengabulkan do’a orang yang berdo’a jika berdo’a kepada-Ku”. (Al-Baqarah: 186)

Dalil dari sunnah:

إنكم تدعون سميعاً قريباً وهو معكم
“Sesungguhnya engkau berdo’a kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Dekat, dan Dia bersamamu”. (HR. Muslim)

.

Soal 36: Apa tugas yang diperankan Rasul?

  • Jawaban :

Tugas yang diperankan Rasul adalah menyampaikan wahyu.

Dalil dari Al-Qur`an:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. (Al-Maa`idah: 67)

Dalil dari sunnah:

اللهم اشهد
“Ya Allah saksikanlah.” (HR. Muslim, –ini adalah jawaban beliau atas ucapan sahabat yang berkata; “kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan amanah, dan menasehati”)

.

Soal 37: Dari siapa kita memohon syafa’at nabi?

  • Jawaban:

Kita memohon syafa’at Nabi dari Allah Subhanahu wa ta’ala.

Dalil dari Al-Qur`an:

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعاً
“Katakanlah; hanya milik Allah-lah seruruh syafa’at”. (Az-Zumar: 44)

Dalil dari sunnah:

اَللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah jadikanlah dia (Rasul) pemberi syafa’at untukku”. (HR. At-Tirmidzi)

.

Soal 38: Bagaimana kita mencintai Allah dan Rasulullah?

  • Jawaban:

Cinta dengan bentuk ketaatan dan mengikuti perintah.

Dalil dari Al-Qur`an:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku (Rasulullah) niscaya Allah mencintai kalian.” (Ali-Imran: 31)

Dalil dari sunnah:

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
“Tidaklah beriman seorang diantara kalian sehingga aku lebih ia cintai dari pada cintanya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari)

.

Soal 39: Apakah boleh berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah?

  • Jawaban:

Kita tidak boleh berlebih-lebihan dalam memuji Rasul.

Dalil dari Al-Qur `an:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku..”. (Al-Kahfi: 110)

Dalil dari sunnah :

لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم فإنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله
“Jangan kalian melebih-lebihkan aku sebagaimana Nasrani melebih-lebihkan Isa bin Maryam, tiada lain aku adalah seorang hamba, maka katakanlah; “hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari)

.

Soal 40: Siapa makhluq pertama kali?

  • Jawaban:

Dari manusia Adam, dari benda pena.

Dalil dari Al-Qur`an:

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِنْ طِينٍ
“Ingatlah ketika Rabb-Mu berfirman kepada para Malaikat; “sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” (Shad: 71)

Dalil dari sunnah:

إن أول ما خلق الله القلم
“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi)

.

Soal 41: Dari apa diciptakan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam?

  • Jawaban:

Allah menciptakan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dari nutfah.

Dalil dari Al-Qur`an:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَة
“Dia-lah yang menciptakan kalian dari tanah kemudian dari nutfah”. (Ghafir: 67)

Dalil dari sunnah:

إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوماً نطفة
“Sesungguhnya seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari sebagai nutfah”. (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 42: Apa hukum jihad dijalan Allah?

  • Jawaban:

Jihad wajib dengan harta, jiwa dan lisan.

Dalil dari Al-Qur`an:

انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ
“Berangkatlah jihad dalam kondisi ringan maupun berat dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian”. (At-Taubah: 41)

Dalil dari sunnah:

جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta kalian, jiwa kalian dan lidah kalian”. (HR. Abu Daud)

.

Soal 43: Apa wala’ untuk orang beriman?

  • Jawaban:

Yaitu cinta, menolong orang-orang yang beriman yang bertauhid.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْض
“Orang beriman laki dan perempuan sebagian mereka sebagai wali sebagian yang lainnya”. (At-Taubah: 71)

Dalil dari sunnah:

المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lainnya seperti satu bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lainnya”. (HR. Muslim)

.

Soal 44: Apakah boleh berloyalitas kepada orang kafir dan menolong mereka?

  • Jawaban:

Tidak boleh berloyalitas kepada orang kafir dan menolong mereka.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُم
“Barang siapa mengambil mereka sebagai wali maka sesungguhnya dia termasuk dari golongan mereka”. (Al-Maa`idah: 51)

Dalil dari sunnah:

إن آل بني فلان ليسوا لي بأولياء
“Sesungguhnya keluarga bani fulan bukan waliku (karena mereka orang kafir)”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Soal 45: Siapa wali itu?

  • Jawaban:

Wali adalah orang beriman yang bertaqwa.

Dalil dari Al-Qur`an:

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”. (Yunus: 62)

Dalil dari sunnah:

إن وليي الله وصالح المؤمنين
“Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang beriman yang shaleh”. (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 46: Untuk apa Allah menurunkan Al-Qur`an?

  • Jawaban:

Allah menurunkan Al-Qur`an untuk diamalkan.

Dalil dari Al-Qur`an:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاء
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan ikuti wali-wali selain-Nya”. (Al-A’raf: 3)

Dalil dari sunnah:

اقروا القرآن واعملوا به ولا تستكثروا به
“Bacalah Al-Qur`an dan amalkan, jangan engkau memperbanyak harta dengannya”. (HR. Ahmad)

.

Soal 47: Apakah kita mencukupkan diri dengan Al-Qur`an dari hadits.

  • Jawaban:

Kita tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur`an dari hadits.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Dan telah kami turunkan peringatan kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. (An-Nahl: 44)

Dalil dari sunnah:

ألا وإني أوتيت القرآن ومثله معه
“Ketauhilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan semisal dengannya”. (HR. Abu Daud)

.

Soal 48: Apakah kita mendahulukan satu ucapan diatas ucapan Allah dan rasul-Nya?

  • Jawaban:

Kita tidak mendahulukan satu ucapan diatas ucapan Allah dan Rasul-Nya.

Dalil dari Al-Qur`an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului dihadapan Allah dan Rasul-Nya”. (Al-Hujurat: 1)

Dalil dari sunnah:

لا طاعة لأحد في معصية الله إنما الطاعة في المعروف
“Tidak ada ketaatan untuk seseorang dalam maksiat kepada Allah, tiada lain ketaatan itu ada dalam hal yang baik”. (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 49: Apa yang kita lakukan jika kita berselisih?

  • Jawaban:

Kita kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.

Dalil dari Al-Qur`an:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya)..” (An-Nisa`: 59)

Dalil dari Sunnah:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله
“Aku telah tinggalkan dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-Nya”.

.

Soal 50: Apa bid’ah dalam agama itu?

  • Jawaban:

Semua yang tidak ada dalil syar’i atasnya.

Dalil dari Al-Qur`an:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّه
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”. (Asy-Syuraa: 21)

Dalil dari sunnah:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini, apa yang bukan darinya maka ia tertolak”. (Muttafaqun ‘alaihi)

.

Soal 51: Apakah ada bid’ah hasanah (yang baik)?

  • Jawaban:

Tidak ada bid’ah hasanah.

Dalil dari Al-Qur’an:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”. (Al-Maa`idah: 3)

Dalil dari sunnah:

إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Jauhilah oleh kalian semua yang diada adakan, karena semua yang diada adakan itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Daud)

.

Soal 52: Apakah dalam Islam ada sunnah yang baik?

  • Jawaban:

Ya seperti orang yang memulai perbuatan baik supaya ditiru.

Dalil dari Al-Qur`an:

وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan jadikanlah aku imam untuk orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqan: 74)

Dalil dari sunnah:

من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده
“Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang baik, baginya pahalanya dan pahala yang melakukan setelahnya”. (HR. Muslim)

.

Soal 53: Apakah cukup bagi seorang untuk memperbaiki diri sendiri?

  • Jawaban:

Harus memperbaiki diri sendiri dan keluarganya.

Dalil dari Al-Qur`an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. (At-Tahrim: 6)

Dalil dari sunnah:

إن الله تعالى سائل كل راع عما استرعاه أحفظ ذلك أم ضيعه
“Sesungguhnya Allah ta’ala akan meminta pertanggung-jawaban setiap pemimpin dari apa yang dipimpinnya, apakah menjaganya atau menyia-nyiakannya”.

.

Soal 54: Kapan kaum muslimin menang?

  • Jawaban:

Jika mengamalkan kitab Rabb mereka dan sunnah nabi mereka.

Dalil dari Al-Qur`an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah, Allah pasti menolong kalian dan meneguhkan kaki kalian”. (Muhammad: 7)

Dalil dari sunnah:

لا تزال طائفة من أمتي منصورين
“Tidak henti-hentinya segolongan dari umatku menang tertolong”. (HR. Ibnu Majah)

.

الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


(1) Thaghut: ialah setan dan apa saja yang disembah selain dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(2) Turun sesuai dengan keagungan-Nya dan kesucian-Nya.

(3) Bersemayam di atas Arsy ialah salah-satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.

.

(Dinukil dari عقيدة المسلم “Aqidah Setiap Muslim”, Penulis: Syaikh Muhammad Jamil Zainu)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=459
Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Memahami Qadha’ dan Qadar (Ketentuan dan Takdir Allah)

Posted on 3 Maret 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah mengutus hambaNya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa kebenaran, menyampaikan amanat kepada ummat dan berjihad dijalanNya hingga akhir hayat. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, berikut para keluarga, shahabat dan pengikutnya yang setia.

Dalam pertemuan ini, kami akan membahas suatu masalah yang kami anggap sangat penting bagi kita umat Islam, yaitu masalah Qadha’ dan Qadar. Mudah-mudahan Allah Ta’ala membukakan pintu karunia dan rahmatNya bagi kita, menjadikan kita termasuk para pembimbing yang mengikuti jalan kebenaran dan para pembina yang membawa pembaharuan.

Sebenarnya masalah ini sudah jelas, akan tetapi kalau bukan karena banyaknya pertanyaan dan banyaknya orang yang masih kabur dalam memahami masalah ini serta banyaknya orang yang membicarakanya, yang kadangkala benar tetapi seringkali salah, di samping itu tersebarnya pemahaman–pemahaman yang hanya karena mengikuti hawa nafsu dan adanya orang–orang fasik yang berdalih dengan qadha’ dan qadar untuk kefasikannya, seandainya bukan karena itu semua, niscaya kami tidak akan berbicara tentang masalah ini.

Sudah sejak dahulu masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam keluar menemui shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, ketika itu mereka sedang berselisih tentang masalah Qadha’ dan Qadar ( takdir ) maka beliau melarangnya dan memperingatkan bahwa kehancuran umat – umat terdahulu tiada lain karena perdebatan seperti ini.

.

PENGERTIAN TAUHID & MACAM – MACAMNYA

Walaupun masalah qadha’ dan qadar menjadi ajang perselisian di kalangan umat Islam, tetapi Allah Ta’ala telah membuka hati para hambaNya yang beriman, yaitu para salaf shaleh yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha’ dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah Ta’ala atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk dalam salah satu diantara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:

  • Pertama: Tauhid AL-Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.
  • Kedua: Tauhid Ar-Rububiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatanNya , yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
  • Ketiga: Tauhid Al-Asma’ was- Shifat, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam asma’ dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta’ala dalam Dzat, Asma’; maupun Sifat.

Iman kepada Qadar adalah termasuk tauhid Ar-Rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Qadar adalah merupakan kekuasaan Allah Ta’ala “. Karena tak syak lagi, Qadar (takdir) termasuk qodrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh, di samping itu, qadar adalah rahasia Allah Ta’ala yang tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu, takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

.

PENDAPAT–PENDAPAT TENTANG QADAR

Pembaca yang budiman,

Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan :

Pertama: mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya disetir dan tidak mempunyai pilihan, laksana pohon yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi dengan kemauannya dan perbuatan yang terjadi tanpa kemauannya, tentu saja mereka ini keliru dan sesat, kerena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang dikehendaki dan perbuatan yang terpaksa.

Kedua: mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah Ta’ala serta diciptakan olehNya. Menurut mereka, manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk.

Ketiga: mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk eleh Allah Ta’ala untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalil syar’i dan dalil aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah Ta’ala di alam semesta ini terbagi atas dua macam :

1- Perbuatan yang dilakukan oleh Allah Ta’ala terhadap makhlukNya. Dalam hal ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dan banyak contoh lainnya yang dapat disaksikan pada makhluk Allah Ta’ala. Hal seperi ini, tentu saja tak ada kekuasaan dan kehendak bagi siapapun kecuali bagi Allah Ta’ala yang maha Esa dan Kuasa.

2- Perbuatan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya; karena Allah Ta’ala menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ
“Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (At Takwir: 28).

مِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الآخِرَةَ
“Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.( Ali Imran : 152)

فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ
“ Maka barang siapa yang ingin ( beriman ) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir “ ( Al-Kahfi: 29)

Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi kerena kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atas rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atas rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kemauannya. Dia dapat membedakan antara kadua perbuatan ini, yang pertama atas dasar kumauannya dan yang kedua tanpa kemauannya. Dan siapapun mengetahui perbedaan ini.

Begitu juga orang yang menderita sakit beser umpamanya, ia tahu kalau air kencingnya keluar tanpa kemauanya. Tetapi apa bila ia sudah sembuh, ia sadar bahwa air kencingnya keluar dengan kemauannya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut.

Demikian segala hal yang terjadi pada diri manusia, dia mengetahui, perbedaan antara mana yang terjadi dengan kemauannya dan mana yang tidak.

Akan tetapi, karena kasih sayang Allah Ta’ala, ada diantara perbuatan manusia yang terjadi atas kemauanNya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang kelupaan, dan orang yang sedang tidur. Firman Allah Ta’ala dalam kisah Ashabul Kahfi :

وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ
“..Dan kami balik – balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al- Kahfi: 18)

Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan berbalik ke kiri, tetapi Allah Ta’ala menyatakan bahwa Dia-lah yang membalik–balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya.

Maka perbuatan tersebut dinisbahkan kepada Allah Ta’ala. Dan sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam:

“Barang siapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, kerena Allah Ta’ala yang memberinya makan dan minum “

Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum adalah Allah Ta’ala , karena perbuatannya tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan–akan terjadi tanpa kemauannya.

Kita semua mengetahui perbedaan antara perasaan sedih atau perasaan senang yang kadang kala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak mengetahui sebab dari kedua perasaan tersebut yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Hal ini, alhamdulillah, sudah cukup jelas dan gamblang.

Istilah penting :

  • Jabri ialah orang yang berpendapat bahwa manusia itu terpaksa dalam perbuatannya, tidak mempunyai kehendak dan keinginan. Jabariyyah adalah pemahaman yang dimaukan orang Jabri.
  • Qadari ialah orang yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. Qadariyyah adalah pemahaman yang dimaukan orang Qadari.

SANGGAHAN ATAS PENDAPAT PERTAMA

Pembaca yang budiman,

Seandainya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sialah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakekatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari pendapat dan paham yang demikian ini.

Adalah merupakan kezhaliman, jika Allah Ta’ala menyiksa orang yang berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan kehendak dan keinginannya.
Pendapat seperti ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah Ta’ala :

وَقَالَ قَرِينُهُ هَذَا مَا لَدَيَّ عَتِيدٌ . أَلْقِيَا فِي جَهَنَّمَ كُلَّ كَفَّارٍ عَنِيدٍ . مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ مُّرِيبٍ . الَّذِي جَعَلَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ فَأَلْقِيَاهُ فِي الْعَذَابِ الشَّدِيدِ . قَالَ قَرِينُهُ رَبَّنَا مَا أَطْغَيْتُهُ وَلَكِن كَانَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ . قَالَ لَا تَخْتَصِمُوا لَدَيَّ وَقَدْ قَدَّمْتُ إِلَيْكُم بِالْوَعِيدِ . مَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَمَا أَنَا بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan ( malaikat ) yang menyertai dia berkata : ” inilah (catatan amalnya ) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman: “Lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu; yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat (pedih ). Sedang ( syaitan ) yang menyertai dia berkata : “ ya Robb kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh’. Allah berfirman : “ Janganlah kamu bertengkar d ihadapanku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisiKu tidak dapat di ubah, dan aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hambaKu ( Qaaf : 23- 29)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siksaan dariNya itu adalah kerena keadilanNya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-hambaNya. Sebab Allah Ta’ala telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah Ta’ala untuk membantah keputusanNya.
Andaikata kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah Ta’ala ini:

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“(Kami utus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “. (An-Nisaa’: 165)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah Ta’ala atas mereka. Maka seandainya masalah qadar bisa dijadikan alasan bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar ( takdir) Allah Ta’ala sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada sesudah di utusnya mereka.

Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash (dalil) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh- contoh di atas.

SANGGAHAN ATAS PENDAPAT KEDUA

Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dengan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia tidak lepas dari kehendak Allah Ta’ala. Firman Allah:

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam “. (At Takwir : 28- 29)

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” ( Al Qashash: 68)

وَاللّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلاَمِ وَيَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus (Islam)” (Yunus: 25).

Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak di ciptakanNya. Padahal Allah lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar (takdir) nya.

Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apa bila dia telah di takdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk ?

Jawabnya : bahwa Allah Ta’ala menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah :

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Maka tatkala mereka berpaling ( dari kebenaran ) Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”. (Ash Shaf : 5)

فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَاقَهُمْ لَعنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِ وَنَسُواْ حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُواْ بِهِ
“(tetapi) kerena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras mambatu, mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka yang telah diberi peringatan dengannya” . (Al Ma`idah : 13)

Di sini Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk.

Kalau begitu, mengapa jika seseorang menempuh jalan kesesatan lalu berdalih bahwa Allah Ta’ala telah menghendakinya demikian? Apa tidak lebih patut baginya menempuh jalan kebenaran kemudian mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah menunjukkan kepadaku jalan kebenaran.

Pantaskah dia menjadi orang yang jabri kalau tersesat dan qadari kalau berbuat kebaikan ?

Sungguh tak pantas seseorang menjadi jabri ketika berada dalam kesesatan dan kemaksiatan, kalau ia tersesat atau berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala ia mengatakan : “ ini sudah takdirku, dan tak mungkin aku dapat keluar dari ketentuan dan takdir Allah”; tetapi ketika berada dalam ketaatan dan memperoleh taufiq dari Allah untuk berbuat ketaatan dan kebaikan ia mengatakan : “ini kuperoleh dari diriku sendiri”. Dengan demikian ia menjadi qadari dalam segi ketaatan dan menjadi “jabri” dalam segi kemaksiatan.

Ini tidak dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan.

Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu. Sebagaimana kita semua tahu bahwa manusia telah ditentukan untuknya rizki yang menjadi bagiannya. Namun demikian dia tetap berusaha untuk mencari rizki ke sana dan kemari baik di daerahnya sendiri atau di luar daerahnya. Tidak duduk di rumah saja saraya berkata : “ kalau sudah ditakdirkan untukku rizkiku tentu ia akan datang dengan sendirinya”. bahkan dia akan berusaha untuk mencari rizki tersebut. Padahal rizki ini disebutkan bersamaan dengan amal perbuatan, sebagaimana di sebutkan dalam hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

“Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia termasuk orang celaka atau bahagia”.

Jadi rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk  juga telah tercatat.

Kalau begitu, mengapa anda pergi kesana dan kemari untuk mencari rizki dunia tetapi tidak berbuat kebaikan untuk mencari rizki akherat dan mendapatkan kebahagiaan surga? padahal kedua-duanya adalah sama, tidak ada perbedaannya.

Jika anda mau berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan anda, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun untuk mencari dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda tahu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak berkurang. Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata : “ sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit , kerena kalaupun aku di takdirkan panjang umur aku akan tetap hidup”. Bahkan anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Jika demikian, mengapa usaha anda di jalan akherat dan dalam amal shaleh tidak seperti usaha anda untuk kepentingan duniawi?
Sebagaiman telah aku kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah Ta’ala yang tersembunyi, tak mungkin anda dapat mengetahuinya. Sekarang anda di antara dua jalan: jalan yang membawa anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan ; dan jalan yang dapat membawa anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan. Sekarang anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih tak ada seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan yang kanan atau jalan yang kiri. Anda dapat pergi kemanapun sesuka hati anda. Lalu mengapa anda memilih jalan kiri (sesat) kemudian berdalih bahwa” itu sudah takdirku”? apa tidak lebih patut jika anda memilih jalan kanan dan mengatakan bahwa “ itu takdirku” ?

Untuk lebih jelasnya, apa bila anda mau bepergian ke suatu tempat dan di hadapan anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman ; sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan. Tentu saja anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu juga dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadangkala hawa nafsulah yang memegang peran dan menguasai akal.

Padahal, sebagai seorang mu’min seyogyanya akalnyalah yang harus lebih berperan dan menguasai hawa nafsunya. Jika orang menggunakan akalnya, maka akal itu menurut pengertian yang sebenarnya akan melindungi pemiliknya dari yang membahayakan dan membawanya kepada yang bermanfaat dan membahagiakan.

Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa manusia mempunyai kehendak dan pilihan dalam perbuatan yang di lakukannya secara sadar, bukan terpaksa. Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka iapun seharusnya begitu pula dalam usahanya menuju akherat. Bahkan jalan menuju akherat lebih jelas. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan melalui sabda RasulNya Shalallahu ‘alaihi wassalam , maka jalan menuju akherat tentu saja lebih jelas dan lebih terang daripada jalan untuk kepentingan dunia.

Namun kenyataannya, manusia mau berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah Ta’ala , dan Allah Ta’ala tidak akan menyalahi janjiNya.

Pembaca yang budiman,

Inilah yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah Ta’ala. Dan Ahlussunnah Wal Jamaah mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala tidak lepas dari hikmah kebijaksanaanNya, bukan kehendak yang mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaanNya. Karena di antara asma Allah Ta’ala adalah AL- HAKIM yang artinya Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusanNya.

Allah Ta’ala dengan sifat hikmahNya, menentukan hidayah bagi siapa yang di kehendakiNya yang menurut pengetahuanNya benar-benar menginginkan al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmahNya pula, dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah Ta’ala tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah Ta’ala memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Ta’ala maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmahNya menetapkan bahwa setiap sebab berkait erat dengan dengan akibatNya

.

TINGKATAN QADHA’ DAN QADAR

Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan :

  • Pertama : Al-‘Ilm (pengetahuan)

Artinya mengimani dan meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya.

  • Kedua : Al-kitabah (penulisan)

Artinya mengimani bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh.
Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاء وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj:70)

Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab Lauh Mahfuzh.

Sebagaimana dijelaskan pula oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

“ Pertama kali tatkala Allah Ta’ala menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya : Tulislah!. Qalam itu berkata : “ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis?” Allah Ta’ala berfirman : “Tulislah apa saja yang akan terjadi!” maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat”.

Ketika Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak? beliau menjawab: “sudah ditetapkan”.
Dan ketika beliau ditanya: “Mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis? Beliaupun menjawab : “Berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya”. Kemudian beliau mensitir firman Allah:

فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى . وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى . وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى . فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun orang yang memberikan hartanya (di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar”.( Al Lail: 5–10)

Oleh karena itu hendaklah anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabat. Anda akan di mudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah Ta’ala.

  • Ketiga : Al- Masyiah ( kehendak ).

Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah Ta’ala. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur’an Al–Karim. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya. Firman Allah:

لِمَن شَاء مِنكُمْ أَن يَسْتَقِيمَ . وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apa bila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. (At Takwir : 28 -29)

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ
“ jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”. (Al–An’am : 112)

وَلَوْ شَاء اللّهُ مَا اقْتَتَلُواْ وَلَـكِنَّ اللّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
“Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya”. (Al–Baqarah: 253)

Dalam ayat–ayat tersebut Allah Ta’ala menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendak-Nya.
Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah:

وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا
“Dan kalau kami menghendaki niscaya akan kami berikan kepada tiap–tiap jiwa petunjuk (bagi) nya”. (As Sajdah: 13)

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”. (Huud : 118)

Dan banyak lagi ayat–ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuat-Nya.

Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah Ta’ala.

  • Keempat : Al–Khalq ( penciptaan )

Artinya mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah Ta’ala. Sampai “ kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan Allah.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”. (Al-Mulk : 2)

Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Ta’ala.

Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti : sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah Ta’ala.

Akan tetapi mungkin saja ada orang yang merasa sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak kita ini adalah ciptaan Allah Ta’ala?

Jawabnya: Ya, memang demikian, sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya dua faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apa bila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah Ta’ala. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang menciptakan akibatnya.

Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu : kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.

Jika perbuatan manusia terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan yang sempurna, sedangkan yang menciptakan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah Ta’ala, maka dengan ini dapat dikatakan bahwa yang menciptakan perbuatan manusia adalah Allah Ta’ala.
Akan tetapi, pada hakekatnya manusia-lah yang berbuat, manusia-lah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuat ketaatan; hanya saja perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah Ta’ala. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.

Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan.

Seperti halnya kita katakan : “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah Ta’ala. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cidera sedikitpun, karena Allah Ta’ala berfirman pada api itu:

يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”. (Al Anbiya’: 69)

Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat wal afiat.

Jadi, api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaanya. Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

.

PENUTUP

Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mu’min harus ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridha-Nya yaitu mengimani adanya qadha dan qadar serta meyakini bahwa dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia, rizki yang dia usahakan dan ajal yang dia khawatirkan. Kesemuanya adalah sama, sudah tertulis dan ditentukan. Dan setiap manusia dimudahkan menurut takdir yang ditentukan baginya.

.

Selesai.

 


(Dinukil dari kitab القضاء والقدر “Qadla’ dan Qadar Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=423
Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Metode dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Posted on 3 Maret 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Syaikh Al-Albani ditanya:

Apa yang harus kita lakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an ?

Jawaban:

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan menuju cahaya Islam. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 1 :

الَر كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. “

Allah Ta’ala juga menjadikan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan dan menafsirkan isi Al-Qur’an. Firman Allah Ta’ala di dalam surat An-Nahl ayat 44:

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan…”

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur’an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah tetapi semuanya dari wahyu Allah Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3 dan 4:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata: “Berpeganglah kalian kepada Al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal di dalam Al-Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram di dalam Al-Qur’an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya.”

Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur’an adalah:

Cara Pertama adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa: ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Cara Kedua adalah dengan penafsirannya para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur’an serta cara menafsirkannya, sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata: “Dia adalah penterjemah Al-Qur’an.” Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.

Cara Ketiga yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsirannya dari para tabi’in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas seperti : Sa’id bin Jubair, Thawus, Mujahid dan lain-lain.

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela suatu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama tafsir.

Untuk menjelaskan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur’an surat Al-Muzammil: 20 :

فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”

Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang berdiri sholat adalah ayat-ayat Al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca ayat Al-Qur’an (tidak harus membaca Al-Fatihah).

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Surat Al-Fatihah).”

Dan di hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang shalat tidak membaca Surat Al-Fatihah, maka sholatnya kurang, sholatnya kurang, sholatnya kurang, tidak sempurna.”

Berdasarkan tafsir di atas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali dengan hadits yang mutawatir. Dengan kata lain mereka mengatakan, “Tidak boleh menafsirkan yang mutawatit kecuali dengan yang mutawatir pula.” Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra’yu (akal-akalan) dan madzhab (kelompok/golongan).

Padahal semua ulama ahli tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya berpendapat bahwa maksud “bacalah” dalam ayat di atas adalah “shalatlah”. Jadi ayat tersebut maksudnya adalah: “Maka shalatlah qiyamul lail (sholat malam) dengan bilangan raka’at yang kalian sanggupi.”

Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut, yaitu:

“Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam atau perdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari bagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam sholat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Ta’ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat malam dengan jumlah rakaat kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yaitu sebelas rakaat. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut.

Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya “menyebut sebagian” tetapi yang dimaksud adalah “keseluruhan.”

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur’an adalah bagian dari shalat. Allah sering menyebut kata “bacaan/membaca” padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an itu merupakan bagian penting dari shalat. Contohnya adalah dalam surat Al-Isra’ ayat 78:

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah sholat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikan pada bacaan fajar. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). “

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebut “bacaan fajar” tetapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat Shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.

Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagaian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam sholat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal yaitu :

1.Tafsiran ayat di atas (QS. Al-Muzammil : 20) datang dari para ulama ahli tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur’an

2. Tidak mungkin perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an. Justru perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu menafsirkan dan menjelaskan isi Al-Qur’an.

Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam sholatnya. Sama sekali tidak. Baik sholat fardhu ataupun shalat sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.

Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dlam kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab hadits yang sana-sanadnya shahih.

Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata, “Kita tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja.”

Demikianlah sangkaan mereka, padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid , padahal Mu’adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu’adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikannya adalah menyangkut masalah aqidah).


[Dinukil dari : Kaifa yajibu ‘alaina annufasirral qur’anil karim, edisi bahasa Indonesia: Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur’an, Syaikh Al AlBani] 

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=379
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Mencintai Para Sahabat dan Ahlul Bait Rasulullah

Posted on 2 Maret 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , |

Mencintai Para Sahabat dan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat adalah orang-orang terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi mereka adalah generasi terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia, hal ini selaras dengan ucapannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku” (yakni para sahabat, pent).

Adalah merupakan aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah mencintai para sahabat dan ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa harus bersikap ekstrem dalam mencintainya, tetapi tidak juga bersikap merendahkan atau bahkan mencemoohkannya. Pendek kata, aqidah ahlussunnah wal jama’ah dalam hal para sahabat Nabi dan ahlul bait pertengahan antara ifrath dan tafrith, serta ghuluw dan jafaa’, antara rafidhah -semoga Allah menjelekkan mereka-, khawarij dan nawasib.

  • Kaum rafidhah (syi’ah) mengatakan, “Tidak ada loyalitas terhadap ahlul bait, kecuali dengan berlepas diri dari para sahabat, barangsiapa yang tidak berlepas diri dari para sahabat, maka ia tidak mencintai ahlul bait.”
  • Lain lagi dengan Khawarij, mereka mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma beserta para sahabat lainnya yang bersamanya, menghalalkan darah dan harta-hartanya.
  • Adapun nasibi / nawasib, mereka adalah orang-orang yang menancapkan api permusuhan terhadap ahlul bait, mencelanya dan berlepas diri darinya.

Ahlussunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang Allah telah berikan hidayah padanya untuk mengetahui keutamaan-keutamaan para sahabat sehingga mereka mencintainya (para sahabat) karena kesetiaannya terhadap Rasulullah, kepeloporannya dalam hal itu, perjuangannya membela Islam, dan berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka menjaga diri dari membicarakan kesalahan-kesalahannya para sahabat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Jika disebutkan para sahabatku maka tahanlah” (yakni dari membicarakan kesalahannya, pent) (HR Abu Nu’aim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

Ahlussunnah meyakini bahwa orang yang terbaik setelah Nabi adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian Umar bin Al-Khaththab lalu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Kami sedang berbincang -dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di hadapan kami- bahwa sebaik-baik orang setelah Rasulullah adalah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Nabipun mendengar hal itu dan beliau tidak mengingkarinya.” (HR Bukhari). Juga telah datang riwayat secara mutawatir bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata saat khutbah,

“Umat yang paling afdhal setelah Nabi adalah Abu Bakar lalu Umar…”

Setelah mereka yang terbaik adalah lima orang ahli syura yakni Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad, dan Thalhah. Kemudian setelah mereka adalah ahli Badar dari Muhajirin dan Ahli Badar dari Anshar dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya. Semoga Allah meridhai semuanya.

Para pembaca,

Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mencintai muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib, begitu pula mencintai seluruh istri-istri Rasulullah, memuji semuanya, dan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya yang paling tepat dengan adil dan inshaf, tidak dengan hawa nafsu dan kedengkian, mereka mengetahui keutamaan orang-orang yang Allah kumpulkan padanya kemuliaan iman dan kemuliaan nasab, siapa saja yang tergolong ahlul bait dari para sahabat Nabi, maka mereka mencintainya karena keimanannya, ketakwaannya, dan kesetiannya serta kekeluargaannya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Mereka yakni ahlussunnah wal jama’ah mencintai ahlul bait Rasulullah dan berloyalitas padanya, mereka menjaga betul wasiat Rasulullah saat berkata, “Aku ingatkan kalian pada ahlul baitku.” Dan saat berucap, “Demi yang jiwaku ada di genggamanNya, kalian tidak beriman hingga kalian mencintai Allah dan keluargaku.” Mereka (ahlussunnah) mencintai istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ummahatul mu`minin, serta mengimani bahwa mereka adalah istri-istri beliau di akhirat…”

.

Keutamaan Ahlul Bait dalam Al Qur`an dan As Sunnah

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا . وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا . يَا نِسَاء النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا . وَمَن يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا . يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا . وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridha-an) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan RosulNya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rizki yang mulia. Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkan perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS Al Ahzab: 28-33).

Makna firman Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya” ini menunjukkan keutamaan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang diharamkan atasnya shodaqoh (menerimanya, red), yang terkhusus dari mereka adalah istri-istrinya dan keturunannya.

Dalam Shahih Muslim no 2276, dari Watsilah bin al Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“‘Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari keturunannya Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim.”

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Al Hasan bin Ali datang lalu Nabi menyuruhnya masuk, kemudian datang Husain dan masuk bersamanya, lalu datang Fatimah dan Ali dan menyuruhnya masuk, kemudian beliau membaca (ayat), “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.'” (HR Muslim no 2424).

.

Keutamaan Ahlul Bait di Mata Para Sahabat

Telah diketahui secara umum bahwa para khulafa` ar rasyidin yang empat adalah mertua dan menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma memiliki kemuliaan yang lebih dimana Rasulullah menikahi putri-putrinya: ‘Aisyah dan Hafshah, sedang Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhuma juga mempunyai kemuliaan yang lebih dimana mereka menikahi putri-putri Rasulullah. Utsman menikah dengan Ruqayyah dan setelah ia (Ruqayyah) meninggal dunia kemudian menikah dengan saudaranya yakni Ummu Kultsum, sehingga Utsman digelari “Dzunnuraini”. Adapun Ali menikah dengan Fatimah radhiyallahu ‘anha.

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ali, “Demi yang jiwaku ada di genggamanNya, aku lebih menyukai untuk menyambung (silaturrahmi) dengan keluarga Rasulullah daripada keluargaku sendiri.” (HR Bukhari no 3712).

Dalam riwayat lain no 3713, beliau berkata, “Jagalah Rasulullah dan ahli baitnya” bahkan pernah pada suatu hari setelah beliau menunaikan shalat ashar, ia melihat Hasan bermain dengan anak-anak seusianya lalu beliaupun memanggulnya di atas pundaknya. (HR Bukhori no: 3542).

Umar ibnul Khaththab ketika ditimpa kemarau ia mendatangi Abbas bin Abdul Muthallib bertawassul -meminta do’a darinya- (HR Bukhori no: 1010 dan 3710). Bertawassulnya beliau kepada Abbas adalah karena hubungan keluarganya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliaupun berkata dalam tawassulnya, “Sesungguhnya kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami.” Dalam kesempatan lain ia pernah berkata kepada Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Demi Allah, keislamanmu pada hari engkau masuk Islam lebih aku cintai / sukai daripada Islamnya Khattab jika dia masuk Islam, karena keislamanmu lebih disukai oleh Rasulullah daripada keislaman Khattab.” (Tafsir Al Qur`anul Adzim: 4/116).

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang paling mirip perangainya dengan Rosulullah, baik saat berdirinya maupun saat duduknya selain dari Fatimah binti Rasulullah.” (HR Abu Daud no 5217, Tirmidzi no 3872).

Para pembaca, sangatlah banyak riwayat-riwayat dan atsar para sahabat, para tabi’in, serta tabi’it tabi’in dan ahlil ilmi yang menunjukkan akan kecintaan, penghormatan, dan pengagungan mereka terhadap ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian kaum muslimin ahlussunnah wal jama’ah semua bersepakat untuk mencintai dan mengagungkan para sahabat dan ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berlepas diri dari sikap ekstremnya dan kezhalimannya kaum Syi’ah Rafidhah, Bathiniyah, Ismailiyah, dan Itsna Atsariyah dari kalangan Syi’ah serta Khawarij terhadap para sahabat dan ahlul baitnya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wal ‘ilmu ‘indallah.

 


Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=349

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Gambaran Tawakal dalam Kehidupan Seorang Mukmin

Posted on 2 Maret 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakal”. (Ali Imran: 122)

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (Ath-Thalaq: 33)

Di dalam hadits diriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa di antara umatnya ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Kemudian beliau bersabda,

“Yaitu mereka yang tidak membual, tidak mencuri, tidak membuat ramalan yang buruk-buruk dan kepada Rabb mereka bertawakal”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)

Dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Andaikan kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia kan menganugerahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia menganugerahkan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, lalu kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang.” [1]

Diantara doa yang dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah:

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon taufik kepada-Mu untuk mencintai-Mu daripada amal-amal, kebenaran tawakal dan baik sangka kepada-Mu”. (Hadits mursal, diriwayatkan Abu Nu’aim)

Tawakal harus didasarkan kepada tauhid. Adapun tauhid itu ada beberapa tingkatan. Diantaranya:

Hati harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan lewat kata-kata “la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir”. Jika dia membenarkan lafazh ini, namun tidak mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan keyakinan orang awam.

Hamba melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu melihatnya berasal dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang taqarab.

Hamba melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah dan dia tidak memandang kepada selain Allah. Kepada-Nya dia takut dan kepada-Nya pula dia berharap serta bertawakal. Karena pada hakekatnya Allahlah satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan kemahasucian-Nya semua tunduk kepada-Nya.

Dia tidak mengandalkan hujan agar tanaman bisa tumbuh, tidak mengandalkan kepada mendung agar hujan turun, tidak mengandalkan kepada angin untuk menjalankan perahu. Bersandar kepada semua ini merupakan ketidaktahuan terhadap hakekat segala urusan. Siapa yang bisa menyibak berbagai hakikat tentu akan mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan sendirinya. Angin itu harus ada yang menggerakkannya. Seseorang yang melihat angin sebagai penyelamat, serupa dengan orang yang ditangkap untuk dipenggal lehernya. Lalu setelah dilaporkan kepada raja, ternyata raja mengeluarkan lembaran catatan yang isinya memaafkan kesalahannya. Lalu dia banyak bercerita tentang tulisan dalam catatan itu, bukan melihat kepada siapa yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu. Tentu saja ini suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen tidak mempunyai kekuasaan hukum, tentu dia kan berterimakasih kepada orang-orang yang telah menggunakan pulpen itu, bukan kepada pulpennya. Semua makhluk di dalam kekuasaan Khaliq, lebih nyata daripada sekedar pulpen di tangan orang yang menggunakannya. Allahlah yang menciptakan segala sebab dan berkuasa untuk berbuat apa pun menurut kehendak-Nya.

BEBERAPA GAMBARAN KEADAAN TAWAKAL

Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika dikatakan, “Wakkala Fulan amruhu ila Fulan”, artinya Fulan yang pertama menyerahkan urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya dalam urusan ini.

Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang diwakilkan. Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali setelah dia bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah simpati, kekuatan dan petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal ini, maka bandingkanlah dengan tawakal kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa mantap bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah semata, jika engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan rahmat-Nya sempurna, di belakang kekuasaan-Nya tidak ada kekuasaan lain, di belakang ilmu-Nya tidak ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat lain, berarti hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapatkan keadaan yang seperti ini di dalam dirimu, maka ada satu di antara dua sebab, entah karena lemahnya keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena ketakutan hati yang disebabkan kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati menjadi gelisah tak menentu karena adanya kebimbangan, sekalipun masih tetap ada keyakinan. Siapa yang menerima madu lalu ia membayangkan yang tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia akan menolak untuk menerimanya.

Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan atau di tempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan menolak hal itu, sekalipun dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang tidak bisa bergerak dan mati. Tapi tabiat dirinya tidak membuatnya lari dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena adanya ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang sekali oang yang terbebas darinya. Bahkan terkadang ketakutan ini berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut berada di rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup rapat-rapat.

Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan hati dan kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu makna tawakal dan engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan tawakal, maka ketahuilah bahwa keadaan itu ada tiga tingkatan jika dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan:

Tingkat Pertama:

Keadaan benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia tunjuk sebagai wakilnya.

Tingkat Kedua:

Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang selain ibunya dan tidak akan mau bergabung dengan selain ibunya serta tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya sendiri. Jika dia menghadapi suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam hatinya dan yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, “Ibu..!” . Siapa yang pasrah kepada Allah, memandang dan bersandar kepada-Nya, maka keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan ibunya. Jadi dia benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang yang bertawakal, yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada selain yang ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya. Sedangkan yang pertama adalah orang yang bertawakal karena dipaksa dan karena mencari, tidak murni dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa bertawakal kepada yang lain. Tentu saja hal ini bisa mengalihkan pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti ditawakali.
Tingkat Ketiga:

Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah seperti mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak berpisah dengan Allah melainkan dia melihat dirinya seperti orang mati. Keadaan seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dengan ibunya, lalu secepat itu pula dia akan berpegang kepada ujung baju ibunya.

Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja jarang yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.

PERILAKU ORANG-ORANG YANG BERTAWAKAL

Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati dan cukup menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini merupakan anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.

Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum didapat seperti mencari penghidupan, ataupun menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan. Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya yang datang, seperti menghindari serangan, atau bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba tidak lepas dari empat gambaran berikut ini:

Gambaran pertama:
Mendatangkan manfaat.
Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan:

1.  Sebab yang pasti,

Seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan penyebab yang memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang tidak mungkin ditolak dan disalahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu, sementara engkau pun dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan ke makanan itu seraya berkata, “Aku orang yang bertawakal, syarat tawakal adalah meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha, begitu pula mengunyah dan menelannya”.

Tentu saja ini merupakan ketololan yang nyata dan sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau menunggu Allah menciptakan rasa kenyang tanpa menyantap makanan sedikit pun, atau Dia menciptakan makanan yang dapat bergerak sendiri ke mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah dan memasukkan ke dalam perutmu, berarti engkau adalah orang yang tidak tahu Sunnatullah.

Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar Allah menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat melahirkan tanpa berjima’, maka semua itu adalah harapan yang konyol. Tawakal dalam kedudukan ini bukan dengan meninggalkan amal, tetapi tawakal ialah dengan ilmu dan melihat keadaan. Maksudnya dengan ilmu, hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan makanan, tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah yang memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati dan penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut makananmu. Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.

2.  Sebab-sebab yang tidak meyakinkan,

Tetapi biasanya penyebabnya tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi. Misalnya orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi sebagai musafir melewati lembah-lembah yang jarang sekali dilewati manusia. Dia berangkat tanpa membawa bekal yang memadai. Orang seperti ini sama dengan orang yang hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia diperintahkan untuk membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bepergian, maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala hijrah ke Madinah.

3.  Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada penyebab, tanpa disertai keyakinan yang riel,

Seperti orang yang membuat pertimbangan secara terinci dan teliti dalam suatu usaha. Selagi tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan syariat, maka hal ini tidak mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikategorikan orang-orang yang ambisius jika maksudnya utnuk mencari kehidupan yang melimpah. Namun meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk tawakal, tetapi ini merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup santai, lalu beralasan dengan sebutan tawakal. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu bertawakal kepada Allah.”

Gambaran kedua:
Mempertimbangkan sebab dengan menyimpan barang.

Siapa yang mendapatkan makan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makan pokok itu tidak mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai tanggungan orang yang harus diberi nafkah.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjual kebun korma Bani Nadhir, lalu menyimpan hasil penjualannya untuk makanan pokok keluarganya selama satu tahun.

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana dengan tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?”.

Jawabnya: Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan harta jika dijamin tidak akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang semacam dia dari Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan masjid) memang tidak selayaknya untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada masalah menyimpan harta yang halal.

Gambaran ketiga:
Mencari sebab langsung untuk menyingkirkan mudharat.

Bukan termasuk syarat tawakal jika meninggalkan sebab-sebab yang dapat menyingkirkan mudharat. Misalnya, tidak boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat aliran air, di bawah tembok yang akan runtuh. Semua ini dilarang.

Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat pertempuran, menutup pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan tali. Allah berfirman,

فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ
“Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata”. (An-Nisa’:102)

Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan bertawakal, ataukah aku melepasnya dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikatlah dan bertawakallah”. (Diriwayatkan At-Tirmidzy)

Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan bukan pada sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah. Jika barang-barangnya dicuri orang, padahal andaikata ia waspada dan hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun mengeluh setelah itu, maka nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.

Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang datang, maka dia gembira dan berkata, “Kalau bukan karena takdir itu tahu bahwa makanan adalah bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan datang.” Kalau pun makanan itu pun tidak ada, maka dia tetap gembira dan berkata, “Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan itu membuatku tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku.”

Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang sakit terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan benar. Jika barang-barangnya dicuri, maka dia ridha terhadap qadha’ dan menghalalkan barang-barangnya bagi orang yang mengambilnya, karena kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh jadi adalah orang Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama, karena dia dirampok di tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu berkata, “Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu yang dirampok itu daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan orang-orang Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada orang-orang Muslim?”

Gambaran keempat:
Usaha menyingkirkan mudharat,
seperti mengobati penyakit yang berjangkit dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa dibagi menjadi tiga macam:

1.  Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang menghilangkan lapar. Meninggalkan sebab ini sama sekali bukan termasuk tawakal.

2.  Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam, minum dan lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di antara mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, tatkala dia ditanya, “Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib untuk mengobatimu?” Dia menjawab, “Tabib sudah melihatku.”, “Apa katanya?”, tanya orang itu. Abu Bakar menjawab, “Katanya, ‘Aku dapat berbuat apa pun yang kukehendaki’.” Al-Mushannif Rahimahullah berkata, “Yang perlu kami tegaskan bahwa berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah berobat, dan tidak mau berobat lagi karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau mungkin dia sudah merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari tanda-tanda tertentu.” Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah dihamparkan Allah di bumi ini.

3.  Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal ini termasuk sesuatu yang keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati orang-orang yang bertawakal sebagai orang-orang yang tidak suka menyundut dengan api. Sebagian ulama ada yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam sabda beliau, “Tidak menyundut dengan api”, ialah cara yang biasa dilakukan semasa Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh sakit. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca ruqyah kecuali setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga pernah menyundut As’ad bin Zararah radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan mengeluh sakit termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal. Orang-orang salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu menerjemahkan keluhan.

Al-Fudhail berkata, “Aku suka sakit jika tidak ada yang menjengukku.”

Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Bagaiman keadaanmu?” Al-Iman Ahmad berjawab, “Baik-baik.” “Apakah semalam engkau demam?” tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, “Jika sudah kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau mendorongku kepada sesuatu yang kubenci.”

Jika orang sakit menyebutkan apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu diperbolehkan. Sebagian orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka berkata, “Aku hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku.” Jadi dia menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa syukur atas penyakit itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

“Aku sakit demam seperti dua orang di antara kalian yang sakit demam”. (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim)

 


(1) Hadits tersebut di takhrij oleh Imam Ahmad (1/30), At-Tirmidzi (2/55), Al-Hakim (4/318) dari Hayah bin Syuraih: “Telah bercerita kepadaku Bakar bin ‘Amr, bahwa dia mendengar Abdullah bin Hubairah, yang mengatakan bahwa Ibnu Hubairah mendengar Abu Tamim Al-Jisyani memberitahukan bahwa ia mendengar Umar bin Al-Khatab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya dia telah mendengar Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (lalu menyebutkan hadits di atas). Selanjutnya Imam At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini ber-sanad shahih dan hasan.” Sedangkan Imam Al-Hakim berkomentar : “Hadits tersebut shahih dipandang dari segi sanad-nya.” Pernyataan senada juga ditegaskan oleh Adz-Dzahabi. Al-Albani berkomentar: Sebenarnya hadits di atas adalah shahih sesuai syarat Imam Muslim. Karena perawi-perawinya adalah perawi yang dipakai oleh Asy-Syaikhain, kecuali Ibnu Hubairah dan Abu Hatim, kedua perawi yang akhir ini adalah perawi Imam Muslim. Hadits di atas juga memiliki hadits mutabi’ riwayat Ibnu Luhai’ah dari Ibnu Hubairah. Hadits di atas juga di-takhrij Imam Ahmad (1/52) dan Ibnu Majah (hadits no. 4164). Menurut Ibnu Majah, dia mendapat hadits tersebut dari riwayat Abdullah bin Wahab, yang juga ber-sanad shahih. (Syaikh Muhammad Nashiruddin A-Albani, “Silsilah Hadits Shahih”)

(Dinukil dari “Muhtashor Minhajul Qoshidin, Al-Imam Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk”)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=246

Judul asli : Tawakkal kepada ALLAH Ta’ala dan Keutamaannya

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hati-hati Terhadap Ulama Yang Justru Menyesatkan Ummat

Posted on 1 Maret 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , |

“Aku heran dari (perbuatan) orang yang menjual kesesatan dengan petunjuk !

Dan aku lebih heran dari orang yang membeli dunia dengan Agama”

Itulah kurang lebih ungkapan dua bait syair yang menggambarkan tentang keberadaan dua golongan pengacau da’wah dan perusuh di kalangan umat.

Mereka tiada lain adalah para bandit-bandit da’wah, yang dzahirnya berbicara tentang agama tetapi kenyataannya justru jauh memalingkan umat dari agama, mereka tiada lain adalah para calo-calo da’wah yang senantiasa mengabaikan dan menjual prinsip-prinsip agama demi untuk menggapai kelezatan dunia.

Sungguh mereka adalah orang-orang yang telah dinyatakan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,

“Di malam hari saat aku isro’, aku melihat suatu kaum di mana lidah-lidah mereka dipotong dengan guntingan dari api” – atau ia (Rasulullah) berkata, “dari besi. Aku bertanya siapa mereka wahai Jibril? Mereka adalah para khatib-khatib dari umatmu!” (HR. Abu Ya’la dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma).

Para pembaca -hadzanallahu wa iyyakum- mereka adalah para da’i dan ulama-ulama su’ yang telah Allah beberkan keberadaannya. Allah berfirman,

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُم بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab. Dan mereka mengatakan ia (yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 78).

Dan Allah juga berfirman,

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ . وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithon (sampai dia tergoda) maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Q.S. Al A’raf: 175-176).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan “para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari keberadaan mereka sebagaimana dalam sabdanya,

“… Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang menyesatkan.” (HR. Abu Daud dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu).

Adapun sahabat Umar ibnul Khaththab beliau mengistilahkan mereka dengan sebutan “al munafiq al alim”, ketika ditanya maksudnya, beliau menjawab “aliimul lisaan jaahilul qolbi!” (pandai berbicara tetapi bodoh hatinya -tidak memiliki ilmu-).

Para pembaca hadzanallahu wa iyyakum,

Allah subhanahu wa ta’ala tetap akan menjaga agama ini dari upaya penyesatan yang dilakukan oleh para ulama dan dai-dai sesat, sehingga kita dibimbing oleh Allah untuk senantiasa bersikap antipati dari seruan dan fatwa-fatwa mereka. Perhatikanlah peringatan-peringatan Allah berikut ini agar menjauh dan tidak mengikuti fatwa-fatwa mereka:

Pertama:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.” (At Taubah: 34).

Kedua:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir setelah kamu beriman.” (Ali Imran: 100).

Ketiga:

وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ
“… Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Al Maidah: 49).

Keempat:

وَكَذَلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ

“Dan demikianlah kami telah menurunkan Al Qur’an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap siksa Allah.” (Ar Ra’d: 37).

Kelima:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian kami jadikanlah kamu berada suatu syari’at dan urusan agama, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jaatsiyah: 18).

Keenam:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zhalim.” (Al Baqarah: 145).

Demikianlah dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga dan membimbing kita ke jalan yang diridhainya.

Wallahul Muwaffaq.

——————————————–

Maraji:

– Al Quranul Karim

– Al Musnad Abu Ya’la 1/118 no. 1314

– Sunan Abi Daud 4/450

– Ishlahul Mujtama’ Al Imam Al Baihani


Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari

Al Wala wal Bara Edisi ke-3 Tahun ke-1 / 20 Desember 2002 M / 15 Syawwal 1423 H.

sumber: http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/3.htm
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (II)

Posted on 28 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sambungan dari Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)

Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”

Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.

Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)

Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)

Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)

Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)

Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”

Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)

Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”

Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :

[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]

Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”

Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.

Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.”

Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.

Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :

“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).

Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia –dengannya– dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)

Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)

Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, –padahal at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu–, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!

Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)

Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)

Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)

Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”

Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”

Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.

Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”

Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.

Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”

Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.

Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)

Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.

Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.

Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.

Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :

“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)

Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.

Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)

Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

________________________________________________________________________________

[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan dipahami.

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli “Nyanyian dan musik dalam Islam”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=27
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Al Quran: Keutamaan, kedudukan dan posisinya sebagai sumber syariat Islam

Posted on 28 Februari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Al-Qur`an adalah firman Allah. Muncul dari zat-Nya dalam bentuk perkataan yang tidak dapat digambarkan. Diturunkan kepada Rasul-Nya dalam bentuk wahyu. Orang-orang mukmin mengimaninya dengan keimanan yang sebenar-benarnya. Mereka beriman tanpa keraguan, bahwa Alquran adalah firman Allah dengan sebenarnya. Bukan ciptaan-Nya, seperti layaknya perkataan makhluk, barang siapa mendengarnya dan menganggap sebagai perkataan manusia, maka ia telah kafir.

Allah subhanahu wa ta’ala memberikan sifat kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ . لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Dan sesungguhnya Alquran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Fushshilat: 41-42)

Di dalam ayat yang lain Allah juga mensifatinya dengan firman-Nya:
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”. (Huud: 1).

Sungguh ayat-ayat Alquran ini sangat cermat dan teliti, jelas dan terperinci, yang telah ditetapkan oleh yang Maha Bijaksana, dan yang telah diuraikan oleh yang Maha Tahu. Kitab ini akan terus menjadi mukjizat dari segi keindahan bahasa, syariat, ilmu pengetahuan, sejarah dan lain sebagainya. Sampai Allah mengambil kembali bumi dan yang ada di dalamnya, tidak akan terdapat sedikitpun penyelewengan dan perobahan terhadapnya, sebagai bukti akan kebenaran firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9).

Dunia secara keseluruhan belum pernah memperoleh sebuah kitab seperti Al Quran yang mulia ini, yang mencakup segala kebaikan, dan memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus, serta mencakup semua hal yang akan membahagiakan manusia. Allah berfirman: “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Al-Israa,: 9).

Alquran ini diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan, menuju cahaya. Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim: 1).

Dengan Alquran, Allah telah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai. Bila dibaca dengan benar, dipahami setiap surat dan ayat-ayatnya, dipahami secara mendalam setiap kalimat dan kata-katanya, tidak keluar dari batas-batasnya, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya, menjauhi larangan-larangan, berakhlak dengan apa yang disyariatkan, dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai terhadap dirinya, keluarga dan masyarakatnya, maka akan menjadikan umat Islam merasa aman, tenteram dan bahagia di dunia dan akhirat. Allah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya”. (Al-Baqarah: 121).

Ibnu Abbas berkata: “Mereka mengikutinya dengan sebenarnya, menghalalkan yang telah dihalalkan dan mengharamkan yang telah diharamkan serta tidak menyelewengkannya dari yang semestinya”. Dan Qatadah berkata: “Mereka itu adalah sahabat-sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Beriman kepada kitab Allah, lalu membenarkannya, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melaksanakan apa yang ada di dalamnya”.

Makhluk jin sangat terkesan sekali tatkala mendengarkan bacaan Alquran; hati mereka dipenuhi dengan kecintaan dan penghargaan terhadapnya, dan mereka bersegera mengajak kaumnya untuk mengikutinya, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: lalu mereka berkata:
إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا . وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak”.(Jin: 1-3).

Allah telah bercerita tentang mereka dalam Al Quran:
قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ . يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Mereka berkata: Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih”.(Al-Ahqaf: 30-31).

Oleh karenanya, kitab yang mulia ini mengungguli kitab-kitab samawi sebelumnya. Dan kedudukannya pun di atas kitab-kitab itu. Allah berfirman:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Alquran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah”.(Az-Zukhruf: 4).

Dan firman Allah dalam ayat yang lain:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. (Al-Ma,idah: 48)

Para ulama tafsir berkata: “Al Quran lebih unggul dari kitab-kitab samawi lainnya sekalipun semuanya turun dari Allah, dengan beberapa hal, diantaranya: jumlah suratnya lebih banyak dari yang ada pada semua kitab-kitab yang lain. Telah disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam diberi kekhususan dengan surat Al-Faatihah dan penutup surat Al-Baqarah. Di dalam Musnad Ad Darimi disebutkan, dari Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Sesungguhnya Assab’uthiwal (Tujuh surat panjang dalam Alquran; Al-Baqarah, Ali ,Imran, An-Nisaa`, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al-Maa-idah dan Yunus) sama seperti taurat, Al-Mi`in (Surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih, seperti Hud, Yusuf, Mu,min dan lain sebagainya) sama seperti Zabur dan Al-Matsani (Surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Seperti, Al-Anfaal, Al-Hijr dan lain sebagainya) sama dengan kitab Zabur. Dan sisanya merupakan tambahan”. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, dari Wasilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah diturunkan kepadaku Assab’uthiwal sebagai ganti yang ada pada Taurat. Diturunkan kepadaku Al Mi`in sebagai ganti yang ada pada Zabur. Diturunkan kepadaku Al Matsani sebagai ganti yang ada pada Injil, dan aku diberi tambahan dengan Al Mufashshal (surat-surat pendek).”

Assab’uthiwal, adalah dari awal surat Al-Baqarah hingga akhir surat Al-A’raaf, yang berjumlah enam surat. Para ulama berselisih pendapat tentang surat yang ke tujuh; Apakah surat Al-Anfaal dan Al-Bara`ah sekaligus karena antara keduanya tidak dipisah dengan bismillah, maka dianggap satu surat, atau surat Yunus? “Al-Mi`un” yaitu surat-surat yang ayatnya sekitar atau lebih dari seratus. “Matsani” yaitu; surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah seratus. Dinamakan demikian karena ayat-ayatnya berulang-ulang melebihi yang ada pada surat-surat yang terhimpun dalam sab’uthiwal dan mi`un. Sedangkan yang dimaksud dengan “Al-mufashal”, adalah surat-surat yang lebih pendek dari surat-surat dalam Al-Matsani. Para ulama berselisih pendapat tentang awal dari surat-surat itu; Ada yang berpendapat bahwa Al-Mufashal bermula dari awal surat Ash-Shaffaat, pendapat lain mengatakan, diawali dari surat Al-Fat-h, dan yang lainnya berpendapat, dari surat Al-Hujuraat, dan ada juga yang berpendapat, dari surat Qaaf. Pendapat ini dibenarkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Ada pula pendapat selain yang disebut di atas. Namun demikian para ulama sepakat bahwa akhir dari Mufashal adalah surat terakhir dalam Alquran.

Diantara keunggulan Al Quran juga, bahwa Allah menjadikan gaya bahasanya mengandung mukjizat, sekalipun kitab-kitab lain juga mengandung mukjizat dari segi pemberitaan tentang yang gaib dan hukum-hukum, namun gaya bahasanya biasa-biasa saja, maka dari segi ini Al Quran lebih unggul. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Alquran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah”. (Az-Zukhruf:4)

Dan firman Allah:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia”.(Ali ,Imran:110).

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhailul Quran (keutamaan-keutamaan Al Quran) halaman:102-123, mengatakan: “Hal ini mereka raih berkat Al Quran yang agung, yang mana Allah telah memuliakannya dari semua kitab yang pernah diturunkan-Nya, dan Dia jadikan sebagai batu ujian, penghapus dan penutup bagi kitab-kitab sebelumnya, karena semua kitab terdahulu diturunkan ke bumi dengan sekaligus, sedangkan Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi, demi untuk menjaganya dan menghargai orang yang diberi wahyu. Setiap kali ayat Alquran turun, seperti keadaan turunnya kitab-kitab sebelumnya”.

Kitab yang mulia ini telah mengungkap banyak sekali kebenaran ilmiah kosmos, dalam ayat-ayat yang membuktikan wujud Allah, kekuasaan dan keesaan-Nya. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”? (Al-Anbiyaa,:30).

Al Quran juga menganjurkan agar memanfaatkan apa yang dapat ditangkap oleh indra mata dalam kehidupan sehari-sehari dari ciptaan Allah, sebagaimana difirmankan:
قُلِ انظُرُواْ مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”.(Yunus:101).

Dan Allah berfirman:
اللَّهُ الَّذِي سخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya”. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (Al-Jaatsiah:13).

Kaum muslimin hendaknya mempelajari ilmu-ilmu alam, serta menikmati manfaat dari kekuatan-kekuatan yang tersimpan di langit dan bumi.

Sesungguhnya pembicaraan tentang Al Quran tidak akan ada habis-habisnya. Al Quranlah yang menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap adil dan bermusyawarah, dan menanamkan kepada mereka kebencian terhadap kezaliman dan tindakan semena-mena. Syiar para pemeluknya adalah kekuatan iman, tidak sombong, solidaritas dan bersikap kasih sayang antara sesama mereka.

Hendaknya kita hidup dengan Alquran, membaca, memahami, mengamalkan dan menghafal. Hidup dengan Alquran adalah perbuatan yang paling terpuji, yang patut dilakukan oleh orang mukmin. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ . لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mengerjakan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.(Faathir:29-30).

Dalam dua ayat tersebut di atas, Allah menganjurkan bagi orang-orang yang membaca Alquran agar disertai dengan perenungan, sehingga akan menimbulkan pengetahuan yang pada gilirannya akan menimbulkan pengaruh. Tidak diragukan lagi bahwa pengaruh membaca Alquran adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan.

Oleh karena itu Allah iringi amalan membaca Al Quran dengan mendirikan salat, menafkahkan sebagian rezki yang dikarunia Allah secara diam-diam dan terang-terangan, kemudian dengan demikian orang-orang yang membaca Al Quran itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan merugi. Mereka mengetahui bahwa karunia Allah lebih baik dari apa yang mereka infakkan. Oleh karena mereka mengadakan perniagaan di mana Allah menambahkan karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih, mengampuni kelalaian, dan berterima kasih atas pelaksanaan tugas.

Oleh karena itu kita harus selalu membaca Alquran dengan perenungan dan kesadaran, sehingga dapat memahami Alquran secara mendalam. Bila seorang pembaca Alquran menemukan kalimat yang belum dipahami, hendaknya bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan. Allah berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.(An-Nahl:43).

Mempelajari Alquran sangat diperlukan. Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat, dan mereka akan disebut-sebut Allah dihadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat), dan barang siapa amalnya kurang, tidak dapat ditambah oleh nasabnya. (Diriwayatkan oleh Muslim, 2699).

Sabda Rasul dalam hadis ini, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah”, “Rumah” di sini bukanlah batas, terbukti dengan sebuah hadis riwayat Muslim yang lain yang mengatakan: “Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah, melainkan akan diliputi oleh para malaikat….” Jika berkumpul di tempat lain, selain rumah Allah (masjid) maka bagi mereka keutamaan yang sama dengan mereka yang berkumpul di masjid. Pembatasan “di rumah Allah” dalam hadis di atas, hanyalah karena seringnya tempat itu dijadikan tempat berkumpul, akan tetapi tidak ada keharusan; Berkumpul untuk membaca dan mempelajari ayat-ayat Alquran dan kandungan hukumnya, di mana pun tempatnya akan mendapatkan keutamaan yang sama. Adapun jika berkumpul untuk belajar di masjid lebih utama, hal itu dikarenakan masjid mempunyai keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh tempat yang lain.

Diriwayatkan oleh ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran, maka ia akan memperoleh kebaikan. Kebaikan itu berlipat sepuluh kali. Aku tidak mengatakan, Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi, Alif adalah huruf, Lam huruf, dan Mim huruf. (H. R. Tirmizi. Nomor:3075).

Dari Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ia bersabda; “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”.(Bukhari). Nomor:4739). Hadis ini menunjukkan akan keutamaan membaca Alquran.

Suatu ketika Sufyan Tsauri ditanya, manakah yang engkau cintai orang yang berperang atau yang membaca Alquran? Ia berkata, membaca Alquran, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”. Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Alquran selama empat puluh tahun di masjid agung Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: “Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini”.

Al hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam; “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkan kepada orang lain” adalah, bahwa ini sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada orang lain. Allah berfirman:
الَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ اللّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يُفْسِدُونَ
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan”.(An-Nahl:88).

Sebagaimana firman Allah:
وَهُمْ يَنْهَوْنَ عَنْهُ وَيَنْأَوْنَ عَنْهُ
“Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Alquran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya” (Al-An’aam:26).

Penafsiran yang paling benar dalam ayat ini, dari dua penafsiran ahli tafsir adalah bahwa, mereka melarang orang-orang untuk mengikuti Alquran, sementara mereka sendiri pun menjauhkan diri darinya. Mereka menggabungkan antara kebohongan dan berpaling, sebagaimana firman Allah:
أَوْ تَقُولُواْ لَوْ أَنَّا أُنزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَى مِنْهُمْ فَقَدْ جَاءكُم بَيِّنَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَّبَ بِآيَاتِ اللّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يَصْدِفُونَ
Atau agar kamu (tidak) mengatakan: “Sesungguhnya jika kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka.” Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (Al-An’aam:157).

Beginilah perihal orang-orang kafir yang jahat, sedangkan orang-orang mukmin yang baik dan pilihan selalu menyempurnakan dirinya dan berusaha menyempurnakan orang lain, sebagaimana tersebut dalam hadis di atas. Allah berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”.(Fushilat:33)

Ayat ini menggabungkan antara seruan kepada Allah, baik dengan azan atau yang lainnya, seperti mengajarkan Alquran, hadis, fikih dan lainnya yang mengacu kepada keridaan Allah, dan dengan perbuatan saleh, dan juga berkata dengan ucapan yang baik].

Rahmat Allah akan dilimpahkan kepada orang-orang yang membaca Alquran dan mereka yang menegakkan hukumnya, juga mencakup orang-orang yang mendengarkan bacaannya. Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mengerjakan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.(Al-Anfaal:2-4)

Dari Abdullah Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: ” Bacakan Alquran kepadaku”. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Aku harus membacakan Alquran kepada Anda, sedangkan kepada Andalah Alquran itu diturunkan?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku senang bila mendengarkan dari orang selainku.” Aku lalu bacakan surat An Nisaa`. Ketika sampai pada firman yang berbunyi:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَـؤُلاء شَهِيدًا
(Maka bagaimanakah “halnya orang kafir nanti”, jika Kami mendatangkan seorang saksi “rasul” dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu “Muhammad” sebagai saksi atas mereka itu “umatmu”).

Beliau berkata: “Cukup”, lalu aku menoleh kepada beliau, tiba-tiba aku lihat beliau mencucurkan air mata. (H.R. Bukhari  nomor:4582, Muslim nomor:800 dan Abu Daud Nomor:3668).

Imam Nawawi berkomentar: [Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari hadis ini, di antaranya: sunat hukumnya mendengarkan bacaan Alquran, merenungi, dan menangis ketika mendengarnya, dan sunat hukumnya seseorang meminta kepada orang lain untuk membaca Al Quran agar dia mendengarkannya, dan cara ini lebih mantap untuk memahami dan mentadabburi Al Quran, dibandingkan dengan membaca sendiri].

Setiap orang muslim hendaknya tahu akan hak-hak Alquran; menjaga kesuciannya, komitmen terhadap batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama saat mendengarkan bacaannya, dan meneladani para salaf (pendahulu) saleh dalam membaca dan mendengarkannya. Sungguh mereka itu bagaikan matahari yang menerangi dan dapat diteladani dalam kekhusyukan yang sempurna dan meresapi, mengimani firman Allah:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ . بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.(Asy-Syu’ara:192-195).

Memang benar adanya, bahwa Alquran, baik lafal maupun makna adalah firman Allah, yang merupakan sistem dari langit untuk seluruh makhluk, khususnya manusia. Selain itu ia merupakan rujukan utama perkara-perkara agama dan sandaran hukum. Hukum-hukum yang ada di dalamnya tidaklah diturunkan sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur selama masa kerasulan; ada yang turun untuk menguatkan dan memperkokoh pendirian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ada yang turun mendidik umat yang baru saja tumbuh dan ada pula yang diturunkan oleh karena peristiwa keseharian yang dialami oleh umat Islam di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Setiap kali ada peristiwa, turunlah ayat Alquran yang sesuai dan menjelaskan hukum Allah atas peristiwa itu. Di antaranya adalah kasus-kasus dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat Islam, pada masa pensyariatan hukum, di mana umat Islam ingin mengetahui hukumnya, maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum Allah, seperti larangan minuman keras.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan mendapati orang-orang meminum minuman keras, dan makan dari hasil berjudi. Lalu mereka bertanya kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu, maka Allah menurunkan ayat:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(Al-Baqarah:219)

Lalu orang-orang berkata: “Tidak diharamkan, hanya saja pada keduanya dosa yang besar”. Selanjutnya mereka masih juga banyak yang minum khamar (minuman keras), sampai pada suatu hari, seorang dari Kaum Muhajirin mengimami sahabat-sahabatnya pada shalat Magrib. Bacaannya campur aduk antara satu dengan yang lain, sehingga Allah menurunkan ayat Alquran yang lebih keras dari ayat sebelumnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ ا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.(An-Nisaa,:43).

Akan tetapi, Orang-orang masih juga banyak yang meminum minuman keras, hingga salah seorang melakukan salat dalam keadaan mabuk. Lalu turunlah ayat Alquran yang lebih keras lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Al-Maa-idah:90)

Mereka berkata: “Kami tidak akan melakukannya lagi wahai Tuhan!” Lalu orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah banyak orang yang terbunuh di jalan Allah, atau mati di atas kasurnya, padahal mereka telah meminum khamar dan makan dari hasil perjudian, sedangkan Allah telah menjadikan keduanya, najis yang merupakan perbuatan setan”. Maka turunlah ayat:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُواْ إِذَا مَا اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّأَحْسَنُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebaikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.(Al-Maa-idah:93)

Nabi bersabda: “Jika diharamkan atas mereka sebelumnya, niscaya mereka akan meninggalkannya sebagaimana halnya kalian meninggalkan.(Musnad Ahmad 2/251 dan 252).

Dalam sahih Bukhari, hadis nomor:4620, disebutkan, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Dulu aku pernah jadi penyuguh minuman (khamar) di rumah Abu Thalhah, dan turunlah ayat pengharaman minuman keras. Lalu diutuslah seseorang untuk menyerukan larangan ini. Abu Thalhah berkata, “Keluarlah dan lihat suara apakah itu”. Lalu aku keluar, dan aku berkata: “Sungguh minuman keras telah diharamkan”. Ia berkata kepadaku: “Pergi, dan tumpahkanlah”. Anas berkata: “Aku pun keluar dan menuangkannya. Saat itu khamar mengalir di jalan-jalan Madinah.” Anas berkata: “Jenis khamar pada saat itu adalah yang terbuat dari kurma.” Sebagian orang berkata: “Telah banyak yang terbunuh, sedangkan minuman itu ada di dalam perut mereka”. Ia berkata, lalu turunlah ayat: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu”.

Dari yang disebutkan di atas, kita mengetahui bahwa larangan meminum khamar (minuman keras) terjadi dalam tiga tahap, yaitu ketika turun surat Al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Ayat ini mengandung larangan meminum minuman keras dengan cara yang halus. Maka yang meninggalkannya ketika itu hanya sekelompok orang yang tingkat ketakwaan mereka sangat tinggi. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang hukum meminum minuman keras. Lalu turunlah ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Lalu umat Islam menghindari untuk meminumnya pada waktu-waktu mendekati shalat. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang minuman keras. Maka turunlah surat Al-Maa-idah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan, Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Saat itulah ketika diserukan dan dibacakan ayat ini, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami berhenti (dari melakukannya)”. Demikianlah proses pensyariatan yang bertahap, di mana Allah menyucikan umat Islam dari adat istiadat yang bertentangan dengan sistem Islam, dan melengkapi mereka dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: pemaaf, penyabar, kasih sayang, jujur, menghormati tetangga, berlaku adil dan perbuatan baik yang lain.

Hanya Allah semata yang menetapkan syariat untuk para hambanya. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (Al-An,am:57).

Syariat itu ditetapkan tiada lain kecuali hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik hikmah yang terkandung di dalamnya tampak atau pun tidak. Alquran adalah sumber pertama syariat.

Adapun sumber kedua adalah sunah, dan tidak ada perselisihan antara para ulama bahwa sunah merupakan hujah dalam syariat di samping Alquran. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(An-Nisaa,:59).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.(An-Nahl:44).

Dan firman Allah:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(Al-Hasyr:7)

Imam Ibnu Qayimil Jauziah dalam bukunya “A’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabil Alamin”, halaman, 263, menjelaskan tentang peran sunah terhadap Alquran, ia berkata: “Peran sunah terhadap Alquran ada tiga: Pertama: Mempunyai maksud sama dengan Alquran dilihat dari semua segi. Sehingga masing-masing ayat Alquran dan hadis Nabi yang sama-sama menunjukkan kepada hukum yang sama termasuk dalam kategori suatu yang hukum mempunyai lebih dari satu dalil. Kedua: Menjelaskan maksud dari Alquran dan penafsirannya. Ketiga: Menetapkan suatu hukum, wajib atau haram, yang tidak ada terdapat dalam Al Quran. Peran itu tidak keluar dari tiga hal ini dan tidak ada pertentangan sama sekali antara Alquran dan sunah.

Oleh karenanya, sunah menegaskan suatu hukum dari Alquran, kadang kala ia menafsirkan teks Alquran atau menguraikan hukum yang dijelaskan secara ringkas dalam Alquran, bahkan juga menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Alquran. Namun demikian sunah tidak menetapkan sebuah hukum, kecuali bila di dalam Alquran tidak diketemukan hukum yang dimaksud. Sunahlah yang menjelaskan kepada kita -umat Islam- bahwa salat yang diwajibkan adalah lima kali sehari semalam, darinya juga diketahui jumlah rakaat dalam salat dan rukun-rukunnya, menjelaskan hakikat zakat, dan ke mana disalurkan serta berapa nisabnya. Dan sunah juga yang menjelaskan kepada kita cara-cara haji dan umrah, dan bahwa ibadah haji hanya wajib sekali dalam seumur hidup, dan ia pula yang menerangkan tentang miqat-miqat haji, zamani dan makani (waktu dan tempat) dan jumlah putaran tawaf.

Maka bagi mereka yang hanya berpegang terhadap Alquran dengan meninggalkan sunah, hendaknya segera memperbaharui keimanannya dan segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.(Thaha:82).

Alquran dan Sunah, kedua-duanya merupakan wahyu Allah kepada Rasul-Nya, dan dua sumber syariat Islam yang mengembalikan manusia pada fitrahnya, dan menjadikan manusia mengetahui jalan hidupnya. Allah berfirman:
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk”.(Al-A’raaf:43).

________________________________________________________________________

sumber: http://www.qurancomplex.org/infoquran.asp?l=ind&SecOrder=1&SubSecOrder=2

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Kedudukan Wanita Dalam Islam

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Propaganda-propaganda penghancuran kian menyeruak di tengah kehidupan kaum muslimin. Tidak pernah terbayang jika mereka tengah diintai oleh lawan yang kuat dan tangguh, tiba-tiba terdengar satu kaum atau daerah atau beberapa orang telah menanggalkan baju kemuliaannya dan berpindah agama. Sesungguhnya banyak cara dan jalan bagi Iblis untuk menjerat dan menyesatkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menggiring mereka menuju neraka Sa’ir.

Banyak pengikut yang siap dikomando olehnya dalam upaya penghancuran ini, dan terlalu banyak dalang yang siap menjalankan kemauan Iblis la’natullah ‘alaih. Banyak pemikir yang siap merancang jalan-jalan penyesatan. Banyak tokoh agama yang siap membelokkan jalan yang lurus. Dan banyak da’i yang siap menjadi penyeru kepada jalan Iblis. Terpeliharalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan binasalah orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Banyaknya jalan Iblis untuk menjerat lawannya dan banyaknya pendukung dalam melaksanakan niatnya, mengharuskan kita agar selalu siap menghadapinya dengan persenjataan yang lengkap dan bekal yang cukup. Tidak ada senjata yang paling ampuh untuk menghadapi kekuatan Iblis dan segala manuvernya selain ilmu agama. Dan tidak ada perbekalan yang lengkap dalam perjalanan jihad melawannya melainkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan bagi kalian furqan (pembeda).” (Al-Anfal: 29)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan menjadikan dia faqih dalam agama.”

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”

Wanita dalam Islam

Kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Allah Maha Adil dalam menentukan syariat-Nya, dan Maha Bijaksana dalam meletakkan hukum-hukum-Nya untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka dengan berbagai bentuk dan cara. Di antaranya:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka, agar terjaga kehormatan mereka. Sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian.”

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebankan mereka untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka, sebagaimana di dalam surat An-Nisa` ayat 5:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Dan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang muttafaqun ‘alaih:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian.”

Dan hadits dalam riwayat Abu Dawud (no. 1695):

كَفَى بِالـْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukup sebagai dosa, seseorang yang menyia-nyiakan tanggungannya.”

3. Kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuh mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

4. Kaum wanita tidak boleh bepergian dalam sebuah safar melainkan harus disertai mahram, melihat kondisi seorang wanita yang lemah serta membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan. Sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu (no. 1086-1087) dan Muslim rahimahullahu (no. 1338-1339) dari hadits Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhum.

5. Kaum wanita dilarang ber-tabarruj (bersolek) seperti wanita jahiliah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى

“Dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.”

6. Urusan talak perceraian tidak diserahkan kepada wanita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”

Juga dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Perceraian di tangan kaum lelaki dan tidak di tangan selainnya.” (Zadul Ma’ad, 5/278)

7. Tidak diwajibkan bagi wanita untuk ikut memikul amanat jihad fi sabilillah, sebagaimana telah dibebankan kepada kaum lelaki. (lihat kitab Kasyful Wa’tsa` Bizajril Khubatsa` Ad-Da’in ila Musawatin Nisa` bir Rijal wa Ilgha` Fawariqil Untsa karya Asy-Syaikh Abu Abdurrahman Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri)

Beberapa bentuk perlakuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum wanita di atas, jika dipelajari dan ditinjau dengan akal yang sehat dan fitrah yang bersih, akan diketahui bahwa itu semua merupakan cara untuk menjaga eksistensi wanita. Dan semuanya adalah perlakuan yang bijak dan adil, sesuai dengan kodrat mereka. Namun berapa dari wanita yang memahami diri dan kemuliaannya?

Wanita dalam Pandangan Jahiliah

Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya. Dalam keadaan seperti ini, bagaimanakah wanita diperlakukan di masa tersebut? Bagaimana status sosialnya menurut mereka?

Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan. Karena adat yang terjadi di antara mereka adalah prinsip “Tidak bisa mewarisi kecuali orang yang menghunus pedang dan yang melindungi gadis.” Dia tidak memiliki hak memprotes atau ikut bermusyawarah dalam urusan suaminya. Segala urusannya diserahkan kepada walinya. Dan adat bangsa jahiliah yang paling buruk adalah mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Perbuatan ini menunjukkan puncak kekejaman, kebengisan, dan kebiadaban sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya nan suci:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)

Tujuan bangsa Arab dalam penguburan itu beragam. Di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan karena mengkhawatirkan kehormatan mereka dan khawatir mendapat celaan. Karena mereka adalah orang-orang yang senang melakukan penyerangan dan peperangan. Hal ini bisa menjadikan anak-anak perempuan mereka menjadi tawanan musuh, menurut mereka. Ini merupakan puncak kerendahan dan kehinaan. Dan kabilah bangsa Arab yang pertama kali melakukan penguburan terhadap anak-anak perempuan mereka adalah kabilah Rabi’ah.

Di antara mereka ada yang mengubur anak perempuan hidup-hidup disebabkan keadaan hidup yang sangat melilit, sulitnya mata pencaharian, dan fakir. Kemiskinan itulah mendorong mereka melakukannya. Telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra`: 31)

 

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka’.” (Al-An’am: 151)

Adapula di antara mereka yang membunuh anak mereka karena kecemburuan dan khawatir mendatangkan aib. Karena mereka bisa mendatangkan penyakit, seperti hitam atau gemuk dan sebagainya. Sungguh mereka telah melakukan perbuatan biadab yang membuat hati luka tersayat dan air mata berlinang.

Fenomena kedzaliman ini telah menjadi aturan masyarakat dan diterapkan pada diri perempuan yang tidak berdosa. Islam datang mengharamkan perbuatan biadab tersebut dan memberi hukuman yang setimpal bagi orang yang melakukannya.

Wanita dalam Pandangan Orang Kafir

1. Wanita dalam pandangan bangsa Yunani

Yunani digolongkan sebagai bangsa pendahulu yang paling tinggi dan paling banyak peradabannya. Keadaan kaum wanita pada masa mereka berada dalam tingkat kemunduran dalam segala segi kehidupan, sehingga mereka tidak memiliki kedudukan sedikitpun di masyarakat. Bahkan muncul suatu keyakinan bahwa sesungguhnya kaum wanita adalah penyebab penderitaan dan musibah bagi seseorang. Sehingga tidak heran jika mereka menempati posisi yang paling rendah. Karena kedudukan mereka yang rendah itulah, kaum lelaki tidak duduk bersama mereka dalam satu meja makan.

Pada generasi berikutnya terjadi perubahan akibat arus syahwat, perangai kebinatangan dan hawa nafsu, yang menarik mereka untuk memberikan kebebasan kepada kaum wanita dalam urusan yang hanya terbatas pada seks. Sehingga para wanita tak ubahnya seperti pelacur-pelacur. Akibatnya, kaum wanita sebagai pelacur menempati posisi yang tinggi. Mereka menjadi pusat yang dikelilingi oleh segala aktivitas masyarakat Yunani. Bahkan mereka membuat hikayat-hikayat untuk para pelacur.

2. Wanita dalam pandangan bangsa Romawi

Mereka adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan ketinggian setelah bangsa Yunani. Kita melihat aturan-aturan bangsa ini condong kepada kedzaliman, kejahatan dan penyiksaan kepada kaum wanita. Di antara ucapan mereka yang berkaitan dengan wanita: “Sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya belum lepas.” Yakni, di dalam masyarakat mereka, seorang suami memiliki hak yang penuh terhadap istrinya, sebagaimana hak raja atas rakyatnya. Sehingga dia mengatur istrinya sesuai dengan hawa nafsunya. Kaum lelaki memandang kaum wanita hanya sebagai pelampiasan nafsu birahi, tidak lebih dari itu. Mereka hidup di atas persaingan untuk meraih wanita telanjang. Mereka juga mempermudah urusan perceraian karena sebab yang sangat sepele. Banyaknya perceraian itu mengakibatkan para wanita menganggap kebaikan hidup mereka berdasarkan jumlah suami, tanpa memiliki rasa bersalah dan malu. Yang lebih aneh dari itu semua, apa yang telah disebutkan oleh Al-Qudai Jaarum (340-420 M) tentang seorang wanita yang telah menikah terakhir kali pada hitungan yang ke-23, sementara dia merupakan istri yang ke-21 bagi suaminya yang baru.

Akibat semua itu, negara Romawi hancur dengan kehancuran yang keji sebagaimana hancurnya bangsa Yunani sebelumnya. Semua itu karena mereka tenggelam dalam syahwat kebinatangan, yang hal itu tidak pantas terjadi pada hewan apalagi pada manusia.

3. Wanita di negeri Persia

Sebuah negeri yang telah menguasai hukum di sebagian besar negara, yang menentukan kekuasaan, membuat undang-undang dan aturan-aturan. Kita melihat bahwa undang-undang tersebut merendahkan serta mendzalimi kaum wanita. Mereka menentukan hukuman yang amat sangat berat bagi kaum wanita hanya dengan kesalahan yang ringan. Pada saat yang sama, kaum lelaki memiliki kebebasan yang mutlak dan hukuman tidak ditimpakan kecuali kepada kaum wanita. Sehingga, kalau seorang wanita terjatuh dalam kesalahan yang berulang-ulang maka dia harus membunuh dirinya sendiri. Saat itu juga terdapat aturan bahwa kaum wanita dilarang untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki di luar kalangan Zaradashty (penyembah matahari). Sementara laki-laki memiliki kebebasan mengatur sesuai dengan nafsunya. Kebiasaan lain adalah bila wanita dalam keadaan haid, maka dia dipindahkan dari kota ke tempat yang jauh di luar kota. Tidak ada seorangpun yang boleh mendekatinya kecuali para pelayan yang menyuguhkan makanan untuknya.

4. Wanita di negeri Cina

Secara umum masyarakat Cina berada dalam kehidupan yang kacau dan biadab. Mereka bebas berhubungan seks tanpa memiliki rasa malu. Sehingga anak-anak hanya mengenal ibu mereka dan tidak mengenal bapak mereka. Dalam masyarakat ini, wanita tidak memiliki hak kecuali menerima perintah dan melaksanakannya. Tidak boleh memprotes. Masyarakat Cina dahulu memiliki adat yang mengakar. Di mana seorang ayah harus berjalan di atas adat yang sudah umum, yaitu wanita tidak berhak memperoleh warisan dan tidak boleh menuntut harta bapaknya sedikitpun. Mereka juga menyamakan kaum wanita itu dengan air mengalir yang membersihkan kotoran, yakni dianggap sebagai kesenangan dan harta warisan.

5. Wanita di India

Keadaan kaum wanita di negeri India tidaklah lebih baik dibanding keadaan mereka di negeri Yunani dan Romawi. Wanita dalam pandangan mereka adalah sebagai budak, sedangkan kaum lelaki sebagai tuan. Karena, dalam pandangan mereka, seorang gadis menjadi budak terhadap bapaknya, seorang istri menjadi budak bagi suaminya, seorang janda menjadi budak terhadap anak-anaknya. Keumuman bangsa Hindu berkeyakinan bahwa kaum wanita merupakan unsur dosa dan penyebab kemunduran perangai serta jiwa. Bila sang suami meninggal maka dia tidak memiliki hak hidup, sehingga ia harus mati pada hari ketika suaminya mati, dengan cara dibakar di atas satu tungku.

6. Wanita dalam pandangan Yahudi

Menurut bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk yang hina dan rendah sebagaimana barang jualan jelek yang di jual di pasar-pasar. Hak-haknya dirampas, dan mereka diharamkan dari hak waris jika warisan tersebut berupa harta. Adapun ayah, jika meninggalkan hutang berupa barang kebutuhan rumah, maka hutang tersebut dibebankan kepada kaum wanita. Namun jika meninggalkan harta, maka sedikitpun wanita tersebut tidak mendapatkan bagian. Bila menikah, wanita tidak diberi mahar meskipun harta calon suaminya berlimpah.

Dan jika harta warisan tersebut kembali ke anak perempuan karena tidak memiliki saudara laki-laki, maka ia tidak boleh menikah dengan keturunan yang lain. Ia juga tidak berhak mengalihkan warisannya kepada keturunan selainnya. Mereka memandang bahwa kaum wanita bagi kaum lelaki merupakan salah satu pintu Jahannam. Di mana wanita merupakan sebab yang akan menjerumuskan ke dalam dosa. Di antara anggapan mereka, wanita adalah sumber segala musibah yang menimpa manusia. Dan mereka meyakini bahwa kaum wanita merupakan laknat, karena dialah penyebab menyelewengnya Nabi Adam ‘alaihissalam.

Jika mereka tengah datang bulan alias haid, konsekuensinya adalah tidak diajak makan, duduk, serta tidak boleh menyentuh bejana, agar bejana tersebut tidak menjadi najis. Dia diasingkan di sebuah kemah, lalu roti dan air ditaruh di depannya. Dan dia tetap berada di kemahnya sampai dia suci.

7. Wanita dalam pandangan Nasrani

Agama Nasrani datang ke Eropa berupaya untuk mengatasi kekacauan yang telah meluas di masyarakat Barat ketika itu, yaitu kekacauan etika dan kemungkaran yang membuat kita miris. Padahal hewan yang lebih rendah saja jauh dari hal itu. Mereka menetapkan teori-teori yang diyakini sebagai obat penyembuh terhadap segala marabahaya. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Di antara teori-teori mereka adalah menganggap wanita sebagai sumber kemaksiatan, asal kejelekan dan kejahatan. Wanita bagi kaum lelaki adalah salah satu pintu Jahannam. Oleh karena itu, wanita menjadi sumber gerakan dalam berbuat dosa. (Lihat secara ringkas kitab Nisa` Haular Rasul karya Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi)

Emansipasi, Adakah di dalam Islam?

Jika seruan emansipasi bermotif:

1. Memperjuangkan hak-hak kaum wanita sehingga sama dalam kehidupan dengan hak-hak kaum lelaki,

2. Mengangkat kedudukan kaum wanita agar setara dengan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan,

3. Memerdekakan kaum wanita dari belenggu keterbelakangan sehingga sama dengan kaum lelaki dalam kemajuan,

Tentunya prinsip emansipasi yang demikian sangatlah bertentangan dengan keadilan Islam sebagai agama yang telah mengatur kehidupan setiap manusia, sekaligus juga menyelisihi kandungan keindahan wahyu. Di mana wahyu telah memisahkan serta menentukan bagi laki-laki dan wanita adanya hak serta kewajiban yang tidak sama. Begitu juga, wahyu telah menentukan perbedaan-perbedaan dalam banyak perkara, seperti adanya perbedaan dalam hal penciptaan, bersuci, shalat, pelaksanaan jenazah, zakat, puasa dan i’tikaf, haji, aqiqah, jihad, kepemimpinan dan perang, nikah, talak, khulu’, li’an dan ‘iddah, hukum had dan qishash, serta perbedaan dalam masalah hak waris. (Kasyful Wa’tsa` karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri)

Berjalan di atas ketentuan wahyu, sesungguhnya adalah sebuah pengangkatan, perjuangan dan kemerdekaan bagi kaum wanita yang sesuai dengan fitrah penciptaan mereka. Sebaliknya, meninggalkan bimbingan wahyu akan menyebabkan kehancuran dan kebinasaan.

Bahaya Seruan Emansipasi

Propaganda emansipasi wanita adalah sebuah lagu lama yang diembuskan oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Selama kaum muslimin –terutama kaum wanitanya– konsekuen dengan agama dan Sunnah Nabinya, tentunya kehidupan mereka akan baik dan bersih. Dengannya mereka akan mengetahui seluk-beluk musuh. Ini semua membuat benci musuh-musuh Islam khususnya Yahudi dan Nasrani. Maka disebarkanlah paham baru ini, emansipasi wanita, untuk memecah belah umat Islam, memperluas kerusakan di antara mereka, mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah pingitan, serta menghilangkan rasa malu dari mereka. Setelah semuanya itu terjadi, akan mudah bagi Yahudi dan Nasrani untuk menguasai dunia Islam serta menghinakan kaum muslimin.

Pada protokol zionis disebutkan: “Kita wajib berusaha memperluas kerusakan akhlak di setiap penjuru (negara-negara Islam) agar dengan mudah menguasai mereka.”

Glastone, seorang Inggris yang fanatik mengatakan: “Tidak mungkin menguasai negara-negara timur (negara-negara Islam) selama kaum wanitanya tidak menanggalkan hijab dari wajahnya. (Caranya adalah) menutup Al-Qur`an dari mereka, mendatangkan minuman-minuman keras dan narkoba, pelacuran, serta kemungkaran-kemungkaran lain yang melemahkan agama Islam.”

Propaganda emansipasi ini disambut hangat oleh orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyimpangan dan penyelewengan. Orang yang hidupnya tidak lain kecuali melampiaskan hawa nafsu birahi semata. Bahkan dukungan-dukungan materi mengucur deras untuk melariskan propaganda ini. Dukungan terhadap propaganda Yahudi untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin ini dipimpin oleh ‘Persatuan Yahudi Internasional dan Salibisme’ seperti:

1. Markus Fahmi, seorang Nasrani, menerbitkan buku yang berjudul Wanita di Timur tahun 1894 M. Dia menyerukan wajibnya menanggalkan hijab atas kaum wanita, pergaulan bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu dan larangan kawin lebih dari satu orang.

2. Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya untuk mendirikan persatuan istri-istri Mesir. Yang menjadi sasarannya adalah persamaan hak talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab, serta pergaulan bebas.

3. Ahli syair, Jamil Shidqi Az-Zuhawis. Dalam syairnya, dia menyuruh kaum wanita Irak membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan kaum pria. Dia juga menyatakan bahwa hijab itu merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat. (Lihat secara ringkas risalah Al-Huquq Az-Zaujiyah fil Kitab was Sunnah wa Bayanu Da’wati Hurriyyati Al-Mar`ah karya Hasyim bin Hamid bin ‘Ajil Ar-Rifa’i)

Kerusakan propaganda ini sesungguhnya telah diketahui oleh orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang suci. Cukuplah melirik bahaya yang akan timbul melalui propaganda ini sebagai salah satu dari sekian bentuk perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan propaganda ini tidaklah bertujuan melainkan untuk mengikis dan menghancurkan aqidah kaum muslimin.

Emansipasi dan Aqidah

Aqidah mengajarkan agar setiap hamba menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar Islam dan menerima dengan sepenuh hati segala perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa memilah-milahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala–dengan kemahaadilan dan kebijaksanaan-Nya– telah membuat aturan dan jalan di atas ilmu-Nya, yang harus ditaati dan ditempuh. Semuanya itu bertujuan agar mereka selamat di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi khalil-Nya.” (An-Nisa`: 125)

Propaganda emansipasi wanita jelas-jelas menghancurkan prinsip ketundukan terhadap segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pasrah menerima segala keputusan-Nya. Padahal semuanya dibangun di atas ilmu-Nya, keadilan, dan kebijaksanaan-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________________________________________________________

Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Judul Asli: Emansipasi, Propaganda Untuk Meruntuhkan Aqidah

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=616
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tidak Akan Beruntung Suatu Kaum Jika Dipimpin Oleh Seorang Wanita

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, telah berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 19507, 19547, 19556, 19573, 19603, 19612; Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Maghazi bab Kitabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar no. 4425, Kitabul Fitan no. 7099, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan an Rasulillah no. 2188, Al-Imam An-Nasa`i rahimahullahu dalam kitab Adabul Qudhah no. 5293.

Jalur Periwayatan Hadits

Hadits ini diriwayatkan dari jalan Mubarak bin Fadhalah Abu Fadhalah Al-Bashri, ‘Auf bin Abi Jamilah Al-Bashri, Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawil, semuanya meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terdapat riwayat lain yang diriwayatkan dari jalan Ahmad bin Abdul Malik Al-Harani yang meriwayatkan dari Bakr bin Abdul Aziz, dari Abu Bakrah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga dari jalan ‘Uyainah bin Abdurrahman Al-Ghathafani, dari ayahnya, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jalan Periwayatan Hadits

Dalam hadits ini terdapat riwayat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Para ulama ahlul hadits seperti Al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, ‘Ali ibnul Madini rahimahumullah mempermasalahkan periwayatan beliau dari para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum, bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu tidak mendengar (meriwayat)-kan dari para sahabat yang disebutkan tadi.

Qatadah rahimahullahu berkata: “Demi Allah, tidak pernah Al-Hasan Bashri rahimahullahu menyampaikan hadits kepada kami dari para ahli Badr secara langsung.”

Namun riwayat beliau dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu telah ditetapkan sebagai riwayat yang sah atau akurat. Meskipun dalam hadits ini bentuk periwayatan dengan menggunakan kata “dari” yang mengandung kemungkinan (mendengar langsung atau tidak).

Akan tetapi Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits no. 2704 dalam Kitab Ash-Shulhi bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lil Hasan ibn ‘Ali: “Ali bin Abdullah Al-Madini telah berkata kepadaku: bahwa mendengarnya Al-Hasan Al-Bashri dari Abu Bakrah telah pasti bagi kami dalam hadits ini.” (Fathul Bari, 5/375)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata bahwa sanad hadits di atas semuanya adalah orang-orang Bashrah. Dan telah berlalu pada Kitab Ash-Shulhi pendapat yang menyatakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu telah mendengarkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. (Fathul Bari, 13/67)

Sebab Periwayatan Hadits

Hadits ini mempunyai sebab periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mengatakan:

لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan sebab suatu kalimat yang aku dengar dari Nabi pada saat terjadinya fitnah Perang Jamal. Di mana waktu itu hampir-hampir aku akan bergabung dengan Ashabul Jamal (pasukan yang dipimpin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan berperang bersama mereka.” Lalu beliau berkata: “(Yaitu sebuah hadits) ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka. Beliaupun bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)

Adapun pada riwayat lain dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَصَمَنِي اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى. قَالَ: مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟ قَالُوا: ابْنَتَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللهُ بِهِ

“Allah telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggalnya Kisra. Beliau berkata: ‘Siapa yang mereka angkat sebagai Kisra baru?’ Mereka berkata: ‘Putrinya.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” Kemudian Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang ke negeri Bashrah, aku ingat ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah melindungiku dengannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2188, dan beliau mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.”)

Penjelasan Hadits

Abu Bakrah adalah Nufai’ bin Harits Ats-Tsaqafi, meninggal pada tahun 52 H. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata: Musaddad berkata: “Abu Bakrah dan Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma meninggal pada tahun yang sama.”

Kisra adalah Kisra bin Abrawaiz bin Hurmuz, raja Persia. Ia mempunyai anak laki-laki bernama Syairawaih. Syairawaih mempunyai anak perempuan bernama Buran. Adapun sebab diangkatnya Buran sebagai raja adalah ketika terjadi pemberontakan terhadap Kisra yang dipimpin oleh putranya sendiri (Syairawaih) hingga dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya, lalu merebut kekuasaannya.

Ketika ayahnya tahu bahwa anaknya berbuat demikian (menginginkan untuk membunuhnya), iapun melakukan siasat (tipu daya) untuk membunuh anaknya setelah kematiannya nanti, dengan menaruh racun pada sebagian lemari khusus. Dalam lemari tersebut diletakkan racun yang mematikan. Dan dia menulis di atasnya bahwa barangsiapa yang mengambil sesuatu dari lemari ini, ia akan memperoleh demikian dan demikian.

Syairawaih pun membaca tulisan tersebut dan mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Inilah yang menjadi penyebab kematian Syairawaih. Dan ia tidak dapat bertahan hidup lama setelah ayahnya meninggal kecuali enam bulan saja. Ketika Syairawaih meninggal, tidak ada seorang pun saudara laki-lakinya yang menggantikan kedudukan raja, karena ia telah membunuh semua saudara laki-lakinya tersebut atas dasar ketamakan untuk menguasai tahta kerajaan Persia. Sehingga tidak ada seorang laki-laki pun yang menjadi pewaris kerajaan. Mereka juga tidak menginginkan tahta kekuasaan kerajaan jatuh kepada pihak lain, sehingga mereka mengangkat seorang wanita yang bernama Buran, anak Syairawaih, atau cucu Kisra.

كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ

“Hampir-hampir aku bergabung dengan Ashabul Jamal (yaitu Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) dan berperang bersama mereka.”

Awal kejadiannya adalah ketika ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibaiat menjadi khalifah. Keluarlah Thalhah dan Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma menuju Makkah. Keduanya mendapati ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang baru saja menunaikan ibadah haji. Terjadilah kesepahaman di antara mereka untuk bergerak menuju Bashrah dan meminta bantuan manusia untuk menuntut atas kematian ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sampailah berita itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan beliau pun keluar menyambut mereka dan terjadilah Perang Jamal, akibat upaya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dinisbahkan kepada Jamal (yaitu unta yang dijadikan tunggangan Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan beliau berada dalam sekedup (semacam tandu di atas punggung unta) sambil mengajak manusia kepada ishlah (perbaikan).

قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى

“Dia berkata: ‘Ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka’.”

Yang berkata di sini adalah Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Perkataan ini sebagai penjelasan (tafsir) lafadz “kalimat” pada ucapan beliau: “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat.” Di sini terdapat faedah tentang digunakannya istilah kalimat (kata) untuk mengungkapkan kalam (kalimat) yang banyak.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dalam riwayat ini kalimat امْرَأَةً dengan berharakat fathah atau manshub karena berkedudukan sebagai maf’ul (obyek). Pada riwayat Humaid terdapat lafadz:

وَلَى أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ

dengan kalimat امْرَأةٌُ berharakat dhammah atau marfu’ karena berkedudukan sebagai fa’il (subyek).

Dalam riwayat Al-Isma’ili dari jalan An-Nadhr bin Syumail, dari ‘Auf, di akhir riwayat terdapat tambahan: Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dan saya mengetahui bahwa Ashabul Jamal tidak akan berhasil.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Ibnu Baththal menukil dari Al-Muhallab, yang nampak dari hadits adalah bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu terkesan menuduh dan merendahkan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha atas apa yang telah beliau perbuat. Namun tidaklah demikian perkaranya. Karena telah diketahui bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu sependapat dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hal menuntut ishlah di antara manusia dan bukanlah tujuan mereka untuk berperang. Ketika perang berkecamuk, tidaklah orang yang bersamanya menjadi bagian dari perang tersebut. Dan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabut kembali pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, namun beliau berfirasat bahwa mereka tidak akan menang ketika melihat orang-orang bersama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bawah perintahnya. Hal itu berdasarkan apa yang telah beliau dengarkan (yaitu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita”).”

Kemudian Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Dan yang lebih memperjelas perkara ini bahwa tidak seorang pun yang menukilkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya menentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tidak pula mereka menyeru agar salah seorang di antara mereka untuk dipilih menjadi khalifah.

Yang diingkari oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah larangan beliau radhiyallahu ‘anhu membunuh orang-orang yang membunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan meninggalkan qishash. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menunggu keluarga ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berhukum kepadanya dalam perkara tersebut. Dan apabila telah terbukti pada seseorang bahwa dialah pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu barulah ditegakkan qishash terhadapnya. Maka berselisihlah mereka karena sebab itu. Ketika orang-orang yang dinisbahkan perang kepadanya merasa khawatir bahwa mereka (pihak ‘Ali dan ‘Aisyah) akan berdamai, maka mereka pun mengobarkan peperangan, dan terjadilah apa yang terjadi. Ketika pihak ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menang, Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu pun memuji pendapatnya untuk tidak ikut serta perang bersama Ashabul Jamal meskipun pendapat beliau sama dengan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha, yaitu menuntut balas atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu At-Tin rahimahullahu berkata: ‘Sebagian ulama berdalil dengan hadits Abu Bakrah ini tentang tidak bolehnya seorang wanita menjadi pemutus perkara. Dan ini pendapat jumhur ulama. Sebaliknya Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berpendapat boleh bagi seorang wanita memutuskan perkara dalam hal yang persaksiannya diterima. Demikian pula sebagian pengikut Malikiyah membolehkan secara mutlak’.” (Fathul Bari, 13/69, 8/159-160)

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak boleh mengurusi pemerintahan dan putusan pengadilan. Tidak boleh pula baginya menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wali nikah bagi orang lain.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata setelah menyebutkan ayat:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu takutkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.”

Ayat ini menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas wanita, yaitu dia sebagai pemimpin, pembesar dan penguasa serta pendidik bagi mereka, ketika terjadi kebengkokan pada wanita itu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan lebih baik. Karena itulah kenabian dikhususkan kepada kaum laki-laki. Demikian pula kekuasaan yang agung berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)

Demikian pula dalam urusan hakim dan sebagainya. “Mereka dimuliakan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka” yaitu berupa mahar, nafkah, dan beban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atasnya untuk wanita sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Maka pada diri kaum lelaki terdapat keutamaan di atas kaum wanita. mereka memiliki keutamaan atas wanita dan pengutamaan, sehingga sangatlah selaras keberadaan (laki-laki) menjadi pemimpin atas wanita. “Dan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan.”

‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, maknanya adalah sebagai pemimpin-pemimpin atas para wanita, yaitu wanita menaatinya pada perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Dan bentuk ketaatan itu diwujudkan dengan cara seorang istri berbuat baik kepada suami serta menjaga hartanya. Demikian pula pendapat Muqatil, As-Suddi dan Adh-Dhahhak.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan bahwa suaminya telah menamparnya. Rasulullah pun menanggapi dengan mengatakan al-qishash (dibalas). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,” yaitu tanpa adanya qishash. (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/465)

Telah cukup jelas bahwa kepemimpinan dan kekuasaan tidak akan mungkin berakhir dengan keberuntungan jika yang memimpin atau yang berkuasa adalah seorang wanita. Tidak ada ruang bagi wanita untuk iri hati terhadap karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala lebihkan pada kaum laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa`: 32)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, ia berkata: Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki dapat berperang dan kita kaum wanita tidak. Bagi kita separuh bagian dari warisan kaum lelaki.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)

Wallahu a’lam bish-shawab


Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=615
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Rekayasa Penghancuran Kaum Muslimah

Posted on 26 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

“Menjadi ibu rumah tangga atau bergelutnya wanita dalam lingkup domestik merupakan kemunduran” adalah sekelumit citra yang kuat tertanam sebagai buah dari propaganda emansipasi. Dengan ini, para wanita pun terpacu untuk mengejar karir meski hanya untuk meraih simbol status. Padahal tanpa disadari, banyak hal yang mereka pertaruhkan di sini.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Peribahasa ini sangat tepat untuk menggambarkan keadaan kaum wanita di era kiwari. Ini terkait perjuangan emansipasi yang menghendaki kebebasan kaum wanita manggung di ruang publik. Betapa tidak. Kala gerakan emansipasi ini menggerus feodalisme yang mengungkung kaum wanita, dan menyuarakan kebebasan untuk berkarir, pada saat itu kaum wanita terpelanting pada arus budaya kapitalisme. Wanita menjadi komoditas, barang dagangan utama. Wanita dieksploitasi para pemilik modal (kapitalis).[1] Suara kebebasan yag didengungkan hanya mengantarkan kaum wanita menjadi mesin-mesin ekonomi. Harkat, martabat, dan kemuliaan yang dicitakan cuma sebatas angan. Malang nian nasib kaum wanita. Lepas dari mulut buaya, masuk mulut harimau. Emansipasi tak mampu mengangkatnya dari titik nadir keterpurukan.

Masih berkutat di ruang publik. Angin kebebasan bagi kaum wanita berembus pula ke kubangan politik. Wanita berpacu memperebutkan kursi. Entah kursi eksekutif atau legislatif. Kaum wanita pun sudah tak sungkan dan malu lagi untuk turun ke jalan. Mereka demonstrasi mengikuti arus kebebasan. Walau untuk itu, mereka harus menggendong anaknya, berbaur dengan lawan jenis, mendedahkan aurat berteriak di jalanan dan keluar rumah dengan keperluan yang tak dilandasi syar’i.

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu pernah ditanya terkait aktivitas kaum Hawa di luar rumah. Beliau rahimahullahu menuturkan bahwa pokok masalah (hukum asal) pembicaraan tentang wanita ini berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala terkait individu para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)

Lantas beliau rahimahullahu mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu: “Sesungguhnya, hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan keluar (dari rumah). Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah, tidak keluar, kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar rumah.”

Lebih lanjut, beliau rahimahullahu menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala kalian memiliki keperluan.”[2]

Maka, bila seorang wanita keluar dari rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak memakai parfum (wewangian), lantaran ada keperluan, maka yang demikian diperbolehkan. Apabila dia keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap hal-hal yang kami isyaratkan tadi (seperti tidak menutup aurat atau mengenakan wewangian, pen.) atau mengganggu sebagian kewajiban di rumahnya, maka berlakulah ayat Al-Qur`an:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu.”

Tidak boleh bagi seorang wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu. Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang diminta anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya berkenaan dengan arahan dan pendidikan. (Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi Al-’Allamah Al-Albani rahimahullahu, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal. 79)

Demikian Islam membimbing kaum wanita. Namun bagi kalangan pegiat emansipasi, bimbingan semacam ini dianggap sebagai tindak mengekang kebebasan wanita. Mereka, dengan gelap mata, menuduh bahwa kaum wanita cuma diposisikan untuk urusan domestik: kasur, pupur, dapur. Atau istilah lain: macak, masak, manak[3]. Dengan segala latar belakang sejarah dan pemikiran gerakan emansipasi yang bertolak belakang dengan Islam, maka bagi kalangan pegiat emansipasi melihat Islam dari sudut negatif. Karena benak mereka telah dirasuki sejarah dan pemikiran emansipasi tersebut, mereka mendekati Islam dengan dasar curiga. Sehingga, mereka melihat apa yang telah diatur dalam Islam sebagai bentuk penistaan terhadap kaum wanita. Mereka melihat kemajuan dan kemuliaan wanita adalah manakala telah mampu melampaui atau sama dengan yang dicapai kaum pria. Kemajuan dan kemuliaan wanita identik dengan jabatan, gelar, atau status sosial yang dicapai. Hal-hal yang bersifat keakhiratan, keshalihan, ketaatan dan keimanan dianggap sebagai angin lalu.

Dengan corak pemikiran semacam itu, yang tidak bertumpu pada nilai-nilai Islam yang benar, maka keberadaan kaum wanita yang memainkan peran domestiknya dianggap sebagai kemunduran. Tak terbetik dalam diri mereka nilai keutamaan seorang wanita yang sabar dalam menghadapi kesulitan mengurusi rumah tangga. Tak terbetik pula dalam diri mereka, keutamaan seseorang yang tetap mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir kala sulit melilit rumah tangganya.

Dikisahkan dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Fathimah radhiyallahu ‘anha mengeluhkan tangannya akibat penggilingan (yang digerakkan tangannya). Sedangkan pada saat itu terbetik berita bahwa didatangkan tawanan perang (budak) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, bertolaklah Fathimah untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan maksud bisa meminta budak untuk dijadikan pembantu di rumahnya). Namun, ternyata dia tak bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bertemu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Diungkapkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba, Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan tentang hal itu kepada beliau. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka berdua. Saat ditemui, mereka berdua tengah berbaring di tempat tidur. “Tetaplah kalian di tempat,” kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau duduk di antara keduanya (Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma). Kata Ali, “Hingga aku rasakan dinginnya kedua kaki beliau di perutku.” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَا؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا أَنْ تُكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِيْنَ وَتُسَبِّحَاهُ ثَلَاثَةً وَثَلَاثِيْنَ وَتَحْمَدَاهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِيْنَ، فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

“Maukah aku ajari kalian berdua tentang sesuatu yang lebih baik dari (pembantu) yang kalian berdua minta? Apabila kalian berdua telah mendapati tempat pembaringan (menjelang tidur), hendaknya bertakbir (mengagungkan-Nya) 34 kali, bertasbih (menyucikan-Nya) 33 kali, dan bertahmid (memuji-Nya) 33 kali. Maka, itu (semua) lebih baik daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, no. 5361, dan Bab Khadimul Mar`ah, no. 5362; Muslim, Bab At-Tasbih Awwalan Nahar wa ‘indan Naum, no. 2727)

Berkenaan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menjelaskan, bahwa dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan diberikan kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan yang mampu dikerjakan oleh seorang pembantu. Atau (dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) akan mempermudah urusan. Sekiranya terjadi seseorang diberi beragam urusan, dengan (dzikir) itu akan lebih memudahkan dibanding diberi seorang pembantu kepadanya. Yang jelas, kandungan hadits di atas memiliki maksud betapa manfaat tasbih (menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala) dikhususkan terhadap kampung akhirat, sedangkan manfaat adanya pembantu khusus menggapai (apa yang ada) di dunia saja. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal adanya. (Fathul Bari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, penjelasan hadits no. 5361, 9/484)

Begitulah solusi yang dibangun melalui pendekatan keimanan dan keshalihan.

Kisah Fathimah radhiyallahu ‘anha semoga bisa memberi secercah cahaya bagi mata hati nan gulita. Sepenggal kisah tersebut semoga pula bisa meneduhkan kalbu yang galau menatap kilau dunia. Beragam kesulitan yang silih berganti tiada henti, yang menerpa para wanita di kala mengurusi rumah tangganya, ternyata memendam untaian pahala tiada ternilai. Ketika tugas-tugas domestik itu bisa ditunaikan dengan penuh kesabaran, ikhlas semata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka urusan-urusan rumah yang digelutinya menjadi ladang kebaikan. Ia akan senantiasa mereguk pahala kebaikan yang tercurah padanya. Maka, keutamaan mana lagi yang harus dia kejar?

Tentu, bagi kalangan feminis –aktivis perempuan yang getol menyuarakan kebebasan– hal-hal keshalihan, ketaatan, keimanan, dan kesabaran dalam menggarap ladang kebaikan di rumah tak akan menggiurkannya. Jangankan tergiur, untuk menoleh sesaat saja dada terasa menyempit. Sesak terasa. Rumah baginya adalah penjara yang membelenggu kebebasannya untuk berkiprah di luar rumah. Ingatlah, bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 17)

وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ اْلأُولَى

“Dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan (dunia).” (Adh-Dhuha: 4)

Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, maksud ayat ini, bahwa kehidupan akhirat lebih baik bagimu dari (kehidupan) di dunia ini. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 7/395)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan tentang kehidupan dunia. Berdasar hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun, nampak bekas tikar di bagian rusuknya. Lantas kami katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana) seandainya (tempat tidurmu) kami lapisi lembaran yang lebih baik?’ Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Apa urusanku dengan dunia?! Tiadalah aku dalam (menyikapi dunia) kecuali seperti seorang pengelana yang berteduh di bawah pohon, kemudian beristirahat dan meninggalkan pohon tersebut.” (Sunan At-Tirmidzi, no. 2377. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu)

Bila dicermati, semakin laju zaman, keengganan –bahkan penolakan– terhadap peran domestik ini makin menguat. Berpokok pada kejahilan umat terhadap Islam, diperparah dengan gempuran budaya materialistik kapitalistik sehingga membentuk cara berpikir yang pragmatis, simpel, praktis, dengan meninggalkan idealisme beragama. Bahkan kondisi demikian menggejala nyaris di semua lini kehidupan.

Tak terkecuali dengan nilai-nilai Islam. Beberapa kalangan dari kaum muslimin, khususnya mereka yang fokus terhadap emansipasi wanita, mulai bersuara sumbang. Mereka katakan, tafsir terkait masalah wanita dihasilkan dari dominasi penafsir laki-laki sehingga cenderung membela laki-laki. Terlontar pula dari mereka bahwa tafsir terkait masalah wanita dihasilkan pada abad-abad pertengahan yang merupakan abad kemunduran. Ungkapan-ungkapan yang mereka lansir adalah upaya untuk mengecoh umat dari nilai-nilai Islam. Sengaja mereka tebarkan ungkapan sejenis itu guna menjatuhkan kredibilitas para ulama. Jika umat sudah tidak lagi memercayai ulamanya, kepada siapa lagi mereka menyandarkan diri dalam masalah agama? Dari sinilah kita memahami bahwa ada rencana besar di balik ini semua, yaitu menghancurkan kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari semua ini.

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk taqlid buta. Namun, Islam pun mengajarkan kepada umatnya untuk menghormati para ulama. Tidak melecehkan mereka, apalagi menghilangkan kepercayaan terhadapnya. Para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)

Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu dalam Akhlaqul ‘Ulama` (hal. 47), menjelaskan tentang sifat-sifat para ulama atau seorang yang alim. Beberapa pernyataan salafush shalih yang beliau nukil, seperti apa yang dinyatakan Al-Imam Al-Auza’i rahimahullahu yang berkata: “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir menyatakan, seorang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan (yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang wara’ (yang menjauhi maksiat dan syubuhat).”

Kata Masruq rahimahullahu, “Cukuplah seorang termasuk berilmu, manakala dia takut kepada Allah Azza wa Jalla. Dan cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil) manakala dia merasa ujub (bangga) dengan ilmunya.”

Atas dasar sikap takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhlak terpuji lainnya, para ulama menyampaikan bimbingannya. Apa yang disampaikan para ulama benar-benar didasari rasa tanggung jawab yang besar. Tak cuma di hadapan umat, lebih dari itu semuanya bakal dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya, sungguh tidak memiliki dasar ilmiah sama sekali, mereka yang melansir ucapan bahwa tafsir masalah wanita cenderung membela laki-laki, atau yang semakna dengan itu. Selain itu, dalam khazanah Islam telah terbentuk tradisi metodologi keilmuan yang ketat. Ini bisa dikaji secara ilmiah. Sehingga apa yang disampaikan para ulama bukan sesuatu yang asal ucap tanpa dasar pijakan yang kokoh.

Kebenaran itu datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti firman-Nya:

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)

Jalan untuk menggapai kebenaran itu pun hanya satu. Tidak ada jalan selain jalan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karenanya, segenap manusia diseru untuk menempuh jalan yang satu tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153)

Ibnu Katsir rahimahullahu dalam tafsirnya menyebutkan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggaris satu guratan garis dengan tangannya, kemudian bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lantas mengguratkan di sebelah kanan dan kiri garis tadi, kemudian bersabda, ‘Ini jalan-jalan, tak ada dari salah satu jalan tersebut kecuali setan menyeru kepadanya.’ Kemudian beliau membaca ayat di atas (Al-An’am: 153).”

Menempuh jalan –dalam memahami, meyakini dan mengamalkan agama– dengan jalan yang bukan dituntunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya tertolak.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang tidak ada padanya, maka dia tertolak.” (HR. Al-Bukhari, no. 2697, Muslim, no. 1718)

Untuk memalingkan muslimah dari jalan Islam, kalangan feminis (baca: para aktivis emansipasi) terus mempropagandakan ide-idenya. Bisa dilihat selembar potret kusam yang menggambarkan rekayasa penghancuran kaum muslimah di Timur Tengah. Meski apa yang terjadi di Indonesia tak kalah dahsyat tentunya. Sebut misal, Markus Fahmi, seorang Qibthi Mesir, penulis buku Wanita di Timur. Dengan lantang tanpa ragu dia menuntut lima hal:

(1) Singkirkan hijab (jilbab syar’i, ed.),

(2) Membolehkan ikhtilath (membaurkan kaum wanita dengan laki-laki),

(3) Nikahkan muslimah dengan laki-laki Kristen,

(4) Menolak poligami,

(5) Talak harus di depan hakim (bukan menjadi hak suami, pen.). (Mu’amaratul Mar`ah Al-Kubra, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, 1/70-71)

Maka, adakah dari kelima hal di atas, yang kini merebak di Indonesia? Bandingkan dengan suara wanita Indonesia –meski tak semuanya– pada acara Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta: “Menoeroet hoekoem agama Islam, orang lelaki itoe boleh mempoenjai isteri lebih dari seorang, ja hingga empat orangpoen boleh djoega. Hal inilah jang menjakitkan hati kita kaoem perempoean, dan djoega merendahkan deradjatnja orang perempoean….” (Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang, Susan Blackburn, 1/98)

Seruan yang nyaris sepadan disuarakan pula oleh Ana Maria Ilyas, feminis asal Suriah, penulis Kepemimpinan atas Wanita Islam. Dia menggagas acara festival yang menjiplak mentah-mentah Festival Paris di Perancis. Festival ini menjadi ajang berbaur bebas antara pria dan wanita. Dari berbagai orang Eropa, Mesir, dan orang-orang Barat yang bermukim di Mesir, khususnya dari kalangan Kristiani, mereka berkumpul. Latar belakang mereka, selain orang-orang Eropa, juga memiliki pikiran sekularis dan Yahudi. Maka, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam hafizhahullah, inilah hakikat seruan kepada (kebebasan) hak-hak wanita. Mungkinkah bisa terjadi seruan terhadap (kebebasan) hak-hak wanita tersebut tanpa menerima kelompok orang-orang berdosa dan menyimpang itu? (Tentunya, tidak mungkin). Bahkan, mereka adalah sumber dan tempat merujuk. Perhatikanlah, bagaimana (lantaran menyuarakan hak-hak wanita) mereka bergelimang pada perkara-perkara kekufuran, dan saling mengasihi serta melindungi! La haula wala quwwata illa billah. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/71)

Tersebut juga nama Duriyah Syafiq. Sekembali dari studi di Perancis dengan menggondol gelar doktor, ia mendirikan partai politik. Dengan lantang dia menyuarakan kebebasan kaum wanita untuk dipilih dan masuk parlemen, menghapuskan poligami, serta memasukkan sistem perundangan Eropa dalam masalah talak ke dalam undang-undang Mesir. (Mu’amarah Al-Kubra, 1/72)

Bandingkan dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Perjuangan kaum wanita untuk mendapatkan kuota dalam pemilihan anggota legislatif semakin menganga. Kini, syarat sebuah partai politik berdiri, harus menyertakan keterwakilan perempuan paling rendah 30%.

Mestikah kemajuan materi yang digapai kini hanya akan mengeraskan hati manusia? Sehingga, dengan itu manusia tak mau tunduk patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mestikah laju pengetahuan yang demikian canggih, menjadikan manusia angkuh, merasa diri mampu atas segalanya?

Sudah tiba saatnya, kaum muslimah berkaca diri. Menatap tentang keadaan dirinya. Sudahkah bersolek dengan hiasan keimanan, ketaatan, dan keshalihan? Lalu menggubah rumah menjadi madrasah bagi masa depan anak-anaknya.

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ

“Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suami dan anaknya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5200, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

 

Wallahu a’lam.


1 Dijadikan pemikat guna melariskan dan memuluskan usaha. Baik di perkantoran, di dunia periklanan, atau lainnya, nyaris selalu mengedepankan kaum wanita.

2 Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237. (pen)

3 Pupur (jw)=bedak, macak (jw)=berdandan, manak (jw)=melahirkan. Maksudnya, wanita dicitrakan tak jauh-jauh dari urusan ‘ranjang’, dandan, memasak, dan melahirkan anak.

Penulis: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin
sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=612
Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Emansipasi, Bentuk Perang Terhadap Islam

Posted on 26 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Emansipasi sejatinya hanyalah salah satu jalan yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempreteli bahkan mengubur syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur`an dan hadits ditelikung, dipahami sepotong-sepotong, untuk kemudian ditafsirkan secara sembrono. Syariat bahkan dianggap sebagai ajaran lama yang perlu direkonstruksi atau dikontekstualisasikan. “Ahli” tafsir dan hadits yang menjadi rujukan, siapa lagi kalau bukan kalangan akademisi Barat.

Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap wanita. Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi belenggu kaum wanita. Kehidupan wanita seakan terpasung di tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian wanita pun menjadi gamang menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman.

Di tengah kepungan kemelut, wanita pun tersulut bangkit. Mendobrak tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus keterpurukan nasibnya. Maka, lamat-lamat teriakan itu terus bergulir. Menggelinding bak bola salju. Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, pun ikut berbicara. Melalui bukunya yang berjudul Sarinah, ia menguak sejarah kelam kehidupan wanita di belahan Eropa, terkhusus Perancis. Dituturkan bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Mereka menyuarakan kesetaraan jender. Menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria. Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatari perlakuan sewenang-wenang berbagai pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi guna. Setelah aksi para wanita Perancis, 6 Oktober 1789, di depan Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan. Menjamurnya berbagai organisasi kewanitaan tak semata di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung slogan emansipasi pun makin membahana.

Dari kacamata sejarah, gerakan emansipasi kelahirannya berawal dari akibat rasa ‘frustrasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum perempuan. Supremasi masyarakat yang feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang emansipasi. Tuntutan persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak perempuan terus diletupkan seiring dengan semangat pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan gereja oleh para pemikir ilmu pengetahuan. Inilah yang dikenal dalam lintasan sejarah sebagai masa renaissance (revolusi ilmu pengetahuan). Masa itu merupakan masa ‘rame-rame’ menggoyang arogansi gereja.

Begitulah awal lahir gerakan emansipasi. Kini, emansipasi telah menjadi bara di mana-mana. Semangat untuk menyetarakan diri dengan kaum Adam sedemikian dahsyat. Hingga melupakan batas-batas kesejatian diri sebagai kaum Hawa. Seakan tak mau peduli, bahwa antara wanita dan pria memiliki beragam perbedaan. Entah perbedaan yang bersifat psikis (kejiwaan), emosional, atau yang berkenaan dengan struktur fisik. Lantaran arus deras gerakan emansipasi, hal-hal mendasar seperti di atas menjadi terabaikan. Maka, gerakan emansipasi yang telah digulirkan menjadi alat perusak masyarakat. Perjuangan untuk menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, menjadi perjuangan untuk menggerus sistem sosial yang ada. Ironisnya, sebagian kaum muslimah terprovokasi gerakan ini. Tanpa memahami latar belakang sejarah gerakan emansipasi, mereka ikut-ikutan meneriakkan persamaan hak. Yang lebih tragis, mereka menuntut persamaan hak dalam setiap sisi aturan agama. Bahkan, untuk menjadi khatib Jum’at pun mereka tuntut. Mereka menggugat, bahwa khatib Jum’at bukan monopoli kaum pria semata. Sudah sejauh ini pemahaman emansipasi menggayut di benak sebagian kaum muslimah. Ke depan, bisa saja mereka menggugat agar kaum wanita tidak haid dan nifas.

Gerakan emansipasi wanita yang salah kaprah ini menjadi preseden buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang carut-marut inilah yang dicitakan Iblis la’natullah alaih. Dengan menyusupkan gagasan-gagasan destruktif (yang merusak), Iblis berupaya menarik kaum hawa ke dalam kubangan kehancuran. Para wanita yang telah rusak pemikiran, perilaku, akidah, akhlak dan paham agamanya inilah yang disukai Iblis.

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, yang kali pertama menyerukan nilai-nilai kebebasan wanita adalah Iblis. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ. وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ

“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata: ‘Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua’.” (Al-A’raf: 20-21)

Maka Iblis pun memalsukan hakikat senyatanya kepada Adam dan Hawa. Memakaikan sesuatu yang haq kepada sesuatu yang batil dan mengenakan kebatilan terhadap kebenaran. Lantas, apakah buah dari bisikan dan sumpahnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَدَلاَّهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’.” (Al-A’raf: 22)

Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah anugerahkan kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa, dengan (keduanya) melakukan taubat nashuha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Keduanya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23)

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)

Selanjutnya, menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, seruan (untuk menghancurkan nilai wanita) diistilahkan dengan banyak nama. Seperti Tahrirul Mar`ah (Kebebasan Wanita), yaitu yang arahnya membebaskan dan mengeluarkan muslimah dari Islam. Atau dengan nama An-Nahdhah bil Mar`ah (Kebangkitan Wanita), yaitu mengarahkan sikap membebek terhadap para wanita kafir, Barat atau Eropa. Juga dengan istilah Tathwirul Mar`ah (Pemberdayaan/Pengentasan Kaum Wanita). Istilah-istilah ini sengaja disebar kaum kafir dan orang-orang yang menyimpang dari Islam dan (istilah ini) tidak terkait dengan Islam. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/21-22)

Yahudi, sebagai kaki tangan Iblis di muka bumi ini, mengungkapkan pula tekadnya untuk menghancurkan kaum wanita melalui slogan-slogan terkait emansipasi. Ini sebagaimana terungkap dalam Protokolat Para Hakim Zionis, bahwa sesungguhnya kalimat-kalimat yang bersifat meruntuhkan (menghancurkan), yang merupakan syi’ar-syi’ar kami adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. (idem, hal. 24)

Maka, gerakan emansipasi memancangkan jargon-jargon perjuangan dengan menggunakan kebebasan wanita dan persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Dengan istilah lain, memperjuangkan penyetaraan jender.

Timbul pertanyaan, mengapa kaum wanita dijadikan bidikan Yahudi (bahkan Nasrani) untuk menghancurkan masyarakat Islam? Menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, salah seorang ulama terkemuka Yaman:

Pertama, kaum muslimah umumnya lebih minimal dalam urusan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dibandingkan pria. Karena tingkat pemahaman agama yang minim tersebut sehingga mudah terprovokasi untuk menerima hal-hal yang merusak.

Kedua, Yahudi dan Nasrani memandang bahwa menghancurkan wanita merupakan dasar bagi kehancuran berbagai sisi lainnya. Sebagaimana pula bila adanya perbaikan terhadap kaum wanita, maka akan membawa dampak kebaikan bagi lainnya.

Ketiga, Yahudi dan Nasrani berpendapat, apabila tersingkap wajah kaum wanita, maka akan tersingkap pula aurat lainnya bila kaum wanita itu berbaur dengan kaum pria.

Keempat, mereka memandang bahwa muslimah lebih cenderung khianat dan bertindak merusak terhadap suami. Ini sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari rahimahullahu (no. 3330 dan 3399) dan Muslim rahimahullahu (no. 1470) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

وَلَولَا حَوَّاءُ لَـمْ تَخُنْ أُنْثَى زَوْجَهَا

“Dan seandainya bukan (karena) Hawa, seorang istri tidak akan mengkhianati suaminya.”

Pengertian hadits ini bahwa Hawa menerima ajakan Iblis sebelum bapak kita, Adam ‘alaihissalam. Kemudian Adam pun terbujuk, terjatuhlah ia pada tindak maksiat. Ini karena adanya sikap khianat para wanita, kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman berkenaan dengan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (At-Tahrim: 10) [Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/147-148]

Kalau manusia mau membuka mata, walau sejenak, akan didapati pelajaran yang demikian berharga. Akan nampak secara transparan, betapa mereka yang termakan dengan gagasan-gagasan emansipasi, justru mengalami keterpurukan. Berapa banyak rumah tangga tidak terbina secara harmonis lantaran salah satu (atau bahkan keduanya) pasangan suami istri terjerat zina di tempat kerja. Berapa banyak pula lapangan kerja yang diisi kaum wanita, padahal bila diisi kaum pria akan dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, berapa juta istri dan anak-anak bisa ternafkahi bila laki-laki mendapatkan pekerjaan. Inilah fenomena sosial yang tentu saja tidak bisa lepas dari dampak gerakan emansipasi. Masih banyak lagi ketimpangan sosial akibat gerakan emansipasi yang liar dan tak terkendali.

Kerusakan-kerusakan Emansipasi

Gerakan emansipasi yang membuncah di tengah masyarakat, bila ditelisik lebih jauh akan menimbulkan berbagai kerusakan yang tidak ringan. Bagi kalangan muslimah, gerakan ini bisa merusak keyakinan agama yang dipeluknya1. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam telah menyebutkan 66 dampak kerusakan yang diakibatkan paham ini. Dalam tulisan ini hanya akan disebutkan beberapa hal saja. Di antara kerusakan-kerusakan tersebut yaitu:

1. Sebuah bentuk perang terhadap Islam.

Seruan emansipasi menyimpan perseteruan terhadap Islam. Selain itu, melecehkan, mencerca, menumbuhkan kebencian dari berbagai sisi terhadap agama. Termuat dalam gerakan emansipasi: kerusakan akidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan politik. Secara akibat, gerakan ini memuat seruan terhadap muslim untuk tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sunyi dari rasa takut dan pengagungan kepada-Nya. Menumbuhkan dalam hati sebongkah pelecehan dan olok-olok terhadap kebenaran agama. Menjadikan seseorang bersikap ragu, menentang dan lari dari agama. Dari sisi ibadah, nyata sekali bahwa gerakan ini mengerdilkan, meremehkan terhadap siapa pun yang menjaga berbagai bentuk peribadatan (yang selaras syariat).

2. Merupakan bentuk seruan yang menyeleweng dari Islam.

Bagaimana tidak dikatakan semacam ini, sementara gerakan tersebut melakukan penolakan terhadap sesuatu yang bersifat keimanan pada hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu, hukum syariat terkait pada kekhususan wanita dan pria. Maka, gerakan ini telah secara nyata melakukan pembangkangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Entah dalam bentuk tindakan langsung menolak hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, atau dalam bentuk melakukan berbagai penafsiran yang menyimpang sesuai dengan kepentingan dan selera gerakan emansipasi. Bisa diambil contoh adalah lontaran-lontaran pernyataan mereka, seperti Islam mendzalimi wanita, (atau di Indonesia mencuat istilah rekonstruksi pemahaman agama, yang intinya melakukan aksi penolakan terhadap syariat Islam, pen.). Islam membelenggu wanita dengan menyuruh mereka tinggal di rumah dan ungkapan-ungkapan lainnya.

3. Menyerukan permisivisme (serba boleh) dan menghalalkan segalanya.

Maka bila diperhatikan kata “gender” akan diketahui bahwa makna kata itu terkait wanita dan pria. Sesungguhnya ini bentuk keserbabolehan (permisif) secara mutlak dan bebas tanpa batasan-batasan yang selaras fitrah, agama atau akal sehat. Kebebasan tanpa batas. Inilah yang dikehendaki para pegiat hak-hak wanita dan emansipasi. Mereka yang menyuarakan emansipasi tidak akan mampu menaikkan seruan mereka dari cara hidup binatang ternak. Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ اْلأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى

“….Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Bahkan emansipasi telah menurunkan derajat mereka ke tingkatan binatang ternak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)

4. Merupakan kumpulan dari berbagai macam kekufuran, baik secara keyakinan, ucapan, atau perbuatan.

5. Merupakan wujud seruan kekufuran Yahudi dan Nasrani.

Karena senyatanya, gerakan emansipasi yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan kaum wanita merupakan (program) dakwah Freemasonry Zionis Yahudi, yang bersenyawa dengan orang-orang Nasrani. Ketahuilah, bahwa para penyeru emansipasi (sadar atau tidak) merupakan orang yang taat kepada Yahudi dan Nasrani. Mulai dari bentuk organisasi, pernyataan, pendidikan (training), penyebaran, dan dakwahnya. Semuanya dilakukan sebagai upaya ke arah kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah beriman.” (Ali ‘Imran: 100)

Program mereka bertujuan mengeluarkan muslimin dari agamanya. Ini berdasarkan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109)

Firman-Nya:

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup.” (Al-Baqarah: 217)

6. Meniadakan (menolak) penerapan hukum-hukum syariat.

7. Membiarkan dan membebaskan perzinaan.

8. Membolehkan nikah antara muslimah dengan orang kafir (tentunya dengan dalil kebebasan wanita, pen.).

9. Tukar menukar atau berganti-ganti pasangan hidup.

10. Terlepasnya hijab Islami (jilbab yang syar’i).

11. Tersebarnya kemaksiatan secara terbuka.

12. Tasyabbuh (penyerupaan) antara laki-laki dan wanita (baik dalam cara berpakaian, perilaku dan lain-lain, pen.).

Demikian beberapa kerusakan yang ditimbulkan akibat gaung emansipasi. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 2/475-511)

Tidak sepatutnya kaum muslimin mengambil sistem nilai di luar Islam menjadi acuannya. Begitu pula seorang muslimah tidak sepantasnya menceburkan diri menyuarakan nilai-nilai emansipasi. Bila Islam dipelajari secara benar, maka akan memberikan kecukupan dan keadilan. Sebaliknya, bila Islam ditinggalkan maka kehinaan akan meliputi kehidupan kaum muslimah, bahkan masyarakat yang lebih luas.

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.” (Al-Mujadilah: 5)

Menurut Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t, yang dimaksud “menentang Allah dan Rasul-Nya” adalah menyelisihi serta bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. (Taisirul Karimirrahman, hal. 845)

Karenanya, sudah tiba masanya bagi kita untuk tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.


1 Deislamisasi, mencabut nilai-nilai Islam dari kaum muslimah hingga ke akar-akarnya.

Penulis: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=611
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Emansipasi Wanita, Propaganda Musuh-musuh Islam

Posted on 26 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Hakikat Emansipasi Wanita

Emansipasi wanita tentu bukan lagi ‘barang’ yang asing saat ini. Terlebih istilah itu sering diserukan dan didengungkan baik melalui media cetak, media elektronik, ataupun forum-forum seminar. Emansipasi itu sendiri merupakan gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. (Lihat Kamus Ilmiah Populer)

Lantas siapakah pengusungnya dan apa targetnya? Pengusungnya adalah musuh-musuh Islam. Sementara targetnya adalah untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dengan menampilkan potret yang bukan sebenarnya. Mereka kesankan bahwa Islam adalah agama yang memasung hak-hak kaum wanita, membelenggu kebebasannya serta mengubur segala potensinya. Target berikutnya adalah untuk menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan, manakala terpengaruh dengan syubhat emansipasi tersebut dan melepaskan dirinya dari rambu-rambu dan bimbingan Islam yang suci.

Demikianlah salah satu gerakan propaganda (usaha untuk memanipulasi persepsi) yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga amat tepat bila gerakan ini disebut dengan GPK (Gerakan Pengacau Keimanan), karena demikian gencarnya upaya yang mereka tempuh untuk mengacaukan keimanan umat Islam (terkhusus kaum wanitanya) dengan intrik manipulasi tersebut.

Menyikapi hal ini umat Islam tak perlu kecil hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga agama Islam dari rongrongan para musuhnya. Bahkan Dia akan senantiasa menyempurnakan cahaya agama Islam tersebut dan memenangkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Mereka berupaya untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Ash-Shaff: 8-9)

Di antara bentuk penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penyempurnaan-Nya terhadap cahaya agama Islam adalah dengan dimunculkannya para ulama yang senantiasa menjaganya dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang keliru yang dilakukan oleh orang-orang jahil.

Sejarah Kaum Wanita dalam Peradaban Umat Manusia

Catatan sejarah menunjukkan bahwasanya kehidupan kaum wanita di masa jahiliah amat memprihatinkan. Di kalangan orang Arab jahiliah, kaum wanita amatlah hina. Betapa marah dan malunya mereka bila diberi kabar tentang kelahiran anak wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Demikian pula pada seluruh umat –selain umat Islam– baik di zaman dahulu maupun di masa kini, kaum wanita (mereka) tak mendapatkan kehormatan yang sepadan dengan nilai-nilai kewanitaannya bahkan kemanusiannya. (Lebih rincinya lihat Al-Huquq wal Wajibat ‘Alar Rijal wan Nisa` fil Islam, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, http://www.rabee.net dan Tanbihat Ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Para pembaca yang mulia, lalu bagaimanakah kaum wanita dalam sejarah peradaban Islam? Benarkah haknya dipasung, kebebasannya dibelenggu dan potensinya dipangkas, sebagaimana yang dipropagandakan para pengusung emansipasi?

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Adapun agama Islam, maka ia telah membebaskan kaum wanita dari belenggu, melepaskannya dari segala bentuk penindasan, kedzaliman, kegelapan, kenistaan dan perbudakan, serta memosisikannya pada posisi dan kedudukan mulia yang belum pernah didapati pada seluruh umat (selain Islam, pen.), baik dia berstatus sebagai ibu, anak, istri ataupun saudara perempuan. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)

Kaum wanita tak perlu mengadakan muktamar-muktamar, seminar-seminar, atau simposium-simposium, untuk menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya berikut hak-haknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkannya, dan umat Islam pun mengimaninya.

Kaum wanita berhak berhijrah, dan berhak pula mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian para wanita yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa suatu kesalahan yang mereka perbuat.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada (agama) orang-orang mukmin dan mukminah serta enggan bertaubat dengan siksa Jahannam.

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ

“Sesungguhnya orang-orang yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada orang-orang mukmin dan mukminah kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab yang membakar.” (Al-Buruj: 10)

Tak luput pula Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memohon ampun dari segala dosanya dan memohonkan ampun bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Maka ketahuilah, bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19)

Apabila musuh-musuh Islam tersebut ingin melihat secercah posisi wanita dalam agama Islam, maka tengoklah jenazahnya saat di antar ke pekuburan dan saat dishalati. Barangkali orang-orang kafir dan munafik itu akan lebih terheran-heran manakala menyaksikan ratusan ribu kaum muslimin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang merapikan shafnya saat menshalati seorang wanita atau seorang bayi wanita.

Demikianlah berbagai keistimewaan dan anugerah Islam untuk wanita mukminah yang tak akan didapati pada agama (selainnya) yang telah menyimpang. Agama baru yang diada-adakan ataupun aturan-aturan semu yang diklaim telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.

Lebih-lebih di era modern yang dikendalikan oleh Yahudi dan Nashara ini, kaum wanita benar-benar direndahkan dan dihinakan. Mereka dijadikan sebagai komoditas murahan dan obyek kesenangan kaum lelaki. Baik di dunia usaha, tempat kerja ataupun di keramaian. Begitupun di jagad mode serta beragam media (cetak, elektronik, hingga dunia maya). Wanita tampil sekadar benda penghias, baik sebagai SPG, bintang iklan, bintang sampul, dll. Kehormatan kaum wanita diinjak-injak dengan ditampilkannya aurat bahkan foto-foto telanjang mereka di sekian banyak media, demi memuaskan nafsu para lelaki hidung belang dengan pemandangan-pemandangan porno itu. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang. Badan statistik pun bisa-bisa bakal kesulitan untuk mensensus kejadian hamil (di luar nikah) dan jumlah anak jadah/haram.

Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, http://www.rabee.net)

Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi1

Para pembaca, sedemikian bijaknya sikap Islam terhadap kaum wanita dan juga kaum lelaki. Namun para pengusung emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim, melalui agama Islam ini. Mereka menyoalnya, menentangnya dan mencemooh Islam dengan slogan-slogan klasik yang acap kali mereka suarakan; “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tak peduli haq ataukah batil.

Padahal dengan gamblangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam Al-Qur`an:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).” (Al-Baqarah: 228)

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang menukilkan perkataan istri ‘Imran):

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى

“Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak wanita.” (Ali ‘Imran: 36)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ketabahan dalam beribadah dan mengurus Masjid Al-Aqsha.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Para pembaca yang mulia, lebih ironi lagi manakala mereka ‘pelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi melegalkan tuntutannya. Betapa rendahnya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya.

Para pembaca, pendalilan tersebut tidaklah bisa dibenarkan, karena:

– Ayat di atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki (para suami) atas kaum wanita (para istri). Kelanjutan ayat tersebut adalah:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”

– Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran?!” (Az-Zukhruf: 18)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki, demikian pula dalam hal persaksian. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qadir, 4/659)

– Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan antara keduanya rasa kasih dan sayang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Manakala kaum wanita diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk (kenikmatan) kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.

– Asal-muasal wanita (Hawa) adalah dari tulang rusuk lelaki (Nabi Adam ‘alaihissalam). Atas dasar itulah, maka kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.

Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki.

Para pembaca, pendalilan mereka tentang ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini:

– Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

– Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak dan cucu sebagai permata hati yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

“Allah menjadikan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang baik-baik.” (An-Nahl: 72)

– Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari (pembagian) orang-orang musyrik yang menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak, dan anak-Nya adalah wanita. Sementara mereka memilihkan untuk diri mereka sendiri anak laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى

“Maka apakah patut bagi kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (milik kalian), dan Manat yang ketiga yang paling terkemudian (sebagai anak wanita Allah)?! Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) wanita?! Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni apakah kalian menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak dan anak-Nya adalah wanita, sementara kalian memilihkan untuk diri kalian sendiri anak laki-laki?! Padahal jika seandainya kalian berbagi (anak) sesama kalian dengan pembagian semacam itu, niscaya itu merupakan pembagian yang tidak adil. Bagaimanakah kalian berbagi dengan Rabb kalian dengan cara seperti itu, sementara bila hal itu diterapkan pada sesama kalian termasuk suatu kejahatan dan kebodohan?!” (Tafsir Ibnu Katsir)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita.

– Di antara balasan mulia bagi orang-orang beriman lagi beramal shalih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah para istri yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (selanjutnya ditulis: Al-Jannah) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لاَ يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَ كِذَّابًا

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)

– Seringkali ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pahala dan kesudahan mulia bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, dengan mencukupkan penyebutan lafadz laki-laki (mudzakkar) yang dimaukan pula cakupannya untuk kaum wanita. Contohnya; Surat An-Naba` ayat 31-35 di atas, dengan mencukupkan penyebutan lafadz  اَلْمُتَّقِينَ yang hakikatnya mencakup pula orang-orang yang beriman dan bertakwa dari kaum wanita. Cara penyebutan seperti ini menunjukkan bahwa kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.

– Kaum wanita adalah orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal, sehingga tidaklah bisa disamakan dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا.

“Wahai sekalian kaum wanita, bershadaqahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka (selanjutnya ditulis: An-Naar). Mereka berkata: ‘Dengan sebab apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal yang dapat mengendalikan jiwa seorang lelaki (suami) yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah yang menunjukkan minimnya agama dan akal kami wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: ‘Maka itulah di antara keminiman akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak melakukan shalat dan shaum?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menimpalinya: ‘Maka itulah di antara keminiman agamanya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang minimnya agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa keminiman ini merupakan salah satu sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah minimnya akal pada mereka.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, http://www.rabee.net)

Penutup

Dari bahasan yang lalu dapatlah disimpulkan bahwa:

– Emansipasi wanita adalah gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. Ia merupakan propaganda musuh-musuh Islam yang ditargetkan untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dan menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan.

– Agama Islam benar-benar meletakkan kaum wanita pada posisinya yang mulia. Harkat dan martabat mereka diangkat sehingga tak terhinakan, namun tak juga dijunjung setinggi-tingginya hingga menyamai/melebihi kedudukan kaum lelaki.

– Semua dalih emansipasi amatlah lemah lagi batil. Bahkan bertentangan dengan norma-norma syariat dan akal yang sehat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub judul: Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi.

Wallahu a’lam bish-shawab.
_________________________________________________________________________________
1 Kebanyakan dari bantahan yang ada dalam sub judul ini, disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah- dalam Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, dengan beberapa perubahan dan tambahan (-pen).

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=609
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Menjaga Lisan dari Mengutuk / Melaknat

Posted on 26 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :

Pertama : Bermakna mencerca.

Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.

Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar.

Tsabit bin Adl Dhahhak radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”

Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berperkara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.

Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :

“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

_______________________________________________________________________________________________
(Dikutip dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan beberapa perubahan dan tambahan)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=194
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Larangan Wanita Pergi Tanpa Mahram

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Saudariku Muslimah … . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Apa yang dikatakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya, jauhilah. Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan.

Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk taat kepadaku (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan apa yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”

Pengertian ayat di atas bersifat umum yakni mencakup semua perintah dan larangan, karena beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidaklah memerintahkan kecuali membawa kebaikan dan tidaklah melarangnya kecuali mengandung kerusakan (kebinasaan). (Lihat Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said halaman 7)

Maka dalam rangka mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya, kami akan berusaha menukil beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan keterangan ulama yang berkaitan dengan judul di atas.

Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan agamanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah wanita melakukan safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad 3/7, dan Abu Dawud 1727)

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)
Komentar Ulama Dalam Masalah Safar Bagi Wanita

Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat Al ‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan “selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.

Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan ucapan beliau : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh. Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)

Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita tidak mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.

Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20)

Yang lainnya menambahkan : “Atau wanita yang tertinggal dari rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahram yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi menemaninya hingga ia mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)

Mahram Bagi Wanita

Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan : “Mahram bagi wanita adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak (selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman 68)

Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

Kenapa Disyaratkan Dengan Mahram

Islam yang hanif ingin menjaga wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.

Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)

Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.

Safar Dalam Rangka Menunaikan Ibadah Haji

Jika Anda bertanya : “Apakah dibolehkan bagi wanita melakukan safar dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram?”

Imam At Tirmidzi rahimahullah telah meringkas sebuah jawaban untuk pertanyaan di atas. Beliau mengatakan bahwa Ahlul ‘Ilmi (ulama) masih memperbincangkan permasalahan ini, sebagian dari mereka berkata : [ Tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji karena mahram merupakan persyaratan perjalanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“… bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan kepadanya … .”

Mereka mengatakan bila wanita tersebut tidak memiliki mahram berarti ia belum sanggup melakukan perjalanan kepadanya. Ini adalah ucapan Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan sebagian Ahlul Ilmi yang lainnya mengatakan : “Bila perjalanan menuju haji dijamin aman, maka ia boleh keluar menunaikan ibadah haji bersama manusia yang lain.” Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Imam Syafi’i. ]

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi setelah membawakan secara panjang lebar dalil-dalil dari kedua pihak (yang membolehkan dan yang tidak membolehkan) mengatakan : “Setelah melihat dalil-dalil yang ada, tampak padaku bahwa dalil dari mereka yang menyatakan tidak bolehnya adalah lebih kuat karena larangan bagi wanita melakukan safar tanpa mahram adalah bersifat umum tadi, dengan demikian ia termasuk dalam larangan yang umum ini, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda : ‘Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’ Wallahu A’lam.”

Fatwa-Fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan fatwa berkaitan dengan hajinya seorang wanita tanpa mahram. Berikut ini jawaban beliau dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan :

1. Sebagian wanita pergi melaksanakan umrah tanpa mahram dan kadang-kadang bersama mereka seorang pembantu laki-laki dan pembantu wanita serta sopir. Kami mengharapkan kejelasan perkara tentang safar guna pelaksanaan umrah dan i’tikaf bagi seorang wanita yang tidak disertai mahram. Apakah boleh untuk menjadikan sebagian mereka sebagai mahram pada sebagiannya?

Beliau menjawab : [ Tidak boleh bagi wanita untuk safar tanpa mahram, baik untuk umrah maupun yang lainnya. Karena telah tsabit dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak boleh seorang laki-laki ber-khalwat dengan wanita lain dan tidak boleh bagi wanita untuk safar kecuali bersama mahramnya.”

Seorang wanita haram pergi sendirian dengan pengemudinya, walaupun masih dalam batasan negerinya. Karena pengemudi itu telah ber-khalwat dengannya dan tidak ada perbedaan antara keadaannya wanita tersebut ketika berkumpul atau tidak berkumpul. Dan sungguh telah datang hadits bahwa seseorang berkata :

“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku ingin keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka beliau bersabda : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (Dikeluarkan oleh Bukhari, bab Jihad, Fathul Bari 6/142-143) ]

2. Apakah boleh bagi wanita untuk safar dengan naik kapal terbang dengan keadaan aman tapi tanpa mahram?

Beliau menjawab : [ Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak boleh safar bagi wanita kecuali bersama mahram.”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengucapkan hadits tersebut ketika memberikan khutbah di atas mimbar dalam pelaksanaan ibadah haji. Maka berdirilah seseorang dan berkata :

“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan padanya untuk meninggalkan perang dan melaksanakan haji bersama istrinya dan tidaklah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata :

“Apakah istrimu dalam keadaan aman?”

Atau : “Apakah bersamanya ada wanita lain?”

Atau : “Bersama tetangganya?”

Maka ini menunjukkan keumuman larangan safar bagi wanita tanpa disertai mahram. ]

Wanita Keluar Menuju Pasar

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : “Bolehkah seorang wanita keluar menuju pasar tanpa disertai mahramnya dan kapankah yang demikian itu dibolehkan serta kapankah diharamkannya?”

Beliau menjawab : [ Pada dasarnya, keluarnya wanita menuju pasar adalah boleh dan tidak disyaratkan bahwa ia harus disertai mahram kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah. Dalam keadaan demikian ia tidak diperkenankan keluar kecuali jika disertai mahram yang menjaga dan melindunginya. Hukum bolehnya ia keluar menuju pasar adalah diiringi dengan sebuah syarat yang harus ia penuhi yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak wangi (parfum) karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah melarangnya. ]

Kebolehan wanita keluar ke pasar tak luput diikat dengan syarat-syarat yang ketat, di antaranya hendaklah wanita itu keluar karena kebutuhan yang mendesak, hendaklah menggunakan hijab yang sempurna menurut syariat dan tidak ber-tabarruj, tanpa berhias dan tanpa berminyak wangi.

Wanita Berduaan Bersama Sopir Jika Bepergian, Bolehkah ?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang hukum wanita berkendaraan seorang diri hanya ditemani sopir yang membawanya ke tengah kota (belum keluar dalam batas safar). Beliau menjawab :

[ Tidak boleh seorang wanita berkendaraan hanya dengan seorang sopir tanpa disertai orang lain yang bersamanya karena yang demikian ini termasuk dalam hukum ber-khalwat (berduaan), padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

“Janganlah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.”

“Janganlah berduaan seorang pria dengan seorang wanita karena syaithan menjadi pihak ketiga dari keduanya.”

Adapun jika ada orang lain beserta keduanya baik seorang ataupun lebih, baik pria ataupun wanita, maka ini tidak mengapa baginya, bila di sana tidak ada sesuatu yang meragukan, karena keadaan khalwat (berduaan) akan hilang dengan sendirinya dengan hadirnya orang yang ketiga atau lebih. Ini dibolehkan selama belum masuk dalam batas safar. Adapun di dalam safar maka tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bila disertai mahramnya sebagaimana telah warid dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. ]

Penutup

Saudariku Muslimah …….. .

Wanita keluar rumah tanpa mahram dan tanpa ada kebutuhan yang syar’i merupakan dosa baginya. Lebih baik dan lebih suci bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya agar kaum laki-laki tidak melihatnya dan wanita itupun tidak melihat padanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) di rumah-rumah kalian.”

Tidaklah ada perkara yang lebih mendekatkan diri wanita dengan Rabb-nya melebihi bila ia tetap tinggal di rumah dan berusaha menjadi wanita yang diridhai-Nya dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya dan taat kepada suaminya.

Ali radhiallahu ‘anhu pernah berkata :

“Apakah kamu tidak malu … dan apakah kamu tidak tertipu … , kamu membiarkan wanita keluar di antara kaum laki-laki untuk melihat padanya dan mereka pun (kaum laki-laki) melihat pada kaum wanita tersebut.” (Lihat Al Kabair, Adz Dzahabi halaman 171-172)

Al Iffah (harga diri), rasa malu, dan kelembutan adalah sesuatu yang bernilai tinggi, nilainya tidak dapat ditakar dengan harga dunia beserta seluruh isinya dan ini merupakan kekhususan bagi wanita Muslimah yang tak dimiliki oleh wanita lain. Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melalui syariat yang agung menetapkan aturan-aturahn yang dapat mempertahankan eksistensi dari kekhususan ini dan semuanya itu diletakkan dengan hikmah yang tinggi.

Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memperlihatkan kepada kita al haq dan membimbing kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita al bathil dan membimbing kita untuk menjauhinya. Ya Allah, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus. Amin !!!
_______________________________________________________________________________
Maraji’ :

1. Al Manhiyatul ‘Asyr lin Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said.

2. Al Haribatu ilal Aswaq oleh Asy Syaikh ‘Abdul Malik Al Qasim.

3. As’ilah Muhimmah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin.

4. Jami’ Ahkamun Nisa’ oleh Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi.

5. Massuliyyah Al Mar’ah Al Muslimah oleh Asy Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah.

6. Majmu’ah Durus Fatawa (Harami Makki) oleh Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz. (Dikutip dari tulisan ‘Adi Abdillah As Salafy, judul asli Larangan Wanita Pergi Tanpa Mahram, MUSLIMAH Edisi XIX/ Rabi’ul Awwal/ 1418 H/ 1997 M)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=160
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Fatwa Tentang Pakaian Ketat Bagi Wanita

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Fatwa, Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , |

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Tentang Pakaian Ketat Bagi Wanita

 

Beliau berkata:

”Terdapat dalam shahih muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

“Ada dua golongan dari ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor-ekor sapi yang dipakai untuk memukul manusia; kedua, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang lenggak-lenggok, di kepalanya ada sanggul seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya dan sesungguhnya bau surga itu akan didapatkan dari jarak ini dan itu.”

Maka ucapan Rasulullah, telanjang adalah bahwa mereka memakai pakaian tetapi tidak menutupi yang semestinya tertutup, baik itu karena pendeknya atau tipisnya atau karena ketatnya, di antaranya adalah yang terbuka bagian dadanya, karena yang demikian itu menyelisihi perintah Allah, dimana Allah berfirman :

“Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” ( QS An Nur: 31 )

Berkata Al Qurthubi dalam tafsirnya : “Prakteknya adalah hendaknya wanita memakai kain kerudung uantuk menutup daadanya.”

Di antaranya lagi adalah yang terbelah bagian bawahnya, jika tidak terdapat penutup lagi di dalamnya, jika ada penutupnya tidak mengapa hanya saja jangan sampai menyerupai yang dipakaikan oleh kaum pria.

Kepada para walinya kaum wanita hendaknya melarang mereka dari memakai pakaian yang haram dan keluar rumah dengan bertabarrruj (bersolek/berdandan) dan memakai wangi-wangian karena para walinya adalah orang yang bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat, pada hari di mana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, dan begitu pula tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya dan tidaklah mereka akan ditolong.

Semoga Allah memberi taufiq bagi semuanya kepada yang dicintai dan diridhainya.

“Konsep pembela yang universal antara haq dan bathil , hidayah dan kesesatan, petunjuk dan penjerumus, jalan kebahagiaan dan kehancuran adalah menjadikan apa-apa yang Allah telah utus dengannya para rasul dan diturunkan dengannya Al Kitab sebagai kebenaran yang wajib untuk diikuti, karena dengannya akan mendapatkan Furqon dan hidayah Ilmu dan Iman.

Adapun yang lainnya dari perkataan manusia diukur diatasnya, apabila sesuai dengannya adalah benar, jika menyelisihinya adalah bathil. Apabila belum diketahui apakah sesuai atau tidak dikarenakan perkataan-perkatan yang global tidak dimengerti maksud pembicaraan atau dimengerti maksudnya tapi tidak tahu apakah Rasul membenarkannya atau tidak maka diam, tidak berkomentar melainkan dengan Ilmu. Sedangkan Ilmu adalah apa-apa yang berdiri diatasnya dalil dan yang bermanfaat adalah apa yagn dibawa oleh Rasulullah” (Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Wallahu a’lam.

__________________________________________________________________________

Oleh: Ustadz Abu Hamzah Yusuf

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=148
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Bahaya Fitnah Wanita

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , |

Semua perasaan condong padanya, perbuatan harampun terjadi karenanya. Mengundang terjadinya pembunuhan, permusuhan pun disebabkan karenanya. Sekurang-kurangnya ia sebagai insan yang disukai di dunia. Kerusakan mana yang lebih besar daripada ini ? Begitulah Al-Imam Al-Mubarakfuri –rahimahullah- menjelaskan tentang bentuk bahaya fitnah wanita dalam At-Tuhfah Al-Ahwadzi 8/53.

Kaum muslimin rahimakumullah, jauh sebelumnya Allah menyatakan bahwa fitnah yang paling besar adalah wanita, bahkan ia sebagai sumber syahwat. Allah berfirman:

”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (Q.S. Ali Imran: 14).

Rasulullah memberikan peringatan dari fitnahnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim dari sahabat Abu Said Al Khudri, beliau bersabda:

“Hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Izrail adalah wanita”

Pada riwayat lain dalam Sahih Muslim dari Sahabat Jabir Rasulullah mengisyaratkan dengan sabdanya:

”Sesungguhnya wanita menghadap dalam bentuk syaitan, dan membelakangi dalam bentuk syaitan.”

Kaum Muslimin rahimakumullah, demikianlah memang agama Allah datang untuk mengatur semua urusan manusia, membimbing para pemeluknya kepada yang membuat maslahat dan menjaga kepada apa yang akan menjerumuskannya kepada kemudharatan, sehingga kita mendapatkan Allah memperingatkan dari ajakan-ajakan syaitan. Allah berfirman:

“Wahai bani Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaiman ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Q.S. Al A’raaf: 27 ).

Para wanita menyerupai syaitan karena ia sebagai penyebab timbulnya fitnah bagi laki-laki seperti pernyataan Rasulullah diatas. Oleh karena itu hendaklah para wanita bertaqwa kepada Allah denga menjaga dirinya dan menjaga kaum lelaki dari fitnah yang ditimbulkan karenanya.

Ketahuilah bahwa Islam telah datang dengan menjelaskan kedudukan para wanita. Diantara yang menunjukkan hal itu adalah :

1. Persamaan dalam hal penciptaaan dengan laki-laki. Allah berfirnan:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar Ruum: 21 ).

2. Persamaan dalam mendapatkan pahala atas amal shalih. Allah berfirman:

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau permpuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain…” (Q.S. Ali Imran: 195).

Allah juga berfirman:

“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik …” (Q.S. An Nahl: 97).

3. Persamaan dalam hal hak mendapatkan warisan , sekalipun hak warisan laki-laki lebih darinya, ini hanyalah hikmah yang terkandung di dalamnya. Berkata Al Imam As Syinqithi dalam Adwa’ul Bayan 1/308 pada firman Allah: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu ,yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan…” (Q.S An Nisa: 11 ).

Allah tidak menjelaskan dalam ayat ini hikmah dilebihkannya laki-laki atas perempuan dalam hal warisan, padahal keduanya sama dalam hal kekerabatan. Akan tetapi Allah isyaratkan yang demikian itu di tempat lain, yaitu firmanNya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka… ” (Q.S. An Nisa: 34 ).
4. Hak untuk mendapatkan perlakuan dan pergaulan yang baik. Allah berfirman :

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf pula. Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka…” (Q.S. Al Baqarah : 231 ).

Allah juga berfirman:

“…Dan bergaullah dengan mereka secara patut …” (Q.S. An Nisa: 19).

Masih Banyak keterangan-keterangan tentang kedudukan wanita yang bersangkutan dengan hak-haknya dan kewajibannya. Yang ini semua menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap kaum wanita, bahkan Allah mengkhususkan khithab untuknya dalam beberapa ayat dalam Al Quran.

Sesungguhnya ini adalah rahmat Allah untuk mereka, Allah menjaga mereka dengan syariatNya dan mensucikan mereka dari kotoran-kotoran jahiliyah.

Dengan demikian maka Allah dan RasulNya memerintahkan kepada kaum wanita untuk menjauhi perkara-perkara yang akan menyebabkan timbulnya fitnah bagi kaum laki-laki;

Pertama,
Syariat memerintahkan wanita untuk tinggal dirumahnya. Allah berfirman:

“Dan hendaklah kalian tetap dirumah kalian…” (Q.S. Al Ahzab: 33 ).

Sama sekali ini tidak berarti zhalim terhadap wanita, atau penjara, ataupun mengurangi kebebasannya. Allah lebih mengetahui kemaslahatan hambaNya. Sesungguhnya dengan tinggalnya para wanita dirumah-rumahnya maka ia dapat mengurusi urusan rumahnya, menunaikan hak-hak suaminya, mendidik anaknya dan memperbanyak melakukan hal-hal baik lainnya.
Adapun keluar rumah maka hukum asalnya adalah mubah, kecuali jika dalam bermaksiat kepada Allah maka hukumnya haram.

Kedua,
Syariat melarang mereka bertabaruj, yaitu berhias dihadapan selain mahramnya. Allah berfirman:

“…dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…” (QS Al Ahzab: 33 ).

Ketiga,
Mereka dilarang berbicara dengan suara yang mendayu-dayu yang dapat mengundang fitnah. Allah berfirman :

“…Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di hatinya , dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al Ahzab: 32 ).

Keempat,
Mereka dilarang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian. Rasulullah bersabda:

“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian kemudian lewat di suatu kaum supaya mereka mendapatkan bau harumnya, maka ia telah berzina.” (HR Ahmad dari Sahabat Abu Musa Al Asy’ari).

Bahkan dalam riwayat Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

“Wanita mana saja yang memakai bukhur (sejenis wangi-wangian) tidak diperkenankan untuk shalat Isya di malam hari bersama kami.”

Tidak diragukan lagi bahwa sholat berjamaah memiliki keutamaan 27 derajat atas shalat sendirian.
Walau demikian Rasulullah melarang para wanita untuk shalat Isya jika memakai wangi-wangian, menjaga supaya tidak terjadi fitnah.

Kelima,
Mereka dilarang untuk berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya. Rasulullah bersabda :

“Tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri, berduaan) dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya.” (HR Muttafaq ‘alaihi dari Sahabat Ibnu Abbas).

Maka wajib atas kaum wanita menjaga kehormatannya, dan janganlah membalas nikmat Allah dengan kekufuran, wal iyyaudzubillah.

Seyogyanya bagi seorang muslim atau muslimah untuk tidak memiliki pendapat atau kebebasan setelah tetap hukum Allah dan RasulNya. Karena sesungguhnya Islam tidak akan tegak pada diri seseorang kecuali dengan tunduk dan patuh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Dan tidak patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al Ahzab: 36).

Wal ilmu indallah.

_____________________________________________________________________________

Oleh: Ustadz Abu Hamzah Yusuf

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=148
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Fatwa Tentang Isbal (Menurunkan Pakaian Di Bawah Mata Kaki)

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Fatwa, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , |

Beberapa Fatwa Tentang Hukum Isbal

Pertanyaan :

Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika dilakukan karena sombong atau karena tidak sombong. Dan apa hukum jika seseorang terpaksa melakukannya, apakah karena paksaan keluarga atau karena dia kecil atau karena sudah menjadi kebiasaan?

Jawab :

Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi :

“Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka “ (HR.Bukhari dalam sahihnya )

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya; Abu Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda:  ” Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” ( HR. Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i).

Kedua hadist ini semakna dengan mencakup musbil yang sombong atau karena sebab lain. Karena Rasulullah mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan karena sombong maka dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras, Rasulullah bersabda : “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong”. (Muttafaq ‘alaihi)

Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena rasullullah tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain, Rasul bersabda : “Jauhilah olehmu Isbal, karena ia termasuk perbuatan yang sombong” (HR Abu Daud, Tirmidzi dengan sanad yang shahih).

Beliau menjadikan semua perbuatan Isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan. Semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebih-lebihan dan terancam terkena najis dan kotoran.

Oleh karena itu Umar Ibnul Khaththab melihat seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata kepadanya : “Angkatlah pakaianmu, karena hal itu adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu (Riwayat Bukhari, lihat juga dalam al-Muntaqa min Akhbaril Musthafa 2/451 )

Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As Shiddiq ketika ia berkata :

“Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :”Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong.” (Muttafaq ‘alaih).

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq. (Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dinukil dari Majalah Ad Da’wah hal 218).

 

Tidak Boleh Melakukan Isbal Sama Sekali

Pertanyaan:

Bila seseorang melakukan Isbal pada pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan baginya? Dan apakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian?

Jawab:

Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” (HR Bukhari dalam shahihnya)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim: “Jauhilah Isbal olehmu, karena itu tergolong kesombongan.” (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang tsabit dari beliau:

“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dalam shahihnya)

Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak bermaksud demikian. Perbuataannya adalah perantara menuju kesombongan dan keangkuhan.

Dan dalam perbuatan itu juga ada mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam : “Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Radliyallah’anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:

“Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya. Tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq, bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.

Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak melewati pergelangan. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq. (dari sumber yang sama hal.220)

 

Hukum Memanjangkan Celana

Pertanyaan:

Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu?

Jawab:

Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam

“Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR Bukhari)

Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dalam shahihnya)

Beliau juga bersabda kepada sebagian para sahabatnya: “Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan.” (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :

“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Beliau:

” Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya.” Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: ” Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq. (Dari sumber yang sama hal. 221).

 

Pertanyaan :

Apakah menurunkan pakaian melewati kedua mata kaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong dianggap suatu yang haram atau tidak?

Jawab :

Menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki bagi pria adalah perkara yang haram. Apakah itu karena sombong atau tidak. Akan tetapi jika dia melakukannya karena sombong maka dosanya lebih besar dan keras, berdasarkan hadist yang tsabit dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah bersabda :

“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih.”

Abu Dzarr berkata : “Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ! Beliau berkata: “Mereka adalah pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu” ( HR Muslim dan Ashabus Sunan)

Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersada :

“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat.”(HR Bukhari)

Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan karena sombong Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini dengan:

“Apa yang berada dibawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka” (HR Bukhari dan Ahmad)

Ketika kedua hukuman ini berbeda, tidak bisa membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, karena kaidah yang membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash sama dari segi hukum.

Adapun bila hukum berbeda maka tidak bisa salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh karena ini ayat tayammum yang berbunyi :

“Maka sapulah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan tanah itu.” (Al Maidah :6).

Tidak bisa kita kecualikan dengan ayat wudhu yang berbunyi :

“Maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah : 6).

Maka kita tidak boleh melakukan tayammum sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi bersabda :

“Sarung seseorang mukmin sampai setengah betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya.”

Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam hukum kedua hal itu , karena memang hukum keduanya berbeda. Keduanya berbeda dalam perbuatan, maka juga berbeda dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan yang mengecualikan sabda Rasulullah ;

“Apa yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka.”

Dengan sabda beliau :

“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Memang ada sebagian orang yang bila ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: “Saya tidak melakuakan hal ini karena sombong” .

Maka kita katakan kepada orang ini:  “Isbal ada dua jenis, yaitu jenis hukumnnya, adalah bila seseorang melakukannya karena sombong maka dia tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang sangat pedih. berbeda dengan orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong, orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya”. Demikian kita katakan kepadanya.

 

____________________________________________________________________________

Diambil dari As’ilah Muhimmah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani dengan judul Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal). Penerbit Adz Dzahabi.

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=26
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Hukum Menurunkan Pakaian Dibawah Mata Kaki (Bagi Pria)

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka” (HR.Bukhari)

Dan beliau berkata lagi,

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong”.

dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi,

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong.” (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

dan beliau juga bersabda :

” Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i).

Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al-mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.

Dalam sebuah hadist yang berbunyi :

“Ketika seseorang berjalan dengan memakai perhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat”. (HR. Mutafaqqun ‘Alaihi)

Rasulullah bersabda :

” Isbal berlaku pada sarung, gamis, sorban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dengan sanad Shahih).

Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dengan sabdanya ;

” Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadhush Shalihin dengan tahqiq Al Arnauth hal: 358)

Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran-kotoran . Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan mentaati Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah menyesal atas apa yang kau perbuat.

Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena Dia Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

“Ya Allah, terimalah taubat kami, sungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

“Ya Allah, berilah kami dan semua saudara-saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang Engkau ridhai, karena sesungguh-Nya Engkau Maha Kuasa terhadap segala sesuatu”.

Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya.

 

__________________________________________________________________________

Diambil dari As’ilah Muhimmah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani dengan judul Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal). Penerbit Adz Dzahabi.

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=26
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Larangan Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal)

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Muqaddimah

Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam. Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan shalawat kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang yang mengikuti sunnah-sunnah beliau serta orang yang mendapatkan hidayah dengan bimbingan beliau hingga hari akhir.

Setelah itu, merupakan suatu kewajiban bagi muslimin untuk mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, menta’ati beliau dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya serta membenarkan berita yang dibawa beliau. Itu semua bisa menunjukkan realisasi Syahadat Laa ilaha ila Allah dan Muhammad Rasulullah. Dengan itu dia bisa mendapatkan pahala dan selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tanda dan bukti hal itu adalah dengan terus komitmen melaksanakan simbol-simbol Islam, dalam bentuk perintah, larangan, penerangan, ucapan, keyakinan maupun amalan. Dan hendaklah dia mengatakan : “sami’na wa atha’na (kami mendengar dan taat)”.

Diantara hal itu adalah membiarkan jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan pakaian sebatas kedua mata kaki yang dilakukan karena ta’at kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya serta mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takut pada hukumanNya.

Kalau kita mau memeperhatikan kebanyakan orang ? semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada mereka dan membimbing mereka kepada kebenaran, akan didapati mereka melakukan perbuatan Isbal (menurunkan pekaian di bawah mata kaki) pada pakaian dan bahkan sampai terseret di atas tanah. Itu adalah perbuatan yang mengandung bahaya besar, karena menentang perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan itu adalah sikap menantang, pelakunya akan mendapat ancaman keras.

Isbal dianggap salah satu dosa besar yang diancam dengan ancaman yang keras. Beranjak dari kewajiban untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling nasehat menasehati dengan kebenaran, menginginkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin mendapat kebaikan dan karena takut kalau mereka tertimpa hukuman yang buruk akibat mayoritas orang melakukan maksiat.

Saya kumpulkan risalah ini berkaitan dengan tema Isbal dan berisi anjuran untuk memendekkan pakaian hingga diatas kedua mata kaki bagi pria serta berisi ancaman bagi yang melakukan Isbal dan memanjangkan melewati mata kaki.

Larangan untuk melakukan Isbal adalah larangan yang bersifat umum,apakah karena sombong atau tidak. Itu sama saja dengan keumuman nash. Tapi, bila dilakukan karena sombong maka hal itu lebih keras lagi kadar keharamannya dan lebih besar dosanya .

Isbal adalah suatu lambang kesombongan dan orang yang memiiki rasa sombong dalam hatinya walaupun seberat biji dzarrah tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Maka wajib bagi seorang muslim untuk menyerah dan tunduk dan mendengar dan taat kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah sebelum kematian datang menunjunginya, bila samapai demikian ia akan menemukan ancaman yang dulu telah disampaikan kepadanya. Ketika itu dia menyesal dan tidak ada manfaat penyesalan di waktu itu.

Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari maksiat isbal (memanjangkan celana) dan maksiat lainnya. Hendaklah ia memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki dan menyesali apa yang telah dia lakukan selama hidupnya.

Dan hendaklah ia bertekad dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi maksiat-maksiat di sisa umurnya yang singkat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat bagi orang yang mau bertaubat. Seorang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.

Risalah ini diambil dari ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah serta ucapan para peneliti dari kalangan Ulama. Saya mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia memberi manfaat risalah ini kepada penulisnya, atau pencetaknya, atau pembacanya, atau pendengarnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap wajahnya yang mulia dan menjadi sebab untuk mencari kebahagian surga yang nikmat.

Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada Muslim yang masih melakukan Isbal pada pakaian mereka unuk melaksanakan sunnah Nabi mereka, Muhammad Ibn Abdullah, yaitu dengan memendekkannya. Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai orang orang yang membimbing lagi mendapatkan hidayah. Semoga salawat dan salam tercurah pada Nabi kita, Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya dan segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb Semesta alam.

LARANGAN MELAKUKAN ISBAL PADA PAKAIAN

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat kepada para hambanya berupa pakaian yang menutup aurat-aurat mereka dan memperindah bentuk mereka.

Dan Dia telah menganjurkan untuk memakai pakaian takwa dan mengabarkan bahwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian.

Saya bersaksi tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha Esa. Tiada sekutu baginya miliknya segenap kekuasan di langit dan di bumi dan kepadanya kembali segenap makhluk di hari Akhir. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu ialah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada satupun kebaikan kecuali telah diajarkan beliau kepada ummatnya. Dan tidak ada suatu kejahatan kecuali telah diperingatkan beliau kepada ummatnya agar jangan melakukannya. Semoga Shalawat serta Salam tercurah kepada beliau, keluarganya, dan para sahabatnya dan orang yang berjalan di atas manhaj Beliau dan berpegang kepda sunnah beliau.

“Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :  “Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al A’raf -26)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang dimaksud ayat ini adalah memperindah secara dhahir, maka pakaian adalah suatu kebutuhan yang penting, sedangkan ar riisy adalah kebutuhan pelengkap.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya, beliau berkata :

Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu lusuh ia berkata : “Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku”, kemudian ia berkata: aku mendengar Umar Ibnul Khaththab berkata : Rasulullah bersabda : “Siapa yang mendapatkan pakaian baru kemudian memakainya. Dan kemudian telah lusuh ia berkata segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan dan hijab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup dan matinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dan Tirmidzi berkata hadis ini gharib)

Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan memperindah bentuk, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa ada pakaian yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya yaitu pakaian taqwa. Yang pakaian taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan dan membersihkan dari berbagai kotoran. Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang dimaukan. Siapa yang tidak memakai pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya.
Bila seseorang tidak memakai pakaian taqwa, berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian.

Maksudnya :

Pakaian yang disebut tadi adalah agar kalian mengingat nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyukurinya. Dan hendaknya kalian ingat bagaimana kalian butuh kepada pakaian dhahir dan bagaimana kalian butuh kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa.

Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk.

Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki laki.(HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Dan Nabi juga bersabda : “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita.” (HR Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan beliau menshahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini shahih menurut syarat Muslim).

Haram bagi pria untuk melakukan Isbal pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar.

Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : “Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.” (Luqman: 18 )

Dari Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullulah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM bersabda :

“Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” ( HR Bukhari dan yang lainnya ).

Dan dari Ibnu umar juga, Nabi bersabda :
“Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat.” ( HR Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih ).

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong”. (Muttafaq ‘alaihi)

Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari dengan bunyi :

“Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di Neraka.”

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan (dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Wahai para hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan kita mengetahui ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita lihat sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan pakaiannya atau celananya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar. Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat yang disyari’atkan.

Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sarung seorang mukmin sebatas pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di neraka”. (HR Malik dalam Muwaththa’, dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)

Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal, yaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan klub-klub olahraga, di lapangan-lapangan. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian karyawan.

Kedua paha adalah aurat yang wajib ditutupi dan haram dibuka. Dari ‘Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Jangan engkau singkap kedua pahamu dan jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami’il Ushul 5/451 : “sanadnya hasan”)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala berfirman :

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya” (Al Hasyr : 7)

____________________________________________________________________________

Diambil dari As’ilah Muhimmah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani dengan judul Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal). Penerbit Adz Dzahabi.

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=26
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu ‘anhuma)

Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.

Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :

Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.

Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.

Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.

Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)

Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif

Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”

Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)

Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.

Dalam Al Muhith halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.

Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)

Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)

Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’

Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :

Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.

Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)

Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Dan yang lain, misalnya :

Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.

Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)

Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)

Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.

Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)

Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan

Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :

“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”

Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.

Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)

2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)

Mujahid –dalam kitab yang sama– menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.

3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)

Kata ‘Ikrimah –dari Ibnu Abbas–, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)

Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

1. Dari Abi ‘Amir –Abu Malik– Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)

2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)

3. Dari Anas bin Malik berkata :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)

4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)

5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku –atau mengharamkan– khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :

“Kulihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”

Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”

Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.

Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”

(Bersambung ke Nyanyian Dan Musik Dalam Islam II)

__________________________________________________________________________________

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli “Nyanyian dan musik dalam Islam”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=25
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hukum Asal Segala Sesuatu itu Suci

Posted on 24 Februari 2011. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , |

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :
• Setiap yang halal itu suci
• Setiap yang najis itu haram
• Tidaklah setiap yang haram itu najis (Asy-Syarhul Mumti’, 1/77)

Menyambung pembicaraan kami dalam edisi terdahulu tentang pembahasan najis yang sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama , maka dalam edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yang sepanjang pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan penjelasan mana yang rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu najis atau bukan najis, wallahu al muwaffiq.

Air liur anjing
Telah datang riwayat dalam Shahihain dan selain keduanya dari kitab-kitab hadits, menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencuci bejana tadi sebanyak tujuh kali”. (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan : “cucian yang pertama dicampur dengan tanah”.

Pencucian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana yang dipegangi oleh Abu Hanifah, Ats-Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Syaukani di dalam kitab-kitabnya.

Sebagaimana yang kami sebutkan di atas bahwa di dalam permasalahan najis yang kami bahas di sini ada perselisihan, maka demikian juga masalah air liur anjing ini. Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmu berpendapat seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan : “Karena air liur itu keluar dari mulut anjing (yang dia itu najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk dihukumi kenajisannya”.

Dan yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah mencucinya adalah sekedar perkara ta’abbudiyah (ibadah) bukan karena kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi Imam Malik dan yang lainnya..

Mani
Ada dua pendapat dalam masalah mani ini. Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yang sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Syafi`i dan selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih. Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci”. (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal 198).

Mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu anha yang hanya mengerik bekas mani yang telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa mencucinya. (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya no. 288, 290). Walaupun didapatkan pula riwayat Aisyah radhiallahu anha mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289)

Namun kedua riwayat ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau mencuci). Hal ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah : “Hadits yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang menempel pada pakaian dan hadits yang menunjukkan dikeriknya mani tersebut tidaklah saling bertentangan karena bisa dikumpulkan antara keduanya dengan jelas bagi yang berpendapat sucinya mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada hukum istihbab (disenanginya mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian) dalam rangka kebersihan bukan karena kewajiban. Ini merupakan cara yang ditempuh oleh Imam Syafi`i, Ahmad dan ashabul hadits “. (Fathul Bari juz 1 hal. 415)
Berkata Imam Nawawi rahimahullah: “Seandainya mani itu najis niscaya tidak cukup menghilangkannya dengan sekedar mengerik”. (“Syarah Shahih Muslim juz 3, hal. 198)

Darah
Yang kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan terdahulu.. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya kita menengok pembahasan yang dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: “(Mereka yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu`allaq (terputus sanadnya dari Imam Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam “Shahih Sunan Abu Daud” (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu` (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) karena mustahil beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini.

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah ta`ala. Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan kepada Nabi-nya sebagaimana hal ini jelas tidak tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu`allaq, yang diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapatnya Ibnu Hazm”.

Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:

Pertama: Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali dari dua sisi ;

1. Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur’an dan As Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada dalil.

2. Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas`ud radhiallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi. (Riwayat Abdurrazzaq “Al Mushannaf” 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath Thabrani “Mu`jamul Kabir” 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baghawi “Al Ja`diyaat” 2/887/2503).

Uqbah meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy`ari: “Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya. Lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air”. Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dhaif (lemah).

Kemudian beliau melanjutkan :
Kedua: Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari membatalkan pendapat ini. (Lihat Tamamul Minnah hal, 51-52)

Orang kafir
Ibnu Hazm dan orang-orang dari kalangan ahlu dhahir berpegang dengan apa yang dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguhnya orang islam itu tidak najis” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no.371)

Untuk menyatakan orang kafir itu najis tubuhnya dan mereka perkuat pendapat ini dengan firman Allah ta`ala dalam surat At Taubah ayat 28 :
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis”.

Namun jumhur ulama membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang muslim itu suci anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya dari najis, adapun orang musyrik tidak menjaga diri dari najis. Sedang yang dimaksud dengan ayat di atas adalah orang musyrik itu najis dalam hal keyakinannya dan dalam kekotorannya.

Juga dengan dalil bahwasanya Allah Ta`ala dalam Al Qur’an membolehkan kaum muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang menyetubuhi istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat istrinya, bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami untuk bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena jima`. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487, Nailul Authar 1/45, Sailul Jaraar 1/38,39, Asy Syarhul Mumti` 1/383)
Dan pendapat jumhur inilah yang rajih.

Khamar (Minuman Keras)

Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan baik terbuat dari anggur, kurma, gandum atau yang selainnya. Khamar ini haram hukumnya sebagaimana ditunjukkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin. Lalu apakah khamar ini najis ?

Jumhur ulama berpandangan khamar ini najis berdalil ayat Allah subhanahuwa ta`ala :
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar , judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah rijs dari perbuatannya setan…”. (QS. Al Maidah : 90)

Mereka memaknakan rijs di sini dengan najis, namun yang benar dari pendapat yang ada, khamar bukanlah najis dan ini merupakan pendapatnya Rabi`ah Ar Ra’yi, Al Laits, Al Muzani, Syaukani, Syaikh Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan selain mereka.

Adapun yang dimakud dengan ayat Allah dalam surat Al Maidah di atas, kata Imam Syaukani rahimahullah : “Tatkala khamar di sini digandengkan penyebutannya dengan الأنصاب dan الأزلام maka kata yang menyertai ini memalingkan makna rijs (dalam ayat) kepada selain najis yang syar`i”. (Ad Darari, hal. 20)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menerangkan tentang makna ayat dalam surat Al Maidah ini bahwa yang dimaksud najis di sini adalah najis maknawi (secara makna) bukan najis hissiyah (indrawi) dari dua sisi :

1. Khamar disertakan dengan الأنصاب , الأزلام dan الميسر dan najis di sini secara maknawi.
2. Sesungguhnya rijs di sini dikaitkan dengan firman-Nya : ((من عمل الشيطان)) sehingga maknanya rijs amali (perbuatannya) bukan rijs `aini (bendanya yang najis) yang dengannya semua perkara ini dihukumi najis.

Muntah manusia
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan: “Aku telah menyebutkan padamu di awal kitab Thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang. Bila kita dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya. Kemudian kita katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan anggapannya ini berarti :
– Allah Subhanahu wa Ta`ala telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
– Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
– Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.
Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.

Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits Ammar : “Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah darah dan mani”.
Maka kami jawab hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar ini sementara hadits tersebut tidak pantas untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah..

Kalau orang ini berkata lagi : “Telah datang hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu “.
Maka kami jawab : “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis”.
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa telah berkata sebagian ahlul furu` (ahli fiqih) bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang ?
Kalau kamu katakan iya, berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan tidak, maka kami nyatakan : kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain.
Wallahu a’lam

 

_________________________________________________________________

Oleh: al-Ustadz Muslim.

Sumber :  http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=25)
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Mengatasi Kesulitan Rezeki

Posted on 24 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Liku-liku kehidupan memang tak bisa dikalkulasi dengan hitungan. Negeri yang sedemikian makmurnya ini, terancam kekurangan sandang, pangan dan papan. Kegoncangan melanda di mana-mana. Kegelisahan menjadi selimut kehidupan yang tidak bisa ditanggalkan. Begitulah kalau krisis ekonomi sudah memakan korban.

Seakan manusia telah lalai, bahwa segala yang terhampar di jagat raya ini ada Dzat yang mengaturnya. Apakah mereka tidak ingat Allah Ta’ala telah berfirman :

“Dan tidaklah yang melata di muka bumi ini melainkan Allahlah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud : 6)

Keyakinan yang mantap adalah bekal utama dalam menjalani asbab (usaha) mencari rezeki. Ar-Rahman yang menjadikan dunia ini sebagai negeri imtihan (ujian), telah memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapi manusia. Diantaranya

1. Berusaha dan Bekerja
Sudah merupakan sunnatullah seseorang yang ingin mendapatkan limpahan rezeki Allah harus berusaha dan bekerja. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Kalau telah ditunaikan shalat Jum’at maka bertebaranlah di muka bumi dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kalian bahagia.” (QS. Al Jumu’ah : 10)

Rezeki Allah itu harus diusahakan dan dicari. Tapi, kadang-kadang karena gengsi, sombong dan harga diri seseorang enggan bekerja. Padahal mulia atau tidaknya suatu pekerjaan itu dilihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram.

2. Taqwa
Banyak orang melalaikan perkara ini, karena kesempitan hidup yang dialaminya. Dia mengabaikan perintah-perintah Allah, karena tidak sabar menunggu datangnya pertolongan Allah. Padahal Allah Ta’ala telah menyatakan :

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thala : 2)

Yaitu ‘dari jalan yang tidak diharapkan dan diangankan-angankan,’ demikian komentar Qatadah, seorang tabi’in (Tafsir Ibnu Katsir 4/48). Lebih jelas lagi Syaikh Salim Al Hilali mengatakan bahwa Allah Yang Maha Tinggi dan Agung memberitahukan, barangsiapa yang bertaqwa kepada-Nya niscaya Dia akan memberikan jalan keluar terhadap problem yang dihadapinya dan dia akan terbebas dari mara bahaya dunia dan akhirat serta Allah akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (Bahjatun Nadhirin 1/44).

3. Tawakkal
Allah berfirman :

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaq : 3)

Yakni ‘barangsiapa yang menyerahkan urusannya kepada Allah niscaya Dia akan mencukupi apa yang dia inginkan,” demikian kata Imam Al Qurthubi dalam dalam Al Jami’ Ahkamul Qur’an, 8/106.

Dan tidak dinamakan tawakkal bila tidak menjalani usaha. Sesungguhnya menjalani usaha merupakan bagian dari tawakkal itu sendiri. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim mengatakan;  “Tawakkal dan kecukupan (yang Allah janjikan) itu, bila tanpa menjalani asbab yang diperintahkan, merupakan kelemahan semata, sekalipun ada sedikit unsur tawakkalnya. Hal yang demikian itu merupakan tawakkal yang lemah. Maka dari itu tidak sepantasnya seorang hamba menjadikan sikap tawakkal itu lemah dan tidak berbuat dan berusaha. Seharusnya dia menjadikan tawakkal tersebut bagian dari asbab yang diperintahkan untuk dijalani, yang tidak akan sempurna makna makna tawakkal kecuali dengan itu semua.” (Zadul Ma’ad 2/315). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan kita dalam riwayat yang shahih :

“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah denagn sebenar-benar tawakkal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kaian sebagaimana burung diberi rezeki, pergi dipagi hari dalam keadaan perut kosong, (dan) pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. An Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

4. Syukur
Syukur adalah jalan lain yang Allah berikan kepada kaum mukminin dalam menghadapi kesulitan rezeki. Dalam surat Ibrahim ayat 7 Allah berfirman :

“Kalau seandainya kalian bersyukur, sungguh-sungguh Kami akan menambah untuk kalian (nikmat-Ku) dan jika kalian mengingkarinya, sesungguhnya adzab-Ku sangat keras.” (QS. Ibrohim : 7)

Oleh karena itu dengan cara bersyukur insya Allah akan mudah urusan rezeki kita. Adapun hakekat syukur adalah : “mengakui nikmat tersebut dari Dzat Yang Maha Memberi nikmat dan tidak mempergunakannya untuk selain ketaatan kepada-Nya,” begitu Al Imam Qurthubi menerangkan kepada kita (tafsir Qurthubi 9/225)

5. Berinfaq
Sebagian orang barangkali menyangka bagaimana mungkin berinfaq dapat mendatangkan rezeki dan karunia Allah, sebab denagn berinfaq harta kita menjadi berkurang. Ketahuilah Dzat Yang maha Memberi Rezeki telah berfirman :

“Dan apa-apa yang kalian infaqkan dari sebagian harta kalian, maka Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39)

6. Silaturahmi
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa yang berkeinginan untuk dibentangkan rezeki baginya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari Muslim)

7. Doa
Allah memberikan senjata yang ampuh bagi muslimin berupa doa. Dengan berdoa seorang muslim insya Allah akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menuntun kita agar berdoa tatkala kita menghadapi kesulitan rezeki.

“Ya Allah aku meminta kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima.” (HR. Ibnu Majah dan yang selainnya)

Wallahu a’lam bish Showab.

 

___________________________________________________________________

Penulis: al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=242
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Sepuluh Hal Pembatal Keislaman Seseorang

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

HAL- HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN

Segala puji bagi Allah (Subhanahu wa Ta’ala) , Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi yang terahir Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), para keluarga dan para Sahabat beliau, serta kepada orang- orang yang setia mengikuti petunjuk beliau.

Selanjutnya : ketahuilah, wahai saudaraku kaum muslimin, bahwa Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah mewajibkan kepada seluruh hamba – hambaNya untuk masuk ke dalam agama Islam dan berpegang teguh denganya serta berhati –hati untuk tidak menyimpang darinya.

Allah juga telah mengutus NabiNya Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) untuk berdakwah ke dalam hal ini, dan memberitahukan bahwa barangsiapa bersedia mengikutinya akan mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang menolaknya akan sesat.

Allah juga mengingatkan dalam banyak ayat- ayat Al-Qur’an untuk menghindari sebab- sebab kemurtadan, segala macam kemusyrikan dan kekafiran.

Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan dalam bab hukum kemurtadan, bahwa seorang muslim bisa di anggap murtad (keluar dari agama Islam) dengan berbagai macam hal yang membatalkan keislaman, yang menyebabkan halal darah dan hartanya dan di anggap keluar dari agama Islam.

Yang paling berbahaya dan yang paling banyak terjadi ada sepuluh hal, yang di sebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama lainnya, dan kami sebutkan secara ringkas, dengan sedikit tambahan penjelasan untuk anda, agar anda dan orang – orang selain anda berhati hati dari hal ini, dengan harapan dapat selamat dan terbebas darinya.

Pertama:
Diantara sepuluh hal yang membatalkan keislaman tersebut adalah mempersekutukan Allah (Subhanahu wa Ta’ala) ( syirik ) dalam beribadah.
Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari  syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” (An-Nisa’  : 116)

Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“…Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya (kelak) ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun”. (Al- Maidah : 72).

Dan di antara perbuatan kemusyrikan tersebut adalah ; meminta do’a dan pertolongan kepada orang- orang yang telah mati, bernadzar dan menyembelih korban untuk mereka.

Kedua:
Menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dirinya dengan Allah (Subhanahu wa Ta’ala), meminta do’a dan syafaat serta bertawakkal ( berserah diri ) kepada perantara tersebut.
Orang yang melakukan hal itu, menurut ijma’ ulama ( kesepakatan) para ulama, adalah kafir.

Ketiga :
Tidak menganggap kafir orang- orang musyrik, atau ragu atas kekafiran mereka, atau membenarkan konsep mereka. Orang yang demikian ini adalah kafir.

Keempat:
Berkeyakinan bahwa tuntunan selain tuntunan Nabi Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) lebih sempurna, atau berkeyakinan bahwa hukum selain dari beliau lebih baik, seperti ; mereka yang mengutamakan aturan – aturan thaghut (aturan–aturan manusia yang melampaui batas serta menyimpang dari hukum Allah ), dan mengesampingkan hukum Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) , maka orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir.

Kelima :
Membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) , meskipun ia sendiri mengamalkannya. Orang yang sedemikian ini adalah kafir. Karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah  menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad : 9)
Keenam:
Memperolok–olok sesuatu dari ajaran Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), atau memperolok – olok pahala maupun siksaan yang telah menjadi ketetapan agama Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka orang yang demikian menjadi kafir, karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ . لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (At- Taubah : 65- 66).

Ketujuh :
Sihir di antaranya adalah ilmu guna-guna yang merobah kecintaan seorang suami terhadap istrinya menjadi kebencian, atau yang menjadikan seseorang mencintai orang lain, atau sesuatu yang di bencinya dengan cara syaitani dan orang yang melakukan hal itu adalah kafir, karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ

“…sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (Al-Baqarah : 102)

Kedelapan:
Membantu dan menolong orang–orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al- Maidah: 51)

Kesembilan:
Berkeyakinan bahwa sebagian manusia diperbolehkan tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) , maka yang berkeyakinan seperti ini adalah kafir. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali- Imran: 85).

Kesepuluh :
Berpaling dari ِِAgama Allah (Subhanahu wa Ta’ala); dengan tanpa mempelajari dan tanpa melaksanakan ajarannya. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling
daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As- Sajadah : 22).

Dalam hal- hal yang membatalkan keislaman ini, tak ada perbedaan hukum antara yang main-main, yang sungguh- sungguh (yang sengaja melanggar) ataupun yang takut, kecuali orang yang di paksa. Semua itu merupakan hal- hal yang paling berbahaya dan paling sering terjadi. Maka setiap muslim hendaknya menghindari dan takut darinya. Kita berlindung kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dari hal- hal yang mendatangkan kemurkaan Nya dan kepedihan siksaanNya. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada makhluk Nya yang terbaik, para keluarga dan para sahabat beliau. Dengan ini maka habis dan selesai kata-katanya. Rahimahullah.

Termasuk dalam nomor empat :
Orang yang berkeyakinan bahwa aturan-aturan dan perundang–undangan yang diciptakan manusia lebih utama dari pada syariat Islam, atau bahwa syariat Islam tidak tepat untuk diterapkan pada abad ke dua puluh ini, atau berkeyakinan bahwa Islam adalah sebab kemunduran kaum muslimin, atau berkeyakinan bahwa Islam itu terbatas dalam mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja, dan tidak mengatur urusan kehidupan yang lain.

Juga orang yang berpendapat bahwa melaksanakan hukum Allah Ta’ala dan memotong tangan pencuri, atau merajam pelaku zina (muhsan) yang telah kawin tidak sesuai lagi di masa kini.

Demikian juga orang yang berkeyakinan diperbolehkannya menerapkan hukum selain hukum Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dalam segi mu’amalat syar’iyyah, seperti perdagangan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain sebagainya, atau dalam menentukan hukum pidana, atau lain-lainnya, sekalipun tidak disertai dangan keyakinan bahwa hukum- hukum tersebut lebih utama dari pada syariat Islam.

Karena dengan demikian ia telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) , menurut kesepakatan para ulama’. Sedangkan setiap orang yang telah menghalalkan apa yang sudah jelas dan tegas diharamkan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dalam agama, seperti zina, minum arak, riba dan penggunaan perundang-undangan selain Syariat Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka ia adalah kafir, merurut kesepakatan para umat Islam.

Kami mohon kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala) agar memberi taufiq kepada kita semua untuk setiap hal yang di ridhai-Nya, dan memberi petunjuk kepada kita dan kepada seluruh umat Islam jalan-Nya yang lurus. Sesungguhnya Allah (Subhanahu wa Ta’ala) adalah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), kepada para keluarga dan para shahabat beliau.

 

________________________________________________________________________________
(Dinukil dari kitab نواقض الإسلام oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, edisi Indonesia Hal-hal yang membatalkan Keislaman)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=235

 


Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Makna Dua Kalimat Syahadat

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

A. Makna Syahadat “Laa Ilaaha Illallah”

Yaitu beritikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari yang selain Allah, siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.

Jadi kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang hak selain Allah.” Khabar Laa ilaaha illallah harus ditaqdirkan bihaqqin (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujud (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab Tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebatilan yang nyata.

Kalimat laa ilaaha illallah telah ditafsiri dengan beberapa penafsiran yang batil, antara lain:

1. Laa ilaaha illallah artinya:

“Tidak ada sesembahan kecuali Allah.” Ini adalah batil, karena maknanya: Sesungguhnya setiap yang disembah, baik yang hak maupun yang batil, itu adalah Allah.

2. Laa ilaaha illallah artinya:

“Tidak ada pencipta selain Allah.” Ini adalah sebagian dari arti kalimat tersebut. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud, karena arti hanya mengakui tauhid rububiyah saja, dan itu belum cukup.

3. Laa ilaaha illallah artinya:

“Tidak ada hakim (penentu hukum) selain Allah.” Ini juga sebagian dari makna kalimat laa ilaaha illallah. Tapi bukan ini yang dimaksud, karena makna tersebut belum cukup.

Semua (ketiga, ed)  tafsiran di atas adalah batil atau kurang. Kami peringatkan di sini karena tafsir-tafsir itu ada dalam kitab-kitab yang banyak beredar. Sedangkan tafsir yang benar menurut salaf dan para muhaqqiq (ulama peneliti) Laa ilaaha illallah ma’buuda bihaqqin illallah (tidak ada sesembahan yang hak selain Allah) seperti tersebut di atas.

B. Makna Syahadat “Anna Muhammadan Rasuulullah

Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: mentaati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan.

 

________________________________________________________
(Dinukil dari Kitab Tauhid, Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=229
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Riya’ lebih halus daripada rambatan semut

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Ketahuilah bahwa kata riya’ itu berasal dari kata ru’yah (melihat), sedangkan sum’ah (reputasi) berasal dari kata sami’a (mendengar). Orang yang riya’ menginginkan agar orang-orang bisa melihat apa yang dilakukannya.

Riya’ itu ada yang tampak dan ada pula yang tersembunyi. Riya’ yang tampak ialah yang dibangkitkan amal dan yang dibawanya. Yang sedikit tersembunyi dari itu adalah riya’ yang tidak dibangkitkan amal, tetapi amal yang sebenarnya ditujukan bagi Allah menjadi ringan, seperti orang yang biasa tahajud setiap malam dan merasa berat melakukannya, namun kemudian dia menjadi ringan mengerjakannya tatkala ada tamu di rumahnya.

Yang lebih tersembunyi lagi ialah yang tidak berpengaruh terhadap amal dan tidak membuat pelaksanaannya mudah, tetapi sekalipun begitu riya’ itu tetap ada di dalam hati. Hal ini tidak bisa diketahui secara pasti kecuali lewat tanda-tanda.

Tanda yang paling jelas adalah, dia merasa senang jika ada orang yang melihat ketaatannya.

Berapa banyak orang yang ikhlas mengerjakan amal secara ikhlas dan tidak bermaksud riya’ dan bahkan membencinya. Dengan begitu amalnya menjadi sempurna. Tapi jika ada orang-orang yang melihat dia merasa senang dan bahkan mendorong semangatnya, maka kesenangan ini dinamakan riya’ yang tersembunyi. Andaikan orang-orang tidak melihatnya, maka dia tidak merasa senang. Dari sini bisa diketahui bahwa riya’ itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu.

Jika orang-orang melihatnya, maka bisa menimbulkan kesenangannya. Kesenangan ini tidak membawanya kepada hal-hal yang dimakruhkan, tapi ia bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya, secara tidak langsung maupun secara langsung.

Kesenangan atau riya’ ini sangat tersembunyi, hampir tidak mendorongnya untuk mengatakannya, tapi cukup dengan sifat-sifat tertentu, seperti muka pucat, badan kurus, suara parau, bibir kuyu, bekas lelehan air mata dan kurang tidur, yang menunjukkan bahwa dia banyak shalat malam.

Yang lebih tersembunyi lagi ialah menyembunyikan sesuatu tanpa menginginkan untuk diketahui orang lain, tetapi jika bertemu dengan orang-orang, maka dia merasa suka merekalah yang lebih dahulu mengucapkan salam, menerima kedatangannya dengan muka berseri dan rasa hormat, langsung memenuhi segala kebutuhannya, menyuruhnya duduk dan memberinya tempat. Jika mereka tidak berbuat seperti itu, maka ada yang terasa mengganjal di dalam hati.

Orang-orang yang ikhlas senantiasa merasa takut terhadap riya’ yang tersembunyi, yaitu yang berusaha mengecoh orang-orang dengan amalnya yang shalih, menjaga apa yang disembunyikannya dengan cara yang lebih ketat daripada orang-orang yang menyembunyikan perbuatan kejinya. Semua itu mereka lakukan karena mengharap agar diberi pahala oleh Allah pada Hari Kiamat.

Noda-noda riya’ yang tersembunyi banyak sekali ragamnya, hampir tidak terhitung jumlahnya. Selagi seseorang menyadari darinya yang terbagi antara memperlihatkan ibadahnya kepada orang-orang dan antara tidak memperlihatkannya, maka di sini sudah ada benih-benih riya’. Tapi tidak setiap noda itu menggugurkan pahala dan merusak amal. Masalah ini harus dirinci lagi secara detail.

Telah disebutkan dalam riwayat Muslim, dari hadits Abu Dzarr Radliyallahu Anhu, dia berkata, “Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kabar gembira bagi orang Mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia.”

Namun jika dia ta’ajub agar orang-orang tahu kebaikannya dan memuliakannya, berarti ini adalah riya’.

 

_______________________________________________________________________________
(Penulis : Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, “Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=228
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Astrologi Dalam Pandangan Islam

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

“Motivasi yang menggebu-gebu untuk mengejar tujuan sangat membantu karier atau studi. Kali ini adalah peluang baik untuk memulai obsesi yang terpendam selama ini. Buatlah kesempatan.”

Tunggu dulu! Jangan terburu-buru saudara menyangka saya mengetahui masa depan dan aktivitas saudara terutama bagi saudara yang terlahir pada tanggal 23 Oktober – 21 November atau seringnya orang menyebut saudara berbintang Scorpio. Akan tetapi kalimat di atas adalah secuplik kalimat ramalan astrolog yang kami ambil dari sebuah koran ternama di kota pelajar dalam rubrik perbintangan.

Dilihat dari nama rubriknya, dapat diketahui bahwa dasar pemikiran para astrolog atau yang sejalan pemikirannya dengan mereka adalah letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Misalnya, bila letak gugusan bintang Bima Sakti di arah A lalu kebetulan ada seorang bayi lahir tepat pada malam ketika bintang itu terbit maka diramalkan bayi itu akan menjadi orang terkenal setelah besar nanti.

Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah-olah mengetahui hal-hal ghaib. Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah dan melarang pasiennya untuk berbuat sesuatu. Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata-kata manis. Bagi orang yang senang akan rubrik seperti tersebut di atas atau yang suka membaca buku-buku astrologi (ramalan-ramalan bohong) terkadang ramalan itu cocok dengan keadaan yang di alami. Namun yang menjadi permasalahan, darimana pikiran peramal itu mencuat? Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?

Sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Dan ini adalah hak prerogatif Allah semata, selain makhluk yang Dia beritahukan tentangnya, seperti sebagian Malaikat dan para Rasul sebagai mukjizat. Dalam hal ini, Allah berfirman :

“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.” (QS. Al Jin : 26-27)

Barangsiapa mengaku mengetahui perkara atau ilmu ghaib selain orang yang dikecualikan sebagaimana ayat di atas, maka ia telah kafir. Baik mengetahuinya dengan perantaraan membaca garis-garis tangan, di dalam gelas, perdukunan, sihir, dan ilmu perbintangan atau selain itu. Yang terakhir ini yang biasa dilakukan oleh paranormal. Bila ada orang sakit bertanya kepadanya tentang sebab sakitnya maka akan dijawab : “Saudara sakit karena perbuatan orang yang tidak suka kepada saudara.” Darimana dia tahu bahwa penyebab sakitnya adalah dari perbuatan seseorang, sementara tidak ada bukti-bukti yang kuat sebagai dasar tuduhannya? Sebenarnya hal ini tidak lain adalah karena bantuan jin dan para syaithan. Mereka menampakkan kepada khalayak dengan cara-cara di atas (melihat letak bintang, misalnya) hanyalah tipuan belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit. Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan. Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … . Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Sungguh benar kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai syaithan yang mencuri berita dari langit. Diceritakan dalam sebuah hadits :

Tatkala Allah memutuskan perkara di langit, para Malaikat mengepakkan sayap, mereka merasa tunduk dengan firman-Nya, seolah-olah kepakan sayap itu bunyi gemerincing rantai di atas batu besar. Ketika telah hilang rasa takut, mereka saling bertanya : “Apakah yang dikatakan Rabbmu?” “Dia berkata tentang kebenaran dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu firman Allah itu didengar oleh pencuri berita langit. Para pencuri berita itu saling memanggul (untuk sampai di langit), lalu melemparkan hasil curiannya itu kepada teman di bawahnya. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan itu dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)

Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)

Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)

Tujuan Penciptaan Bintang-Bintang

Alam dan segala isinya diciptakan dengan hikmah karena diciptakan oleh Dzat yang memiliki sifat Maha Memberi Hikmah dan Maha Mengetahui. Dia Maha Mengetahui apa yang di depan dan di balik ciptaan-Nya. Sehingga mustahil Allah mencipta makhluk dengan main-main. Sebab itu, kewajiban atas makhluk-Nya ialah tunduk dan menerima berita, perintah, dan larangan-Nya. Sebagai contoh, yang berhubungan dengan pembahasan kali ini ialah penciptaan bintang-bintang di langit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa penciptaan bintang-bintang itu ialah untuk penerang, hiasan langit, penunjuk jalan, dan pelempar setan yang mencuri wahyu yang sedang diucapkan di hadapan para malaikat. Sebagaimana Dia firmankan :

“Dan sungguh, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. Al Mulk : 5)

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang itu untuk tujuan sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan rambu-rambu jalan. Maka barangsiapa mempergunakannya untuk selain tujuan itu, sungguh terjerumus ke dalam kesalahan, kehilangan bagian akhiratnya, dan terbebani dengan satu hal yang tak diketahuinya. (Perkataan dalam kitab Shahih Bukhari di atas adalah ucapan Qatadah rahimahullah)

Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari ilmu perbintangan atau ilmu falak (astrologi). Qatadah rahimahullah (seorang tabi’in) dan Sufyan bin Uyainah (seorang ulama hadits, wafat pada tahun 198 H) mengharamkan secara mutlak mempelajari ilmu falak. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah memperbolehkan dengan syarat tertentu. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz As Sulaiman Al Qarawi –yang berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat para ulama di atas– bahwa mempelajarinya adalah :

Pertama, kafir bila meyakini bintang-bintang itu sendiri yang mempengaruhi segala aktivitas makhluk di bumi. Ini yang pertama.

Kedua, mempelajarinya untuk menentukan kejadian-kejadian yang ada, akan tetapi semua itu diyakini karena takdir dan kehendak-Nya. Maka yang kedua ini hukumnya haram.

Ketiga, mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, penunjuk jalan, waktu, menurut jumhur ulama hal ini diperbolehkan (jaiz).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengaku mengetahui ilmu ghaib menyebabkan pelakunya kafir. Sedangkan mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, hukumnya haram, baik ia membenarkan atau tidak. Dan yang disebut dukun sekarang ini banyak julukannya. Kadang ia disebut orang pintar atau paranormal, astrolog, fortuneteller, atau yang lainnya. Walaupun begitu, hakikatnya sama saja. Penggunaan julukan yang berbeda-beda hanyalah sebagai pelaris dagangan saja (atau agar terkesan tidak ketinggalan jaman). Hal ini karena mempelajari ilmu falak yang ditujukan untuk meramal nasib atau mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan tindakan kekufuran. Tujuan penciptaan bintang adalah sebagaimana yang telah diterangkan Allah dan para ulama, bukan untuk mengetahui perkara ghaib seperti yang diyakini oleh sebagian besar astrolog. Ayat yang mengatakan :

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka (mendapat petunjuk).” (QS. An Nahl : 16)

Maksudnya, agar manusia mengetahui arah jalan dengan mengetahui letak bintang-bintang, bukan untuk mengetahui perkara ghaib. Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mengharamkan dan melarang mempelajari ilmu nujum (perbintangan) dengan tujuan yang dilarang syariat, seperti hadits :

“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari cabang ilmu nujum (perbintangan) sungguh ia telah mempelajari satu cabang ilmu sihir … .” (HR. Ahmad[1], Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Sementara Islam mengharamkan orang yang menyihir atau meminta sihir. Dan mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan perkara yang membatalkan atau menggugurkan tauhid dan keimanan orang karena menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat Rububiyah. (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Wallahul Musta’an.

.
______________________________________________________________________
[1] Hadits hasan, dihasankan oleh Syaikh Ibnu Alis Sinan dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 5950 dan dalam Ash Shahihah nomor 793.

(Dinukil dari SALAFY XIX/1418/1997/AQIDAH, ditulis oleh Ustadz Ahmad Hamdani)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=193

.

.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Mencari Berkah (Tabaruk) dalam Islam

Posted on 22 Februari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Tabaruk atau mencari barakah serta waktu dan tempat yang berkaitan dengannya termasuk perkara akidah yang sangat penting. Hal ini dikarenakan sering terjadi perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan) di dalamnya.

Perbuatan itu dapat menjerumuskan banyak orang ke dalam perbuatan bid’ah, khurafat, dan syirik, dulu maupun sekarang. Bukankah orang-orang jahiliyyah terdahulu beribadah kepada berhala-berhala disebabkan mereka mengharap barakah dari berhala-berhala tersebut?

Kemudian bid’ah tersebut masuk menyelinap ke dalam agama ini melalui orang-orang zindiq (munafiq). Di antara cara yang mereka gunakan untuk merusak agama dari dalam adalah menanamkan sikap ghuluw terhadap para wali dan orang-orang shalih serta bertabaruk dengan kuburan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Dari sinilah orang-orang munafik memasukkan ke dalam Islam perkara bid’ah tersebut. Sungguh yang pertama kali mengada-adakan agama rafidlah adalah seorang zindiq Yahudi yang pura-pura menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya untuk merusak agama kaum Muslimin, sebagaimana Paulus merusak agama kaum Nashara … . Akhirnya muncullah bid’ah syiah yang merupakan kunci terbukanya pintu kesyirikan. Ketika para zindiq itu merasa kuat, mereka memerintahkan membangun tempat-tempat ibadah di atas kuburan dan menghancurkan masjid-masjid dengan alasan tidak boleh shalat Jum’at dan jamaah kecuali di belakang imam yang ma’shum … .” (Majmu’ Fatawa 27/16)

Sangat disayangkan betapa banyak kaum Muslimin terjatuh ke dalam perbuatan syirik melalui pintu tabaruk ini sehingga kita perlu mengetahui apa pengertian tabaruk serta mana yang disyariatkan dan mana yang dilarang.

Makna Dan Hakikat Tabaruk

Al Laits menafsirkan kata tabarakallah (ﺗﺒﺎﺮﻚﺍﷲ) adalah pemuliaan dan pengagungan. Az Zajaj mengatakan tentang firman Allah :

“Inilah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi.”

Kata Al Mubarak (yang diberkahi) maknanya adalah apa-apa yang mendatangkan kebaikan yang banyak.

Ar Raghib berkata : “Barakah berarti tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu.”

Ibnul Qayim berkata : “Barakah berarti kenikmatan dan tambahan. Sedangkan hakikat barakah adalah kebaikan yang banyak dan terus menerus yang tidak berhak memiliki sifat tersebut kecuali Allah tabaraka wa ta’ala.”

Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : “Barakah berarti kebaikan yang banyak dan tetap. Diambil dari kata al birkah (ﺍﻠﺑﺮﻜﺔ) yang berarti tempat terkumpulnya air (kolam). Dan tabaruk berarti mencari barakah.”

Untuk lebih jelas maka perlu diketahui beberapa perkara sebagai berikut :

1. Bahwasanya barakah itu semuanya datang dari Allah, baik dalam hal rezki, pertolongan, kesembuhan, dan lain-lain. Maka tidak boleh meminta barakah kecuali kepada Allah karena Dia-lah Pemberi Barakah. Di antara dalil tentang hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, ia berkata :

Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Ketika itu persediaan air sedikit. Maka beliau bersabda : “Carilah sisa air!” Para shahabat pun membawa bejana yang berisi sedikit air. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangan beliau ke dalam bejana tersebut seraya bersabda : “Kemarilah kalian menuju air yang diberkahi dan berkah itu dari Allah.” Sungguh aku (Ibnu Mas’ud) melihat air terpancar di antara jari-jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 6/433)

Kalau sudah jelas bahwa barakah itu dari Allah, maka memintanya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik seperti meminta rezki, mendatangkan manfaat serta menolak mudharat kepada selain Allah. Tidak diragukan lagi bahwa barakah itu termasuk kebaikan, sedang kebaikan itu semuanya dari Allah seperti sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Dan kebaikan itu semuanya di tangan-Mu.” (HR. Muslim dengan syarah An Nawawi 6/57)

2. Sesuatu yang digunakan untuk bertabaruk seperti benda-benda, ucapan, ataupun perbuatan yang telah jelas ketetapannya dalam syariat, kedudukannya hanya sebagai sebab bukan yang mendatangkan barakah. Sebagaimana halnya dengan obat-obatan hanya sebagai sebab bagi kesembuhan, bukan yang menyembuhkan. Yang menyembuhkan adalah Allah. Oleh karena itu kita hanya mengharapkan kesembuhan kepada Allah. Dan terkadang obat tersebut tidak bermanfaat dengan ijin Allah. Maka yang disebutkan dalam syariat bahwa padanya terdapat barakah hanya digunakan sebagai sebab yang kadang-kadang tidak ada pengaruhnya karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena ada penghalang. Penyandaran barakah kepadanya termasuk penyandaran sesuatu kepada sebabnya. Sebagaimana ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha tentang Juwairiah bintul Harits radliyallahu ‘anha :

“Aku tidak mengetahui seorang perempuan yang lebih banyak barakahnya daripada dia di kalangan kaumnya.” (HR. Ahmad, Musnad 6/277)

Artinya dialah sebagai sebab datangnya barakah dan bukan dia pemberi barakah.

3. Mencari barakah harus melalui sebab-sebab yang diperintahkan oleh syariat. Yang menentukan ada atau tidaknya barakah pada sesuatu hanyalah dalil syar’i. Karena perkara agama itu dibangun di atas dalil, berbeda dengan perkara dunia yang dapat diketahui dengan akal melalui pengalaman dan bukti.

4. Bertabaruk dapat dilakukan dengan perkara yang dapat dicapai dengan panca indera seperti ilmu, doa, dan lain-lain. Seseorang mendapatkan kebaikan yang banyak dengan barakah ilmunya yang dia amalkan dan dia ajarkan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bertabaruk adalah mencari barakah dalam hal tambahan kebaikan dan pahala serta semua yang dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya melalui sebab-sebab dan cara yang telah ditetapkan dalam syariat.

Tabaruk Yang Disyariatkan

A. Bertabaruk Dengan Ucapan Dan Perbuatan
Banyak ucapan, perbuatan, serta keadaan yang diberkahi jika seorang hamba yang Muslim melakukannya untuk mencari kebaikan dan barakah melalui sebab tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia akan mendapatkan kebaikan dan barakah itu sesuai dengan niat dan kesungguhannya, jika tidak ada penghalang syar’i yang menghalanginya.

Di antara ucapan-ucapan yang mengandung barakah adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Tidak tersamar lagi bagi seorang Muslim bahwa dengan dzikir dan membaca Al Qur’an seorang hamba dapat memperoleh kebaikan serta barakah yang banyak. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat yang biasa berkeliling di jalan mencari orang-orang yang berdzikir. Jika mereka mendapatkan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka pun saling memanggil : “Kemarilah pada apa yang kalian cari (hajat kalian).” Maka para Malaikat pun menaungi mereka dengan sayap mereka sampai ke langit dunia. Lalu Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para Malaikat itu sedangkan Allah Maha Tahu : “Apa yang diucapkan para hamba-Ku?” Para Malaikat menjawab : “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memuji Engkau.” Allah bertanya : “Apakah mereka melihat Aku?” Para Malaikat tersebut menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihat Engkau.” Allah bertanya lagi : “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat Aku?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka melihat Engkau, niscaya mereka tambah bersemangat beribadah kepada-Mu dan lebih banyak memuji serta bertasbih kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apa yang mereka minta?” Para Malaikat menjawab : “Mereka minta Surga kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat Surga?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka lebih sangat ingin untuk mendapatkannya dan lebih bersungguh-sungguh memintanya serta sangat besar keinginan padanya.” Allah bertanya : “Dari apa mereka minta perlindungan?” Para Malaikat menjawab : “Dari neraka.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah bertanya : “Bagaimana kalau mereka melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka tambah menjauh dan takut darinya.” Allah berfirman : “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Seorang di antara Malaikat berkata : “Di antara mereka ada si Fulan yang tidak termasuk dari mereka (orang-orang yang berdzikir), dia hanya datang karena ada keperluan.” Allah berfirman : “Tidak akan celaka orang yang duduk bermajelis dengan mereka (majelis dzikir).” (HR. Bukhari)

Dari hadits ini diketahui betapa agung barakah dzikir tersebut, ia mengandung pengampunan dosa-dosa dan jaminan masuk Surga. Bukan hanya bagi orang-orang yang berdzikir saja, tetapi juga mencakup orang yang duduk bersama mereka. Sedangkan membaca Al Qur’an termasuk jenis dzikir yang paling agung. Di dalamnya terdapat barakah dunia dan akhirat yang tidak ada yang mampu menghitungnya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Bacalah Al Qur’an karena sesungguhnya dia akan datang di akhirat nanti memberi syafaat kepada orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim)

Di samping ucapan-ucapan ada pula perbuatan yang mengandung barakah jika seorang Muslim ber-iltizam dengannya dalam rangka ber-ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapat barakah yang agung dengan ijin Allah. Termasuk di antaranya Thalabul ‘Ilmi (menuntut ilmu) serta mengajarkannya dan juga shalat berjamaah. Demikian pula maju ke medan tempur untuk meraih keutamaan mati syahid di jalan Allah. Hal ini merupakan amal yang mengandung barakah yang tidak ada yang lebih agung daripadanya kecuali barakah iman dan barakah kenabian dan kerasulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Orang yang mati syahid memiliki enam keutamaan di sisi Allah yaitu : Dia diampuni pada awal penyerangannya, diperlihatkan tempat duduknya di Surga, dilindungi dari adzab kubur, merasa aman dari ketakutan yang dahsyat, diletakkan di atas kepalanya mahkota kehormatan yang permatanya lebih baik daripada dunia beserta isinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan (diberi ijin) memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya.” (HR. Tirmidzi dari Miqdam bin Ma’dikarib, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 2/132)

Di samping ucapan dan perbuatan, keadaan-keadaan yang diberkahi antara lain : Makan bersama dan dimulai dari pinggir, serta menjilat jari (setelah makan), dan makan secukupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Berkumpullah kalian menikmati makanan dan sebutlah nama Allah, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Juga beliau bersabda :“Barakah itu akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir dan jangan dari tengah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud)

Beliau juga memerintahkan untuk menjilat jari karena seseorang tidak tahu mana di antara makanan itu yang mengandung barakah.

Beliau juga bersabda :“Takarlah makanan itu, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Bukhari)

Semua ucapan atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kemudian dilakukan seorang hamba dengan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah) niscaya akan menjadi penyebab turunnya barakah.
B. Bertabaruk Dengan Tempat
Allah menjadikan barakah pada beberapa tempat di muka bumi. Barangsiapa mencari barakah pada tempat tersebut, niscaya dia akan mendapatkannya dengan ijin Allah, jika dia beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah. Tempat-tempat tersebut antara lain :

1. Masjid-masjid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tempat yang paling dicintai Allah di suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling dibenci Allah dalam suatu negeri adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Bertabaruk dengan masjid bukan dengan mengusap tanah atau temboknya. Karena tabaruk adalah perkara ibadah maka harus sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mencari barakah melalui masjid-masjid adalah dengan i’tikaf di dalamnya, menunggu shalat lima waktu, shalat berjamaah, menghadiri majelis-majelis dzikir di sana, dan perkara-perkara yang disyariatkan lainnya. Adapun perkara ibadah yang tidak disyariatkan tidak akan mendatangkan barakah, bahkan termasuk perbuatan bid’ah.

Di antara masjid yang memiliki keistimewaan tambahan dalam hal barakah adalah : Masjidil Haram, Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjidil Aqsa, dan Masjid Quba’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalat di masjidku ini lebih baik seribu kali daripada shalat di masjid yang lain kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain ada tambahan :

“Dan shalat di Masjidil Haram lebih afdlal seratus kali daripada shalat di masjidku ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda beliau pula : “Tidak boleh dilakukan perjalanan (jauh) kecuali kepada tiga masjid, yaitu masjidku ini, masjidil haram, dan masjidil aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau bersabda tentang masjid Quba’ : “Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu datang ke masjid Quba’ dan shalat padanya dengan satu shalat maka baginya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, Hakim, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

2. Kota Makkah, Madinah, dan Syam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Makkah : “Demi Allah, engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan paling dicintai-Nya. Sekiranya aku tidak diusir darimu, tidaklah aku akan keluar.” (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Demikian pula Madinah dan Syam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Barangsiapa menginginkan kejelekan terhadap penduduknya (Madinah), Allah akan menghancurkannya sebagaimana melelehnya garam dalam air.” (HR. Muslim)

“Berbahagialah penduduk Syam.” Kami bertanya : “Kenapa?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya para Malaikat Allah Yang Maha Rahman membentangkan sayap mereka di atasnya.” (HR. Ahmad, Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir)
Sehingga orang yang bermukim di Makkah, Madinah, atau Syam dengan mengharap barakah Allah ‘azza wa jalla pada tempat tersebut, baik dalam hal tambahan rezki atau dihindarkan dari fitnah, berarti dia telah diberi taufiq untuk mendapatkan kebaikan yang banyak. Adapun kalau seorang hamba bertabaruk dengan mengusap tanah, batu-batuan, tembok dan pepohonannya, atau dengan mengambil tanahnya untuk dicampur dengan air dan dijadikan obat atau yang semisal itu, maka dia justru mendapatkan dosa karena mengamalkan bid’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bertabaruk dengan cara seperti itu.

3. Arafah, Muzdalifah, dan Mina

Ketiga tempat tersebut juga termasuk diberkahi karena banyak kebaikan yang turun kepada manusia di tempat-tempat tersebut berupa pengampunan dosa dan pembebasan dari neraka serta pahala yang besar sebagai barakah ber-ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula wuquf (menetap) di tempat tersebut pada waktu yang disyariatkan.

C. Bertabaruk Dengan Waktu
Allah subhanallahu wa ta’ala mengkhususkan beberapa waktu dalam hal keutamaan dan barakah.

Barangsiapa memilih waktu-waktu tersebut untuk melakukan kebaikan padanya serta bertabaruk dengan menjalankan amal-amal yang disyariatkan pada waktu tersebut, niscaya dia akan memperoleh barakah yang agung. Seperti bulan Ramadlan, Lailatul Qadar, sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, Senin, Kamis, bulan-bulan Haram, dan 10 hari bulan Dzulhijah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup serta setan dibelenggu pada bulan tersebut. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalang (mendapatkan kebaikannya) maka sungguh ia terhalang (dari kebaikan yang banyak).” (HR. Ahmad dan dijayidkan oleh Al Albani karena syawahidnya dalam Misykah Al Mashabih)

Adapun barakah yang Allah jadikan pada bulan Ramadhan antara lain berupa berupa pengampunan dosa, tambahan rezki bagi seorang Mukmin, pendidikan (jiwa), serta pahala yang besar di sisi Allah.

Adapun Lailatul Qadar, keadaannya sangat agung sebagaimana firman Allah : “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al Qadr : 3)

Karena agungnya barakah pada malam tersebut sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Berjaga-jagalah (untuk mendapatkan) Lailatul Qadr pada bilangan ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari)

Termasuk waktu yang diberkahi pula adalah 10 hari bulan Dzulhijah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada amal pada hari-hari (lain) yang lebih afdhal daripada 10 hari bulan Dzulhijah ini.” Mereka para shahabat pun bertanya : “Tidak pula jihad?” Beliau bersabda : “Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang keluar menyabung nyawa dan hartanya dan tidak kembali sedikitpun.” (HR. Bukhari)

Keutamaan hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijah) bagi orang yang berhaji telah dimaklumi. Allah membanggakan orang-orang yang wuquf di ‘Arafah kepada para Malaikat-Nya selama mereka datang semata-mata untuk mencari ampunan. Sedangkan berpuasa bagi yang tidak haji akan mendapatkan barakah yaitu diampuninya dosa-dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ … dan puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah untuk mengampuni setahun yang lalu dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim)

Adapun hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam Surga dan dikeluarkan dari Surga. Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Adapun sepertiga malam terakhir, ketika Allah turun ke langit dunia, turun pula barakah yang agung bagi orang yang berdoa dan minta ampun pada waktu tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Siapa yang minta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari)

Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut harus dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan sesuai dengan bimbingan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau seorang hamba mencari barakah pada waktu-waktu tersebut dengan amal yang tidak disyariatkan niscaya dia tidak akan diberi taufiq untuk mendapatkan barakah tersebut.

Demikian pula barakah terdapat pada beberapa jenis makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti minyak zaitun, susu, al habbatus sauda’ (jinten hitam), madu, air zam-zam, dan kurma.

Wallahu A’lam.

 

__________________________________________________________________________________

(Dikutip dari majalah SALAFY/Edisi XXII/1418/1997/AQIDAH – Mukhtar M. Nur & Abu Abdillah Al Makasari)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=192
Read Full Post | Make a Comment ( 5 so far )

Macam-macam Syirik Besar (Akbar)

Posted on 22 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , |

Bagaimana cara menolak gangguan syetan yang menanyakan: “Siapa yang menciptakan Allah?”

Bolehkah kita membenarkan (mempercayai) ahli nujum dan dukun tentang ilmu ghaib?

Bolehkah kita memakai benang dan kalung untuk mengobati penyakit (tolak bala)

Apa hukumnya beramal berdasarkan aturan yang menyelisihi hukum Islam?

Bolehkah menggantungkan merjan atau jimat-jimat atau yang lainnya?

Bolehkah kita meminta berkah kepada orang mati atau ghaib?

Adakah seseorang yang dapat mengetahui perkara ghaib?

Bolehkah kita minta pertolongan kepada selain Allah?

Bolehkah kita minta pertolongan pada orang hidup?

Bolehkah menyembelih qurban untuk selain Allah?

Bolehkah kita bernadzar kepada selain Allah?

Bermanfaatkah amal yang disertai syirik?

Bolehkah kita berthawaf pada kuburan?

Apa bahaya syirik besar?

Apa hukum sihir itu?


.

Soal 1: Bolehkah kita minta berkah kepada orang mati atau ghaib?

  • Jawab:

Tidak boleh, sebagaimana firman Allah:

وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ لاَ يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ . أَمْواتٌ غَيْرُ أَحْيَاء وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.” (an-Nahl:20-21)

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ingatlah ketika kamu mohon pertolongan kepada Rabb-mu, maka Dia mengabulkan permintaanmu.” (al-Anfaal:9)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث
“wahai Dzat Yang Maha Hidup, Wahai Dzat Yang Mengurusi Makhluk-Nya dengan rahmat-Mu aku beristighatsah”. (HR.Tirmidzi:hasan)

 

Soal 2: Bolehkah kita minta pertolongan kepada selain Allah?

  • Jawab:

Tidak boleh, dengan dalil firman Allah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.” (al-Fatihah: 5)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله
“Apabila kamu meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila kamu minta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR.Tirmidzi: Hasan Shahih)

 

Soal 3: Bolehkah kita minta pertolongan pada orang hidup?

  • Jawab:

Boleh, selama dalam batas kemampuannya, sesuai dengan firman Allah:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
“Tolong menolonglah dalam berbuat baik dan taqwa.” (al-Maidah:2)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

والله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه
“Allah itu akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR.Muslim)

 

Soal 4: Bolehkah kita bernadzar kepada selain Allah?

  • Jawab:

Tidak boleh, dengan firman Allah:

رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا
“Ya Rabb-ku sesungguhnya aku menadzarkan kepada-Mu, apa yang di dalam perutku menjadi panjaga Baitil Maqdis.” (Ali Imran: 35)

Dan sabda Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصيه الله فلا يعصه
“Barangsiapa yang bernadzar kepada Allah untuk mentaati-Nya, maka taatilah dan barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah maksiat pada-Nya.” (HR.Bukhari)

 

Soal 5: Bolehkah menyembelih qurban untuk selain Allah?

  • Jawab:

Tidak boleh, dengan dalil firman Allah:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah karena Rabb-mu dan berqurbanlah.” (al-Kautsar:2)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لعن الله من ذبح لغير الله
“Allah melaknat orang yang menyembelih qurban untuk selain Allah.” (HR.Muslim)

 

Soal 6: Bolehkah kita berthawaf pada kuburan?

  • Jawab:

Tidak boleh kita berthawaf kecuali di Ka’bah, dengan dalil firman Allah:

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan berthawaflah di rumah yang kuno (ka’bah)” (Al-Hajj:29)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من طاف بالبيت سبعا وصلى ركعتين كان كعتق رقبة
“Barangsiapa yang berthawaf di Ka’bah tujuh kali dan shalat dua rakaat adalah pahalanya seperti memerdekakan seorang budak.” (HR.Ibnu Majah: Shahih)

 

Soal 7: Apa hukum sihir itu?

  • Jawab:

Sihir termasuk kufur, dengan dalil firman Allah:

وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْر
“Akan tetapi syetan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kapada manusia.” (Al-Baqarah:102)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اجتنبوا الموبقات : الشرك بالله، والسحر
“Jauhilah tujuh hal yang bersifat membinasakan: Syirik kepada Allah, sihir …” (HR.Muslim)

 

Soal 8: Bolehkah kita membenarkan (mempercayai) ahli nujum dan dukun tentang ilmu ghaib?

  • Jawab:

Tidak boleh, dengan dalil firman Allah:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak akan mengetahui orang yang di langit dan yang di bumi itu tentang (hal) ghaib kecuali Allah.” (an-Naml:65)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من أتى عرافاً أو كاهناً فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد
“Barangsiapa yang mendatangi ahli nujum dan dukun, kemudian dia membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan pada Muhammad.” (HR.Ahmad: Shahih)

 

Soal 9: Adakah seseorang yang dapat mengetahui perkara ghaib?

  • Jawab:

Tidak ada seorangpun yang mengetahui tentang yang ghaib kecuali orang yang Allah kehendaki daripada Rasul-rasul-Nya. Firman Allah:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا . إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ
“Dialah yang mengetahui yang ghaib dan tidak seseorangpun yang diberitahu tentang keghaiban itu kecuali orang yang dikehendaki-Nya daripada rasul.” (Jin: 26-27)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا يعلم الغيب إلا الله
“Tidak ada yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.” (HR.Thabrani: hasan)

 

Soal 10: Bolehkah kita memakai benang dan kalung untuk mengobati penyakit (tolak bala, -red)

  • Jawab:

Tidak boleh, dengan dalil firman Allah:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ
“Jika Allah menimpakan kepadamu musibah, maka tidak ada yang bisa menolaknya kecuali Dia.” (al-An’am:17)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Ketahuilah, sesungguhnya semua itu hanya akan menambah kelemahan saja, buanglah ia karena sesungguhnya jika kamu mati sedang kamu masih melakukannya, maka kamu akan merugi selamanya.” (HR.Hakim: shahih)

 

Soal 11: Bolehkah menggantungkan merjan atau jimat-jimat atau yang lainnya?

  • Jawab:

Tidak boleh, dengan dalil firman Allah:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ
“Jika Allah menimpakan musibah kepadamu, maka tidak ada yang bisa menolaknya kecuali Dia.” (Al-An’am:17)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menggantungkan diri pada jimat, maka telah musyrik.” (HR.Ahmad: Shahih)

 

Soal 12: Apa hukumnya beramal berdasarkan aturan yang menyelisihi hukum Islam?

  • Jawab:

Melakukannya adalah kafir, bila ia mengizinkannya atau meyakini kebenarannya, dengan dalil firman Allah:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka itu orang kafir.” (al-Maaidah:44)

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:

“Dan pemimpin-pemimpin mereka tidak menghukumi dengan kitab Allah dan tidak pula memilih dari apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menimpakan kekerasan yang terjadi antar sesama mereka. (HR.Ibnu Majah dan lainnya: hasan)

 

Soal 13: Bagaimana cara menolak gangguan syetan yang menanyakan: “Siapa yang menciptakan Allah?”

  • Jawab:

Apabila syetan membisikan pertanyaan ini pada salah seorang di antara kamu, maka mintalah perlindungan kepada Allah, dengan dalil:

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syetan itu mengganggumu, maka mintalah perlindungan kepada Allah, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Fushshilat:36)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan pada kita untuk menolak tipudaya syetan dengan mengucapkan :

“Amantubillahi warasulihi, Allahu Ahad, Allahush Shamad, Lam yalild walam yulad walam yakun lahu kufuwan ahadun.”
(“Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, Allah itu Maha Esa, Allah tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorangpun yang menyamai-Nya”), kemudian meludah ke kiri tiga kali dan mengucapkan :
“A’uudzubillahi minasyaithonirrajiimi”
maka akan terbebas dari godaan syetan. (Ini adalah ringkasan hadits-hadits shahih dalam riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)

 

Soal 14: Apa bahaya syirik besar?

  • Jawab:

Syirik besar menyebabkan kekal di neraka, dengan dalil firman Allah:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang musyrik kepada Allah, maka Allah mengharamkan surga baginya dan tempat tinggalnya adalah neraka dan tidaklah ada penolong bagi orang-orang yang zalim.”(al-Maaidah:72)

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menghadap Allah dengan membawa kemusyrikan sedikit saja, maka ia masuk neraka.” (HR.Muslim)

 

Soal 15: Bermanfaatkah amal yang disertai syirik?

  • Jawab:

Tidak bermanfaat, dengan dalil firman Allah:

وَلَوْ أَشْرَكُواْ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am:88)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits qudsi:

“Allah berfirman: Aku tidak butuh pada sekutu-sekutu itu, barangsiapa yang beramal dengan amalnya itu dia mempersekutukan Aku dengan yang lainnya, maka akan Ku-tinggalkan dia bersama sekutunya.” (HR.Muslim)

 

_________________________________________________________________________
(Dinukil dari “Khud Aqidataka”, Penulis: Muhammad bin Jamil Zainu, Edisi Indonesia: “Koreksi Aqidahmu”, Penerjemah: Abu Hamdan, halaman: 23-35)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=189

.

Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?Aqidah > Hal-hal yang termasuk Syirik Kecil (Ashghar)

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?

Posted on 22 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , |

Soal 1: Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?

Jawab:
Dosa yang paling besar adalah syirik kepada Allah, dengan dalil firman Allah:
“Wahai anakku janganlah kamu mempersekutukan (syirik) kepada Allah, sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang paling besar.” (Luqman:13)

Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:
“Dosa apa yang paling besar? Beliau bersabda: Kamu menjadikan tandingan bagi Allah, sedang Dialah yang menciptakanmu. (HR.Bukhari-Muslim)

Soal 2: Apakah Syirik Akbar itu?

Jawab:
Syirik besar (Akbar) adalah beribadah kepada selain Allah, seperti berdoa kepada selain Allah, meminta berkah kepada orang yang mati atau hidup tapi tidak berada di tempat orang yang meminta, seperti firman Allah:
“Beribadahlah kepada Allah dan jangan kamu sekutukan sesuatu dengan Allah.” (an-Nisa’:36)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Termasuk dosa besar yang paling besar adalah berbuat syirik kepada Allah.” (HR. Bukhari)

Soal 3: Apakah syirik itu bercokol pada umat sekarang ini?

Jawab:

Benar, dengan dalil firman Allah:
“Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, kecuali mereka dalam keadaan berbuat syirik.” (Yusuf:106)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga segolongan besar dari ummatku cenderung pada orang-orang musyrik dan ikut beribadah pada berhala. (HSR.Tirmidzi)

Soal 4: Apa hukum berdoa kepada orang yang mati atau ghaib?

Jawab:
Berdoa kepada orang yang mati dan ghaib itu syirik akbar, sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, apa yang tidak memberimu manfaat dan memberimu madharat; sebab jika kamu melakukan (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Yunus: 106)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa yang mati sedang dia menyeru/berdoa kepada selain Allah sebagai tandingan, niscaya masuk neraka.” (HR.Bukhari)

Soal 5: Apakah doa itu ibadah?

Jawab:
Ya, doa itu ibadah, sebagaimana firman Allah:

“Berdoalah kepada-Ku akan Kupenuhi permintaanmu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir:60)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Doa itu ibadah.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi, beliau berkata: hasan shahih)

Soal 6: Apakah orang mati itu bisa mendengarkan doa?

Jawab:
Tidak bisa mendengar, dengan dalil firman Allah:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar.” (an-Naml:80)

“Dan kamu sekali-kali tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (faathir:22)

________________________________________________________________________________
(Dinukil dari “Khud Aqidataka”, Penulis: Muhammad bin Jamil Zainu, Edisi Indonesia: “Koreksi Aqidahmu”, Penerjemah: Abu Hamdan, halaman: 18-22)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=188

 

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang KafirAqidah > Macam-macam Syirik Besar (Akbar)

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Yusuf Qaradhawi dan Demokrasi “Islami”

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:

“Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis.
Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.

“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan.

Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan.
Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya.
Saya katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Kekuasaan terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem­punyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya’nuhu.
Manusia hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta’ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan meng­gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari’at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat undang-undang.
Oleh karena itu, harus dikatakan: “Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari’at Islam.” Sebagaimana dalam Majelis Tasyri’ (Badan Legislatif) harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai ber­bagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar’iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah Islam.
Kemudian, para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening­galkan shalat atau orang yang menganggap enteng agama.
Di sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama, mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya.
Kedua, amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Yusuf alaihissalam , di mana dia mengatakan (yang artinya) : “Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan. “‘ (QS. Yusuf: 55).

Juga dalam kisah Musa alaihissalam, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta (yang artinya) : “Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. “ (QS. Al-Qashash: 26).

Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilan­nya.[1]

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan: “Anehnya, se­bagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.
Di antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa meng­hukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi ke­putusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang lain.
Lalu apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku-­kuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!”
Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik
jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.”[2]

Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansi­nya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, ke­pentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan manusia.

Kelebihan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela­-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum tirani.

Tidak ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang­kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan me­realisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna me­wujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi ini.

Di antara kaidah syari’at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan-­tujuan syari’at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mem­punyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan tersebut.

Tidak ada satu syari’at pun yang melarang penyerapan pe­mikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit”, padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa Parsi.

Selain itu, Rasulullah saw pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar “dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis” untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin, meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak atasnya.

Dalam beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya.”[3]
Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat di­terima.

Bagi para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-­wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.

Benar, setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh me­reka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam: “Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat,” dan mereka juga mem­punyai hak untuk menurunkan penguasa jika melakukan penyim­pangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. “[4]

Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping ber­pegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari’at Islam adalah sumber hukum dan undang­-undang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan ke­kuasaan Allah atau kekuasaan syari’at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat tertinggi.

Dimungkinkan juga untuk menambahkan pada undang-­undang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari’at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil.”[5]

Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari’at dan juga pokok-pokok agama serta hal­-hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk me­ngatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai “mashalihul mursalah.” Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau mem­batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian seterusnya.

Jika banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa­kah ada tarjih tanpa murajjah (yang diunggulkan)? Ataukah harus ada murajjah?
Sesungguhnya logika akal, syari’at dan realitas menyatakan harus ada murajjah (yang diunggulkan), dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pen­dapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan (yang artinya) : “Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.”,[7]

Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih (pengung­gulan satu pendapat) itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari’at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan: “Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.”[8]

Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan “Khilafah Rasyidah” menjadi “kerajaan penindas” yang oleh sebagian sahabat disebut “kekaisaran”. Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah ke­padanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara mereka.

Apa yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang-wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas­nya, dan tidaklah syari’at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan ge­rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan meng­gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar.”[9]

Di sini saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-­kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian Islam.

Tetapi, jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me­mahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya.”[10]

Saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) termasuk orang yang me­nuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan.”[11]

Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan: “Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan upaya.

Yang lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan keindahan.

Jika kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe­rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan) misalnya.

Dengan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum­pamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut se­bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula demokrasi.
Jadi, yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerap­kan sistem syura (permusyawaratan) yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]

A. KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI.

Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran dari ucapan Dr. Yusuf al­-Qaradhawi.

Jamal Sulthan mengatakan: “Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan dirinya kepada setiap penulis dan pemilik pemikiran.

Fatwa dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan: “itu benar,” bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan: “Itu salah!” Namun, sesung­guhnya di sana ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan “segi dan pertim­bangan” fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman sekarang ini.

Dalam fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegas­kan oleh Ustadz Fahmi: “Apakah demokrasi itu kufur?”
Maka, Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan: “Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberi­kan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mem­punyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan ke­salahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah substansi demokrasi.”

Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari: “Realitas menunjukkan, bahwa orang yang mem­perhatikan secara seksama substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari konsep Islam.”

Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya salah secara keseluruhan. Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka… dan seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Namun, demokrasi secara substansial adalah pe­nolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan se­jarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan agama.

Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu ada­lah sisi lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap pengkaji sejarah Eropa modern.

Di antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari’at yang berada di atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda mengatakan, misalnya “Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash al-Qur’an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian, anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta’ala semata, bukan ada pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka berakhirlah kisah demokrasi itu.

Demikian itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apa­kah kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi, niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep Islam”. Atau kita akan mengata­kan seperti yang dikatakannya pula: “Islam telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rincian­nya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka.”
Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluar­kan fatwanya berdasarkan pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat sejarah demokrasi dan obyek­tivitas yang membentuk istilah demokrasi dalam pemikiran manusia modern.
Barangkali hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya: “Dan ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pe­merintahan yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator.”
Sebenarnya, saya (Jamal Sulthan) belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan: “Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demo­krasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.” Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan: “Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi,” lalu siapa yang akan menilai dan membenar­kan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?

Sesungguhnya fatwa syari’at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan (misalnya : ” Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit”, ed). Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf al­Qaradhawi dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai­-nilai keadilan, kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari’at terhadap­nya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepada­nya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah.”
Di sini, saya setuju sekali dengan Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengenai kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang dikandung oleh istilah “buatan Barat, perkembangan, sejarah dan pertikaian­nya” untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah “sosialisme “, sehingga mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi.

Sesungguhnya, demokrasi bukan apa yang anda rinci ber­dasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau menerimanya atau menolak­nya, lalu mencari manhaj lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai dengan ‘aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan anda.

Jika kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut dengan “pemerintahan berdasarkan ketuhanan”. Kita hanya akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu “hukum Allah” adalah Islam?!

Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan: “Se­sungguhnya demokrasi itu dari Islam,” maka dibenarkan pula untuk mengatakan: “Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!”
Sedangkan kita akan mengatakan: “Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan (budaya) Barat, hal itu tidak memberikan man­faat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak me­ngenal istilah “surat penebus dosa”, dan tidak pula mengenal istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan ber­beda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya (Islam dan Kristen).

Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum mus­limin berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak mungkin bagi mereka untuk meng­gambarkan prinsip-prinsip ini dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang demikian itu merupakan satu ke­salahan yang sangat berbahaya. Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-­prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar dampak dari kelahiran sekularisme atau demokrasi di masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan mem­berlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme atau demokrasi.

Tetapi, dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pe­mikiran dan politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau mengkhayalkan karya pe­mikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh oleh “kutub Eropa”, serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha “dunia ketiga” dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir atas matan (isi) yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami me­nolak kecuali mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi, sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah meninggalkannya.

Sesungguhnya Partai Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- ­memaksakan dirinya masuk ke dunia partai, dan sebagian anggo­tanya masuk parlemen Itali, agar “suara pelacur” cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam masya­rakat, jika semua suara sama.

Yang tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tin­dakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat melarikan diri dari mengakuinya.

Benar bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demi­kian. Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama dan dunia, syari’at dan ma­syarakat, keadilan dan moral, kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan demokrasi.

Jangan anda merasa kesal tuanku (Dr. Yusuf al-Qaradhawi), jika masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan (berprasangka baik) ter­hadap kesungguhan mereka dalam memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan antar negara.

Dalam fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang de­mokrasi, masih terdapat kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga komentar kami setelah itu.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenang­kan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun ter­kadang pendapat itu salah dan bathil.

Padahal Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan me­nolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut.

Bahkan, nash-nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala ini(yang artinya) : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’aam: 116).

Juga firman-Nya(yang artinya) :
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103).

Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali ter­hadap firman-Nya berikut ini(yang artinya) : “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. “ (QS. AI­A’raaf: 187).

Selanjutnya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan: “Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah.

Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah:
Kemudian, sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.
Jadi, tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan pendapat tanpa adanya yang diunggul­kan? Ataukah perlu adanya yang diunggulkan?

Logika akal, syari’at dan realitas menyatakan perlu adanya (orang) yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan(yang artinya) :
“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.”

Ditegaskan pula, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma(yang artinya) : “Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”

Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan ada­nya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang membingungkan.

Pertama-tama, saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qara­dhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpen­dapat “Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam”.
– Apakah Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport?
– Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai ber­bagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik?
– Lalu kapan hal itu terjadi?
– Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi ~ sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin?
– Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?

Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya mem­buka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Se­sungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!
Adapun ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Se­harusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah.”

Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan: “Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi.”

Demikian juga dengan ungkapan Dr. Yusuf ai-Qara­dhawi: “Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.”

Perbedaan yang dianggap aneh oleh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk di­tundukkan pada pendapat manusia.
Di sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada kon­sepsi Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak demokratis.

Demikian juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari’at yang sudah pasti,” maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari’at yang me­merintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi demokrasi.

Apakah sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memper­indah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?

Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan ke­yakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang ini.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang diharapkan umat.

Mengapa kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil kon­struktif (yang berasal dari Islam), yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional: “Disembelih dengan cara Islami?”

Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, ma­syarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?
Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-­simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa modern.

Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut (demokrasi dan sekularisme) ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nila.i Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengser­kannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak per­putaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semua­nya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan `aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat manusia.

Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pen­cerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam semesta.

Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, “agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,” supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata.”‘[13]

Perlu penulis katakan: “Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan.”

_____________________________________________________________________________

Foot Note :
[1] Al-Huluul al Mustaurida (hal. 77, 78).
[2] Fataazva’Mu’aashirah (II/637).
[3] Ibid (II/643).
[4] Ibid (II/644-645)
[5] Ibid (II/646).
[6] HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar (2166).
[7] Fataawa’ Mu’aashirah (II/647-648).
[8] Ibid (II/649).
[9] Ibid (II/649).
[10] Ibid (II/650).
[11] Ibid (II/650).
[12] Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia mem­baca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya `Abdul Ghani (telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia : Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal, ed), Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad Syakir asy-Syarif, ad-Demoqra­thryyah fil Miizaan karya Sa’id Abdul Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya `Abdul Majid ar-Riimi.

(Dikutip dari buku Pemikiran Dr. Yusuf al-Qardhawi Dalam Timbangan. Judul asli al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan oleh Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi. Cetakan Pertama Dzulqa’dah 1423 H/Januari 2003)

Penulis: Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi

Judul Asli: Penyimpangan pikiran Yusuf al-Qardhawi (I)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=262


Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Mengenal Dr. Yusuf Al-Qaradhawi

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin), Nasehat, Tokoh Sempalan | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Pernah Muhammad Bin Bundar As-Sabbak Al-Jurjani berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Berat bagiku untuk mengatakan si fulan lemah, si fulan pendusta.” Maka berkata Al-Imam Ahmad, “Jika kamu diam dan saya pun diam, bagaimana si jahil mengetahui yang benar dari yang salah.”

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata bahwa suatu hari datanglah Abu Turab An-Nakshsyabi menemui bapaknya ketika ia sedang mengatakan “si fulan lemah dan si fulan dipercaya” kemudian berkatalah Abu Turab, “Ya Syaikh, engkau mencela ulama, “ maka bapaknya melihat kepada Abu Turab seraya berkata, “Celaka kamu, ini nasihat, bukan ghibah!”

Berkata Imam Abu Isa At-Tirmidzi, “Sebagian orang yang tidak paham telah mencela ulama hadits karena membicarakan orang”. Juga Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Sebagian orang yang tidak memiliki ilmu menyangka bahwa perbuatan itu adalah ghibah. Padahal tidaklah demikian, karena menyebutkan aib seseorang jika ada maslahatnya, walaupun sifatnya khusus, seperti tak ada perselisihan tentang bolehnya menolak persaksian seorang yang berdusta. Maka dalam hal ini kemaslahatan bagi kaum muslimin lebih diutamakan.” (Syarh Ilal oleh Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali, 1:43-44).

Biografi Yusuf Al Qaradhawi
Riwayat Singkat

Qaradhawi dilahirkan pada tahun 1926 M, menimba ilmu di Al-Makatib, Madrasah Ibtidaiyah dan Ma’had Diniy di Al-Azhar. Pemahaman akidahnya bersumber dari faham Asy’ariyah. Semenjak kecil sudah dijejali dengan kitab-kitab sufi, seperti kitabnya Al-Ghazali, Ibnu Ujaibah dan sebagainya. Oleh karena itu, ia tidak menentang faham tasawuf, sebagaimana pengakuannya.

Ketika masih remaja di bangku Ibtidaiyah, Qaradhawi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan sangat terpengaruh oleh pemikiran Hasan Al-Banna, Muhammad Al-Ghazali, dan para pembesar Hizbul Ikhwan lainnya. Maka tidak heran jika kemudian dia menjadi salah satu pembesar di Hizbul Ikhwan di tahun-tahun terakhir.

Daftar Kebatilan Qaradhawi

1. Terkontaminasi pemikiran rasionalis di “Madrasah Hawaiyah” (madrasah yang dibangun atas dasar hawa nafsu), sehingga terkadang menolak hadits-hadits shahih dengan alasan tidak masuk akal, bertentangan dengan Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dilihat dalam kitab Kaifa Nata’aamal Ma’as-Sunnah yang ditulisnya.

2. Tidak merujuk kepada pemahaman Salaf terhadap Al-Qur’an, bahkan ia memahaminya menurut hawa nafsunya. Tidak menghargai para ulama, tidak memperdulikan pendapat ulama, dan menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ulama, apabila bertentangan dengan hawa nafsunya.

3. Mengajak umat Islam untuk bermawaddah (berkasih sayang) dengan Yahudi dan Nasrani. Hal ini dituangkannya dalam berbagai kitab, koran dan majalah.

4. Berupaya mendekatkan kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka (Yahudi dan Nasrani). Hal ini dibuktikan dengan seringnya berpartisipasi dan hadir dalam berbagai muktamar Tauhidul-Adyan (penyatuan agama-agama) yang diadakan oleh Yahudi dan Nashara, kecuali muktamar di Sudan, ia tidak bisa hadir karena alasan pribadi.

5. Berpendapat bahwa jihad hanya untuk membela diri saja, bukan untuk ekspansi ke negeri-negeri kafir.

6. Menghormati tempat ibadah orang-orang kafir.

7. Mengkampanyekan “Perdamaian Dunia” tanpa letih dan bosan. (Maksudnya, kaum muslimin dibelenggu kebebasannya untuk berjihad dan membela harga dirinya dari penindasan orang-orang kafir dengan dalih perdamaian dunia, pent.)

8. Mempropagandakan positifnya keberagaman agama.

9. Mengadopsi pemikiran-pemikiran yang berasal dari orang-orang kafir, dan berusaha memolesnya dengan wajah Islami, seperti demokrasi dan pemilu.

10. Memutuskan suatu perkara sesuai dengan pendapat mayoritas jika terjadi perbedaan pendapat.

11. Memecah-belah kaum muslimin menjadi bermacam-macam thaifah, firqah dan hizib, serta mengingkari nas-nas yang melarangnya.

12. Berpendapat bahwa orang yang mengkritisi para penakwil dan pengingkar Asma’ wa Shifat Allah adalah lari dari perjuangan Islam, menolong musuh dan melemahkan barisan Islam.

13. Berusaha untuk mensalafkan Sufi dan mensufikan Salaf, serta mencampuradukkan keduanya.

14. Mencela dan merendahkan ulama Islam, serta memuji ahli bid’ah dan ahlul ahwa’.

15. Merayakan hari-hari besar bid’ah yang dia sendiri sudah tahu bahwa itu hanya taklid kepada orang-orang Barat.

16. Membolehkan nyanyian dan mendengarkan lagu-lagu yang didendangkan oleh artis laki-laki maupun perempuan. Bahkan terpesona dengan suara Faizah Ahmad dan menyenangi lagunya Fairuz.

17. Menyaksikan film sinetron di televisi dan video.

18. Berpendapat bahwa bioskop adalah sarana hiburan, yang penting halal dan baik.

19. Membolehkan penjualan beberapa barang yang haram bagi orang yang terasing di negeri kafir.

20. Berpendapat bahwa tidak masalah (boleh-boleh saja) menghadiri acara-acara yang didalamnya dihidangkan khamr, jika itu dilakukan demi maslahat dakwah!!!

21. Menyatakan bolehnya mempergunakan produk yang tercampur dengan daging, minyak dan lemak babi bila sudah diproses secara kimia, sebagaimana ia menghalalkan sesembelihan orang kafir selain Ahli Kitab.

22. Mengeluarkan fatwa dan makalah yang kontroversi, karena bekal ilmu haditsnya sedikit dan buruk.

Mengenai keadaan keluarga Qaradhawi, biarlah dia sendiri yang bercerita. Majalah Sayidatii no. 678, 11 Maret 1994 memuat wawancara dengannya. Sang wartawan bertanya kepadanya : “Sehubungan dengan izin yang Anda berikan kepada putri Anda untuk belajar di Universitas asing yang ikhtilath (bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan), apakah alasan Anda? “ Qaradhawi menjawab :

“Pertama, dia pergi bersama suami dan anaknya, dan di sana melahirkan dua orang anak. Kedua, di Dirasah Ulya (magister) tidak ada dampak negatif yang timbul dari ikhtilath di sana, karena ia sibuk dengan tugas-tugas, makalah, laboratorium dan pelajarannya. Ketiga, yang paling penting ikhtilath pada dasarnya tidaklah haram. Karena yang diharamkan adalah khalwat, tabarruj, dan ikhtilath iltimas (bersentuhan), yaitu bersentuhan dan berdekatan. Adapun bila ia seorang murid wanita yang tergabung dalam sejumlah orang tanpa khalwat yang memalukan dalam berpakaian serta menjaga norma-norma Islam, ini tidaklah berbahaya.”

Kemudian Qaradhawi ditanya: “Lalu bagaimana dengan hobi anak-anak Anda?” Dia menjawab : “Tidak ada halangan bagi anak-anakku untuk mengembangkan bakatnya. Putraku punya hobi olahraga judo dan telah meraih sabuk hitam. Dia juga hobi berenang dan angkat besi. Aku juga mendukung mereka. Sementara putraku Abdurrahman, dia mempunyai hobi sastra. Dia adalah seorang penyair, pandai membaca syair, serta melantunkan dan mendendangkannya, (Qaradhawi tertawa).”

Kemudian sang wartawan bertanya, “Dimanakah dia belajar menggubah lagu dan nasyid?” Qaradhawi menjawab, “Ia belajar dari bakat dan sekolah musik. Dia punya banyak hobi.” Lanjutnya, “Anakku, Abdurrahman, kuliah di Darul Ulum, ia mempunyai teman-teman wanita. Dan mungkin saja, diantara teman-temannya telah menjadi kekasih hatinya. Dan Allah mengaruniakan rasa cinta kepada temannya. Semua ini diperbolehkan.”

Pembaca yang budiman, inilah yang bisa penulis ringkas dari sosok Qaradhawi. Setiap poin yang disebutkan sudah dibahas dalam bab-bab terdahulu, didukung dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang nyata.

____________________________________________________________________________________________
(Dikutip dari terjemah tulisan Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini Al Yamani dalam Kitabnya : Raf’ul-Litsaam ‘An Mukhaalafatil-Qaradhaawii Li Syarii’atil-Islaam. Kesalahan-kesalahan Yusuf Qaradhawi. Penerbit : Daarul-Atsaar, Yaman, cet. I 1421 / 2000)

Judul Asli : Kesalahan-kesalahan Yusuf Qaradhawi

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=255
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Waspada terhadap Islam Sempalan

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Islam itu sesungguhnya hanya satu, sebagai agama yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak. “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah:3)

Islam telah menjawab segala problematika hidup dari segenap seginya. Tetapi di masa kini sedikit sekali orang yang mengetahui dan meyakini kesempurnaannya. Ini sesungguhnya adalah sebagai akibat pengkaburan Islam dari warna aslinya oleh debu dan polusi bid’ah, sehingga mayoritas umat Islam amat rancu permasalahannya terhadap agamanya.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nissa:115). Islam itu sendiri adalah Jama’ah (satu kesatuan) dan yang menyimpang dari padanya adalah firqah (perpecahan).

Allah berfiman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Islam ini dan jangan kalian berpecah belah dari agama ini…”(Ali Imran:102) Sedangkan firqah itu tidak lain disebabkan oleh adanya orang-orang yang mengikut perkara syubhat (rancu) dalam agama ini dan mengekor kepada hawa nafsu.

“Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (syubhat dan hawa nafsu), niscaya bila kamu ikut jalan-jalan itu akan menyimpangkan kalian dari jalan Allah.” (Al-An’am:153). Menyeleweng dari jalan Islam itu berarti menyimpang pula dari Al-Jama’ah, dan sekarang ini orang mengistilahkan dengan Islam sempalan, dalam pengertian sebagai aliran pemahaman Islam yang sesat.

Menginventarisasir Islam Sempalan

Untuk melakukan pekerjaan ini, haruslah merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salafus Shalih. Karena mereka mempunyai penilaian yang tegas dengan referensi yang lengkap dan jelas. Juga di dalam masalah ini menyangkut pula identifikasi pemahaman Islam sempalan tersebut.

Upaya yang demikian ini sangat penting di dalam memberi peringatan kepada umat Islam akan bahayanya penyimpangan dari pemahaman Islam yang benar dari pemahaman yang sesat. Juga upaya ini demikian pentingnya bila dikaitkan dengan kenyataan terlalu banyaknya firqah-firqah yang menyebabkan berbagai pikiran sesat di umat ini.

Banyaknya firqah-firqah demikian ini karena bid’ah itu akan melahirkan sekian banyak kesesatan. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada di umatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.

Para shahabat bertanya:  “Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Yaitu golongan yang mengikuti jalan hidupku dan jalan hidup para shahabatku.” (HR Tirmidzi, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Al-Jami’:5343)

Jadi ditegaskan di hadits ini bahwa umat Islam akan tercerai berai menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu golongan. Dan yang dikatakan selamat disini ialah selamat di dunia dan selamat di akhirat dari api neraka. Satu golongan yang tetap istiqomah ini berpegang dengan Al-Jama’ah sedangkan yang lainnya menyempal dari Al-Jama’ah sehingga sesat dan celaka. Mereka ini sesungguhnya yang dinamakan Islam sempalan.

Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak menulis buku-buku yang menguraikan berbagai golongan Islam sempalan ini dengan merinci satu persatu masing-masing pemahaman syahwatnya, agar umat Islam waspada dari bahaya kesesatan itu. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang menulis buku-buku tentang Islam sempalan ini ialah Al-Imam Ibnul Jauzy Al-Baghdadi dengan bukunya yang masyhur berjudul Talbis Iblis dalam satu jilid tebal.

Beliau menerangkan: “Sesungguhnya kita ahlus sunnah telah tahu adanya Islam sempalan dan pokok-pokok berbagai golongannya, dan sungguh setiap golongan dari mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Walaupun kita tidak mampu mengidentifikasi seluruh nama-nama golongan dan madzhab-madzhabnya, akan tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa induk-induk golongan ini ialah :
1. Al-Haruriyyah
2. Al-Qodariyyah
3. Al-Jahmiyyah
4. Al-Murji’ah
5. Ar-Rafidhah
6. Al-Jabriyyah

Sungguh para ulama telah menyatakan bahwa pokok berbagai sempalan yang sesat adalah enam aliran sempalan ini. Setiap aliran daripadanya terpecah menjadi dua belas aliran sehingga seluruhnya menjadi tujuh puluh dua aliran.”
Demikian Ibnul Jauzy menerangkan dalam Talbis Iblis karya beliau halaman 18-19 cet. Tahun 1347 H/1928 M Darut Thiba’ah Al-Muniriyyah.

Keterangan Tentang Keenam Pokok Aliran Sempalan :

1. Al-Haruriyyah
Ialah pemahaman kaum Khawarij yang mempunyai pemahaman sesat dalam perkara:
a. Mengkafirkan Sayyidinna Ali bin Abi Thalib karena mau berdamai dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan.

b. Mengkafirkan Ustman bin Affan karena dianggap membikin pelanggaran-pelanggaran selama pemerintahannya.

c. Mengkafirkan orang-orang yang ikut dalam perang Jamal (unta), yaitu ummul mukminin Aisyah, Thalhah, Zubair bin Al-Awwam, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair dan segenap tentara yang terlibat dalam pertempuran.

d. Mengkafirkan orang-orang yang terlibat dalam upaya perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Juga mengkafirkan semua pihak yang terlibat dalam perundingan damai antara Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Mereka mengkafirkan semua orang pula yang ridha dan membenarkan dua upaya perdamaian di atas atau salah satunya.

e. Memberontak kepada pemerintahan muslimin yang berbuat dhalim karena pemerintahan tersebut dianggap kafir dengan perbuatan dhalimnya.

f. Menfkafirkan orang Islam yang berbuat dosa apapun.

2. Al-Qodariyyah
Ialah pemahaman sesat yang mengingkari rukun iman yang ke-enam, yaitu takdir Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa perbutan manusia ini adalah murni semata-mata dari perbuatan manusia sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kehendak dan takdir Allah.

3. Al-Jahmiyyah
Ialah pemahaman sesat yang menginginkan adanya sifat-sifat kemuliaan bagi Allah dan mengingkari nama-nama kemuliaan bagi-Nya.

4. Al-Murji’ah
Ialah peahaman sesat yang mengingkari hubungan antara iman dengan amal, dalam artian iman itu tidak bertambah dengan amalan shalih dn tidak pula berkurang dengan kemaksiatan sehingga imannya Nabi sama dengan imannya penjahat sekalipun.

5. Ar-Rafidhah
Ialah gerakan pemahaman sesat yang diwariskan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan berupaya menyegarkan pemahamannya yang kafir, yaitu bahwa sayyidina Ali dan anak keturunannya adalah tuhan atau mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengkafirkan pula segenap shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. (Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah)

6. Al-Jabariyyah
Ialah pemahaman sesat yang meyakini bawa semua apa yang terjadi adalah perbuatan Allah dan tidak ada perbuatan makhluk sama sekali. Manusia tidak mempunyai kehendak sama sekali karena yang ada hanya kehendak Allah. Sehingga semua perbuatan manusia adalah ketaatan semata kepada kehendak Allah, dan tidak ada perbuatan maksiat. Orang berzina tidaklah dianggap maksiat karena perbuatan zina itu adalah perbuatan Allah dan kehendak-Nya. Semua manusia dianggap sama tidak ada muslim dan kafir, karena semuanya tidak mempunyai usaha (ikhtiar) dan tidak pula mempunyai kehendak apapun. (Talbis Iblis hal.22)

7. Al Mu’tazilah
Di samping enam aliran sesat yang kemudian bercabang menjadi berpuluh-puluh aliran sesat lainnya, juga ada aliran sesat yang besar pula, yaitu mu’tazilah. Aliran ini mengkeramatkan akal sehingga akal adalah sumber kebenaran yang lebih tinggi kedudukannya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari pengkeramatan akal ini timbullah kesesatan mereka yang meliputi :

a. Mengingkari adanya sifat-sifat mulia bagi Allah.

b. Orang Islam yang berbuat dosa tidak dinamakan muslim dan tidak dinamakan kafir, tetapi ia adalah fasiq. Akan tetapi bila ia tidak sempat bertaubat dari dosanya dan mati dalam keadaan demikian berarti kekal di neraka sebagaimana orang kafir. Orang yang telah masuk neraka tidak mungkin lagi masuk surga, sebagaimana orang yang masuk surga tidak mungkin lagi masuk neraka.

c. Menyerukan pemberontakan kepada pemerintah Islam yang berbuat dhalim dan pemberontakan itu dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.

d. Mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan hambanya.

e. Al-Qur’an itu adalah makhluk Allah sebagaimana pula sifat-sifat Allah lainnya adalah makhluk.

f. Mengingkari berita Al-Qur’an dan Al-hadits yang menyerukan bahwa wajah Allah itu dapat dilihat oleh kaum Mukminin di surga nanti. (Al-Farqu binal Firaq, Abdul Qahir Al-Isfaraini hal 114-115).

8. Al Bathiniyyah
Disamping mu’tazilah, ada juga aliran lain yang bernama bathiniyyah yang sering disebut orang thariqat sufiyyah. Mereka ini membagi syariat Islam dalam dua bagian, yaitu syariat batin dan syariat dhahir. Orang yang menganut aliran ini mempercayai bahwa para wali keramat itu syariatnya syariat batin sehingga tingkah lakunya tidak bisa diamati dengan patokan syariat dhahir.

Karena syariat batin itu sama sekali berbeda dengan syariat dhahir, maka yang haram di syariat dhahir bisa jadi halal dan bahkan suci dalam syariat batin. Orang-orang awam harus terikat dengan syariat dhahir. Jadi kalau orang awam berzina harus dicela dan dinilai telah berbuat maksiat, karena memang demikianlah syariat dhahir itu menilainya. Tapi kalau wali keramat berbuat mesum di diskotik atau di hotel tidak boleh dicela. Mereka para wali itu tidak lagi terikat dengan syariat dhahir, tetapi terikat dengan syariat bathin, yaitu syariat spesial milik para wali, jadi kalau ada orang yang mau mencoba mengkritik wali keramat itu dan mencelanya, maka ia harus setingkat mereka atau lebih tinggi.

Syariat dhahir itu diturunkan kepada Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam, sdangkan syariat batin diturunkan kepada para wali kearmat, melalui mimpi atau wangsit (ilham) atau lewat wahyu yang dibawa oleh para malaikat. (Talbis Iblis 162:169).

Dari aliran-aliran sempalan di atas terpecahlah sekian banyak aliran sesat yang ujungnya pasti membatalkan syariat Allah dan mengakkan syariat hawa nafsu serta kekafiran. (Al-Farqu bainal Firaq, Abdul Qahir bin Muhammad Al-Baghdadi Al-Isfaraini hal 281-312). Padahal masing-masing aliran yang bersumber dari 8 kelompok sempalan itu tentunya mempunyai pengikut dari umat Islam.

Demikianlah iblis dan anak buahnya memecah belah umat Islam melaui bid’ah, sehingga umat Islam terpecah belah menjadi beratus bahkan beribu-ribu aliran sesat yang telah menyempal dari Islam, walaupun mereka tetap meyakini keislamannya.

Tanah Subur bagi Islam Sempalan

Kalau Islam sempalan itu dimisalkan sebagai tanaman, maka tanah subur tempat ia tumbuh dengan bagus dan cepat ialah kebodohan umat Islam tentang agamanya. Kebodohan yang demikian ini adalah akibat dari semakin rendahnya perhatian umat kepada pentingnya memahami dan mempelajarai hukum agama.

Para ulama yang benar-benar memahami agama dan mengamalkannya semakin langka. Yang banyak ialah para ulama karbitan, makelar ilmu yang mencari dunia dengan agamanya. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan mencabutnya sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tidak tersisa seorang ulama pun, maka manusia pun menunjuk para pimpinan mereka orang-orang yang bodoh (tentang ilmu agama), maka mereka pun bertanya tentang agama kepada para pimpinan bodoh ini dan para pimpinan bodoh itupun memberi fatwa tanpa ilmu, akibatnya para pimpinan itu sesat dan menyesatkan pengikutnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi bermunculannya Islam sempalan, umat Islam harus dibangkitkan kembali semangatnya dalam menuntut dan mengamalkan ilmu agama. Disamping itu, segala upaya untuk menyebarkan ilmu agama haruslah dipermudah. Penjelasan dan pemahaman agama harus dikembalikan kepada ahlinya dan jangan sembarang orang merasa berhak berbicara tentangnya.

Apalagi kalau ia sama sekali tidak mempunyai latar belakang ilmu agama. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat salah satunya ialah ilmu diambil dari orang-orang kecil.” (HR Ibnul Mubarrak dalam Az-Zuhud, lihat Ash-Shohihah no.696).

Ketika ditanya kepada Ibnul Mubarrak siapakah orang-orang kecil (Ashaghir) yang dimaksud di sini, beliau menjawab: “Orang-orang kecil itu ialah yang berbicara tentang agama dari pikirannya sendiri, adapun orang kecil yang mengambil ilmu dan menyampaikan dari ulama besar, maka tidaklah dia dimasukkan dalam golongan orang-orang kecil”. Oleh karena itu orang-orang yang menuntut ilmu agama dan kemudian menyebarkannya haruslah didkukung dan dibela, bila kita tidak ingin umat ini terus menerus diganggu dan dikacaukan oleh gerakan Islam sempalan.

Penutup

Mewaspadai gerakan Islam sempalan semestinya dengan ilmu agama yang cukup. Oleh karena itu para ulama ahlus sunnah wal jama’ah haruslah dijadikan patokan untuk menilai sesat atau tidaknya suatu gerakan. Dan jangan pula ulama karbitan dijadikan nara-sumber penilaian, akibatnya fitnah yang meresahkan umat Islam terus mencekam dan semakin sulit umat Islam dipersatukan serta dipersaudarakan dengan sesama mereka.
Wallahu a’lam bi shawab.

 

___________________________________________________________________________

(Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, Hal 11-13)

Judul Asli: Waspada terhadap Sempalan Islam

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=108
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Fatwa Ulama: Tentang Kesesatan Hizbut Tahrir

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Fatwa, HT (Hizbut Tahrir), IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : As-Syaikh AL-Albani rahimahullah.

Pada suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat HT).

Pertanyaan Yang Pertama :

Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin Anda menjelaskan atau memberikan faedah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir ini.

Pertanyaan Yang Kedua :

Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir, sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?

Saya (Syaikh Al Albani) menjawab atas dua pertanyaan tadi :

Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.

Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang mereka semua harus ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginginkan nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih :

“Agama itu adalah nasehat”, kami (para shahabat) berkata : “Bagi siapa ya Rasulullah?” (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) bersabda : “Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi Imam-Imam kaum Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya.” (Imam Muslim menyendiri dalam lafadz hadits hadits ini dari hadits Tamim Ad Dari)

Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an tentang permasalahan ini :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al Ankabut : 69)

Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj Salafus Shalih merekalah orang-orang yang dimaksud dalam ayat :

“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad : 7)

Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.

Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.

Dan saya (Al Albani) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte) karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salafus Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini. Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik yang berhubungan dengan Al Qur’an maupun As Sunnah.

Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij) pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, kemudian sejak mulainya Jaad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan nama-nama yang baru pula. Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salafus Shalih.

Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka, baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan kesempurnaan dakwah kita. Yakni (perkataan) berada di atas manhaj Salafus Shalih.

Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri) walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka semua mengatakan dengan perkataan yang sama?

Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila dibangun di atas manhaj Salafus Shalih. Sekarang pada diri kita timbul satu pertanyaan : “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan manhaj Salafus Shalih?”

Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang Mukmin, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan barangsiapa menentang Rasul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)

Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka akan berkata, “Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Hanafi”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’i”, dan seterusnya.

Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka apakah benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali tidak. Oleh sebab itu apa faedahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya.

Dari contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid (awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum keadaannya.

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menyebutkan kalimat di pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting, suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Kaum Muslimin hanyalah dikatakan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah baik secara pokok-pokoknya dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salafus Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.

Artinya wajib bagi kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka yakni agar mereka bersandar kepada Al Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman Salafus Shalih.

Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Baats dan partai komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.

Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya (pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat Al Qur’an :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)

Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan) sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan), karena ayat ini menyatakan : “Sesungguhnya jalan yang bisa menuju pada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana keberadaan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu sendiri (menjelaskan dan menerangkan Al Qur’an, pent.). Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur’anul Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl : 44)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah penjelas yang sempurna terhadap Al Qur’an, sedangkan Al Qur’an adalah asal peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (Syaikh Al Albani) berkata : “Al Qur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan As Sunnah bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut.”

Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur’an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati.

Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti Salafus Shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang :

“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin.” (QS. An Nisa : 115)

Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut dalam ayat terdahulu :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)

Saya (Syaikh Al Albani) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini dari riwayat salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengatakan :

Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat satu garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah, kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan (menunjuk) pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sambil menunjuk jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda, “ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada syaithan yang menyeru manusia padanya.”

Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan selain dari keduanya dari Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik, dan yang selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para shahabat) bertanya : “Siapa dia ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dia adalah apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya.”

Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi. Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka itulah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada hadits Al Firaq, ketika beliau ditanya tentang Firqatun Najiah (golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.”

Maka jawaban ini wajib diperhatikan, karena merupakan jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka itu adalah tafsir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap jalannya orang-orang Mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan jalannya orang-orang Mukmin. Sementara itu (dalam hadits, pent.) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyebutkan tanda Firqatun Najiah yang tidak termasuk 72 golongan yang binasa. Sesungguhnya Firqatun Najiah adalah golongan yang berdiri di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat.

Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati pula dalam ayat. Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja. Di samping itu ayat juga menyebutkan jalannya orang-orang Mukmin demikian pula dalam hadits terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Al Qur’an. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku dan tidaklah terpisah keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) sampai keduanya datang kepadaku di Haudl.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’-nya, Al Hakim dalam Mustadrak-nya dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits nomor 2937)

Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Semakna dengan hadits ini adalah hadits Irbadl ibn Sariyah radhiallahu ‘anhu yang termasuk salah satu shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam secara langsung dan bersih. Berkata Irbadl ibn Sariyah radhiallahu ‘anhu :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberi nasehat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena terharu). Kami berkata : “Ya Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berilah kami wasiat.” Maka beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi. Berkata Tirmidzi, hadits ini hasan)

Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”

Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul (dipertanyakan) : “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku.” Dan Rasulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau :

“ … dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”

Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Al Qur’an dan As Sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits Al Firaq (perpecahan) serta hadits dari Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu.

Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa sekarang ini sebagaimana keberadaan firqah-firqah yang sesat, khususnya kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya.
__________________________________________________________________________________
(Dikutip dari buku Terjemahan HT Mu’tazilah Gaya Baru, terbitan Cahaya Tauhid Press)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=75
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tahukah Anda Apa Pemahaman Khawarij Itu?

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Khawarij, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Khawarij, tahukah Anda apa pemahaman Khawarij itu? Pemahaman Khawarij adalah pemahaman yang sesat! Pemahamannya telah memakan banyak korban. Yang menjadi korbannya adalah orang-orang jahil, tidak berilmu, dan berlagak punya ilmu atau berilmu tapi masih sedikit pemahamannya tentang Dien ini.

Para pemuda banyak menjadi korban. Dengan hanya bermodal semangat “semu” mereka mengkafirkan kaum Muslimin. Mereka kafirkan ayah, ibu, dan saudara-saudara mereka yang tidak sealiran atau tidak sepengajian dengan mereka. Sebaliknya, mereka menganggap hanya diri-diri mereka saja yang sempurna Islamnya, yang lainnya kafir. Ringan sekali lidah mereka menuduh kaum Muslimin sebagai orang yang kafir atau telah murtad dari agamanya. Mereka tidak mengetahui patokan-patokan syar’i untuk menghukumi seseorang itu menjadi kafir, fasiq, sesat, atau yang lainnya. Kasihan mereka.

Mereka memberontak kepada pemerintahan Muslimin yang sah. Hingga akibat pahit pemberontakan yang mereka lakukan ditelan oleh semua kaum Muslimin. Sejarah Islam mencatat bahwa gerakan yang mereka lakukan selalu menyengsarakan kaum Muslimin. Cara seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam sama sekali.

Oleh karena itu, para pemuda harus tahu patokan-patokan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Apakah perbuatan yang dia lakukan itu bermanfaat atau tidak, apakah tindakannya itu akan membuahkan hasil yang baik atau bahkan menjerumuskan dirinya ke dalam kesesatan.

Harakah-harakah, yayasan-yayasan, organisasi-organisasi, dan kelompok-kelompok yang berpemahaman seperti pemahaman Khawarij ini tumbuh subur. Kita dapat melihat dengan kacamata ilmu bahwa beberapa kelompok yang ada sekarang ini seperti :

Harakah Hijrah wat Takfir-nya DR. Umar Abdurrahman, DI/TII/NII, Islam Jamaah atau Darul Hadits atau Lemkari atau LDII atau entah apa lagi nama yang akan mereka berikan kalau kebusukan gerakannya terungkap. Yang penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mereka itu.

Siapa Khawarij Itu?

Imam Al Barbahari berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij. Dan berarti dia telah memecah kesatuan kaum Muslimin dan menentang sunnah. Dan matinya seperti mati jahiliyah.” (Syarhus Sunnah karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid Ar Raddadi halaman 78)

Asy Syahrastani berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada imam yang rasyidin atau setelah mereka di masa para tabi’in dan para imam di setiap jaman.” (Al Milal wan Nihal halaman 114)

Khawarij adalah juga orang-orang yang mengkafirkan kaum Muslimin hanya karena mereka melakukan dosa-dosa, sebagaimana yang akan kita paparkan nanti.

Imam Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya, Talbis Iblis : [ Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah. Abu Sa’id berkata : Ali pernah mengirim dari Yaman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepotong emas dalam kantung kulit yang telah disamak dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membagikannya kepada empat orang : Zaid Al Kahil, Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, dan Alqamah Watshah atau ‘Amir bin Ath Thufail. Maka sebagian para shahabatnya, kaum Anshar, serta selain mereka merasa kurang senang. Maka Nabi berkata :

“Apakah kalian tidak percaya kepadaku padahal wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore?!”

Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol dahinya, lebat jenggotnya, tergulung sarungnya, dan botak kepalanya. Orang itu berkata : “Takutlah kepada Allah, wahai Rasulullah!” Maka Nabi mengangkat kepalanya dan melihat orang itu kemudian berkata : “Celaka engkau, bukankah aku manusia yang paling takut kepada Allah?” Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid berkata : “Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya?” Nabi berkata : “Mungkin dia masih shalat.” Khalid berkata : “Berapa banyak orang yang shalat dan berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi hatinya?” Nabi berkata : “Aku tidak disuruh untuk meneliti isi hati manusia dan membelah dada mereka.” Kemudian Nabi melihat kepada orang itu dalam keadaan berdiri karena takut sambil berkata :

“Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Al Qur’an yang tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya.” (HR. Bukhari nomor 4351 dan Muslim nomor 1064) ]

Dalam riwayat lain bahwa orang ini berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berbuat adillah!” Maka Nabi berkata : “Celaka engkau, siapa lagi yang dapat berbuat adil kalau aku tidak adil?!” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 1064)

Imam Ibnul Jauzi berkata : [ Orang itu dikenal dengan nama Dzul Khuwaishirah At Tamimi. Dia adalah Khawarij yang pertama dalam Islam. Penyebab kebinasaannya adalah karena dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Kalau dia berilmu, tentu ia akan tahu bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para pengikut orang ini termasuk orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib. Itu terjadi ketika peperangan antara Ali dengan Muawiyah telah berlarut-larut. Pasukan Muawiyah mengangkat mushaf-mushaf dan memanggil pasukan Ali untuk bertahkim (mengadakan perundingan). Maka mereka berkata : “Kalian memilih satu orang dan kami juga memilih satu orang. Kemudian kita minta keduanya untuk memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah.” Maka manusia (yang terlibat dalam peperangan itu) berkata : “Kami setuju.” Maka pasukan Muawiyah mengirim ‘Amr bin Al ‘Ash. Dan pasukan Ali berkata kepadanya : “Kirimlah Abu Musa Al Asy’ari.” Ali berkata : “Aku tidak setuju kalau Abu Musa, ini Ibnu Abbas, dia saja.” Mereka berkata : “Kami tidak mau dengan orang yang masih ada hubungan kekeluargaan denganmu.” Maka akhirnya dia mengirim Abu Musa dan keputusan diundur sampai Ramadhan. Maka Urwah bin Udzainah berkata : “Kalian telah berhukum kepada manusia pada perintah Allah. Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” (Slogan ini yang selalu didengungkan oleh Khawarij sampai sekarang. Ucapan ini benar, tetapi makna yang dimaukan tidak benar, pent.) ]

Ali kemudian pulang dari Shiffin dan masuk ke Kufah, tapi orang-orang Khawarij tidak mau masuk bersamanya. Mereka pergi ke suatu tempat yang bernama Harura’ sebanyak dua belas ribu orang kemudian berdomisili di situ. Mereka meneriakkan slogan : “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!!”

Itulah awal tumbuhnya mereka. Dan mereka memproklamirkan bahwa komandan perang adalah Syabats bin Rib’i At Tamimi dan imam shalat adalah Abdullah bin Al Kawwa’ Al Yasykuri. Khawarij adalah orang yang sangat kuat beribadah, tapi mereka meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali bin Abi Thalib. Dan ini adalah penyakit yang berbahaya.

Ibnu Abbas berkata : Ketika Khawarij memisahkan diri, mereka masuk ke suatu daerah. Ketika itu jumlah mereka enam ribu orang. Mereka semua sepakat untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib. Dan selalu ada beberapa orang datang kepada Ali sambil berkata : “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kaum ini ingin memberontak kepadamu.” Maka Ali berkata : “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka dulu yang memerangiku dan mereka akan tahu nanti.” Maka suatu hari aku datangi dia (Ali) di waktu shalat Zhuhur dan kukatakan kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, segerakanlah shalat, aku ingin mendatangi mereka dan berdialog dengan mereka.” Maka Ali berkata : “Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu.” Aku katakan : “Jangan takut, aku seorang yang baik akhlak dan tidak menyakiti seseorang pun.” Maka dia akhirnya mengijinkanku. Kemudian aku memakai kain yang bagus buatan Yaman dan bersisir. Kemudian aku datangi mereka di tengah hari. Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku lihat hebatnya mereka dalam beribadah. Jidat mereka menghitam karena sujud. Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut unta. Mereka memakai gamis yang murah dan dalam keadaan tersingsing. Wajah mereka pucat karena banyak bergadang di waktu malam. Kemudian aku ucapkan salam kepada mereka. Maka mereka berkata : “Selamat datang Ibnu Abbas, ada apakah?” Maka aku katakan kepada mereka : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta dari sisi menantu Nabi. Kepada mereka Al Qur’an turun dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya daripada kalian.” Maka sebagian mereka berkata : “Jangan kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah telah berfirman :

“Tapi mereka adalah kaum yang suka berdebat.” (Az Zukhruf : 58)”

Maka ada tiga orang yang berkata : “Kami akan tetap berbicara dengannya.” Maka kukatakan kepada mereka : “Keluarkan apa yang membuat kalian benci kepada menantu Rasulullah, Muhajirin, dan Anshar! Kepada mereka Al Qur’an turun. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian. Mereka adalah orang yang lebih tahu tentang tafsir Al Qur’an.”

Mereka berkata : “Ada tiga hal.” Aku berkata : “Sebutkan!” Mereka berkata : “Pertama, dia (Ali) berhukum kepada manusia dalam perintah Allah, sedangkan Allah telah berfirman :

‘Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.’ (QS. Al An’am : 57)

Maka apa gunanya orang-orang itu kalau Allah sendiri telah memutuskan hukum?!” Aku berkata : “Ini yang pertama, apa lagi?” Mereka berkata : “Kedua, dia (Ali) telah berperang dan membunuh tapi mengapa dia tidak mau mengambil wanita sebagai tawanan perang dan harta rampasan musuhnya? Jika mereka (orang-orang yang diperangi Ali, pent.) memang kaum Muslimin, mengapa dia (Ali) membolehkan kita untuk memerangi dan membunuh mereka tapi dia melarang kita untuk mengambil tawanan?” Aku berkata : “Apa yang ketiga?” Mereka berkata : “Dia (Ali) telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukminin) maka kalau dia bukan Amirul Mukminin berarti dia adalah Amirul Kafirin (pemimpin orang kafir).” Aku berkata : “Apakah ada selain ini lagi?” Mereka berkata : “Cukup ini saja.”

Aku katakan kepada mereka : “Adapun ucapan kalian tadi, dia berhukum kepada manusia dalam memutuskan hukum Allah, akan aku bacakan kepada kalian ayat yang membantah argumen kalian. Jika argumen kalian telah gugur apakah kalian akan ruju’?” Mereka berkata : “Tentu.” Aku berkata : “Sesungguhnya Allah sendiri telah menyerahkan hukum-Nya kepada beberapa orang tentang seperempat dirham harga kelinci dan ayatnya :

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang ihram. Barangsiapa yang di antara kalian membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.’ (QS. Al Maidah : 59)

Dan juga tentang seorang istri dengan suaminya :

‘Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.’ (QS. An Nisa’ : 35)

Maka aku sumpah kalian dengan nama Allah, manakah yang lebih baik kalau mereka berhukum dengan manusia untuk memperbaiki hubungan antara mereka dan untuk menahan darah mereka agar tidak tertumpah atau yang lebih utama hukum yang mereka putuskan dalam harga seekor kelinci dan seorang wanita? Manakah antara keduanya yang lebih utama?” Mereka berkata : “Tentu yang pertama.” Aku berkata : “Apakah kalian keluar dari kesalahan ini.” Mereka berkata : “Baiklah.”

Aku berkata : “Adapun ucapan kalian, dia (Ali) tidak mau mengambil tawanan dan ghanimah (rampasan perang). Apakah kalian akan menawan ibu kalian, Aisyah? Demi Allah, kalau kalian berkata, dia bukan ibu kami, berarti kalian telah keluar dari Islam. Dan demi Allah, kalau kalian berkata, kami tetap akan menawannya dan menghalalkan (kemaluan)nya untuk digauli seperti wanita lain (karena dengan demikian ibu kita, Aisyah berstatus budak dan budak hukumnya boleh digauli oleh pemiliknya, pent.), berarti kalian telah keluar dari Islam. Maka kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman :

‘Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri-diri mereka sendiri. Dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka.’ (QS. Al Ahzab : 6)

Maka apakah kalian keluar dari kesalahan ini?” Mereka berkata : “Baiklah.”

Aku berkata : “Adapun ucapan kalian, dia telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin. Aku akan membuat contoh dengan orang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perjanjian Hudaibiyah, beliau berdamai dengan kaum musyrikin. Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin ‘Amr. Beliau berkata kepada Ali : ‘Tulis untuk mereka sebuah tulisan yang berbunyi : Ini apa yang telah disepakati oleh Muhammad Rasulullah. Maka kaum musyrikin berkata : ‘Demi Allah, kami tidak mengakuimu sebagai Rasulullah. Kalau kami mengakuimu sebagai Rasulullah, untuk apa kami memerangimu?!’ Maka beliau berkata : ‘Ya Allah, Engkau yang tahu aku adalah Rasul-Mu. Hapuslah kata itu, hai Ali!’ (HR. Bukhari nomor 2699 dan Muslim nomor 1783). Dan tulislah : ‘Ini apa yang disepakati oleh Muhammad bin Abdullah.’

Maka demi Allah, tentu Rasulullah lebih baik dari Ali, tapi beliau sendiri menghapus gelar itu dari dirinya hari itu.”

Ibnu Abbas berkata : “Maka bertaubatlah 2000 (dua ribu) orang dari mereka dan selainnya tetap memberontak, maka mereka pun akhirnya dibunuh.” (Talbis Iblis halaman 116-119)

Dari kisah di atas tadi kita bisa mengambil beberapa point yang menerangkan bahwa di antara sifat orang Khawarij adalah :

1. Jahil Terhadap Fiqih dan Syari’at Islam

Ini tampak dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka.” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 4351)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka banyak membaca Al Qur’an tetapi beliau sendiri mencela mereka, mengapa demikian? Karena mereka tidak paham tentang Al Qur’an. Mereka mencoba memahami sendiri Al Qur’an dengan akal-akal mereka. Mereka enggan belajar kepada para shahabat. Maka dari itu Ibnu Abbas berkata : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Nabi. Al Qur’an turun kepada mereka. Dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari kalian.” Dan : “Al Qur’an turun kepada mereka, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian, sedangkan mereka adalah orang yang paling tahu tentang tafsirnya.”

Maka hendaknya seseorang itu merasa takut kepada Allah kalau dia menafsirkan ayat seenak perutnya tanpa di dasari keterangan dari para ulama Ahli Tafsir yang berpemahaman Salaf.

Dan penangkal penyakit ini adalah dengan belajar. Bukan dengan berlagak pintar. Maka belajarlah, karena para Shalafush Shalih adalah orang-orang yang rajin belajar. Alangkah celakanya orang yang baru belajar beberapa saat kemudian menyatakan dirinya sebagai ulama, ahli hadits, faqih, mujtahid, ? dan seterusnya.

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : Imam An Nawawi berkata : “Yang dimaksud adalah mereka tidak mendapat bagian kecuali hanya melewati lidah mereka saja dan tidak sampai kepada kerongkongan mereka, terlebih lagi hati-hati mereka. Padahal yang dimaukan adalah mentadabburinya (memperhatikan dan merenungkan dengan teliti) agar sampai ke hati.” (Fathul Bari : 12/293)

2. Mereka Adalah Orang-Orang Yang Melampaui Batas Dalam Beribadah

Ini tampak dari keterangan Ibnu Abbas tentang mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang hitam jidatnya, pucat wajahnya karena seringnya begadang di waktu malam, ? dan seterusnya.

Dan juga diterangkan oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Akan datang suatu kaum pada kalian yang kalian akan merendah bila shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibandingkan dengan puasa mereka, amal-amal kalian dibanding dengan amal-amal mereka. Mereka membaca Al Qur’an (tapi) tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari buruan.” (HR. Bukhari nomor 5058 dan Muslim nomor 147/1064)

Mereka melampaui batas dalam beribadah hingga terjerumus ke dalam bid’ah. Mereka tidak tahu bahwa : “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”

“Ini adalah ucapan emas. Telah shahih dari beberapa shahabat di antaranya : Abu Darda’ dan Ibnu Mas’ud.

Ubay bin Ka’ab berkata : ‘Sesungguhnya sederhana di jalan ini dan (di atas) sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh tapi menentang jalan ini dan sunnah. Maka lihatlah amalan kalian jika dalam keadaan bersungguh-sungguh atau sederhana hendaknya di atas manhaj (cara pemahaman dan pengamalan) para Nabi dan sunnah mereka.’

Ini adalah ucapan yang memberikan keagungan bagi seorang Muslim yang ittiba’ (mengikuti) secara benar dalam amalan-amalan dan ucapan-ucapannya sehari-hari.

Ucapan ini diambil dari beberapa hadits di antaranya :

‘Janganlah kalian melampaui batas dalam agama ini.’

‘Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu (terus-menerus) walau sedikit’.” (HR. Bukhari 1/109 dan Muslim nomor 782) [Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan halaman 55-56]

Seorang Alim Ahli Al Qur’an, Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata dalam Adlwa’ul Bayan 1/494 : “Para ulama telah menyatakan bahwa kebenaran itu berada di antara sikap melampaui batas dan sikap meremehkan. Dan itu adalah makna ucapan Mutharrif bin Abdullah :

‘Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah. Kebaikan itu terletak antara dua kejelekan.’

Dan dengan itu, kamu tahu bahwa orang yang berhasil menjauhi kedua sifat itu telah mendapat hidayah.” Ucap Syaikh Ali Hasan dalam buku Dhawabith Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar ‘inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah halaman 9.

3. Menghalalkan Darah Kaum Muslimin dan Menuduh Mereka Sebagai Orang Yang Telah Kafir

Sifat ini sudah melekat kental pada mereka. Tapi yang mengherankan, mereka malah bersikap adil terhadap orang-orang kafir. Imam Ibnul Jauzi berkata :

Di perjalanan, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabbab maka mereka berkata : “Apakah engkau pernah mendengar dari ayahmu sebuah hadits yang dia dengar dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya, aku mendengar ayahku berkata : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara tentang fitnah. Yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Maka jika engkau mendapati masa seperti itu, jadilah engkau seorang hamba Allah yang terbunuh’.” (HR. Ahmad 5/110, Ath Thabrani nomor 3630, dan hadits ini memiliki beberapa syawahid)

Mereka berkata : “Apakah engkau mendengar ini dari ayahmu yang dia sampaikan dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya.” Maka mereka membawanya ke tepi sungai kemudian mereka penggal lehernya. Maka muncratlah darahnya seakan-akan dua tali sandal. Kemudian mereka membelah perut budak wanitanya yang sedang hamil.

Dan ketika mereka melewati sebuah kebun kurma di Nahrawan, jatuhlah sebuah. Maka salah seorang mereka mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka temannya berkata : “Engkau telah mengambilnya dengan cara yang tidak benar dan tanpa membayar.” Kemudian dia memuntahkannya. Dan salah seorang mereka ada yang menghunuskan pedangnya dan mengibaskannya, kemudian lewatlah seekor babi milik ahli dzimmah (kafir yang membayar jizyah) dan dia membunuhnya. Mereka berkata : “Ini adalah perbuatan merusak di muka bumi.” Kemudian dia menemui pemiliknya dan membayar harga babi itu. (Talbis Iblis halaman 120-121)

Pelaku Dosa Besar Tidak Menjadi Kafir

Ini adalah i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan Khawarij dalam hal ini menyelisihi Ahlus Sunnah. Mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum khamr, dan sejenisnya telah kafir. Ini bertentangan dengan ayat :

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan Allah. Dan Dia mengampuni yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisa’ : 48)

“Dan Allah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa itu (syirik) bagi orang yang belum bertaubat darinya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Shalih Fauzan halaman 9)

“Dalam ayat ini ada bantahan kepada orang-orang Khawarij yang menganggap kafir karena melakukan dosa-dosa. Dan juga bantahan bagi Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu kekal di dalam neraka. Dan mereka (para pelaku dosa besar) menurut mereka (Mu’tazilah) bukan Mukmin dan bukan kafir.” (Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman halaman 78)

4. Mereka Adalah Orang Yang Muda dan Buruk Pemahamannya

Ini diambil dari hadits :

“Akan keluar di akhir jaman suatu kaum yang muda-muda umurnya. Pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya.” (HR. Bukhari nomor 3611 dan Muslim nomor 1066)

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Ahdatsu Asnan artinya bahwa mereka itu para pemuda. Dan Sufaha’ul Ahlam artinya akal mereka jelek.” Imam An Nawawi berkata : “Kemantapan dan bashirah yang kuat akan muncul ketika usia mencapai kesempurnaan.” (Fathul Bari 12/287)

Dibunuhnya Ibnu Muljam (Tokoh Khawarij Yang Membunuh Ali)

Imam Ibnul Jauzi berkata : “Ketika Ali telah wafat, dikeluarkanlah Ibnu Muljam untuk dibunuh. Maka Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangannya dan kakinya, tapi dia tidak berteriak dan tidak berbicara, kemudian matanya dipaku dengan paku panas, dia juga tetap tidak berteriak bahkan dia membaca surat Al ‘Alaq sampai habis dalam keadaan darah mengalir dari dua matanya. Dan ketika lidahnya akan dipotong barulah dia berteriak, maka ditanyakan kepadanya : ‘Mengapa engkau berteriak?’ Dia berkata : ‘Aku tidak suka kalau aku mati di dunia dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah.’ Dan dia adalah orang yang keningnya berwarna kecoklatan karena bekas sujud. Semoga Allah melaknatnya.” (Talbis Iblis halaman 122)

Beliau berkata lagi : “Mereka memiliki kisah-kisah yang panjang dan madzhab-madzhab yang aneh. Aku tidak ingin memperpanjangnya karena yang dimaukan di sini adalah untuk melihat bagaimana iblis menipu orang-orang yang dungu itu. Yang mereka beramal dengan keadaan mereka dan mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pihak yang salah dan orang-orang yang bersama dengannya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Dan hanya mereka saja yang berada di atas kebenaran.

Mereka menghalalkan darah anak-anak tetapi menganggap tidak boleh memakan buah tanpa membayar harganya. Mereka bersusah-susah dalam ibadah dan begadang. Ibnu Muljam berteriak ketika akan dipotong lidahnya karena takut tidak berdzikir. Mereka menganggap halal untuk memerangi Ali.

Kemudian mereka menghunuskan pedang-pedang mereka kepada kaum Muslimin. Dan tidak ada yang mengherankan dari merasa cukupnya mereka dengan ilmu mereka dan meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali.

Dzul Khuwaishirah telah berkata kepada Nabi : ‘Berbuat adillah, karena engkau tidak adil.’ Dan iblislah yang menunjuki mereka kepada kehinaan ini. Kita berlindung kepada Allah dari ketergelinciran.” (Talbis Iblis halaman 123)

Firqah-Firqah Khawarij

Imam Ibnul Jauzi berkata : Haruriyah (nama lain dari Khawarij, pent.) terbagi menjadi dua belas kelompok.

Pertama, Al Azraqiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu seorang pun yang Mukmin.” Dan mereka mengkafirkan kaum Muslimin (Ahli Qiblat) kecuali orang yang sepaham dengan mereka.

Kedua, Ibadhiyah, mereka berkata : “Siapa yang menerima pendapat kita adalah orang yang Mukmin dan siapa yang berpaling adalah orang munafik.”

Ketiga, Ats Tsa’labiyah, mereka berkata : “Sesungguhnya Allah tidak ada menetapkan Qadha dan Qadar.”

Keempat, Al Hazimiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu apa iman itu. Dan semua makhluk akan diberi udzur[1].”

Kelima, Khalafiyah, mereka berkata : “Pria atau wanita yang meninggalkan jihad berarti telah kafir[2].”

Keenam, Al Mujarramiyah, mereka berpendapat : “Seseorang tidak boleh menyentuh orang lain, karena dia tidak tahu yang suci dengan yang najis. Dan janganlah dia makan bersama orang itu hingga orang itu bertaubat dan mandi[3].”

Ketujuh, Al Kanziyah, mereka berpendapat : “Tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan hartanya kepada orang lain karena mungkin dia bukan orang yang berhak menerimanya. Dan hendaklah dia menyimpan harta itu hingga muncul para pengikut kebenaran.”

Kedelapan, Asy Syimrakhiyah, mereka berpendapat : “Tidak mengapa menyentuh wanita ajnabi (yang bukan mahram) karena mereka adalah rahmat[4].”

Kesembilan, Al Akhnashiyah, mereka berpendapat : “Orang yang mati tidak akan mendapat kebaikan dan kejelekan setelah matinya.”

Kesepuluh, Al Muhakkimiyah, mereka berkata : “Siapa yang berhukum kepada makhluk adalah kafir.”

Kesebelas, Mu’tazilah dari kalangan Khawarij, mereka berkata : “Samar bagi kami masalah Ali dan Mu’awiyah maka kami berlepas diri dari dua kelompok itu.”

Kedua belas, Al Maimuniyah, mereka berpendapat : “Tidak ada iman, kecuali dengan restu orang-orang yang kami cintai.” (Talbis Iblis halaman 32-33)

Harakah-harakah Islam dewasa ini juga banyak terkena fikrah (pemikiran) seperti ini. Mereka menganggap kaum Muslimin yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang-orang yang telah murtad dari agama Allah. Dan yang parahnya juga mereka membolehkan untuk mencuri barang milik selain kelompok mereka dengan alasan “ini harta orang kafir (fa’i).”

Tetapi ketika dakwah Salafiyah muncul dan kemudian menyerang dan meluluhlantakkan mereka, mereka pun sekarang berkata : “Kami juga salafi, ya akhi. Kami juga Ahlus Sunnah.” Ini mirip dengan seperti yang dikatakan oleh penyair :

…….Semua mengaku memiliki hubungan dengan Laila

…….Tapi, Laila sendiri tidak mengakuinya

Maka hendaknya seseorang itu melihat kembali dan mengoreksi langkah dakwah yang dia tempuh selama ini. Dan hendaknya dia kembali kepada manhaj Salaf dalam Aqidah dan Manhaj. Dan itu akan didapat dengan belajar serta memohon bimbingan dari Allah. Atau kalau tidak, dia akan menjadi seperti yang dikatakan oleh Allah :

Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi : 103-104)

Dan amalannya hanya akan menjadi amalan yang meletihkan saja, sebagaimana firman Allah :

“Amalan yang meletihkan.” (QS. Al Ghasyiyah : 3)

Maka hendaknya seseorang itu berhati-hati dalam bekerja. Hendaknya dia sadar kalau amalannya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Dan jadilah dia orang yang merugi di akhirat. Mari kita ajak mereka dengan tegas : “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Salaf umat ini.”

Bolehkah Seseorang Memerangi Khawarij

Imam Al Barbahari berkata : “Dihalalkan memerangi Khawarij bila mereka menyerang kaum Muslimin, membunuh mereka, merampas harta, dan mengganggu keluarga mereka.” (Halaman 78)

Penutup

Sebagai penutup pembicaraan tentang Khawarij, saya akan membawakan sebuah kisah tentang taubatnya seorang Khawarij. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i, setelah beliau membawakan sanadnya, beliau berkata : Muhammad bin Ya’qub Al Asham berkata : “Pernah ada dua orang Khawarij thawaf di Baitullah maka salah seorang berkata kepada temannya : ‘Tidak ada yang masuk Surga dari semua yang ada ini kecuali hanya aku dan engkau saja.’ Maka temannya berkata : ‘Apakah Surga yang diciptakan Allah seluas langit dan bumi hanya akan ditempati oleh aku dan engkau?’ Temannya berkata : ‘Betul.’ Maka temannya tadi berkata : ‘Kalau begitu, ambillah Surga itu untukmu.’ Maka orang itu pun meninggalkan paham Khawarijnya.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah 7/1234, tahqiq DR. Ahmad Sa’ad Hamdan nomor 2317)

Allahu A’lam Bish Shawwab.

_________________________________________________________________________________

[1] Yakni dimaafkan terhadap ketidaktahuannya itu.

[2] Ini seperti pendapat NII dan Jamaah Jihad lainnya semisal Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.

[3] Ini seperti pendapat LDII.

[4] Ini seperti pendapat Hizbut Tahrir di jaman ini.

(Dikutip dari tulisan Awas … ! Paham Khawarij Menjangkiti Harakah Islamiyah, oleh : Muhammad Ali Ishmah Al Medani, Bulletin Al Manhaj IV/1419 H/1998 M])

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=39
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh: Asy Syaikh Soleh Al Fauzan hafidzahullah

Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.

Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

Hari Raya Orang-orang Kafir Identik Dengan Agama Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

Setiap Umat Beragama Memiliki Hari Raya

Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48).

Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:

فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْداً وَإِنَّ هَذَا لَعِيْدُناَ

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ اْلأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:

1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)

Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)

Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:

وَلاَ تَدْخُلُوْا عَلىَ الْمُشْرِكيْنَ فِيْ كَناَئِسِهِمْ وَمَعاَبِدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْـزِلُ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya

Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)

Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)

3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)

4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)

5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka

Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Dosakah Bila Melakukan Hal Itu Dalam Rangka Mudahanah (basa-basi)?

Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya):

“Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

Orang-orang Kafir Bergembira Bila Kaum Muslimin Ikut Berpartisipasi Dalam Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

Bolehkah Seorang Muslim Ikut Merayakan Tahun Baru dan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)

Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.

Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257).

Wallahu A’lam.

___________________________________________________________

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=89


Perayaan Valentine’s Day Dalam IslamAqidah > Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

« Entri Sebelumnya

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...