Mencintai Para Sahabat dan Ahlul Bait Rasulullah

Posted on 2 Maret 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , |

Mencintai Para Sahabat dan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat adalah orang-orang terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi mereka adalah generasi terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia, hal ini selaras dengan ucapannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku” (yakni para sahabat, pent).

Adalah merupakan aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah mencintai para sahabat dan ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa harus bersikap ekstrem dalam mencintainya, tetapi tidak juga bersikap merendahkan atau bahkan mencemoohkannya. Pendek kata, aqidah ahlussunnah wal jama’ah dalam hal para sahabat Nabi dan ahlul bait pertengahan antara ifrath dan tafrith, serta ghuluw dan jafaa’, antara rafidhah -semoga Allah menjelekkan mereka-, khawarij dan nawasib.

  • Kaum rafidhah (syi’ah) mengatakan, “Tidak ada loyalitas terhadap ahlul bait, kecuali dengan berlepas diri dari para sahabat, barangsiapa yang tidak berlepas diri dari para sahabat, maka ia tidak mencintai ahlul bait.”
  • Lain lagi dengan Khawarij, mereka mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma beserta para sahabat lainnya yang bersamanya, menghalalkan darah dan harta-hartanya.
  • Adapun nasibi / nawasib, mereka adalah orang-orang yang menancapkan api permusuhan terhadap ahlul bait, mencelanya dan berlepas diri darinya.

Ahlussunnah wal jama’ah adalah orang-orang yang Allah telah berikan hidayah padanya untuk mengetahui keutamaan-keutamaan para sahabat sehingga mereka mencintainya (para sahabat) karena kesetiaannya terhadap Rasulullah, kepeloporannya dalam hal itu, perjuangannya membela Islam, dan berjihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka menjaga diri dari membicarakan kesalahan-kesalahannya para sahabat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Jika disebutkan para sahabatku maka tahanlah” (yakni dari membicarakan kesalahannya, pent) (HR Abu Nu’aim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).

Ahlussunnah meyakini bahwa orang yang terbaik setelah Nabi adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian Umar bin Al-Khaththab lalu Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhum.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Kami sedang berbincang -dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di hadapan kami- bahwa sebaik-baik orang setelah Rasulullah adalah Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Nabipun mendengar hal itu dan beliau tidak mengingkarinya.” (HR Bukhari). Juga telah datang riwayat secara mutawatir bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata saat khutbah,

“Umat yang paling afdhal setelah Nabi adalah Abu Bakar lalu Umar…”

Setelah mereka yang terbaik adalah lima orang ahli syura yakni Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad, dan Thalhah. Kemudian setelah mereka adalah ahli Badar dari Muhajirin dan Ahli Badar dari Anshar dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya. Semoga Allah meridhai semuanya.

Para pembaca,

Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mencintai muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib, begitu pula mencintai seluruh istri-istri Rasulullah, memuji semuanya, dan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya yang paling tepat dengan adil dan inshaf, tidak dengan hawa nafsu dan kedengkian, mereka mengetahui keutamaan orang-orang yang Allah kumpulkan padanya kemuliaan iman dan kemuliaan nasab, siapa saja yang tergolong ahlul bait dari para sahabat Nabi, maka mereka mencintainya karena keimanannya, ketakwaannya, dan kesetiannya serta kekeluargaannya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Mereka yakni ahlussunnah wal jama’ah mencintai ahlul bait Rasulullah dan berloyalitas padanya, mereka menjaga betul wasiat Rasulullah saat berkata, “Aku ingatkan kalian pada ahlul baitku.” Dan saat berucap, “Demi yang jiwaku ada di genggamanNya, kalian tidak beriman hingga kalian mencintai Allah dan keluargaku.” Mereka (ahlussunnah) mencintai istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ummahatul mu`minin, serta mengimani bahwa mereka adalah istri-istri beliau di akhirat…”

.

Keutamaan Ahlul Bait dalam Al Qur`an dan As Sunnah

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا . وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا . يَا نِسَاء النَّبِيِّ مَن يَأْتِ مِنكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا . وَمَن يَقْنُتْ مِنكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَتَعْمَلْ صَالِحًا نُّؤْتِهَا أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا . يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا . وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridha-an) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. Hai istri-istri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan RosulNya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rizki yang mulia. Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkan perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS Al Ahzab: 28-33).

Makna firman Allah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya” ini menunjukkan keutamaan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang diharamkan atasnya shodaqoh (menerimanya, red), yang terkhusus dari mereka adalah istri-istrinya dan keturunannya.

Dalam Shahih Muslim no 2276, dari Watsilah bin al Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“‘Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari keturunannya Ismail dan memilih Quraisy dari Kinanah dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih aku dari Bani Hasyim.”

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Al Hasan bin Ali datang lalu Nabi menyuruhnya masuk, kemudian datang Husain dan masuk bersamanya, lalu datang Fatimah dan Ali dan menyuruhnya masuk, kemudian beliau membaca (ayat), “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.'” (HR Muslim no 2424).

.

Keutamaan Ahlul Bait di Mata Para Sahabat

Telah diketahui secara umum bahwa para khulafa` ar rasyidin yang empat adalah mertua dan menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma memiliki kemuliaan yang lebih dimana Rasulullah menikahi putri-putrinya: ‘Aisyah dan Hafshah, sedang Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhuma juga mempunyai kemuliaan yang lebih dimana mereka menikahi putri-putri Rasulullah. Utsman menikah dengan Ruqayyah dan setelah ia (Ruqayyah) meninggal dunia kemudian menikah dengan saudaranya yakni Ummu Kultsum, sehingga Utsman digelari “Dzunnuraini”. Adapun Ali menikah dengan Fatimah radhiyallahu ‘anha.

Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Ali, “Demi yang jiwaku ada di genggamanNya, aku lebih menyukai untuk menyambung (silaturrahmi) dengan keluarga Rasulullah daripada keluargaku sendiri.” (HR Bukhari no 3712).

Dalam riwayat lain no 3713, beliau berkata, “Jagalah Rasulullah dan ahli baitnya” bahkan pernah pada suatu hari setelah beliau menunaikan shalat ashar, ia melihat Hasan bermain dengan anak-anak seusianya lalu beliaupun memanggulnya di atas pundaknya. (HR Bukhori no: 3542).

Umar ibnul Khaththab ketika ditimpa kemarau ia mendatangi Abbas bin Abdul Muthallib bertawassul -meminta do’a darinya- (HR Bukhori no: 1010 dan 3710). Bertawassulnya beliau kepada Abbas adalah karena hubungan keluarganya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga beliaupun berkata dalam tawassulnya, “Sesungguhnya kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami.” Dalam kesempatan lain ia pernah berkata kepada Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Demi Allah, keislamanmu pada hari engkau masuk Islam lebih aku cintai / sukai daripada Islamnya Khattab jika dia masuk Islam, karena keislamanmu lebih disukai oleh Rasulullah daripada keislaman Khattab.” (Tafsir Al Qur`anul Adzim: 4/116).

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang paling mirip perangainya dengan Rosulullah, baik saat berdirinya maupun saat duduknya selain dari Fatimah binti Rasulullah.” (HR Abu Daud no 5217, Tirmidzi no 3872).

Para pembaca, sangatlah banyak riwayat-riwayat dan atsar para sahabat, para tabi’in, serta tabi’it tabi’in dan ahlil ilmi yang menunjukkan akan kecintaan, penghormatan, dan pengagungan mereka terhadap ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian kaum muslimin ahlussunnah wal jama’ah semua bersepakat untuk mencintai dan mengagungkan para sahabat dan ahlul bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berlepas diri dari sikap ekstremnya dan kezhalimannya kaum Syi’ah Rafidhah, Bathiniyah, Ismailiyah, dan Itsna Atsariyah dari kalangan Syi’ah serta Khawarij terhadap para sahabat dan ahlul baitnya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wal ‘ilmu ‘indallah.

 


Ditulis oleh Al Ustadz Abu Hamzah Al Atsary.

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=349

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (II)

Posted on 28 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sambungan dari Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)

Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”

Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.

Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)

Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)

Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)

Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)

Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”

Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)

Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”

Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :

[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]

Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”

Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.

Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.”

Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.

Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :

“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).

Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia –dengannya– dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)

Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)

Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, –padahal at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu–, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!

Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)

Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)

Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)

Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”

Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”

Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.

Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”

Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.

Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”

Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.

Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)

Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.

Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.

Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.

Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :

“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)

Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.

Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)

Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

________________________________________________________________________________

[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan dipahami.

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli “Nyanyian dan musik dalam Islam”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=27
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Al Quran: Keutamaan, kedudukan dan posisinya sebagai sumber syariat Islam

Posted on 28 Februari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Al-Qur`an adalah firman Allah. Muncul dari zat-Nya dalam bentuk perkataan yang tidak dapat digambarkan. Diturunkan kepada Rasul-Nya dalam bentuk wahyu. Orang-orang mukmin mengimaninya dengan keimanan yang sebenar-benarnya. Mereka beriman tanpa keraguan, bahwa Alquran adalah firman Allah dengan sebenarnya. Bukan ciptaan-Nya, seperti layaknya perkataan makhluk, barang siapa mendengarnya dan menganggap sebagai perkataan manusia, maka ia telah kafir.

Allah subhanahu wa ta’ala memberikan sifat kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ . لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Dan sesungguhnya Alquran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Fushshilat: 41-42)

Di dalam ayat yang lain Allah juga mensifatinya dengan firman-Nya:
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”. (Huud: 1).

Sungguh ayat-ayat Alquran ini sangat cermat dan teliti, jelas dan terperinci, yang telah ditetapkan oleh yang Maha Bijaksana, dan yang telah diuraikan oleh yang Maha Tahu. Kitab ini akan terus menjadi mukjizat dari segi keindahan bahasa, syariat, ilmu pengetahuan, sejarah dan lain sebagainya. Sampai Allah mengambil kembali bumi dan yang ada di dalamnya, tidak akan terdapat sedikitpun penyelewengan dan perobahan terhadapnya, sebagai bukti akan kebenaran firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9).

Dunia secara keseluruhan belum pernah memperoleh sebuah kitab seperti Al Quran yang mulia ini, yang mencakup segala kebaikan, dan memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus, serta mencakup semua hal yang akan membahagiakan manusia. Allah berfirman: “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Al-Israa,: 9).

Alquran ini diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan, menuju cahaya. Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim: 1).

Dengan Alquran, Allah telah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai. Bila dibaca dengan benar, dipahami setiap surat dan ayat-ayatnya, dipahami secara mendalam setiap kalimat dan kata-katanya, tidak keluar dari batas-batasnya, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya, menjauhi larangan-larangan, berakhlak dengan apa yang disyariatkan, dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai terhadap dirinya, keluarga dan masyarakatnya, maka akan menjadikan umat Islam merasa aman, tenteram dan bahagia di dunia dan akhirat. Allah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya”. (Al-Baqarah: 121).

Ibnu Abbas berkata: “Mereka mengikutinya dengan sebenarnya, menghalalkan yang telah dihalalkan dan mengharamkan yang telah diharamkan serta tidak menyelewengkannya dari yang semestinya”. Dan Qatadah berkata: “Mereka itu adalah sahabat-sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Beriman kepada kitab Allah, lalu membenarkannya, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta melaksanakan apa yang ada di dalamnya”.

Makhluk jin sangat terkesan sekali tatkala mendengarkan bacaan Alquran; hati mereka dipenuhi dengan kecintaan dan penghargaan terhadapnya, dan mereka bersegera mengajak kaumnya untuk mengikutinya, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: lalu mereka berkata:
إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا . وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak”.(Jin: 1-3).

Allah telah bercerita tentang mereka dalam Al Quran:
قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ . يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Mereka berkata: Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih”.(Al-Ahqaf: 30-31).

Oleh karenanya, kitab yang mulia ini mengungguli kitab-kitab samawi sebelumnya. Dan kedudukannya pun di atas kitab-kitab itu. Allah berfirman:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Alquran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah”.(Az-Zukhruf: 4).

Dan firman Allah dalam ayat yang lain:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. (Al-Ma,idah: 48)

Para ulama tafsir berkata: “Al Quran lebih unggul dari kitab-kitab samawi lainnya sekalipun semuanya turun dari Allah, dengan beberapa hal, diantaranya: jumlah suratnya lebih banyak dari yang ada pada semua kitab-kitab yang lain. Telah disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam diberi kekhususan dengan surat Al-Faatihah dan penutup surat Al-Baqarah. Di dalam Musnad Ad Darimi disebutkan, dari Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Sesungguhnya Assab’uthiwal (Tujuh surat panjang dalam Alquran; Al-Baqarah, Ali ,Imran, An-Nisaa`, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al-Maa-idah dan Yunus) sama seperti taurat, Al-Mi`in (Surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih, seperti Hud, Yusuf, Mu,min dan lain sebagainya) sama seperti Zabur dan Al-Matsani (Surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Seperti, Al-Anfaal, Al-Hijr dan lain sebagainya) sama dengan kitab Zabur. Dan sisanya merupakan tambahan”. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, dari Wasilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah diturunkan kepadaku Assab’uthiwal sebagai ganti yang ada pada Taurat. Diturunkan kepadaku Al Mi`in sebagai ganti yang ada pada Zabur. Diturunkan kepadaku Al Matsani sebagai ganti yang ada pada Injil, dan aku diberi tambahan dengan Al Mufashshal (surat-surat pendek).”

Assab’uthiwal, adalah dari awal surat Al-Baqarah hingga akhir surat Al-A’raaf, yang berjumlah enam surat. Para ulama berselisih pendapat tentang surat yang ke tujuh; Apakah surat Al-Anfaal dan Al-Bara`ah sekaligus karena antara keduanya tidak dipisah dengan bismillah, maka dianggap satu surat, atau surat Yunus? “Al-Mi`un” yaitu surat-surat yang ayatnya sekitar atau lebih dari seratus. “Matsani” yaitu; surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah seratus. Dinamakan demikian karena ayat-ayatnya berulang-ulang melebihi yang ada pada surat-surat yang terhimpun dalam sab’uthiwal dan mi`un. Sedangkan yang dimaksud dengan “Al-mufashal”, adalah surat-surat yang lebih pendek dari surat-surat dalam Al-Matsani. Para ulama berselisih pendapat tentang awal dari surat-surat itu; Ada yang berpendapat bahwa Al-Mufashal bermula dari awal surat Ash-Shaffaat, pendapat lain mengatakan, diawali dari surat Al-Fat-h, dan yang lainnya berpendapat, dari surat Al-Hujuraat, dan ada juga yang berpendapat, dari surat Qaaf. Pendapat ini dibenarkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Ada pula pendapat selain yang disebut di atas. Namun demikian para ulama sepakat bahwa akhir dari Mufashal adalah surat terakhir dalam Alquran.

Diantara keunggulan Al Quran juga, bahwa Allah menjadikan gaya bahasanya mengandung mukjizat, sekalipun kitab-kitab lain juga mengandung mukjizat dari segi pemberitaan tentang yang gaib dan hukum-hukum, namun gaya bahasanya biasa-biasa saja, maka dari segi ini Al Quran lebih unggul. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Alquran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah”. (Az-Zukhruf:4)

Dan firman Allah:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia”.(Ali ,Imran:110).

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhailul Quran (keutamaan-keutamaan Al Quran) halaman:102-123, mengatakan: “Hal ini mereka raih berkat Al Quran yang agung, yang mana Allah telah memuliakannya dari semua kitab yang pernah diturunkan-Nya, dan Dia jadikan sebagai batu ujian, penghapus dan penutup bagi kitab-kitab sebelumnya, karena semua kitab terdahulu diturunkan ke bumi dengan sekaligus, sedangkan Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi, demi untuk menjaganya dan menghargai orang yang diberi wahyu. Setiap kali ayat Alquran turun, seperti keadaan turunnya kitab-kitab sebelumnya”.

Kitab yang mulia ini telah mengungkap banyak sekali kebenaran ilmiah kosmos, dalam ayat-ayat yang membuktikan wujud Allah, kekuasaan dan keesaan-Nya. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”? (Al-Anbiyaa,:30).

Al Quran juga menganjurkan agar memanfaatkan apa yang dapat ditangkap oleh indra mata dalam kehidupan sehari-sehari dari ciptaan Allah, sebagaimana difirmankan:
قُلِ انظُرُواْ مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”.(Yunus:101).

Dan Allah berfirman:
اللَّهُ الَّذِي سخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya”. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (Al-Jaatsiah:13).

Kaum muslimin hendaknya mempelajari ilmu-ilmu alam, serta menikmati manfaat dari kekuatan-kekuatan yang tersimpan di langit dan bumi.

Sesungguhnya pembicaraan tentang Al Quran tidak akan ada habis-habisnya. Al Quranlah yang menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap adil dan bermusyawarah, dan menanamkan kepada mereka kebencian terhadap kezaliman dan tindakan semena-mena. Syiar para pemeluknya adalah kekuatan iman, tidak sombong, solidaritas dan bersikap kasih sayang antara sesama mereka.

Hendaknya kita hidup dengan Alquran, membaca, memahami, mengamalkan dan menghafal. Hidup dengan Alquran adalah perbuatan yang paling terpuji, yang patut dilakukan oleh orang mukmin. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ . لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mengerjakan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.(Faathir:29-30).

Dalam dua ayat tersebut di atas, Allah menganjurkan bagi orang-orang yang membaca Alquran agar disertai dengan perenungan, sehingga akan menimbulkan pengetahuan yang pada gilirannya akan menimbulkan pengaruh. Tidak diragukan lagi bahwa pengaruh membaca Alquran adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan.

Oleh karena itu Allah iringi amalan membaca Al Quran dengan mendirikan salat, menafkahkan sebagian rezki yang dikarunia Allah secara diam-diam dan terang-terangan, kemudian dengan demikian orang-orang yang membaca Al Quran itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan merugi. Mereka mengetahui bahwa karunia Allah lebih baik dari apa yang mereka infakkan. Oleh karena mereka mengadakan perniagaan di mana Allah menambahkan karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih, mengampuni kelalaian, dan berterima kasih atas pelaksanaan tugas.

Oleh karena itu kita harus selalu membaca Alquran dengan perenungan dan kesadaran, sehingga dapat memahami Alquran secara mendalam. Bila seorang pembaca Alquran menemukan kalimat yang belum dipahami, hendaknya bertanya kepada orang yang mempunyai pengetahuan. Allah berfirman:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.(An-Nahl:43).

Mempelajari Alquran sangat diperlukan. Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat, dan mereka akan disebut-sebut Allah dihadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat), dan barang siapa amalnya kurang, tidak dapat ditambah oleh nasabnya. (Diriwayatkan oleh Muslim, 2699).

Sabda Rasul dalam hadis ini, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah”, “Rumah” di sini bukanlah batas, terbukti dengan sebuah hadis riwayat Muslim yang lain yang mengatakan: “Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah, melainkan akan diliputi oleh para malaikat….” Jika berkumpul di tempat lain, selain rumah Allah (masjid) maka bagi mereka keutamaan yang sama dengan mereka yang berkumpul di masjid. Pembatasan “di rumah Allah” dalam hadis di atas, hanyalah karena seringnya tempat itu dijadikan tempat berkumpul, akan tetapi tidak ada keharusan; Berkumpul untuk membaca dan mempelajari ayat-ayat Alquran dan kandungan hukumnya, di mana pun tempatnya akan mendapatkan keutamaan yang sama. Adapun jika berkumpul untuk belajar di masjid lebih utama, hal itu dikarenakan masjid mempunyai keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh tempat yang lain.

Diriwayatkan oleh ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran, maka ia akan memperoleh kebaikan. Kebaikan itu berlipat sepuluh kali. Aku tidak mengatakan, Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi, Alif adalah huruf, Lam huruf, dan Mim huruf. (H. R. Tirmizi. Nomor:3075).

Dari Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ia bersabda; “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”.(Bukhari). Nomor:4739). Hadis ini menunjukkan akan keutamaan membaca Alquran.

Suatu ketika Sufyan Tsauri ditanya, manakah yang engkau cintai orang yang berperang atau yang membaca Alquran? Ia berkata, membaca Alquran, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”. Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Alquran selama empat puluh tahun di masjid agung Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: “Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini”.

Al hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam; “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkan kepada orang lain” adalah, bahwa ini sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada orang lain. Allah berfirman:
الَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ اللّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يُفْسِدُونَ
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan”.(An-Nahl:88).

Sebagaimana firman Allah:
وَهُمْ يَنْهَوْنَ عَنْهُ وَيَنْأَوْنَ عَنْهُ
“Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Alquran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya” (Al-An’aam:26).

Penafsiran yang paling benar dalam ayat ini, dari dua penafsiran ahli tafsir adalah bahwa, mereka melarang orang-orang untuk mengikuti Alquran, sementara mereka sendiri pun menjauhkan diri darinya. Mereka menggabungkan antara kebohongan dan berpaling, sebagaimana firman Allah:
أَوْ تَقُولُواْ لَوْ أَنَّا أُنزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَى مِنْهُمْ فَقَدْ جَاءكُم بَيِّنَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَّبَ بِآيَاتِ اللّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يَصْدِفُونَ
Atau agar kamu (tidak) mengatakan: “Sesungguhnya jika kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka.” Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (Al-An’aam:157).

Beginilah perihal orang-orang kafir yang jahat, sedangkan orang-orang mukmin yang baik dan pilihan selalu menyempurnakan dirinya dan berusaha menyempurnakan orang lain, sebagaimana tersebut dalam hadis di atas. Allah berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”.(Fushilat:33)

Ayat ini menggabungkan antara seruan kepada Allah, baik dengan azan atau yang lainnya, seperti mengajarkan Alquran, hadis, fikih dan lainnya yang mengacu kepada keridaan Allah, dan dengan perbuatan saleh, dan juga berkata dengan ucapan yang baik].

Rahmat Allah akan dilimpahkan kepada orang-orang yang membaca Alquran dan mereka yang menegakkan hukumnya, juga mencakup orang-orang yang mendengarkan bacaannya. Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mengerjakan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.(Al-Anfaal:2-4)

Dari Abdullah Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: ” Bacakan Alquran kepadaku”. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Aku harus membacakan Alquran kepada Anda, sedangkan kepada Andalah Alquran itu diturunkan?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku senang bila mendengarkan dari orang selainku.” Aku lalu bacakan surat An Nisaa`. Ketika sampai pada firman yang berbunyi:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَـؤُلاء شَهِيدًا
(Maka bagaimanakah “halnya orang kafir nanti”, jika Kami mendatangkan seorang saksi “rasul” dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu “Muhammad” sebagai saksi atas mereka itu “umatmu”).

Beliau berkata: “Cukup”, lalu aku menoleh kepada beliau, tiba-tiba aku lihat beliau mencucurkan air mata. (H.R. Bukhari  nomor:4582, Muslim nomor:800 dan Abu Daud Nomor:3668).

Imam Nawawi berkomentar: [Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari hadis ini, di antaranya: sunat hukumnya mendengarkan bacaan Alquran, merenungi, dan menangis ketika mendengarnya, dan sunat hukumnya seseorang meminta kepada orang lain untuk membaca Al Quran agar dia mendengarkannya, dan cara ini lebih mantap untuk memahami dan mentadabburi Al Quran, dibandingkan dengan membaca sendiri].

Setiap orang muslim hendaknya tahu akan hak-hak Alquran; menjaga kesuciannya, komitmen terhadap batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama saat mendengarkan bacaannya, dan meneladani para salaf (pendahulu) saleh dalam membaca dan mendengarkannya. Sungguh mereka itu bagaikan matahari yang menerangi dan dapat diteladani dalam kekhusyukan yang sempurna dan meresapi, mengimani firman Allah:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ . بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.(Asy-Syu’ara:192-195).

Memang benar adanya, bahwa Alquran, baik lafal maupun makna adalah firman Allah, yang merupakan sistem dari langit untuk seluruh makhluk, khususnya manusia. Selain itu ia merupakan rujukan utama perkara-perkara agama dan sandaran hukum. Hukum-hukum yang ada di dalamnya tidaklah diturunkan sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur selama masa kerasulan; ada yang turun untuk menguatkan dan memperkokoh pendirian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ada yang turun mendidik umat yang baru saja tumbuh dan ada pula yang diturunkan oleh karena peristiwa keseharian yang dialami oleh umat Islam di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Setiap kali ada peristiwa, turunlah ayat Alquran yang sesuai dan menjelaskan hukum Allah atas peristiwa itu. Di antaranya adalah kasus-kasus dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat Islam, pada masa pensyariatan hukum, di mana umat Islam ingin mengetahui hukumnya, maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum Allah, seperti larangan minuman keras.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan mendapati orang-orang meminum minuman keras, dan makan dari hasil berjudi. Lalu mereka bertanya kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu, maka Allah menurunkan ayat:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(Al-Baqarah:219)

Lalu orang-orang berkata: “Tidak diharamkan, hanya saja pada keduanya dosa yang besar”. Selanjutnya mereka masih juga banyak yang minum khamar (minuman keras), sampai pada suatu hari, seorang dari Kaum Muhajirin mengimami sahabat-sahabatnya pada shalat Magrib. Bacaannya campur aduk antara satu dengan yang lain, sehingga Allah menurunkan ayat Alquran yang lebih keras dari ayat sebelumnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ ا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.(An-Nisaa,:43).

Akan tetapi, Orang-orang masih juga banyak yang meminum minuman keras, hingga salah seorang melakukan salat dalam keadaan mabuk. Lalu turunlah ayat Alquran yang lebih keras lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Al-Maa-idah:90)

Mereka berkata: “Kami tidak akan melakukannya lagi wahai Tuhan!” Lalu orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah banyak orang yang terbunuh di jalan Allah, atau mati di atas kasurnya, padahal mereka telah meminum khamar dan makan dari hasil perjudian, sedangkan Allah telah menjadikan keduanya, najis yang merupakan perbuatan setan”. Maka turunlah ayat:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُواْ إِذَا مَا اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّأَحْسَنُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebaikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.(Al-Maa-idah:93)

Nabi bersabda: “Jika diharamkan atas mereka sebelumnya, niscaya mereka akan meninggalkannya sebagaimana halnya kalian meninggalkan.(Musnad Ahmad 2/251 dan 252).

Dalam sahih Bukhari, hadis nomor:4620, disebutkan, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Dulu aku pernah jadi penyuguh minuman (khamar) di rumah Abu Thalhah, dan turunlah ayat pengharaman minuman keras. Lalu diutuslah seseorang untuk menyerukan larangan ini. Abu Thalhah berkata, “Keluarlah dan lihat suara apakah itu”. Lalu aku keluar, dan aku berkata: “Sungguh minuman keras telah diharamkan”. Ia berkata kepadaku: “Pergi, dan tumpahkanlah”. Anas berkata: “Aku pun keluar dan menuangkannya. Saat itu khamar mengalir di jalan-jalan Madinah.” Anas berkata: “Jenis khamar pada saat itu adalah yang terbuat dari kurma.” Sebagian orang berkata: “Telah banyak yang terbunuh, sedangkan minuman itu ada di dalam perut mereka”. Ia berkata, lalu turunlah ayat: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu”.

Dari yang disebutkan di atas, kita mengetahui bahwa larangan meminum khamar (minuman keras) terjadi dalam tiga tahap, yaitu ketika turun surat Al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Ayat ini mengandung larangan meminum minuman keras dengan cara yang halus. Maka yang meninggalkannya ketika itu hanya sekelompok orang yang tingkat ketakwaan mereka sangat tinggi. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang hukum meminum minuman keras. Lalu turunlah ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Lalu umat Islam menghindari untuk meminumnya pada waktu-waktu mendekati shalat. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang minuman keras. Maka turunlah surat Al-Maa-idah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan, Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Saat itulah ketika diserukan dan dibacakan ayat ini, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami berhenti (dari melakukannya)”. Demikianlah proses pensyariatan yang bertahap, di mana Allah menyucikan umat Islam dari adat istiadat yang bertentangan dengan sistem Islam, dan melengkapi mereka dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: pemaaf, penyabar, kasih sayang, jujur, menghormati tetangga, berlaku adil dan perbuatan baik yang lain.

Hanya Allah semata yang menetapkan syariat untuk para hambanya. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (Al-An,am:57).

Syariat itu ditetapkan tiada lain kecuali hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik hikmah yang terkandung di dalamnya tampak atau pun tidak. Alquran adalah sumber pertama syariat.

Adapun sumber kedua adalah sunah, dan tidak ada perselisihan antara para ulama bahwa sunah merupakan hujah dalam syariat di samping Alquran. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(An-Nisaa,:59).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.(An-Nahl:44).

Dan firman Allah:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(Al-Hasyr:7)

Imam Ibnu Qayimil Jauziah dalam bukunya “A’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabil Alamin”, halaman, 263, menjelaskan tentang peran sunah terhadap Alquran, ia berkata: “Peran sunah terhadap Alquran ada tiga: Pertama: Mempunyai maksud sama dengan Alquran dilihat dari semua segi. Sehingga masing-masing ayat Alquran dan hadis Nabi yang sama-sama menunjukkan kepada hukum yang sama termasuk dalam kategori suatu yang hukum mempunyai lebih dari satu dalil. Kedua: Menjelaskan maksud dari Alquran dan penafsirannya. Ketiga: Menetapkan suatu hukum, wajib atau haram, yang tidak ada terdapat dalam Al Quran. Peran itu tidak keluar dari tiga hal ini dan tidak ada pertentangan sama sekali antara Alquran dan sunah.

Oleh karenanya, sunah menegaskan suatu hukum dari Alquran, kadang kala ia menafsirkan teks Alquran atau menguraikan hukum yang dijelaskan secara ringkas dalam Alquran, bahkan juga menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Alquran. Namun demikian sunah tidak menetapkan sebuah hukum, kecuali bila di dalam Alquran tidak diketemukan hukum yang dimaksud. Sunahlah yang menjelaskan kepada kita -umat Islam- bahwa salat yang diwajibkan adalah lima kali sehari semalam, darinya juga diketahui jumlah rakaat dalam salat dan rukun-rukunnya, menjelaskan hakikat zakat, dan ke mana disalurkan serta berapa nisabnya. Dan sunah juga yang menjelaskan kepada kita cara-cara haji dan umrah, dan bahwa ibadah haji hanya wajib sekali dalam seumur hidup, dan ia pula yang menerangkan tentang miqat-miqat haji, zamani dan makani (waktu dan tempat) dan jumlah putaran tawaf.

Maka bagi mereka yang hanya berpegang terhadap Alquran dengan meninggalkan sunah, hendaknya segera memperbaharui keimanannya dan segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.(Thaha:82).

Alquran dan Sunah, kedua-duanya merupakan wahyu Allah kepada Rasul-Nya, dan dua sumber syariat Islam yang mengembalikan manusia pada fitrahnya, dan menjadikan manusia mengetahui jalan hidupnya. Allah berfirman:
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk”.(Al-A’raaf:43).

________________________________________________________________________

sumber: http://www.qurancomplex.org/infoquran.asp?l=ind&SecOrder=1&SubSecOrder=2

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Kedudukan Wanita Dalam Islam

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Propaganda-propaganda penghancuran kian menyeruak di tengah kehidupan kaum muslimin. Tidak pernah terbayang jika mereka tengah diintai oleh lawan yang kuat dan tangguh, tiba-tiba terdengar satu kaum atau daerah atau beberapa orang telah menanggalkan baju kemuliaannya dan berpindah agama. Sesungguhnya banyak cara dan jalan bagi Iblis untuk menjerat dan menyesatkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menggiring mereka menuju neraka Sa’ir.

Banyak pengikut yang siap dikomando olehnya dalam upaya penghancuran ini, dan terlalu banyak dalang yang siap menjalankan kemauan Iblis la’natullah ‘alaih. Banyak pemikir yang siap merancang jalan-jalan penyesatan. Banyak tokoh agama yang siap membelokkan jalan yang lurus. Dan banyak da’i yang siap menjadi penyeru kepada jalan Iblis. Terpeliharalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan binasalah orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Banyaknya jalan Iblis untuk menjerat lawannya dan banyaknya pendukung dalam melaksanakan niatnya, mengharuskan kita agar selalu siap menghadapinya dengan persenjataan yang lengkap dan bekal yang cukup. Tidak ada senjata yang paling ampuh untuk menghadapi kekuatan Iblis dan segala manuvernya selain ilmu agama. Dan tidak ada perbekalan yang lengkap dalam perjalanan jihad melawannya melainkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan bagi kalian furqan (pembeda).” (Al-Anfal: 29)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan menjadikan dia faqih dalam agama.”

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”

Wanita dalam Islam

Kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Allah Maha Adil dalam menentukan syariat-Nya, dan Maha Bijaksana dalam meletakkan hukum-hukum-Nya untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka dengan berbagai bentuk dan cara. Di antaranya:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka, agar terjaga kehormatan mereka. Sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian.”

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebankan mereka untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka, sebagaimana di dalam surat An-Nisa` ayat 5:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Dan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang muttafaqun ‘alaih:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian.”

Dan hadits dalam riwayat Abu Dawud (no. 1695):

كَفَى بِالـْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukup sebagai dosa, seseorang yang menyia-nyiakan tanggungannya.”

3. Kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuh mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

4. Kaum wanita tidak boleh bepergian dalam sebuah safar melainkan harus disertai mahram, melihat kondisi seorang wanita yang lemah serta membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan. Sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu (no. 1086-1087) dan Muslim rahimahullahu (no. 1338-1339) dari hadits Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhum.

5. Kaum wanita dilarang ber-tabarruj (bersolek) seperti wanita jahiliah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى

“Dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.”

6. Urusan talak perceraian tidak diserahkan kepada wanita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”

Juga dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Perceraian di tangan kaum lelaki dan tidak di tangan selainnya.” (Zadul Ma’ad, 5/278)

7. Tidak diwajibkan bagi wanita untuk ikut memikul amanat jihad fi sabilillah, sebagaimana telah dibebankan kepada kaum lelaki. (lihat kitab Kasyful Wa’tsa` Bizajril Khubatsa` Ad-Da’in ila Musawatin Nisa` bir Rijal wa Ilgha` Fawariqil Untsa karya Asy-Syaikh Abu Abdurrahman Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri)

Beberapa bentuk perlakuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum wanita di atas, jika dipelajari dan ditinjau dengan akal yang sehat dan fitrah yang bersih, akan diketahui bahwa itu semua merupakan cara untuk menjaga eksistensi wanita. Dan semuanya adalah perlakuan yang bijak dan adil, sesuai dengan kodrat mereka. Namun berapa dari wanita yang memahami diri dan kemuliaannya?

Wanita dalam Pandangan Jahiliah

Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya. Dalam keadaan seperti ini, bagaimanakah wanita diperlakukan di masa tersebut? Bagaimana status sosialnya menurut mereka?

Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan. Karena adat yang terjadi di antara mereka adalah prinsip “Tidak bisa mewarisi kecuali orang yang menghunus pedang dan yang melindungi gadis.” Dia tidak memiliki hak memprotes atau ikut bermusyawarah dalam urusan suaminya. Segala urusannya diserahkan kepada walinya. Dan adat bangsa jahiliah yang paling buruk adalah mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Perbuatan ini menunjukkan puncak kekejaman, kebengisan, dan kebiadaban sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya nan suci:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)

Tujuan bangsa Arab dalam penguburan itu beragam. Di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan karena mengkhawatirkan kehormatan mereka dan khawatir mendapat celaan. Karena mereka adalah orang-orang yang senang melakukan penyerangan dan peperangan. Hal ini bisa menjadikan anak-anak perempuan mereka menjadi tawanan musuh, menurut mereka. Ini merupakan puncak kerendahan dan kehinaan. Dan kabilah bangsa Arab yang pertama kali melakukan penguburan terhadap anak-anak perempuan mereka adalah kabilah Rabi’ah.

Di antara mereka ada yang mengubur anak perempuan hidup-hidup disebabkan keadaan hidup yang sangat melilit, sulitnya mata pencaharian, dan fakir. Kemiskinan itulah mendorong mereka melakukannya. Telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra`: 31)

 

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka’.” (Al-An’am: 151)

Adapula di antara mereka yang membunuh anak mereka karena kecemburuan dan khawatir mendatangkan aib. Karena mereka bisa mendatangkan penyakit, seperti hitam atau gemuk dan sebagainya. Sungguh mereka telah melakukan perbuatan biadab yang membuat hati luka tersayat dan air mata berlinang.

Fenomena kedzaliman ini telah menjadi aturan masyarakat dan diterapkan pada diri perempuan yang tidak berdosa. Islam datang mengharamkan perbuatan biadab tersebut dan memberi hukuman yang setimpal bagi orang yang melakukannya.

Wanita dalam Pandangan Orang Kafir

1. Wanita dalam pandangan bangsa Yunani

Yunani digolongkan sebagai bangsa pendahulu yang paling tinggi dan paling banyak peradabannya. Keadaan kaum wanita pada masa mereka berada dalam tingkat kemunduran dalam segala segi kehidupan, sehingga mereka tidak memiliki kedudukan sedikitpun di masyarakat. Bahkan muncul suatu keyakinan bahwa sesungguhnya kaum wanita adalah penyebab penderitaan dan musibah bagi seseorang. Sehingga tidak heran jika mereka menempati posisi yang paling rendah. Karena kedudukan mereka yang rendah itulah, kaum lelaki tidak duduk bersama mereka dalam satu meja makan.

Pada generasi berikutnya terjadi perubahan akibat arus syahwat, perangai kebinatangan dan hawa nafsu, yang menarik mereka untuk memberikan kebebasan kepada kaum wanita dalam urusan yang hanya terbatas pada seks. Sehingga para wanita tak ubahnya seperti pelacur-pelacur. Akibatnya, kaum wanita sebagai pelacur menempati posisi yang tinggi. Mereka menjadi pusat yang dikelilingi oleh segala aktivitas masyarakat Yunani. Bahkan mereka membuat hikayat-hikayat untuk para pelacur.

2. Wanita dalam pandangan bangsa Romawi

Mereka adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan ketinggian setelah bangsa Yunani. Kita melihat aturan-aturan bangsa ini condong kepada kedzaliman, kejahatan dan penyiksaan kepada kaum wanita. Di antara ucapan mereka yang berkaitan dengan wanita: “Sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya belum lepas.” Yakni, di dalam masyarakat mereka, seorang suami memiliki hak yang penuh terhadap istrinya, sebagaimana hak raja atas rakyatnya. Sehingga dia mengatur istrinya sesuai dengan hawa nafsunya. Kaum lelaki memandang kaum wanita hanya sebagai pelampiasan nafsu birahi, tidak lebih dari itu. Mereka hidup di atas persaingan untuk meraih wanita telanjang. Mereka juga mempermudah urusan perceraian karena sebab yang sangat sepele. Banyaknya perceraian itu mengakibatkan para wanita menganggap kebaikan hidup mereka berdasarkan jumlah suami, tanpa memiliki rasa bersalah dan malu. Yang lebih aneh dari itu semua, apa yang telah disebutkan oleh Al-Qudai Jaarum (340-420 M) tentang seorang wanita yang telah menikah terakhir kali pada hitungan yang ke-23, sementara dia merupakan istri yang ke-21 bagi suaminya yang baru.

Akibat semua itu, negara Romawi hancur dengan kehancuran yang keji sebagaimana hancurnya bangsa Yunani sebelumnya. Semua itu karena mereka tenggelam dalam syahwat kebinatangan, yang hal itu tidak pantas terjadi pada hewan apalagi pada manusia.

3. Wanita di negeri Persia

Sebuah negeri yang telah menguasai hukum di sebagian besar negara, yang menentukan kekuasaan, membuat undang-undang dan aturan-aturan. Kita melihat bahwa undang-undang tersebut merendahkan serta mendzalimi kaum wanita. Mereka menentukan hukuman yang amat sangat berat bagi kaum wanita hanya dengan kesalahan yang ringan. Pada saat yang sama, kaum lelaki memiliki kebebasan yang mutlak dan hukuman tidak ditimpakan kecuali kepada kaum wanita. Sehingga, kalau seorang wanita terjatuh dalam kesalahan yang berulang-ulang maka dia harus membunuh dirinya sendiri. Saat itu juga terdapat aturan bahwa kaum wanita dilarang untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki di luar kalangan Zaradashty (penyembah matahari). Sementara laki-laki memiliki kebebasan mengatur sesuai dengan nafsunya. Kebiasaan lain adalah bila wanita dalam keadaan haid, maka dia dipindahkan dari kota ke tempat yang jauh di luar kota. Tidak ada seorangpun yang boleh mendekatinya kecuali para pelayan yang menyuguhkan makanan untuknya.

4. Wanita di negeri Cina

Secara umum masyarakat Cina berada dalam kehidupan yang kacau dan biadab. Mereka bebas berhubungan seks tanpa memiliki rasa malu. Sehingga anak-anak hanya mengenal ibu mereka dan tidak mengenal bapak mereka. Dalam masyarakat ini, wanita tidak memiliki hak kecuali menerima perintah dan melaksanakannya. Tidak boleh memprotes. Masyarakat Cina dahulu memiliki adat yang mengakar. Di mana seorang ayah harus berjalan di atas adat yang sudah umum, yaitu wanita tidak berhak memperoleh warisan dan tidak boleh menuntut harta bapaknya sedikitpun. Mereka juga menyamakan kaum wanita itu dengan air mengalir yang membersihkan kotoran, yakni dianggap sebagai kesenangan dan harta warisan.

5. Wanita di India

Keadaan kaum wanita di negeri India tidaklah lebih baik dibanding keadaan mereka di negeri Yunani dan Romawi. Wanita dalam pandangan mereka adalah sebagai budak, sedangkan kaum lelaki sebagai tuan. Karena, dalam pandangan mereka, seorang gadis menjadi budak terhadap bapaknya, seorang istri menjadi budak bagi suaminya, seorang janda menjadi budak terhadap anak-anaknya. Keumuman bangsa Hindu berkeyakinan bahwa kaum wanita merupakan unsur dosa dan penyebab kemunduran perangai serta jiwa. Bila sang suami meninggal maka dia tidak memiliki hak hidup, sehingga ia harus mati pada hari ketika suaminya mati, dengan cara dibakar di atas satu tungku.

6. Wanita dalam pandangan Yahudi

Menurut bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk yang hina dan rendah sebagaimana barang jualan jelek yang di jual di pasar-pasar. Hak-haknya dirampas, dan mereka diharamkan dari hak waris jika warisan tersebut berupa harta. Adapun ayah, jika meninggalkan hutang berupa barang kebutuhan rumah, maka hutang tersebut dibebankan kepada kaum wanita. Namun jika meninggalkan harta, maka sedikitpun wanita tersebut tidak mendapatkan bagian. Bila menikah, wanita tidak diberi mahar meskipun harta calon suaminya berlimpah.

Dan jika harta warisan tersebut kembali ke anak perempuan karena tidak memiliki saudara laki-laki, maka ia tidak boleh menikah dengan keturunan yang lain. Ia juga tidak berhak mengalihkan warisannya kepada keturunan selainnya. Mereka memandang bahwa kaum wanita bagi kaum lelaki merupakan salah satu pintu Jahannam. Di mana wanita merupakan sebab yang akan menjerumuskan ke dalam dosa. Di antara anggapan mereka, wanita adalah sumber segala musibah yang menimpa manusia. Dan mereka meyakini bahwa kaum wanita merupakan laknat, karena dialah penyebab menyelewengnya Nabi Adam ‘alaihissalam.

Jika mereka tengah datang bulan alias haid, konsekuensinya adalah tidak diajak makan, duduk, serta tidak boleh menyentuh bejana, agar bejana tersebut tidak menjadi najis. Dia diasingkan di sebuah kemah, lalu roti dan air ditaruh di depannya. Dan dia tetap berada di kemahnya sampai dia suci.

7. Wanita dalam pandangan Nasrani

Agama Nasrani datang ke Eropa berupaya untuk mengatasi kekacauan yang telah meluas di masyarakat Barat ketika itu, yaitu kekacauan etika dan kemungkaran yang membuat kita miris. Padahal hewan yang lebih rendah saja jauh dari hal itu. Mereka menetapkan teori-teori yang diyakini sebagai obat penyembuh terhadap segala marabahaya. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Di antara teori-teori mereka adalah menganggap wanita sebagai sumber kemaksiatan, asal kejelekan dan kejahatan. Wanita bagi kaum lelaki adalah salah satu pintu Jahannam. Oleh karena itu, wanita menjadi sumber gerakan dalam berbuat dosa. (Lihat secara ringkas kitab Nisa` Haular Rasul karya Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi)

Emansipasi, Adakah di dalam Islam?

Jika seruan emansipasi bermotif:

1. Memperjuangkan hak-hak kaum wanita sehingga sama dalam kehidupan dengan hak-hak kaum lelaki,

2. Mengangkat kedudukan kaum wanita agar setara dengan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan,

3. Memerdekakan kaum wanita dari belenggu keterbelakangan sehingga sama dengan kaum lelaki dalam kemajuan,

Tentunya prinsip emansipasi yang demikian sangatlah bertentangan dengan keadilan Islam sebagai agama yang telah mengatur kehidupan setiap manusia, sekaligus juga menyelisihi kandungan keindahan wahyu. Di mana wahyu telah memisahkan serta menentukan bagi laki-laki dan wanita adanya hak serta kewajiban yang tidak sama. Begitu juga, wahyu telah menentukan perbedaan-perbedaan dalam banyak perkara, seperti adanya perbedaan dalam hal penciptaan, bersuci, shalat, pelaksanaan jenazah, zakat, puasa dan i’tikaf, haji, aqiqah, jihad, kepemimpinan dan perang, nikah, talak, khulu’, li’an dan ‘iddah, hukum had dan qishash, serta perbedaan dalam masalah hak waris. (Kasyful Wa’tsa` karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri)

Berjalan di atas ketentuan wahyu, sesungguhnya adalah sebuah pengangkatan, perjuangan dan kemerdekaan bagi kaum wanita yang sesuai dengan fitrah penciptaan mereka. Sebaliknya, meninggalkan bimbingan wahyu akan menyebabkan kehancuran dan kebinasaan.

Bahaya Seruan Emansipasi

Propaganda emansipasi wanita adalah sebuah lagu lama yang diembuskan oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Selama kaum muslimin –terutama kaum wanitanya– konsekuen dengan agama dan Sunnah Nabinya, tentunya kehidupan mereka akan baik dan bersih. Dengannya mereka akan mengetahui seluk-beluk musuh. Ini semua membuat benci musuh-musuh Islam khususnya Yahudi dan Nasrani. Maka disebarkanlah paham baru ini, emansipasi wanita, untuk memecah belah umat Islam, memperluas kerusakan di antara mereka, mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah pingitan, serta menghilangkan rasa malu dari mereka. Setelah semuanya itu terjadi, akan mudah bagi Yahudi dan Nasrani untuk menguasai dunia Islam serta menghinakan kaum muslimin.

Pada protokol zionis disebutkan: “Kita wajib berusaha memperluas kerusakan akhlak di setiap penjuru (negara-negara Islam) agar dengan mudah menguasai mereka.”

Glastone, seorang Inggris yang fanatik mengatakan: “Tidak mungkin menguasai negara-negara timur (negara-negara Islam) selama kaum wanitanya tidak menanggalkan hijab dari wajahnya. (Caranya adalah) menutup Al-Qur`an dari mereka, mendatangkan minuman-minuman keras dan narkoba, pelacuran, serta kemungkaran-kemungkaran lain yang melemahkan agama Islam.”

Propaganda emansipasi ini disambut hangat oleh orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyimpangan dan penyelewengan. Orang yang hidupnya tidak lain kecuali melampiaskan hawa nafsu birahi semata. Bahkan dukungan-dukungan materi mengucur deras untuk melariskan propaganda ini. Dukungan terhadap propaganda Yahudi untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin ini dipimpin oleh ‘Persatuan Yahudi Internasional dan Salibisme’ seperti:

1. Markus Fahmi, seorang Nasrani, menerbitkan buku yang berjudul Wanita di Timur tahun 1894 M. Dia menyerukan wajibnya menanggalkan hijab atas kaum wanita, pergaulan bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu dan larangan kawin lebih dari satu orang.

2. Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya untuk mendirikan persatuan istri-istri Mesir. Yang menjadi sasarannya adalah persamaan hak talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab, serta pergaulan bebas.

3. Ahli syair, Jamil Shidqi Az-Zuhawis. Dalam syairnya, dia menyuruh kaum wanita Irak membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan kaum pria. Dia juga menyatakan bahwa hijab itu merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat. (Lihat secara ringkas risalah Al-Huquq Az-Zaujiyah fil Kitab was Sunnah wa Bayanu Da’wati Hurriyyati Al-Mar`ah karya Hasyim bin Hamid bin ‘Ajil Ar-Rifa’i)

Kerusakan propaganda ini sesungguhnya telah diketahui oleh orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang suci. Cukuplah melirik bahaya yang akan timbul melalui propaganda ini sebagai salah satu dari sekian bentuk perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan propaganda ini tidaklah bertujuan melainkan untuk mengikis dan menghancurkan aqidah kaum muslimin.

Emansipasi dan Aqidah

Aqidah mengajarkan agar setiap hamba menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar Islam dan menerima dengan sepenuh hati segala perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa memilah-milahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala–dengan kemahaadilan dan kebijaksanaan-Nya– telah membuat aturan dan jalan di atas ilmu-Nya, yang harus ditaati dan ditempuh. Semuanya itu bertujuan agar mereka selamat di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi khalil-Nya.” (An-Nisa`: 125)

Propaganda emansipasi wanita jelas-jelas menghancurkan prinsip ketundukan terhadap segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pasrah menerima segala keputusan-Nya. Padahal semuanya dibangun di atas ilmu-Nya, keadilan, dan kebijaksanaan-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________________________________________________________

Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Judul Asli: Emansipasi, Propaganda Untuk Meruntuhkan Aqidah

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=616
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tidak Akan Beruntung Suatu Kaum Jika Dipimpin Oleh Seorang Wanita

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, telah berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 19507, 19547, 19556, 19573, 19603, 19612; Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Maghazi bab Kitabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar no. 4425, Kitabul Fitan no. 7099, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan an Rasulillah no. 2188, Al-Imam An-Nasa`i rahimahullahu dalam kitab Adabul Qudhah no. 5293.

Jalur Periwayatan Hadits

Hadits ini diriwayatkan dari jalan Mubarak bin Fadhalah Abu Fadhalah Al-Bashri, ‘Auf bin Abi Jamilah Al-Bashri, Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawil, semuanya meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terdapat riwayat lain yang diriwayatkan dari jalan Ahmad bin Abdul Malik Al-Harani yang meriwayatkan dari Bakr bin Abdul Aziz, dari Abu Bakrah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga dari jalan ‘Uyainah bin Abdurrahman Al-Ghathafani, dari ayahnya, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jalan Periwayatan Hadits

Dalam hadits ini terdapat riwayat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Para ulama ahlul hadits seperti Al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, ‘Ali ibnul Madini rahimahumullah mempermasalahkan periwayatan beliau dari para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum, bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu tidak mendengar (meriwayat)-kan dari para sahabat yang disebutkan tadi.

Qatadah rahimahullahu berkata: “Demi Allah, tidak pernah Al-Hasan Bashri rahimahullahu menyampaikan hadits kepada kami dari para ahli Badr secara langsung.”

Namun riwayat beliau dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu telah ditetapkan sebagai riwayat yang sah atau akurat. Meskipun dalam hadits ini bentuk periwayatan dengan menggunakan kata “dari” yang mengandung kemungkinan (mendengar langsung atau tidak).

Akan tetapi Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits no. 2704 dalam Kitab Ash-Shulhi bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lil Hasan ibn ‘Ali: “Ali bin Abdullah Al-Madini telah berkata kepadaku: bahwa mendengarnya Al-Hasan Al-Bashri dari Abu Bakrah telah pasti bagi kami dalam hadits ini.” (Fathul Bari, 5/375)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata bahwa sanad hadits di atas semuanya adalah orang-orang Bashrah. Dan telah berlalu pada Kitab Ash-Shulhi pendapat yang menyatakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu telah mendengarkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. (Fathul Bari, 13/67)

Sebab Periwayatan Hadits

Hadits ini mempunyai sebab periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mengatakan:

لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan sebab suatu kalimat yang aku dengar dari Nabi pada saat terjadinya fitnah Perang Jamal. Di mana waktu itu hampir-hampir aku akan bergabung dengan Ashabul Jamal (pasukan yang dipimpin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan berperang bersama mereka.” Lalu beliau berkata: “(Yaitu sebuah hadits) ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka. Beliaupun bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)

Adapun pada riwayat lain dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَصَمَنِي اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى. قَالَ: مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟ قَالُوا: ابْنَتَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللهُ بِهِ

“Allah telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggalnya Kisra. Beliau berkata: ‘Siapa yang mereka angkat sebagai Kisra baru?’ Mereka berkata: ‘Putrinya.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” Kemudian Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang ke negeri Bashrah, aku ingat ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah melindungiku dengannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2188, dan beliau mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.”)

Penjelasan Hadits

Abu Bakrah adalah Nufai’ bin Harits Ats-Tsaqafi, meninggal pada tahun 52 H. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata: Musaddad berkata: “Abu Bakrah dan Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma meninggal pada tahun yang sama.”

Kisra adalah Kisra bin Abrawaiz bin Hurmuz, raja Persia. Ia mempunyai anak laki-laki bernama Syairawaih. Syairawaih mempunyai anak perempuan bernama Buran. Adapun sebab diangkatnya Buran sebagai raja adalah ketika terjadi pemberontakan terhadap Kisra yang dipimpin oleh putranya sendiri (Syairawaih) hingga dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya, lalu merebut kekuasaannya.

Ketika ayahnya tahu bahwa anaknya berbuat demikian (menginginkan untuk membunuhnya), iapun melakukan siasat (tipu daya) untuk membunuh anaknya setelah kematiannya nanti, dengan menaruh racun pada sebagian lemari khusus. Dalam lemari tersebut diletakkan racun yang mematikan. Dan dia menulis di atasnya bahwa barangsiapa yang mengambil sesuatu dari lemari ini, ia akan memperoleh demikian dan demikian.

Syairawaih pun membaca tulisan tersebut dan mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Inilah yang menjadi penyebab kematian Syairawaih. Dan ia tidak dapat bertahan hidup lama setelah ayahnya meninggal kecuali enam bulan saja. Ketika Syairawaih meninggal, tidak ada seorang pun saudara laki-lakinya yang menggantikan kedudukan raja, karena ia telah membunuh semua saudara laki-lakinya tersebut atas dasar ketamakan untuk menguasai tahta kerajaan Persia. Sehingga tidak ada seorang laki-laki pun yang menjadi pewaris kerajaan. Mereka juga tidak menginginkan tahta kekuasaan kerajaan jatuh kepada pihak lain, sehingga mereka mengangkat seorang wanita yang bernama Buran, anak Syairawaih, atau cucu Kisra.

كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ

“Hampir-hampir aku bergabung dengan Ashabul Jamal (yaitu Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) dan berperang bersama mereka.”

Awal kejadiannya adalah ketika ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibaiat menjadi khalifah. Keluarlah Thalhah dan Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma menuju Makkah. Keduanya mendapati ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang baru saja menunaikan ibadah haji. Terjadilah kesepahaman di antara mereka untuk bergerak menuju Bashrah dan meminta bantuan manusia untuk menuntut atas kematian ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sampailah berita itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan beliau pun keluar menyambut mereka dan terjadilah Perang Jamal, akibat upaya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dinisbahkan kepada Jamal (yaitu unta yang dijadikan tunggangan Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan beliau berada dalam sekedup (semacam tandu di atas punggung unta) sambil mengajak manusia kepada ishlah (perbaikan).

قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى

“Dia berkata: ‘Ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka’.”

Yang berkata di sini adalah Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Perkataan ini sebagai penjelasan (tafsir) lafadz “kalimat” pada ucapan beliau: “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat.” Di sini terdapat faedah tentang digunakannya istilah kalimat (kata) untuk mengungkapkan kalam (kalimat) yang banyak.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dalam riwayat ini kalimat امْرَأَةً dengan berharakat fathah atau manshub karena berkedudukan sebagai maf’ul (obyek). Pada riwayat Humaid terdapat lafadz:

وَلَى أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ

dengan kalimat امْرَأةٌُ berharakat dhammah atau marfu’ karena berkedudukan sebagai fa’il (subyek).

Dalam riwayat Al-Isma’ili dari jalan An-Nadhr bin Syumail, dari ‘Auf, di akhir riwayat terdapat tambahan: Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dan saya mengetahui bahwa Ashabul Jamal tidak akan berhasil.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Ibnu Baththal menukil dari Al-Muhallab, yang nampak dari hadits adalah bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu terkesan menuduh dan merendahkan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha atas apa yang telah beliau perbuat. Namun tidaklah demikian perkaranya. Karena telah diketahui bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu sependapat dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hal menuntut ishlah di antara manusia dan bukanlah tujuan mereka untuk berperang. Ketika perang berkecamuk, tidaklah orang yang bersamanya menjadi bagian dari perang tersebut. Dan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabut kembali pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, namun beliau berfirasat bahwa mereka tidak akan menang ketika melihat orang-orang bersama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bawah perintahnya. Hal itu berdasarkan apa yang telah beliau dengarkan (yaitu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita”).”

Kemudian Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Dan yang lebih memperjelas perkara ini bahwa tidak seorang pun yang menukilkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya menentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tidak pula mereka menyeru agar salah seorang di antara mereka untuk dipilih menjadi khalifah.

Yang diingkari oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah larangan beliau radhiyallahu ‘anhu membunuh orang-orang yang membunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan meninggalkan qishash. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menunggu keluarga ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berhukum kepadanya dalam perkara tersebut. Dan apabila telah terbukti pada seseorang bahwa dialah pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu barulah ditegakkan qishash terhadapnya. Maka berselisihlah mereka karena sebab itu. Ketika orang-orang yang dinisbahkan perang kepadanya merasa khawatir bahwa mereka (pihak ‘Ali dan ‘Aisyah) akan berdamai, maka mereka pun mengobarkan peperangan, dan terjadilah apa yang terjadi. Ketika pihak ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menang, Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu pun memuji pendapatnya untuk tidak ikut serta perang bersama Ashabul Jamal meskipun pendapat beliau sama dengan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha, yaitu menuntut balas atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu At-Tin rahimahullahu berkata: ‘Sebagian ulama berdalil dengan hadits Abu Bakrah ini tentang tidak bolehnya seorang wanita menjadi pemutus perkara. Dan ini pendapat jumhur ulama. Sebaliknya Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berpendapat boleh bagi seorang wanita memutuskan perkara dalam hal yang persaksiannya diterima. Demikian pula sebagian pengikut Malikiyah membolehkan secara mutlak’.” (Fathul Bari, 13/69, 8/159-160)

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak boleh mengurusi pemerintahan dan putusan pengadilan. Tidak boleh pula baginya menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wali nikah bagi orang lain.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata setelah menyebutkan ayat:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu takutkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.”

Ayat ini menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas wanita, yaitu dia sebagai pemimpin, pembesar dan penguasa serta pendidik bagi mereka, ketika terjadi kebengkokan pada wanita itu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan lebih baik. Karena itulah kenabian dikhususkan kepada kaum laki-laki. Demikian pula kekuasaan yang agung berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)

Demikian pula dalam urusan hakim dan sebagainya. “Mereka dimuliakan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka” yaitu berupa mahar, nafkah, dan beban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atasnya untuk wanita sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Maka pada diri kaum lelaki terdapat keutamaan di atas kaum wanita. mereka memiliki keutamaan atas wanita dan pengutamaan, sehingga sangatlah selaras keberadaan (laki-laki) menjadi pemimpin atas wanita. “Dan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan.”

‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, maknanya adalah sebagai pemimpin-pemimpin atas para wanita, yaitu wanita menaatinya pada perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Dan bentuk ketaatan itu diwujudkan dengan cara seorang istri berbuat baik kepada suami serta menjaga hartanya. Demikian pula pendapat Muqatil, As-Suddi dan Adh-Dhahhak.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan bahwa suaminya telah menamparnya. Rasulullah pun menanggapi dengan mengatakan al-qishash (dibalas). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,” yaitu tanpa adanya qishash. (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/465)

Telah cukup jelas bahwa kepemimpinan dan kekuasaan tidak akan mungkin berakhir dengan keberuntungan jika yang memimpin atau yang berkuasa adalah seorang wanita. Tidak ada ruang bagi wanita untuk iri hati terhadap karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala lebihkan pada kaum laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa`: 32)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, ia berkata: Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki dapat berperang dan kita kaum wanita tidak. Bagi kita separuh bagian dari warisan kaum lelaki.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)

Wallahu a’lam bish-shawab


Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=615
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Emansipasi Wanita, Propaganda Musuh-musuh Islam

Posted on 26 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Hakikat Emansipasi Wanita

Emansipasi wanita tentu bukan lagi ‘barang’ yang asing saat ini. Terlebih istilah itu sering diserukan dan didengungkan baik melalui media cetak, media elektronik, ataupun forum-forum seminar. Emansipasi itu sendiri merupakan gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. (Lihat Kamus Ilmiah Populer)

Lantas siapakah pengusungnya dan apa targetnya? Pengusungnya adalah musuh-musuh Islam. Sementara targetnya adalah untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dengan menampilkan potret yang bukan sebenarnya. Mereka kesankan bahwa Islam adalah agama yang memasung hak-hak kaum wanita, membelenggu kebebasannya serta mengubur segala potensinya. Target berikutnya adalah untuk menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan, manakala terpengaruh dengan syubhat emansipasi tersebut dan melepaskan dirinya dari rambu-rambu dan bimbingan Islam yang suci.

Demikianlah salah satu gerakan propaganda (usaha untuk memanipulasi persepsi) yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga amat tepat bila gerakan ini disebut dengan GPK (Gerakan Pengacau Keimanan), karena demikian gencarnya upaya yang mereka tempuh untuk mengacaukan keimanan umat Islam (terkhusus kaum wanitanya) dengan intrik manipulasi tersebut.

Menyikapi hal ini umat Islam tak perlu kecil hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga agama Islam dari rongrongan para musuhnya. Bahkan Dia akan senantiasa menyempurnakan cahaya agama Islam tersebut dan memenangkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ

“Mereka berupaya untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Ash-Shaff: 8-9)

Di antara bentuk penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penyempurnaan-Nya terhadap cahaya agama Islam adalah dengan dimunculkannya para ulama yang senantiasa menjaganya dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang keliru yang dilakukan oleh orang-orang jahil.

Sejarah Kaum Wanita dalam Peradaban Umat Manusia

Catatan sejarah menunjukkan bahwasanya kehidupan kaum wanita di masa jahiliah amat memprihatinkan. Di kalangan orang Arab jahiliah, kaum wanita amatlah hina. Betapa marah dan malunya mereka bila diberi kabar tentang kelahiran anak wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)

Demikian pula pada seluruh umat –selain umat Islam– baik di zaman dahulu maupun di masa kini, kaum wanita (mereka) tak mendapatkan kehormatan yang sepadan dengan nilai-nilai kewanitaannya bahkan kemanusiannya. (Lebih rincinya lihat Al-Huquq wal Wajibat ‘Alar Rijal wan Nisa` fil Islam, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, http://www.rabee.net dan Tanbihat Ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Para pembaca yang mulia, lalu bagaimanakah kaum wanita dalam sejarah peradaban Islam? Benarkah haknya dipasung, kebebasannya dibelenggu dan potensinya dipangkas, sebagaimana yang dipropagandakan para pengusung emansipasi?

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Adapun agama Islam, maka ia telah membebaskan kaum wanita dari belenggu, melepaskannya dari segala bentuk penindasan, kedzaliman, kegelapan, kenistaan dan perbudakan, serta memosisikannya pada posisi dan kedudukan mulia yang belum pernah didapati pada seluruh umat (selain Islam, pen.), baik dia berstatus sebagai ibu, anak, istri ataupun saudara perempuan. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)

Kaum wanita tak perlu mengadakan muktamar-muktamar, seminar-seminar, atau simposium-simposium, untuk menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya berikut hak-haknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkannya, dan umat Islam pun mengimaninya.

Kaum wanita berhak berhijrah, dan berhak pula mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian para wanita yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa suatu kesalahan yang mereka perbuat.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada (agama) orang-orang mukmin dan mukminah serta enggan bertaubat dengan siksa Jahannam.

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ

“Sesungguhnya orang-orang yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada orang-orang mukmin dan mukminah kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab yang membakar.” (Al-Buruj: 10)

Tak luput pula Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memohon ampun dari segala dosanya dan memohonkan ampun bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Maka ketahuilah, bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19)

Apabila musuh-musuh Islam tersebut ingin melihat secercah posisi wanita dalam agama Islam, maka tengoklah jenazahnya saat di antar ke pekuburan dan saat dishalati. Barangkali orang-orang kafir dan munafik itu akan lebih terheran-heran manakala menyaksikan ratusan ribu kaum muslimin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang merapikan shafnya saat menshalati seorang wanita atau seorang bayi wanita.

Demikianlah berbagai keistimewaan dan anugerah Islam untuk wanita mukminah yang tak akan didapati pada agama (selainnya) yang telah menyimpang. Agama baru yang diada-adakan ataupun aturan-aturan semu yang diklaim telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.

Lebih-lebih di era modern yang dikendalikan oleh Yahudi dan Nashara ini, kaum wanita benar-benar direndahkan dan dihinakan. Mereka dijadikan sebagai komoditas murahan dan obyek kesenangan kaum lelaki. Baik di dunia usaha, tempat kerja ataupun di keramaian. Begitupun di jagad mode serta beragam media (cetak, elektronik, hingga dunia maya). Wanita tampil sekadar benda penghias, baik sebagai SPG, bintang iklan, bintang sampul, dll. Kehormatan kaum wanita diinjak-injak dengan ditampilkannya aurat bahkan foto-foto telanjang mereka di sekian banyak media, demi memuaskan nafsu para lelaki hidung belang dengan pemandangan-pemandangan porno itu. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang. Badan statistik pun bisa-bisa bakal kesulitan untuk mensensus kejadian hamil (di luar nikah) dan jumlah anak jadah/haram.

Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, http://www.rabee.net)

Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi1

Para pembaca, sedemikian bijaknya sikap Islam terhadap kaum wanita dan juga kaum lelaki. Namun para pengusung emansipasi wanita pun masih belum puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat Yang Maha Hakim, melalui agama Islam ini. Mereka menyoalnya, menentangnya dan mencemooh Islam dengan slogan-slogan klasik yang acap kali mereka suarakan; “Menuntut persamaan, kebebasan, dan keadilan”. Apapun yang bisa dijadikan dalil diangkatlah sebagai dalil, tak peduli haq ataukah batil.

Padahal dengan gamblangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam Al-Qur`an:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Akan tetapi kaum lelaki (para suami), mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istrinya).” (Al-Baqarah: 228)

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang menukilkan perkataan istri ‘Imran):

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى

“Dan anak laki-laki itu tak sama dengan anak wanita.” (Ali ‘Imran: 36)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yaitu dalam hal kekuatan, kesungguhan/ketabahan dalam beribadah dan mengurus Masjid Al-Aqsha.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Para pembaca yang mulia, lebih ironi lagi manakala mereka ‘pelintir’ ayat-ayat Al-Qur`an demi melegalkan tuntutannya. Betapa rendahnya jalan yang mereka tempuh itu. Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam semua haknya.

Para pembaca, pendalilan tersebut tidaklah bisa dibenarkan, karena:

– Ayat di atas masih ada kelanjutannya yang jelas-jelas menunjukkan keutamaan kaum lelaki (para suami) atas kaum wanita (para istri). Kelanjutan ayat tersebut adalah:

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“…Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.”

– Adanya perbedaan yang mencolok antara kaum lelaki dengan kaum wanita dalam banyak halnya (di antaranya penampilan fisik) yang menjadikan hak dan kewajiban mereka pun berbeda. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran?!” (Az-Zukhruf: 18)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Abd bin Humaid meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir “orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberikan alasan yang terang dalam pertengkaran” bahwa dia adalah kaum wanita. Maka dijadikanlah berbeda antara penampilan mereka (kaum wanita) dengan penampilan kaum lelaki, berbeda pula dalam hal warisan dengan dikuranginya jatah mereka daripada jatah kaum lelaki, demikian pula dalam hal persaksian. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka untuk duduk (tidak ikut berperang), maka dari itu mereka disebut khawalif (orang-orang yang tidak ikut berperang).” (Fathul Qadir, 4/659)

– Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diciptakannya untuk kaum lelaki para istri dari jenis mereka (manusia) juga, supaya kaum lelaki cenderung dan merasa tentram kepadanya serta Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan antara keduanya rasa kasih dan sayang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Manakala kaum wanita diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk (kenikmatan) kaum lelaki dan sebagai tempat untuk merasakan ketentraman dan kasih sayang, maka berarti posisi kaum lelaki di atas kaum wanita. Sehingga ketika seorang wanita (istri) menganggap bahwa dirinya sepadan dengan suaminya dalam segala hak, atau merasa lebih daripada suaminya maka tak akan tercipta lagi suasana tentram dan rasa kasih sayang di antara mereka itu.

– Asal-muasal wanita (Hawa) adalah dari tulang rusuk lelaki (Nabi Adam ‘alaihissalam). Atas dasar itulah, maka kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.

Di antara ayat yang mereka ‘pelintir’ juga adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Sisi pendalilan mereka tentang ayat ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita yang beriman dalam hal pahala, atas dasar itulah tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan wanita dalam hak maupun kewajiban kecuali satu kelebihan yaitu memberi nafkah yang merupakan kewajiban laki-laki.

Para pembaca, pendalilan mereka tentang ayat di atas tidaklah benar, bahkan bertentangan dengan syariat dan akal yang sehat, sebagaimana penjelasan berikut ini:

– Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita semata-mata karena pemberian nafkah. Bahkan (lebih dari itu) Allah Subhanahu wa Ta’ala melebihkan mereka disebabkan kepemimpinannya atas kaum wanita (para istri). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

– Di antara hikmah diciptakannya kaum wanita oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah untuk (kenikmatan) kaum lelaki di dunia dan juga di akhirat. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan dari nikmat (istri) tersebut nikmat yang berikutnya, yaitu dilahirkannya anak dan cucu sebagai permata hati yang tidaklah dinasabkan kecuali kepada ayahnya; fulan bin fulan atau fulanah binti fulan. Hal ini sebagai bukti akan kelebihan kaum lelaki atas kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

“Allah menjadikan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari para istri itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rizki dari yang baik-baik.” (An-Nahl: 72)

– Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari (pembagian) orang-orang musyrik yang menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak, dan anak-Nya adalah wanita. Sementara mereka memilihkan untuk diri mereka sendiri anak laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى. وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى. أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى. تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى

“Maka apakah patut bagi kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza (milik kalian), dan Manat yang ketiga yang paling terkemudian (sebagai anak wanita Allah)?! Apakah (patut) untuk kalian (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) wanita?! Yang demikian itu tentulah pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Yakni apakah kalian menjadikan (menganggap) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai anak dan anak-Nya adalah wanita, sementara kalian memilihkan untuk diri kalian sendiri anak laki-laki?! Padahal jika seandainya kalian berbagi (anak) sesama kalian dengan pembagian semacam itu, niscaya itu merupakan pembagian yang tidak adil. Bagaimanakah kalian berbagi dengan Rabb kalian dengan cara seperti itu, sementara bila hal itu diterapkan pada sesama kalian termasuk suatu kejahatan dan kebodohan?!” (Tafsir Ibnu Katsir)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita.

– Di antara balasan mulia bagi orang-orang beriman lagi beramal shalih yang disebutkan dalam Al-Qur`an adalah para istri yang suci di dalam Al-Jannah. Hal ini menunjukkan betapa posisi kaum lelaki di atas kaum wanita baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal shalih, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga (selanjutnya ditulis: Al-Jannah) yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam Al-Jannah itu, mereka mengatakan: ‘Inilah yang dahulu pernah diberikan kepada kami.’ Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalam Al-Jannah tersebut ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 25)

إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لاَ يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلاَ كِذَّابًا

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa itu suatu kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya (Al-Jannah) mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta.” (An-Naba`: 31-35)

– Seringkali ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan pahala dan kesudahan mulia bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa, dengan mencukupkan penyebutan lafadz laki-laki (mudzakkar) yang dimaukan pula cakupannya untuk kaum wanita. Contohnya; Surat An-Naba` ayat 31-35 di atas, dengan mencukupkan penyebutan lafadz  اَلْمُتَّقِينَ yang hakikatnya mencakup pula orang-orang yang beriman dan bertakwa dari kaum wanita. Cara penyebutan seperti ini menunjukkan bahwa kaum lelaki posisinya di atas kaum wanita.

– Kaum wanita adalah orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal, sehingga tidaklah bisa disamakan dengan kaum lelaki. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّيْ رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِيْنِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَتْ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا.

“Wahai sekalian kaum wanita, bershadaqahlah! Karena aku melihat bahwa kalianlah orang terbanyak yang menghuni neraka (selanjutnya ditulis: An-Naar). Mereka berkata: ‘Dengan sebab apa wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘(Karena) kalian banyak melaknat dan seringkali ingkar terhadap kebaikan (yang diberikan oleh para suami). Aku belum pernah melihat di antara orang-orang yang minim dalam hal agama dan akal yang dapat mengendalikan jiwa seorang lelaki (suami) yang tangguh melainkan seseorang dari kalian.’ Mereka berkata: ‘Sisi apakah yang menunjukkan minimnya agama dan akal kami wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bukankah persaksian wanita setengah dari persaksian lelaki?’ Mereka berkata: ‘Ya’, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali: ‘Maka itulah di antara keminiman akalnya. Bukankah ketika datang masa haidnya seorang wanita tidak melakukan shalat dan shaum?’ Mereka berkata: ‘Ya’, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menimpalinya: ‘Maka itulah di antara keminiman agamanya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Dalam hadits ini terdapat kejelasan tentang minimnya agama dan akal wanita. Dan yang nampak bahwa keminiman ini merupakan salah satu sebab banyaknya melaknat dan terjatuhnya mereka ke dalam perbuatan ingkar terhadap kebaikan yang diberikan para suami. Sebagaimana pula dalam hadits ini terdapat kejelasan bahwa persaksian dua wanita sama dengan persaksian satu orang lelaki, yang di antara sebabnya adalah minimnya akal pada mereka.” (Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, http://www.rabee.net)

Penutup

Dari bahasan yang lalu dapatlah disimpulkan bahwa:

– Emansipasi wanita adalah gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. Ia merupakan propaganda musuh-musuh Islam yang ditargetkan untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dan menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan.

– Agama Islam benar-benar meletakkan kaum wanita pada posisinya yang mulia. Harkat dan martabat mereka diangkat sehingga tak terhinakan, namun tak juga dijunjung setinggi-tingginya hingga menyamai/melebihi kedudukan kaum lelaki.

– Semua dalih emansipasi amatlah lemah lagi batil. Bahkan bertentangan dengan norma-norma syariat dan akal yang sehat, sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub judul: Menyoroti Dalih-dalih Emansipasi.

Wallahu a’lam bish-shawab.
_________________________________________________________________________________
1 Kebanyakan dari bantahan yang ada dalam sub judul ini, disarikan dari tulisan Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullah- dalam Al-Huquq wal Wajibat ‘alar Rijal wan Nisa` fil Islam, dengan beberapa perubahan dan tambahan (-pen).

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=609
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu ‘anhuma)

Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.

Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :

Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.

Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.

Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.

Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)

Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif

Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”

Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)

Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.

Dalam Al Muhith halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.

Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)

Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)

Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’

Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :

Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.

Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)

Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Dan yang lain, misalnya :

Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.

Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)

Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)

Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.

Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)

Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan

Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :

“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”

Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.

Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)

2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)

Mujahid –dalam kitab yang sama– menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.

3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)

Kata ‘Ikrimah –dari Ibnu Abbas–, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)

Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

1. Dari Abi ‘Amir –Abu Malik– Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)

2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)

3. Dari Anas bin Malik berkata :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)

4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)

5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku –atau mengharamkan– khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :

“Kulihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”

Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”

Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.

Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”

(Bersambung ke Nyanyian Dan Musik Dalam Islam II)

__________________________________________________________________________________

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli “Nyanyian dan musik dalam Islam”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=25
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sepuluh Hal Pembatal Keislaman Seseorang

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

HAL- HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN

Segala puji bagi Allah (Subhanahu wa Ta’ala) , Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi yang terahir Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), para keluarga dan para Sahabat beliau, serta kepada orang- orang yang setia mengikuti petunjuk beliau.

Selanjutnya : ketahuilah, wahai saudaraku kaum muslimin, bahwa Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah mewajibkan kepada seluruh hamba – hambaNya untuk masuk ke dalam agama Islam dan berpegang teguh denganya serta berhati –hati untuk tidak menyimpang darinya.

Allah juga telah mengutus NabiNya Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) untuk berdakwah ke dalam hal ini, dan memberitahukan bahwa barangsiapa bersedia mengikutinya akan mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang menolaknya akan sesat.

Allah juga mengingatkan dalam banyak ayat- ayat Al-Qur’an untuk menghindari sebab- sebab kemurtadan, segala macam kemusyrikan dan kekafiran.

Para ulama rahimahumullah telah menyebutkan dalam bab hukum kemurtadan, bahwa seorang muslim bisa di anggap murtad (keluar dari agama Islam) dengan berbagai macam hal yang membatalkan keislaman, yang menyebabkan halal darah dan hartanya dan di anggap keluar dari agama Islam.

Yang paling berbahaya dan yang paling banyak terjadi ada sepuluh hal, yang di sebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para ulama lainnya, dan kami sebutkan secara ringkas, dengan sedikit tambahan penjelasan untuk anda, agar anda dan orang – orang selain anda berhati hati dari hal ini, dengan harapan dapat selamat dan terbebas darinya.

Pertama:
Diantara sepuluh hal yang membatalkan keislaman tersebut adalah mempersekutukan Allah (Subhanahu wa Ta’ala) ( syirik ) dalam beribadah.
Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari  syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” (An-Nisa’  : 116)

Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“…Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya (kelak) ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun”. (Al- Maidah : 72).

Dan di antara perbuatan kemusyrikan tersebut adalah ; meminta do’a dan pertolongan kepada orang- orang yang telah mati, bernadzar dan menyembelih korban untuk mereka.

Kedua:
Menjadikan sesuatu sebagai perantara antara dirinya dengan Allah (Subhanahu wa Ta’ala), meminta do’a dan syafaat serta bertawakkal ( berserah diri ) kepada perantara tersebut.
Orang yang melakukan hal itu, menurut ijma’ ulama ( kesepakatan) para ulama, adalah kafir.

Ketiga :
Tidak menganggap kafir orang- orang musyrik, atau ragu atas kekafiran mereka, atau membenarkan konsep mereka. Orang yang demikian ini adalah kafir.

Keempat:
Berkeyakinan bahwa tuntunan selain tuntunan Nabi Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) lebih sempurna, atau berkeyakinan bahwa hukum selain dari beliau lebih baik, seperti ; mereka yang mengutamakan aturan – aturan thaghut (aturan–aturan manusia yang melampaui batas serta menyimpang dari hukum Allah ), dan mengesampingkan hukum Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) , maka orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir.

Kelima :
Membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) , meskipun ia sendiri mengamalkannya. Orang yang sedemikian ini adalah kafir. Karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur’an) lalu Allah  menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”. (Muhammad : 9)
Keenam:
Memperolok–olok sesuatu dari ajaran Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), atau memperolok – olok pahala maupun siksaan yang telah menjadi ketetapan agama Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka orang yang demikian menjadi kafir, karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ . لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (At- Taubah : 65- 66).

Ketujuh :
Sihir di antaranya adalah ilmu guna-guna yang merobah kecintaan seorang suami terhadap istrinya menjadi kebencian, atau yang menjadikan seseorang mencintai orang lain, atau sesuatu yang di bencinya dengan cara syaitani dan orang yang melakukan hal itu adalah kafir, karena Allah (Subhanahu wa Ta’ala) telah berfirman :

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ

“…sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (Al-Baqarah : 102)

Kedelapan:
Membantu dan menolong orang–orang musyrik untuk memusuhi kaum muslimin. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al- Maidah: 51)

Kesembilan:
Berkeyakinan bahwa sebagian manusia diperbolehkan tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam) , maka yang berkeyakinan seperti ini adalah kafir. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali- Imran: 85).

Kesepuluh :
Berpaling dari ِِAgama Allah (Subhanahu wa Ta’ala); dengan tanpa mempelajari dan tanpa melaksanakan ajarannya. Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling
daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As- Sajadah : 22).

Dalam hal- hal yang membatalkan keislaman ini, tak ada perbedaan hukum antara yang main-main, yang sungguh- sungguh (yang sengaja melanggar) ataupun yang takut, kecuali orang yang di paksa. Semua itu merupakan hal- hal yang paling berbahaya dan paling sering terjadi. Maka setiap muslim hendaknya menghindari dan takut darinya. Kita berlindung kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dari hal- hal yang mendatangkan kemurkaan Nya dan kepedihan siksaanNya. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada makhluk Nya yang terbaik, para keluarga dan para sahabat beliau. Dengan ini maka habis dan selesai kata-katanya. Rahimahullah.

Termasuk dalam nomor empat :
Orang yang berkeyakinan bahwa aturan-aturan dan perundang–undangan yang diciptakan manusia lebih utama dari pada syariat Islam, atau bahwa syariat Islam tidak tepat untuk diterapkan pada abad ke dua puluh ini, atau berkeyakinan bahwa Islam adalah sebab kemunduran kaum muslimin, atau berkeyakinan bahwa Islam itu terbatas dalam mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja, dan tidak mengatur urusan kehidupan yang lain.

Juga orang yang berpendapat bahwa melaksanakan hukum Allah Ta’ala dan memotong tangan pencuri, atau merajam pelaku zina (muhsan) yang telah kawin tidak sesuai lagi di masa kini.

Demikian juga orang yang berkeyakinan diperbolehkannya menerapkan hukum selain hukum Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dalam segi mu’amalat syar’iyyah, seperti perdagangan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain sebagainya, atau dalam menentukan hukum pidana, atau lain-lainnya, sekalipun tidak disertai dangan keyakinan bahwa hukum- hukum tersebut lebih utama dari pada syariat Islam.

Karena dengan demikian ia telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) , menurut kesepakatan para ulama’. Sedangkan setiap orang yang telah menghalalkan apa yang sudah jelas dan tegas diharamkan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dalam agama, seperti zina, minum arak, riba dan penggunaan perundang-undangan selain Syariat Allah (Subhanahu wa Ta’ala), maka ia adalah kafir, merurut kesepakatan para umat Islam.

Kami mohon kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala) agar memberi taufiq kepada kita semua untuk setiap hal yang di ridhai-Nya, dan memberi petunjuk kepada kita dan kepada seluruh umat Islam jalan-Nya yang lurus. Sesungguhnya Allah (Subhanahu wa Ta’ala) adalah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad (Shalallahu ‘alaihi Wassalam), kepada para keluarga dan para shahabat beliau.

 

________________________________________________________________________________
(Dinukil dari kitab نواقض الإسلام oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, edisi Indonesia Hal-hal yang membatalkan Keislaman)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=235

 


Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Riya’ lebih halus daripada rambatan semut

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Ketahuilah bahwa kata riya’ itu berasal dari kata ru’yah (melihat), sedangkan sum’ah (reputasi) berasal dari kata sami’a (mendengar). Orang yang riya’ menginginkan agar orang-orang bisa melihat apa yang dilakukannya.

Riya’ itu ada yang tampak dan ada pula yang tersembunyi. Riya’ yang tampak ialah yang dibangkitkan amal dan yang dibawanya. Yang sedikit tersembunyi dari itu adalah riya’ yang tidak dibangkitkan amal, tetapi amal yang sebenarnya ditujukan bagi Allah menjadi ringan, seperti orang yang biasa tahajud setiap malam dan merasa berat melakukannya, namun kemudian dia menjadi ringan mengerjakannya tatkala ada tamu di rumahnya.

Yang lebih tersembunyi lagi ialah yang tidak berpengaruh terhadap amal dan tidak membuat pelaksanaannya mudah, tetapi sekalipun begitu riya’ itu tetap ada di dalam hati. Hal ini tidak bisa diketahui secara pasti kecuali lewat tanda-tanda.

Tanda yang paling jelas adalah, dia merasa senang jika ada orang yang melihat ketaatannya.

Berapa banyak orang yang ikhlas mengerjakan amal secara ikhlas dan tidak bermaksud riya’ dan bahkan membencinya. Dengan begitu amalnya menjadi sempurna. Tapi jika ada orang-orang yang melihat dia merasa senang dan bahkan mendorong semangatnya, maka kesenangan ini dinamakan riya’ yang tersembunyi. Andaikan orang-orang tidak melihatnya, maka dia tidak merasa senang. Dari sini bisa diketahui bahwa riya’ itu tersembunyi di dalam hati, seperti api yang tersembunyi di dalam batu.

Jika orang-orang melihatnya, maka bisa menimbulkan kesenangannya. Kesenangan ini tidak membawanya kepada hal-hal yang dimakruhkan, tapi ia bergerak dengan gerakan yang sangat halus, lalu membangkitkannya untuk menampakkan amalnya, secara tidak langsung maupun secara langsung.

Kesenangan atau riya’ ini sangat tersembunyi, hampir tidak mendorongnya untuk mengatakannya, tapi cukup dengan sifat-sifat tertentu, seperti muka pucat, badan kurus, suara parau, bibir kuyu, bekas lelehan air mata dan kurang tidur, yang menunjukkan bahwa dia banyak shalat malam.

Yang lebih tersembunyi lagi ialah menyembunyikan sesuatu tanpa menginginkan untuk diketahui orang lain, tetapi jika bertemu dengan orang-orang, maka dia merasa suka merekalah yang lebih dahulu mengucapkan salam, menerima kedatangannya dengan muka berseri dan rasa hormat, langsung memenuhi segala kebutuhannya, menyuruhnya duduk dan memberinya tempat. Jika mereka tidak berbuat seperti itu, maka ada yang terasa mengganjal di dalam hati.

Orang-orang yang ikhlas senantiasa merasa takut terhadap riya’ yang tersembunyi, yaitu yang berusaha mengecoh orang-orang dengan amalnya yang shalih, menjaga apa yang disembunyikannya dengan cara yang lebih ketat daripada orang-orang yang menyembunyikan perbuatan kejinya. Semua itu mereka lakukan karena mengharap agar diberi pahala oleh Allah pada Hari Kiamat.

Noda-noda riya’ yang tersembunyi banyak sekali ragamnya, hampir tidak terhitung jumlahnya. Selagi seseorang menyadari darinya yang terbagi antara memperlihatkan ibadahnya kepada orang-orang dan antara tidak memperlihatkannya, maka di sini sudah ada benih-benih riya’. Tapi tidak setiap noda itu menggugurkan pahala dan merusak amal. Masalah ini harus dirinci lagi secara detail.

Telah disebutkan dalam riwayat Muslim, dari hadits Abu Dzarr Radliyallahu Anhu, dia berkata, “Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang orang yang mengerjakan suatu amal dari kebaikan dan orang-orang memujinya?” Beliau menjawab, “Itu merupakan kabar gembira bagi orang Mukmin yang diberikan lebih dahulu di dunia.”

Namun jika dia ta’ajub agar orang-orang tahu kebaikannya dan memuliakannya, berarti ini adalah riya’.

 

_______________________________________________________________________________
(Penulis : Al-Imam Asy-syeikh Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisy, “Muhtashor Minhajul Qoshidin, Edisi Indonesia: Minhajul Qashidhin Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=228
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Astrologi Dalam Pandangan Islam

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

“Motivasi yang menggebu-gebu untuk mengejar tujuan sangat membantu karier atau studi. Kali ini adalah peluang baik untuk memulai obsesi yang terpendam selama ini. Buatlah kesempatan.”

Tunggu dulu! Jangan terburu-buru saudara menyangka saya mengetahui masa depan dan aktivitas saudara terutama bagi saudara yang terlahir pada tanggal 23 Oktober – 21 November atau seringnya orang menyebut saudara berbintang Scorpio. Akan tetapi kalimat di atas adalah secuplik kalimat ramalan astrolog yang kami ambil dari sebuah koran ternama di kota pelajar dalam rubrik perbintangan.

Dilihat dari nama rubriknya, dapat diketahui bahwa dasar pemikiran para astrolog atau yang sejalan pemikirannya dengan mereka adalah letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Misalnya, bila letak gugusan bintang Bima Sakti di arah A lalu kebetulan ada seorang bayi lahir tepat pada malam ketika bintang itu terbit maka diramalkan bayi itu akan menjadi orang terkenal setelah besar nanti.

Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah-olah mengetahui hal-hal ghaib. Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah dan melarang pasiennya untuk berbuat sesuatu. Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata-kata manis. Bagi orang yang senang akan rubrik seperti tersebut di atas atau yang suka membaca buku-buku astrologi (ramalan-ramalan bohong) terkadang ramalan itu cocok dengan keadaan yang di alami. Namun yang menjadi permasalahan, darimana pikiran peramal itu mencuat? Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?

Sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Dan ini adalah hak prerogatif Allah semata, selain makhluk yang Dia beritahukan tentangnya, seperti sebagian Malaikat dan para Rasul sebagai mukjizat. Dalam hal ini, Allah berfirman :

“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.” (QS. Al Jin : 26-27)

Barangsiapa mengaku mengetahui perkara atau ilmu ghaib selain orang yang dikecualikan sebagaimana ayat di atas, maka ia telah kafir. Baik mengetahuinya dengan perantaraan membaca garis-garis tangan, di dalam gelas, perdukunan, sihir, dan ilmu perbintangan atau selain itu. Yang terakhir ini yang biasa dilakukan oleh paranormal. Bila ada orang sakit bertanya kepadanya tentang sebab sakitnya maka akan dijawab : “Saudara sakit karena perbuatan orang yang tidak suka kepada saudara.” Darimana dia tahu bahwa penyebab sakitnya adalah dari perbuatan seseorang, sementara tidak ada bukti-bukti yang kuat sebagai dasar tuduhannya? Sebenarnya hal ini tidak lain adalah karena bantuan jin dan para syaithan. Mereka menampakkan kepada khalayak dengan cara-cara di atas (melihat letak bintang, misalnya) hanyalah tipuan belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit. Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan. Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … . Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Sungguh benar kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai syaithan yang mencuri berita dari langit. Diceritakan dalam sebuah hadits :

Tatkala Allah memutuskan perkara di langit, para Malaikat mengepakkan sayap, mereka merasa tunduk dengan firman-Nya, seolah-olah kepakan sayap itu bunyi gemerincing rantai di atas batu besar. Ketika telah hilang rasa takut, mereka saling bertanya : “Apakah yang dikatakan Rabbmu?” “Dia berkata tentang kebenaran dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu firman Allah itu didengar oleh pencuri berita langit. Para pencuri berita itu saling memanggul (untuk sampai di langit), lalu melemparkan hasil curiannya itu kepada teman di bawahnya. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan itu dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)

Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)

Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)

Tujuan Penciptaan Bintang-Bintang

Alam dan segala isinya diciptakan dengan hikmah karena diciptakan oleh Dzat yang memiliki sifat Maha Memberi Hikmah dan Maha Mengetahui. Dia Maha Mengetahui apa yang di depan dan di balik ciptaan-Nya. Sehingga mustahil Allah mencipta makhluk dengan main-main. Sebab itu, kewajiban atas makhluk-Nya ialah tunduk dan menerima berita, perintah, dan larangan-Nya. Sebagai contoh, yang berhubungan dengan pembahasan kali ini ialah penciptaan bintang-bintang di langit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa penciptaan bintang-bintang itu ialah untuk penerang, hiasan langit, penunjuk jalan, dan pelempar setan yang mencuri wahyu yang sedang diucapkan di hadapan para malaikat. Sebagaimana Dia firmankan :

“Dan sungguh, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. Al Mulk : 5)

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang itu untuk tujuan sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan rambu-rambu jalan. Maka barangsiapa mempergunakannya untuk selain tujuan itu, sungguh terjerumus ke dalam kesalahan, kehilangan bagian akhiratnya, dan terbebani dengan satu hal yang tak diketahuinya. (Perkataan dalam kitab Shahih Bukhari di atas adalah ucapan Qatadah rahimahullah)

Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari ilmu perbintangan atau ilmu falak (astrologi). Qatadah rahimahullah (seorang tabi’in) dan Sufyan bin Uyainah (seorang ulama hadits, wafat pada tahun 198 H) mengharamkan secara mutlak mempelajari ilmu falak. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah memperbolehkan dengan syarat tertentu. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz As Sulaiman Al Qarawi –yang berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat para ulama di atas– bahwa mempelajarinya adalah :

Pertama, kafir bila meyakini bintang-bintang itu sendiri yang mempengaruhi segala aktivitas makhluk di bumi. Ini yang pertama.

Kedua, mempelajarinya untuk menentukan kejadian-kejadian yang ada, akan tetapi semua itu diyakini karena takdir dan kehendak-Nya. Maka yang kedua ini hukumnya haram.

Ketiga, mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, penunjuk jalan, waktu, menurut jumhur ulama hal ini diperbolehkan (jaiz).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengaku mengetahui ilmu ghaib menyebabkan pelakunya kafir. Sedangkan mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, hukumnya haram, baik ia membenarkan atau tidak. Dan yang disebut dukun sekarang ini banyak julukannya. Kadang ia disebut orang pintar atau paranormal, astrolog, fortuneteller, atau yang lainnya. Walaupun begitu, hakikatnya sama saja. Penggunaan julukan yang berbeda-beda hanyalah sebagai pelaris dagangan saja (atau agar terkesan tidak ketinggalan jaman). Hal ini karena mempelajari ilmu falak yang ditujukan untuk meramal nasib atau mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan tindakan kekufuran. Tujuan penciptaan bintang adalah sebagaimana yang telah diterangkan Allah dan para ulama, bukan untuk mengetahui perkara ghaib seperti yang diyakini oleh sebagian besar astrolog. Ayat yang mengatakan :

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka (mendapat petunjuk).” (QS. An Nahl : 16)

Maksudnya, agar manusia mengetahui arah jalan dengan mengetahui letak bintang-bintang, bukan untuk mengetahui perkara ghaib. Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mengharamkan dan melarang mempelajari ilmu nujum (perbintangan) dengan tujuan yang dilarang syariat, seperti hadits :

“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari cabang ilmu nujum (perbintangan) sungguh ia telah mempelajari satu cabang ilmu sihir … .” (HR. Ahmad[1], Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Sementara Islam mengharamkan orang yang menyihir atau meminta sihir. Dan mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan perkara yang membatalkan atau menggugurkan tauhid dan keimanan orang karena menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat Rububiyah. (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Wallahul Musta’an.

.
______________________________________________________________________
[1] Hadits hasan, dihasankan oleh Syaikh Ibnu Alis Sinan dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 5950 dan dalam Ash Shahihah nomor 793.

(Dinukil dari SALAFY XIX/1418/1997/AQIDAH, ditulis oleh Ustadz Ahmad Hamdani)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=193

.

.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Mencari Berkah (Tabaruk) dalam Islam

Posted on 22 Februari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Tabaruk atau mencari barakah serta waktu dan tempat yang berkaitan dengannya termasuk perkara akidah yang sangat penting. Hal ini dikarenakan sering terjadi perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan) di dalamnya.

Perbuatan itu dapat menjerumuskan banyak orang ke dalam perbuatan bid’ah, khurafat, dan syirik, dulu maupun sekarang. Bukankah orang-orang jahiliyyah terdahulu beribadah kepada berhala-berhala disebabkan mereka mengharap barakah dari berhala-berhala tersebut?

Kemudian bid’ah tersebut masuk menyelinap ke dalam agama ini melalui orang-orang zindiq (munafiq). Di antara cara yang mereka gunakan untuk merusak agama dari dalam adalah menanamkan sikap ghuluw terhadap para wali dan orang-orang shalih serta bertabaruk dengan kuburan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “Dari sinilah orang-orang munafik memasukkan ke dalam Islam perkara bid’ah tersebut. Sungguh yang pertama kali mengada-adakan agama rafidlah adalah seorang zindiq Yahudi yang pura-pura menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya untuk merusak agama kaum Muslimin, sebagaimana Paulus merusak agama kaum Nashara … . Akhirnya muncullah bid’ah syiah yang merupakan kunci terbukanya pintu kesyirikan. Ketika para zindiq itu merasa kuat, mereka memerintahkan membangun tempat-tempat ibadah di atas kuburan dan menghancurkan masjid-masjid dengan alasan tidak boleh shalat Jum’at dan jamaah kecuali di belakang imam yang ma’shum … .” (Majmu’ Fatawa 27/16)

Sangat disayangkan betapa banyak kaum Muslimin terjatuh ke dalam perbuatan syirik melalui pintu tabaruk ini sehingga kita perlu mengetahui apa pengertian tabaruk serta mana yang disyariatkan dan mana yang dilarang.

Makna Dan Hakikat Tabaruk

Al Laits menafsirkan kata tabarakallah (ﺗﺒﺎﺮﻚﺍﷲ) adalah pemuliaan dan pengagungan. Az Zajaj mengatakan tentang firman Allah :

“Inilah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi.”

Kata Al Mubarak (yang diberkahi) maknanya adalah apa-apa yang mendatangkan kebaikan yang banyak.

Ar Raghib berkata : “Barakah berarti tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu.”

Ibnul Qayim berkata : “Barakah berarti kenikmatan dan tambahan. Sedangkan hakikat barakah adalah kebaikan yang banyak dan terus menerus yang tidak berhak memiliki sifat tersebut kecuali Allah tabaraka wa ta’ala.”

Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata : “Barakah berarti kebaikan yang banyak dan tetap. Diambil dari kata al birkah (ﺍﻠﺑﺮﻜﺔ) yang berarti tempat terkumpulnya air (kolam). Dan tabaruk berarti mencari barakah.”

Untuk lebih jelas maka perlu diketahui beberapa perkara sebagai berikut :

1. Bahwasanya barakah itu semuanya datang dari Allah, baik dalam hal rezki, pertolongan, kesembuhan, dan lain-lain. Maka tidak boleh meminta barakah kecuali kepada Allah karena Dia-lah Pemberi Barakah. Di antara dalil tentang hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, ia berkata :

Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan. Ketika itu persediaan air sedikit. Maka beliau bersabda : “Carilah sisa air!” Para shahabat pun membawa bejana yang berisi sedikit air. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkan tangan beliau ke dalam bejana tersebut seraya bersabda : “Kemarilah kalian menuju air yang diberkahi dan berkah itu dari Allah.” Sungguh aku (Ibnu Mas’ud) melihat air terpancar di antara jari-jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 6/433)

Kalau sudah jelas bahwa barakah itu dari Allah, maka memintanya kepada selain Allah adalah perbuatan syirik seperti meminta rezki, mendatangkan manfaat serta menolak mudharat kepada selain Allah. Tidak diragukan lagi bahwa barakah itu termasuk kebaikan, sedang kebaikan itu semuanya dari Allah seperti sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Dan kebaikan itu semuanya di tangan-Mu.” (HR. Muslim dengan syarah An Nawawi 6/57)

2. Sesuatu yang digunakan untuk bertabaruk seperti benda-benda, ucapan, ataupun perbuatan yang telah jelas ketetapannya dalam syariat, kedudukannya hanya sebagai sebab bukan yang mendatangkan barakah. Sebagaimana halnya dengan obat-obatan hanya sebagai sebab bagi kesembuhan, bukan yang menyembuhkan. Yang menyembuhkan adalah Allah. Oleh karena itu kita hanya mengharapkan kesembuhan kepada Allah. Dan terkadang obat tersebut tidak bermanfaat dengan ijin Allah. Maka yang disebutkan dalam syariat bahwa padanya terdapat barakah hanya digunakan sebagai sebab yang kadang-kadang tidak ada pengaruhnya karena tidak terpenuhi syaratnya atau karena ada penghalang. Penyandaran barakah kepadanya termasuk penyandaran sesuatu kepada sebabnya. Sebagaimana ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha tentang Juwairiah bintul Harits radliyallahu ‘anha :

“Aku tidak mengetahui seorang perempuan yang lebih banyak barakahnya daripada dia di kalangan kaumnya.” (HR. Ahmad, Musnad 6/277)

Artinya dialah sebagai sebab datangnya barakah dan bukan dia pemberi barakah.

3. Mencari barakah harus melalui sebab-sebab yang diperintahkan oleh syariat. Yang menentukan ada atau tidaknya barakah pada sesuatu hanyalah dalil syar’i. Karena perkara agama itu dibangun di atas dalil, berbeda dengan perkara dunia yang dapat diketahui dengan akal melalui pengalaman dan bukti.

4. Bertabaruk dapat dilakukan dengan perkara yang dapat dicapai dengan panca indera seperti ilmu, doa, dan lain-lain. Seseorang mendapatkan kebaikan yang banyak dengan barakah ilmunya yang dia amalkan dan dia ajarkan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bertabaruk adalah mencari barakah dalam hal tambahan kebaikan dan pahala serta semua yang dibutuhkan seorang hamba dalam urusan agama dan dunianya melalui sebab-sebab dan cara yang telah ditetapkan dalam syariat.

Tabaruk Yang Disyariatkan

A. Bertabaruk Dengan Ucapan Dan Perbuatan
Banyak ucapan, perbuatan, serta keadaan yang diberkahi jika seorang hamba yang Muslim melakukannya untuk mencari kebaikan dan barakah melalui sebab tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia akan mendapatkan kebaikan dan barakah itu sesuai dengan niat dan kesungguhannya, jika tidak ada penghalang syar’i yang menghalanginya.

Di antara ucapan-ucapan yang mengandung barakah adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Tidak tersamar lagi bagi seorang Muslim bahwa dengan dzikir dan membaca Al Qur’an seorang hamba dapat memperoleh kebaikan serta barakah yang banyak. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah memiliki para Malaikat yang biasa berkeliling di jalan mencari orang-orang yang berdzikir. Jika mereka mendapatkan suatu kaum yang berdzikir kepada Allah, mereka pun saling memanggil : “Kemarilah pada apa yang kalian cari (hajat kalian).” Maka para Malaikat pun menaungi mereka dengan sayap mereka sampai ke langit dunia. Lalu Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para Malaikat itu sedangkan Allah Maha Tahu : “Apa yang diucapkan para hamba-Ku?” Para Malaikat menjawab : “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memuji Engkau.” Allah bertanya : “Apakah mereka melihat Aku?” Para Malaikat tersebut menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka tidak melihat Engkau.” Allah bertanya lagi : “Bagaimana sekiranya jika mereka melihat Aku?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka melihat Engkau, niscaya mereka tambah bersemangat beribadah kepada-Mu dan lebih banyak memuji serta bertasbih kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apa yang mereka minta?” Para Malaikat menjawab : “Mereka minta Surga kepada-Mu.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat Surga?” Para Malaikat menjawab : “Sekiranya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka lebih sangat ingin untuk mendapatkannya dan lebih bersungguh-sungguh memintanya serta sangat besar keinginan padanya.” Allah bertanya : “Dari apa mereka minta perlindungan?” Para Malaikat menjawab : “Dari neraka.” Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Tidak, demi Allah, mereka belum pernah melihatnya.” Allah bertanya : “Bagaimana kalau mereka melihatnya?” Para Malaikat menjawab : “Seandainya mereka melihatnya, niscaya mereka tambah menjauh dan takut darinya.” Allah berfirman : “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Seorang di antara Malaikat berkata : “Di antara mereka ada si Fulan yang tidak termasuk dari mereka (orang-orang yang berdzikir), dia hanya datang karena ada keperluan.” Allah berfirman : “Tidak akan celaka orang yang duduk bermajelis dengan mereka (majelis dzikir).” (HR. Bukhari)

Dari hadits ini diketahui betapa agung barakah dzikir tersebut, ia mengandung pengampunan dosa-dosa dan jaminan masuk Surga. Bukan hanya bagi orang-orang yang berdzikir saja, tetapi juga mencakup orang yang duduk bersama mereka. Sedangkan membaca Al Qur’an termasuk jenis dzikir yang paling agung. Di dalamnya terdapat barakah dunia dan akhirat yang tidak ada yang mampu menghitungnya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Bacalah Al Qur’an karena sesungguhnya dia akan datang di akhirat nanti memberi syafaat kepada orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim)

Di samping ucapan-ucapan ada pula perbuatan yang mengandung barakah jika seorang Muslim ber-iltizam dengannya dalam rangka ber-ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapat barakah yang agung dengan ijin Allah. Termasuk di antaranya Thalabul ‘Ilmi (menuntut ilmu) serta mengajarkannya dan juga shalat berjamaah. Demikian pula maju ke medan tempur untuk meraih keutamaan mati syahid di jalan Allah. Hal ini merupakan amal yang mengandung barakah yang tidak ada yang lebih agung daripadanya kecuali barakah iman dan barakah kenabian dan kerasulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Orang yang mati syahid memiliki enam keutamaan di sisi Allah yaitu : Dia diampuni pada awal penyerangannya, diperlihatkan tempat duduknya di Surga, dilindungi dari adzab kubur, merasa aman dari ketakutan yang dahsyat, diletakkan di atas kepalanya mahkota kehormatan yang permatanya lebih baik daripada dunia beserta isinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari dan (diberi ijin) memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari keluarganya.” (HR. Tirmidzi dari Miqdam bin Ma’dikarib, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi 2/132)

Di samping ucapan dan perbuatan, keadaan-keadaan yang diberkahi antara lain : Makan bersama dan dimulai dari pinggir, serta menjilat jari (setelah makan), dan makan secukupnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Berkumpullah kalian menikmati makanan dan sebutlah nama Allah, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Juga beliau bersabda :“Barakah itu akan turun di tengah-tengah makanan, maka makanlah dari pinggir dan jangan dari tengah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud)

Beliau juga memerintahkan untuk menjilat jari karena seseorang tidak tahu mana di antara makanan itu yang mengandung barakah.

Beliau juga bersabda :“Takarlah makanan itu, kalian akan diberkahi padanya.” (HR. Bukhari)

Semua ucapan atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kemudian dilakukan seorang hamba dengan ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Sunnah) niscaya akan menjadi penyebab turunnya barakah.
B. Bertabaruk Dengan Tempat
Allah menjadikan barakah pada beberapa tempat di muka bumi. Barangsiapa mencari barakah pada tempat tersebut, niscaya dia akan mendapatkannya dengan ijin Allah, jika dia beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah. Tempat-tempat tersebut antara lain :

1. Masjid-masjid

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tempat yang paling dicintai Allah di suatu negeri adalah masjid-masjidnya dan tempat yang paling dibenci Allah dalam suatu negeri adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Bertabaruk dengan masjid bukan dengan mengusap tanah atau temboknya. Karena tabaruk adalah perkara ibadah maka harus sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mencari barakah melalui masjid-masjid adalah dengan i’tikaf di dalamnya, menunggu shalat lima waktu, shalat berjamaah, menghadiri majelis-majelis dzikir di sana, dan perkara-perkara yang disyariatkan lainnya. Adapun perkara ibadah yang tidak disyariatkan tidak akan mendatangkan barakah, bahkan termasuk perbuatan bid’ah.

Di antara masjid yang memiliki keistimewaan tambahan dalam hal barakah adalah : Masjidil Haram, Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Masjidil Aqsa, dan Masjid Quba’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Shalat di masjidku ini lebih baik seribu kali daripada shalat di masjid yang lain kecuali Masjidil Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain ada tambahan :

“Dan shalat di Masjidil Haram lebih afdlal seratus kali daripada shalat di masjidku ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda beliau pula : “Tidak boleh dilakukan perjalanan (jauh) kecuali kepada tiga masjid, yaitu masjidku ini, masjidil haram, dan masjidil aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau bersabda tentang masjid Quba’ : “Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu datang ke masjid Quba’ dan shalat padanya dengan satu shalat maka baginya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, Hakim, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

2. Kota Makkah, Madinah, dan Syam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Makkah : “Demi Allah, engkau (Makkah) adalah bumi Allah yang paling baik dan paling dicintai-Nya. Sekiranya aku tidak diusir darimu, tidaklah aku akan keluar.” (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Demikian pula Madinah dan Syam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Barangsiapa menginginkan kejelekan terhadap penduduknya (Madinah), Allah akan menghancurkannya sebagaimana melelehnya garam dalam air.” (HR. Muslim)

“Berbahagialah penduduk Syam.” Kami bertanya : “Kenapa?” Beliau menjawab : “Sesungguhnya para Malaikat Allah Yang Maha Rahman membentangkan sayap mereka di atasnya.” (HR. Ahmad, Hakim, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir)
Sehingga orang yang bermukim di Makkah, Madinah, atau Syam dengan mengharap barakah Allah ‘azza wa jalla pada tempat tersebut, baik dalam hal tambahan rezki atau dihindarkan dari fitnah, berarti dia telah diberi taufiq untuk mendapatkan kebaikan yang banyak. Adapun kalau seorang hamba bertabaruk dengan mengusap tanah, batu-batuan, tembok dan pepohonannya, atau dengan mengambil tanahnya untuk dicampur dengan air dan dijadikan obat atau yang semisal itu, maka dia justru mendapatkan dosa karena mengamalkan bid’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bertabaruk dengan cara seperti itu.

3. Arafah, Muzdalifah, dan Mina

Ketiga tempat tersebut juga termasuk diberkahi karena banyak kebaikan yang turun kepada manusia di tempat-tempat tersebut berupa pengampunan dosa dan pembebasan dari neraka serta pahala yang besar sebagai barakah ber-ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula wuquf (menetap) di tempat tersebut pada waktu yang disyariatkan.

C. Bertabaruk Dengan Waktu
Allah subhanallahu wa ta’ala mengkhususkan beberapa waktu dalam hal keutamaan dan barakah.

Barangsiapa memilih waktu-waktu tersebut untuk melakukan kebaikan padanya serta bertabaruk dengan menjalankan amal-amal yang disyariatkan pada waktu tersebut, niscaya dia akan memperoleh barakah yang agung. Seperti bulan Ramadlan, Lailatul Qadar, sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, Senin, Kamis, bulan-bulan Haram, dan 10 hari bulan Dzulhijah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu Surga dibuka dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup serta setan dibelenggu pada bulan tersebut. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalang (mendapatkan kebaikannya) maka sungguh ia terhalang (dari kebaikan yang banyak).” (HR. Ahmad dan dijayidkan oleh Al Albani karena syawahidnya dalam Misykah Al Mashabih)

Adapun barakah yang Allah jadikan pada bulan Ramadhan antara lain berupa berupa pengampunan dosa, tambahan rezki bagi seorang Mukmin, pendidikan (jiwa), serta pahala yang besar di sisi Allah.

Adapun Lailatul Qadar, keadaannya sangat agung sebagaimana firman Allah : “Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al Qadr : 3)

Karena agungnya barakah pada malam tersebut sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan : “Berjaga-jagalah (untuk mendapatkan) Lailatul Qadr pada bilangan ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan.” (HR. Bukhari)

Termasuk waktu yang diberkahi pula adalah 10 hari bulan Dzulhijah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada amal pada hari-hari (lain) yang lebih afdhal daripada 10 hari bulan Dzulhijah ini.” Mereka para shahabat pun bertanya : “Tidak pula jihad?” Beliau bersabda : “Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang keluar menyabung nyawa dan hartanya dan tidak kembali sedikitpun.” (HR. Bukhari)

Keutamaan hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijah) bagi orang yang berhaji telah dimaklumi. Allah membanggakan orang-orang yang wuquf di ‘Arafah kepada para Malaikat-Nya selama mereka datang semata-mata untuk mencari ampunan. Sedangkan berpuasa bagi yang tidak haji akan mendapatkan barakah yaitu diampuninya dosa-dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ … dan puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah untuk mengampuni setahun yang lalu dan setahun sesudahnya.” (HR. Muslim)

Adapun hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam Surga dan dikeluarkan dari Surga. Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada hari Jum’at.” (HR. Muslim)

Adapun sepertiga malam terakhir, ketika Allah turun ke langit dunia, turun pula barakah yang agung bagi orang yang berdoa dan minta ampun pada waktu tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman : “Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Siapa yang minta kepada-Ku, Aku akan memberinya, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari)

Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut harus dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan sesuai dengan bimbingan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau seorang hamba mencari barakah pada waktu-waktu tersebut dengan amal yang tidak disyariatkan niscaya dia tidak akan diberi taufiq untuk mendapatkan barakah tersebut.

Demikian pula barakah terdapat pada beberapa jenis makanan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti minyak zaitun, susu, al habbatus sauda’ (jinten hitam), madu, air zam-zam, dan kurma.

Wallahu A’lam.

 

__________________________________________________________________________________

(Dikutip dari majalah SALAFY/Edisi XXII/1418/1997/AQIDAH – Mukhtar M. Nur & Abu Abdillah Al Makasari)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=192
Read Full Post | Make a Comment ( 5 so far )

Yusuf Qaradhawi dan Demokrasi “Islami”

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:

“Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis.
Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.

“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan.

Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan.
Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya.
Saya katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Kekuasaan terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem­punyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya’nuhu.
Manusia hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta’ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan meng­gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari’at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat undang-undang.
Oleh karena itu, harus dikatakan: “Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari’at Islam.” Sebagaimana dalam Majelis Tasyri’ (Badan Legislatif) harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai ber­bagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar’iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah Islam.
Kemudian, para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening­galkan shalat atau orang yang menganggap enteng agama.
Di sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama, mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya.
Kedua, amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Yusuf alaihissalam , di mana dia mengatakan (yang artinya) : “Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan. “‘ (QS. Yusuf: 55).

Juga dalam kisah Musa alaihissalam, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta (yang artinya) : “Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. “ (QS. Al-Qashash: 26).

Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilan­nya.[1]

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan: “Anehnya, se­bagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.
Di antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa meng­hukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi ke­putusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang lain.
Lalu apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku-­kuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!”
Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik
jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.”[2]

Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansi­nya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, ke­pentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan manusia.

Kelebihan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela­-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum tirani.

Tidak ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang­kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan me­realisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna me­wujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi ini.

Di antara kaidah syari’at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan-­tujuan syari’at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mem­punyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan tersebut.

Tidak ada satu syari’at pun yang melarang penyerapan pe­mikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit”, padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa Parsi.

Selain itu, Rasulullah saw pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar “dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis” untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslimin, meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak atasnya.

Dalam beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya.”[3]
Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat di­terima.

Bagi para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-­wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.

Benar, setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh me­reka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam: “Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat,” dan mereka juga mem­punyai hak untuk menurunkan penguasa jika melakukan penyim­pangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. “[4]

Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping ber­pegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari’at Islam adalah sumber hukum dan undang­-undang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan ke­kuasaan Allah atau kekuasaan syari’at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat tertinggi.

Dimungkinkan juga untuk menambahkan pada undang-­undang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari’at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil.”[5]

Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari’at dan juga pokok-pokok agama serta hal­-hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk me­ngatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai “mashalihul mursalah.” Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau mem­batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian seterusnya.

Jika banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa­kah ada tarjih tanpa murajjah (yang diunggulkan)? Ataukah harus ada murajjah?
Sesungguhnya logika akal, syari’at dan realitas menyatakan harus ada murajjah (yang diunggulkan), dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pen­dapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan (yang artinya) : “Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.”,[7]

Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih (pengung­gulan satu pendapat) itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari’at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan: “Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.”[8]

Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan “Khilafah Rasyidah” menjadi “kerajaan penindas” yang oleh sebagian sahabat disebut “kekaisaran”. Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah ke­padanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara mereka.

Apa yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang-wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas­nya, dan tidaklah syari’at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan ge­rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan meng­gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar.”[9]

Di sini saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-­kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian Islam.

Tetapi, jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me­mahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya.”[10]

Saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) termasuk orang yang me­nuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan.”[11]

Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan: “Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan upaya.

Yang lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan keindahan.

Jika kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe­rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan) misalnya.

Dengan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum­pamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut se­bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula demokrasi.
Jadi, yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerap­kan sistem syura (permusyawaratan) yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]

A. KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI.

Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran dari ucapan Dr. Yusuf al­-Qaradhawi.

Jamal Sulthan mengatakan: “Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan dirinya kepada setiap penulis dan pemilik pemikiran.

Fatwa dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan: “itu benar,” bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan: “Itu salah!” Namun, sesung­guhnya di sana ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan “segi dan pertim­bangan” fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman sekarang ini.

Dalam fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegas­kan oleh Ustadz Fahmi: “Apakah demokrasi itu kufur?”
Maka, Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan: “Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberi­kan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mem­punyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan ke­salahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah substansi demokrasi.”

Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari: “Realitas menunjukkan, bahwa orang yang mem­perhatikan secara seksama substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari konsep Islam.”

Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya salah secara keseluruhan. Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka… dan seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Namun, demokrasi secara substansial adalah pe­nolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan se­jarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan agama.

Dengan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu ada­lah sisi lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap pengkaji sejarah Eropa modern.

Di antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari’at yang berada di atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda mengatakan, misalnya “Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash al-Qur’an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian, anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta’ala semata, bukan ada pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka berakhirlah kisah demokrasi itu.

Demikian itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apa­kah kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi, niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep Islam”. Atau kita akan mengata­kan seperti yang dikatakannya pula: “Islam telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rincian­nya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka.”
Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluar­kan fatwanya berdasarkan pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat sejarah demokrasi dan obyek­tivitas yang membentuk istilah demokrasi dalam pemikiran manusia modern.
Barangkali hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya: “Dan ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pe­merintahan yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator.”
Sebenarnya, saya (Jamal Sulthan) belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan: “Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demo­krasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.” Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan: “Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi,” lalu siapa yang akan menilai dan membenar­kan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?

Sesungguhnya fatwa syari’at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan (misalnya : ” Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit”, ed). Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf al­Qaradhawi dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai­-nilai keadilan, kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari’at terhadap­nya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepada­nya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah.”
Di sini, saya setuju sekali dengan Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengenai kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang dikandung oleh istilah “buatan Barat, perkembangan, sejarah dan pertikaian­nya” untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah “sosialisme “, sehingga mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi.

Sesungguhnya, demokrasi bukan apa yang anda rinci ber­dasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau menerimanya atau menolak­nya, lalu mencari manhaj lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai dengan ‘aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan anda.

Jika kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut dengan “pemerintahan berdasarkan ketuhanan”. Kita hanya akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu “hukum Allah” adalah Islam?!

Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan: “Se­sungguhnya demokrasi itu dari Islam,” maka dibenarkan pula untuk mengatakan: “Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam !!!”
Sedangkan kita akan mengatakan: “Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan (budaya) Barat, hal itu tidak memberikan man­faat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak me­ngenal istilah “surat penebus dosa”, dan tidak pula mengenal istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan ber­beda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya (Islam dan Kristen).

Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum mus­limin berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak mungkin bagi mereka untuk meng­gambarkan prinsip-prinsip ini dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang demikian itu merupakan satu ke­salahan yang sangat berbahaya. Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-­prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar dampak dari kelahiran sekularisme atau demokrasi di masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan mem­berlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme atau demokrasi.

Tetapi, dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pe­mikiran dan politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau mengkhayalkan karya pe­mikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh oleh “kutub Eropa”, serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha “dunia ketiga” dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir atas matan (isi) yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami me­nolak kecuali mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi, sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah meninggalkannya.

Sesungguhnya Partai Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- ­memaksakan dirinya masuk ke dunia partai, dan sebagian anggo­tanya masuk parlemen Itali, agar “suara pelacur” cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam masya­rakat, jika semua suara sama.

Yang tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tin­dakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat melarikan diri dari mengakuinya.

Benar bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demi­kian. Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama dan dunia, syari’at dan ma­syarakat, keadilan dan moral, kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan demokrasi.

Jangan anda merasa kesal tuanku (Dr. Yusuf al-Qaradhawi), jika masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan (berprasangka baik) ter­hadap kesungguhan mereka dalam memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan antar negara.

Dalam fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang de­mokrasi, masih terdapat kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga komentar kami setelah itu.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: “Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenang­kan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun ter­kadang pendapat itu salah dan bathil.

Padahal Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih (mengunggulkan) suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan me­nolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut.

Bahkan, nash-nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala ini(yang artinya) : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An’aam: 116).

Juga firman-Nya(yang artinya) :
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf: 103).

Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali ter­hadap firman-Nya berikut ini(yang artinya) : “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. “ (QS. AI­A’raaf: 187).

Selanjutnya, Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan: “Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah.

Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah:
Kemudian, sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.
Jadi, tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan pendapat tanpa adanya yang diunggul­kan? Ataukah perlu adanya yang diunggulkan?

Logika akal, syari’at dan realitas menyatakan perlu adanya (orang) yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan(yang artinya) :
“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia (syaitan) lebih jauh dari dua orang.”

Ditegaskan pula, bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma(yang artinya) : “Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”

Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan ada­nya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang membingungkan.

Pertama-tama, saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qara­dhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpen­dapat “Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam”.
– Apakah Dr. Yusuf al-Qara­dhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport?
– Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai ber­bagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik?
– Lalu kapan hal itu terjadi?
– Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi ~ sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin?
– Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?

Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya mem­buka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Se­sungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!
Adapun ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Se­harusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah.”

Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan: “Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi.”

Demikian juga dengan ungkapan Dr. Yusuf ai-Qara­dhawi: “Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi.”

Perbedaan yang dianggap aneh oleh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk di­tundukkan pada pendapat manusia.
Di sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada kon­sepsi Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak demokratis.

Demikian juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi: “Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari’at yang sudah pasti,” maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari’at yang me­merintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi demokrasi.

Apakah sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memper­indah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?

Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan ke­yakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang ini.

Saudaraku sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang diharapkan umat.

Mengapa kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil kon­struktif (yang berasal dari Islam), yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional: “Disembelih dengan cara Islami?”

Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, ma­syarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?
Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-­simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa modern.

Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut (demokrasi dan sekularisme) ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nila.i Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengser­kannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak per­putaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semua­nya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan `aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat manusia.

Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pen­cerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam semesta.

Wahai Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, “agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,” supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata.”‘[13]

Perlu penulis katakan: “Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan.”

_____________________________________________________________________________

Foot Note :
[1] Al-Huluul al Mustaurida (hal. 77, 78).
[2] Fataazva’Mu’aashirah (II/637).
[3] Ibid (II/643).
[4] Ibid (II/644-645)
[5] Ibid (II/646).
[6] HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar (2166).
[7] Fataawa’ Mu’aashirah (II/647-648).
[8] Ibid (II/649).
[9] Ibid (II/649).
[10] Ibid (II/650).
[11] Ibid (II/650).
[12] Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia mem­baca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya `Abdul Ghani (telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia : Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal, ed), Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad Syakir asy-Syarif, ad-Demoqra­thryyah fil Miizaan karya Sa’id Abdul Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya `Abdul Majid ar-Riimi.

(Dikutip dari buku Pemikiran Dr. Yusuf al-Qardhawi Dalam Timbangan. Judul asli al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan oleh Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi. Cetakan Pertama Dzulqa’dah 1423 H/Januari 2003)

Penulis: Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi

Judul Asli: Penyimpangan pikiran Yusuf al-Qardhawi (I)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=262


Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Waspada terhadap Islam Sempalan

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Islam itu sesungguhnya hanya satu, sebagai agama yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak. “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah:3)

Islam telah menjawab segala problematika hidup dari segenap seginya. Tetapi di masa kini sedikit sekali orang yang mengetahui dan meyakini kesempurnaannya. Ini sesungguhnya adalah sebagai akibat pengkaburan Islam dari warna aslinya oleh debu dan polusi bid’ah, sehingga mayoritas umat Islam amat rancu permasalahannya terhadap agamanya.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nissa:115). Islam itu sendiri adalah Jama’ah (satu kesatuan) dan yang menyimpang dari padanya adalah firqah (perpecahan).

Allah berfiman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Islam ini dan jangan kalian berpecah belah dari agama ini…”(Ali Imran:102) Sedangkan firqah itu tidak lain disebabkan oleh adanya orang-orang yang mengikut perkara syubhat (rancu) dalam agama ini dan mengekor kepada hawa nafsu.

“Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (syubhat dan hawa nafsu), niscaya bila kamu ikut jalan-jalan itu akan menyimpangkan kalian dari jalan Allah.” (Al-An’am:153). Menyeleweng dari jalan Islam itu berarti menyimpang pula dari Al-Jama’ah, dan sekarang ini orang mengistilahkan dengan Islam sempalan, dalam pengertian sebagai aliran pemahaman Islam yang sesat.

Menginventarisasir Islam Sempalan

Untuk melakukan pekerjaan ini, haruslah merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salafus Shalih. Karena mereka mempunyai penilaian yang tegas dengan referensi yang lengkap dan jelas. Juga di dalam masalah ini menyangkut pula identifikasi pemahaman Islam sempalan tersebut.

Upaya yang demikian ini sangat penting di dalam memberi peringatan kepada umat Islam akan bahayanya penyimpangan dari pemahaman Islam yang benar dari pemahaman yang sesat. Juga upaya ini demikian pentingnya bila dikaitkan dengan kenyataan terlalu banyaknya firqah-firqah yang menyebabkan berbagai pikiran sesat di umat ini.

Banyaknya firqah-firqah demikian ini karena bid’ah itu akan melahirkan sekian banyak kesesatan. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada di umatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.

Para shahabat bertanya:  “Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Yaitu golongan yang mengikuti jalan hidupku dan jalan hidup para shahabatku.” (HR Tirmidzi, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Al-Jami’:5343)

Jadi ditegaskan di hadits ini bahwa umat Islam akan tercerai berai menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu golongan. Dan yang dikatakan selamat disini ialah selamat di dunia dan selamat di akhirat dari api neraka. Satu golongan yang tetap istiqomah ini berpegang dengan Al-Jama’ah sedangkan yang lainnya menyempal dari Al-Jama’ah sehingga sesat dan celaka. Mereka ini sesungguhnya yang dinamakan Islam sempalan.

Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak menulis buku-buku yang menguraikan berbagai golongan Islam sempalan ini dengan merinci satu persatu masing-masing pemahaman syahwatnya, agar umat Islam waspada dari bahaya kesesatan itu. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang menulis buku-buku tentang Islam sempalan ini ialah Al-Imam Ibnul Jauzy Al-Baghdadi dengan bukunya yang masyhur berjudul Talbis Iblis dalam satu jilid tebal.

Beliau menerangkan: “Sesungguhnya kita ahlus sunnah telah tahu adanya Islam sempalan dan pokok-pokok berbagai golongannya, dan sungguh setiap golongan dari mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Walaupun kita tidak mampu mengidentifikasi seluruh nama-nama golongan dan madzhab-madzhabnya, akan tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa induk-induk golongan ini ialah :
1. Al-Haruriyyah
2. Al-Qodariyyah
3. Al-Jahmiyyah
4. Al-Murji’ah
5. Ar-Rafidhah
6. Al-Jabriyyah

Sungguh para ulama telah menyatakan bahwa pokok berbagai sempalan yang sesat adalah enam aliran sempalan ini. Setiap aliran daripadanya terpecah menjadi dua belas aliran sehingga seluruhnya menjadi tujuh puluh dua aliran.”
Demikian Ibnul Jauzy menerangkan dalam Talbis Iblis karya beliau halaman 18-19 cet. Tahun 1347 H/1928 M Darut Thiba’ah Al-Muniriyyah.

Keterangan Tentang Keenam Pokok Aliran Sempalan :

1. Al-Haruriyyah
Ialah pemahaman kaum Khawarij yang mempunyai pemahaman sesat dalam perkara:
a. Mengkafirkan Sayyidinna Ali bin Abi Thalib karena mau berdamai dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan.

b. Mengkafirkan Ustman bin Affan karena dianggap membikin pelanggaran-pelanggaran selama pemerintahannya.

c. Mengkafirkan orang-orang yang ikut dalam perang Jamal (unta), yaitu ummul mukminin Aisyah, Thalhah, Zubair bin Al-Awwam, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair dan segenap tentara yang terlibat dalam pertempuran.

d. Mengkafirkan orang-orang yang terlibat dalam upaya perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Juga mengkafirkan semua pihak yang terlibat dalam perundingan damai antara Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Mereka mengkafirkan semua orang pula yang ridha dan membenarkan dua upaya perdamaian di atas atau salah satunya.

e. Memberontak kepada pemerintahan muslimin yang berbuat dhalim karena pemerintahan tersebut dianggap kafir dengan perbuatan dhalimnya.

f. Menfkafirkan orang Islam yang berbuat dosa apapun.

2. Al-Qodariyyah
Ialah pemahaman sesat yang mengingkari rukun iman yang ke-enam, yaitu takdir Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa perbutan manusia ini adalah murni semata-mata dari perbuatan manusia sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kehendak dan takdir Allah.

3. Al-Jahmiyyah
Ialah pemahaman sesat yang menginginkan adanya sifat-sifat kemuliaan bagi Allah dan mengingkari nama-nama kemuliaan bagi-Nya.

4. Al-Murji’ah
Ialah peahaman sesat yang mengingkari hubungan antara iman dengan amal, dalam artian iman itu tidak bertambah dengan amalan shalih dn tidak pula berkurang dengan kemaksiatan sehingga imannya Nabi sama dengan imannya penjahat sekalipun.

5. Ar-Rafidhah
Ialah gerakan pemahaman sesat yang diwariskan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan berupaya menyegarkan pemahamannya yang kafir, yaitu bahwa sayyidina Ali dan anak keturunannya adalah tuhan atau mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengkafirkan pula segenap shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. (Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah)

6. Al-Jabariyyah
Ialah pemahaman sesat yang meyakini bawa semua apa yang terjadi adalah perbuatan Allah dan tidak ada perbuatan makhluk sama sekali. Manusia tidak mempunyai kehendak sama sekali karena yang ada hanya kehendak Allah. Sehingga semua perbuatan manusia adalah ketaatan semata kepada kehendak Allah, dan tidak ada perbuatan maksiat. Orang berzina tidaklah dianggap maksiat karena perbuatan zina itu adalah perbuatan Allah dan kehendak-Nya. Semua manusia dianggap sama tidak ada muslim dan kafir, karena semuanya tidak mempunyai usaha (ikhtiar) dan tidak pula mempunyai kehendak apapun. (Talbis Iblis hal.22)

7. Al Mu’tazilah
Di samping enam aliran sesat yang kemudian bercabang menjadi berpuluh-puluh aliran sesat lainnya, juga ada aliran sesat yang besar pula, yaitu mu’tazilah. Aliran ini mengkeramatkan akal sehingga akal adalah sumber kebenaran yang lebih tinggi kedudukannya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari pengkeramatan akal ini timbullah kesesatan mereka yang meliputi :

a. Mengingkari adanya sifat-sifat mulia bagi Allah.

b. Orang Islam yang berbuat dosa tidak dinamakan muslim dan tidak dinamakan kafir, tetapi ia adalah fasiq. Akan tetapi bila ia tidak sempat bertaubat dari dosanya dan mati dalam keadaan demikian berarti kekal di neraka sebagaimana orang kafir. Orang yang telah masuk neraka tidak mungkin lagi masuk surga, sebagaimana orang yang masuk surga tidak mungkin lagi masuk neraka.

c. Menyerukan pemberontakan kepada pemerintah Islam yang berbuat dhalim dan pemberontakan itu dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.

d. Mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan hambanya.

e. Al-Qur’an itu adalah makhluk Allah sebagaimana pula sifat-sifat Allah lainnya adalah makhluk.

f. Mengingkari berita Al-Qur’an dan Al-hadits yang menyerukan bahwa wajah Allah itu dapat dilihat oleh kaum Mukminin di surga nanti. (Al-Farqu binal Firaq, Abdul Qahir Al-Isfaraini hal 114-115).

8. Al Bathiniyyah
Disamping mu’tazilah, ada juga aliran lain yang bernama bathiniyyah yang sering disebut orang thariqat sufiyyah. Mereka ini membagi syariat Islam dalam dua bagian, yaitu syariat batin dan syariat dhahir. Orang yang menganut aliran ini mempercayai bahwa para wali keramat itu syariatnya syariat batin sehingga tingkah lakunya tidak bisa diamati dengan patokan syariat dhahir.

Karena syariat batin itu sama sekali berbeda dengan syariat dhahir, maka yang haram di syariat dhahir bisa jadi halal dan bahkan suci dalam syariat batin. Orang-orang awam harus terikat dengan syariat dhahir. Jadi kalau orang awam berzina harus dicela dan dinilai telah berbuat maksiat, karena memang demikianlah syariat dhahir itu menilainya. Tapi kalau wali keramat berbuat mesum di diskotik atau di hotel tidak boleh dicela. Mereka para wali itu tidak lagi terikat dengan syariat dhahir, tetapi terikat dengan syariat bathin, yaitu syariat spesial milik para wali, jadi kalau ada orang yang mau mencoba mengkritik wali keramat itu dan mencelanya, maka ia harus setingkat mereka atau lebih tinggi.

Syariat dhahir itu diturunkan kepada Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam, sdangkan syariat batin diturunkan kepada para wali kearmat, melalui mimpi atau wangsit (ilham) atau lewat wahyu yang dibawa oleh para malaikat. (Talbis Iblis 162:169).

Dari aliran-aliran sempalan di atas terpecahlah sekian banyak aliran sesat yang ujungnya pasti membatalkan syariat Allah dan mengakkan syariat hawa nafsu serta kekafiran. (Al-Farqu bainal Firaq, Abdul Qahir bin Muhammad Al-Baghdadi Al-Isfaraini hal 281-312). Padahal masing-masing aliran yang bersumber dari 8 kelompok sempalan itu tentunya mempunyai pengikut dari umat Islam.

Demikianlah iblis dan anak buahnya memecah belah umat Islam melaui bid’ah, sehingga umat Islam terpecah belah menjadi beratus bahkan beribu-ribu aliran sesat yang telah menyempal dari Islam, walaupun mereka tetap meyakini keislamannya.

Tanah Subur bagi Islam Sempalan

Kalau Islam sempalan itu dimisalkan sebagai tanaman, maka tanah subur tempat ia tumbuh dengan bagus dan cepat ialah kebodohan umat Islam tentang agamanya. Kebodohan yang demikian ini adalah akibat dari semakin rendahnya perhatian umat kepada pentingnya memahami dan mempelajarai hukum agama.

Para ulama yang benar-benar memahami agama dan mengamalkannya semakin langka. Yang banyak ialah para ulama karbitan, makelar ilmu yang mencari dunia dengan agamanya. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan mencabutnya sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tidak tersisa seorang ulama pun, maka manusia pun menunjuk para pimpinan mereka orang-orang yang bodoh (tentang ilmu agama), maka mereka pun bertanya tentang agama kepada para pimpinan bodoh ini dan para pimpinan bodoh itupun memberi fatwa tanpa ilmu, akibatnya para pimpinan itu sesat dan menyesatkan pengikutnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi bermunculannya Islam sempalan, umat Islam harus dibangkitkan kembali semangatnya dalam menuntut dan mengamalkan ilmu agama. Disamping itu, segala upaya untuk menyebarkan ilmu agama haruslah dipermudah. Penjelasan dan pemahaman agama harus dikembalikan kepada ahlinya dan jangan sembarang orang merasa berhak berbicara tentangnya.

Apalagi kalau ia sama sekali tidak mempunyai latar belakang ilmu agama. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat salah satunya ialah ilmu diambil dari orang-orang kecil.” (HR Ibnul Mubarrak dalam Az-Zuhud, lihat Ash-Shohihah no.696).

Ketika ditanya kepada Ibnul Mubarrak siapakah orang-orang kecil (Ashaghir) yang dimaksud di sini, beliau menjawab: “Orang-orang kecil itu ialah yang berbicara tentang agama dari pikirannya sendiri, adapun orang kecil yang mengambil ilmu dan menyampaikan dari ulama besar, maka tidaklah dia dimasukkan dalam golongan orang-orang kecil”. Oleh karena itu orang-orang yang menuntut ilmu agama dan kemudian menyebarkannya haruslah didkukung dan dibela, bila kita tidak ingin umat ini terus menerus diganggu dan dikacaukan oleh gerakan Islam sempalan.

Penutup

Mewaspadai gerakan Islam sempalan semestinya dengan ilmu agama yang cukup. Oleh karena itu para ulama ahlus sunnah wal jama’ah haruslah dijadikan patokan untuk menilai sesat atau tidaknya suatu gerakan. Dan jangan pula ulama karbitan dijadikan nara-sumber penilaian, akibatnya fitnah yang meresahkan umat Islam terus mencekam dan semakin sulit umat Islam dipersatukan serta dipersaudarakan dengan sesama mereka.
Wallahu a’lam bi shawab.

 

___________________________________________________________________________

(Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, Hal 11-13)

Judul Asli: Waspada terhadap Sempalan Islam

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=108
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Fatwa Ulama: Tentang Kesesatan Hizbut Tahrir

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Fatwa, HT (Hizbut Tahrir), IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : As-Syaikh AL-Albani rahimahullah.

Pada suatu kesempatan ada dua pertanyaan yang keduanya bertemu pada satu titik berkenaan dengan Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat HT).

Pertanyaan Yang Pertama :

Saya banyak membaca tentang Hizbut Tahrir dan saya kagum terhadap banyak pemikiran-pemikiran mereka, saya ingin Anda menjelaskan atau memberikan faedah pada kami dengan penjelasan yang ringkas tentang Hizbut Tahrir ini.

Pertanyaan Yang Kedua :

Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan tadi akan tetapi si penanya menghendaki dariku penjelasan yang sangat luas tentang Hizbut Tahrir, sasaran, atau tujuan-tujuannya, serta pemikiran-pemikirannya, dan apakah semua sisi negatifnya merembet ke dalam permasalahan akidah?

Saya (Syaikh Al Albani) menjawab atas dua pertanyaan tadi :

Golongan atau kelompok atau perkumpulan atau jamaah apa saja dari perkumpulan Islamiyah, selama mereka semua tidak berdiri di atas Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj (jalan/cara) Salafus Shalih, maka dia (golongan itu) berada dalam kesesatan yang nyata! Tidak diragukan lagi bahwasanya golongan (hizb) apa saja yang tidak berdiri di atas tiga dasar ini (Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Manhaj Shalafus Shalih) maka akan berakibat atau membawa kerugian pada akhirnya walaupun mereka itu (dalam dakwahnya) ikhlas.

Pembahasan saya kali ini tentang golongan-golongan Islamiyah yang mereka semua harus ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginginkan nasehat kebaikan bagi umat sebagaimana dalam hadits yang shahih :

“Agama itu adalah nasehat”, kami (para shahabat) berkata : “Bagi siapa ya Rasulullah?” (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) bersabda : “Bagi Allah dan bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi Imam-Imam kaum Muslimin, dan mereka (kaum Muslimin) pada umumnya.” (Imam Muslim menyendiri dalam lafadz hadits hadits ini dari hadits Tamim Ad Dari)

Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an tentang permasalahan ini :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al Ankabut : 69)

Maka barangsiapa yang jihadnya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta di atas manhaj Salafus Shalih merekalah orang-orang yang dimaksud dalam ayat :

“Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu.” (QS. Muhammad : 7)

Manhaj Salafus Shalih ini adalah dasar yang agung maka dakwah setiap golongan kaum Muslimin harus berada di atasnya. Berdasarkan pengetahuan saya, setiap golongan atau kelompok yang ada di muka bumi Islam ini, saya berpendapat sesungguhnya mereka semua tidaklah berdakwah pada dasar yang ketiga, sementara dasar yang ketiga ini adalah pondasi yang kokoh.

Mereka hanya menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, di sisi lain mereka tidak menyeru (berdakwah) pada manhaj Salafus Shalih kecuali hanya satu jamaah saja.

Dan saya (Al Albani) tidak menyebut satu jamaah tadi sebuah hizb (sekte) karena mereka tidak berkelompok dan tidak berpecah belah serta tidak fanatik kecuali kepada Kitabullah, Sunnah Rasul, dan manhaj Salafus Shalih, dan sungguh saya tahu persis tentang hal ini. Dan akan lebih jelas bagi kita semua betapa pentingnya dasar yang ketiga ini dalam kaitannya dengan nash syar’i yang dinukil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam baik yang berhubungan dengan Al Qur’an maupun As Sunnah.

Pada kenyataannya, jamaah-jamaah Islamiyah sekarang ini, demikian pula kelompok-kelompok Islamiyah sejak awal munculnya penyimpangan terus merajalela serta menampakkan taringnya di antara jamaah-jamaah Islamiyah yang pertama (yaitu mulai timbulnya Khawarij) pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, kemudian sejak mulainya Jaad bin Dirham mendakwahkan (pemikiran) Mu’tazilah dan sejak munculnya firqah-firqah yang dikenal nama-namanya di zaman dulu serta berhubungan dengan wajah-wajah baru di zaman sekarang dengan nama-nama yang baru pula. Mereka itu baik yang dulu maupun yang sekarang tidak terdapat padanya perbedaan, tak satupun di antara mereka yang menyatakan dan mengumandangkan bahwasanya mereka di atas manhaj Salafus Shalih.

Semua kelompok-kelompok ini dengan perselisihan yang ada pada mereka, baik dalam masalah akidah, dasar-dasar atau permasalahan-permasalahan hukum dan furu’ (cabang-cabang), semuanya menyatakan berada di atas Kitab dan Sunnah, akan tetapi mereka berbeda dengan kita, karena mereka tidak mengatakan apa yang kita katakan, yang perkataan itu merupakan kesempurnaan dakwah kita. Yakni (perkataan) berada di atas manhaj Salafus Shalih.

Maka atas dasar ini, siapa yang menghukumi golongan-golongan ini, yang mereka semua ber-intima’ (menisbatkan diri) walaupun minimal secara perkataan bahwa dakwahnya di atas Kitab dan Sunnah, dan bagaimana hukum yang pasti (tentang mereka), karena mereka semua mengatakan dengan perkataan yang sama?

Jawabannya, tidak ada jalan untuk menghukumi golongan-golongan di antara mereka bahwa mereka di atas yang haq (benar), kecuali apabila dibangun di atas manhaj Salafus Shalih. Sekarang pada diri kita timbul satu pertanyaan : “Dari mana (atas dasar apa, pent.) kita mendatangkan manhaj Salafus Shalih?”

Jawabannya, sesungguhnya kita mendatangkan dasar yang ketiga ini dari Kitabullah dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Imam-Imam Salaf dari kalangan shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti halnya yang mereka katakan saat ini. Dalil yang pertama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang Mukmin, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) dihubungkan dengan firman Allah ((“Dan barangsiapa menentang Rasul”)). Maka seandainya ayat ini berbunyi ((“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, Kami palingkan dia kemana dia berpaling dan Kami masukkan dia ke dalam Jahanam. Dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”)) yakni tanpa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ((“Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin”)) niscaya ayat ini menunjukkan kebenaran dakwah golongan-golongan dari kelompok-kelompok tadi baik yang di zaman dahulu maupun yang sekarang ini, karena mereka mengatakan kami di atas Kitab dan Sunnah. Mereka tidak mengembalikan permasalahan-permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Kitab dan Sunnah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“ … kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa : 59)

Apabila Anda mengajak (berdakwah) kepada salah satu dari jumhur ulama mereka dan salah satu dari da’i mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka mereka akan berkata, “Saya mengikuti madzhabku”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Hanafi”, yang lain menyatakan, “madzhabku adalah Syafi’i”, dan seterusnya.

Mereka taqlid kepada Imam-Imam mereka sebagaimana mereka mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka apakah benar mereka mengamalkan ayat ini? Tidak sama sekali dan sekali-kali tidak. Oleh sebab itu apa faedahnya pengakuan mereka bahwasanya mereka di atas Kitab dan Sunnah selama mereka tidak mengamalkan keduanya.

Dari contoh ini, tidaklah saya menghendaki untuk orang-orang yang taqlid (awam, pent.) dari mereka, akan tetapi yang aku kehendaki dengannya adalah para da’i Islam yang seharusnya tidak menjadi orang yang taqlid belaka, yang mengutamakan pendapat para Imam yang tidak ma’shum keadaannya.

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menyebutkan kalimat di pertengahan ayat tadi secara sia-sia, hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan dengannya menanamkan satu pokok yang sangat penting, suatu patokan yang sangat kokoh yaitu tidak boleh kita semata-mata bersandar pada akal dalam memahami Kitab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Kaum Muslimin hanyalah dikatakan mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah baik secara pokok-pokoknya dan patokan-patokannya, apabila di samping berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, mereka juga berpegang dengan apa yang ditempuh oleh Salafus Shalih. Karena ayat di atas mengandung nash yang jelas tentang dilarangnya kita menyelisihi jalannya para shahabat.

Artinya wajib bagi kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak menyelisihi (menentang) beliau, demikian pula wajib bagi kita untuk mengikuti jalannya kaum Mukminin dan tidak menyimpang darinya. Dari sini kita menyatakan bahwa wajib atas tiap golongan/kelompok/jamaah Islamiyah untuk memperbaharui tolok ukur mereka yakni agar mereka bersandar kepada Al Qur’an dan Sunnah di atas pemahaman Salafus Shalih.

Dan sangat kita sayangkan Hizbut Tahrir tidak berdiri di atas dasar yang ketiga, demikian pula Ikhwanul Muslimin dan hizb-hizb Islamiyah lainnya. Sedangkan kelompok-kelompok yang mengumandangkan perang dengan Islam seperti partai Baats dan partai komunis, maka mereka tidak (masuk) dalam pembicaraan kita sekarang ini.

Oleh karena itu seyogyanya seorang Muslim dan Muslimah hendaknya mengetahui bahwa suatu garis kalau sudah bengkok pada awalnya (pangkalnya) maka akan semakin jauh dari garis yang lurus. Dan setiap ia melangkahkan kakinya akan semakin bertambahlah penyelewengannya. Maka jelas yang lurus adalah sebagaimana yang disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat Al Qur’an :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)

Ayat yang mulia ini jelas Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan) sebagaimana disukai dan biasa diucapkan oleh Hizbut Tahrir dan sekte-sekte lain dalam dakwahnya, tulisan-tulisan dan khutbah-khutbahnya. Dalil yang Qath’iyyatul Ad Dalalah (pasti penunjukkan), karena ayat ini menyatakan : “Sesungguhnya jalan yang bisa menuju pada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu, dan jalan-jalan yang lain adalah jalan-jalan yang menjauhkan kaum Muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga menambahkan keterangan dan penjelasan terhadap ayat ini sebagaimana keberadaan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu sendiri (menjelaskan dan menerangkan Al Qur’an, pent.). Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur’anul Karim kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An Nahl : 44)

Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah penjelas yang sempurna terhadap Al Qur’an, sedangkan Al Qur’an adalah asal peraturan/undang-undang dalam Islam. Untuk memperjelas suatu permasalahan pada kita agar lebih mudah untuk dipahami, saya (Syaikh Al Albani) berkata : “Al Qur’an bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti undang-undang dasar dan As Sunnah bila diibaratkan dengan sistem peraturan buatan manusia adalah seperti penjelasan terhadap undang-undang dasar tersebut.”

Oleh sebab itu sudah menjadi kesepakatan di kalangan kaum Muslimin, yang pasti bahwa tidak mungkin bisa memahami Al Qur’an kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan ini adalah perkara yang telah disepakati.

Akan tetapi sesuatu yang diperselisihkan kaum Muslimin sehingga menimbulkan berbagai pengaruh setelahnya yaitu bahwa semua firqah sesat dahulu tidak mau memperhatikan dasar yang ketiga ini yaitu mengikuti Salafus Shalih, maka mereka menyelisihi ayat yang aku sebutkan berulang-ulang :

“ … dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang Mukmin.” (QS. An Nisa : 115)

Mereka menyelisihi jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu yaitu sebagaimana yang disebut dalam ayat terdahulu :

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am : 153)

Saya (Syaikh Al Albani) berpendapat, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menambahkan penjelasan dan keterangan pada ayat ini dari riwayat salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang terkenal faqih (fahamnya terhadap dien) yaitu Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ketika beliau mengatakan :

Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membuat satu garis untuk kami, sebuah garis lurus dengan tangan beliau di tanah, kemudian beliau menggaris disekitar garis lurus itu garis-garis pendek. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengisyaratkan (menunjuk) pada garis yang lurus dan beliau membaca ayat (yang artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintah) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya”.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sambil menunjuk jarinya pada garis lurus, “ini adalah jalan Allah”, kemudian menunjuk pada garis-garis yang pendek di sekitarnya (kanan-kirinya) dan bersabda, “ini adalah jalan-jalan dan pada setiap pangkal jalan itu ada syaithan yang menyeru manusia padanya.”

Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang telah diriwayatkan oleh Ahlus Sunan seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan selain dari keduanya dari Imam-Imam Ahlul Hadits dengan jalan yang banyak dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah, Muawiyah, Anas bin Malik, dan yang selainnya dengan sanad yang jayyid. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan Nashrani telah terpecah menjadi 72 golongan, dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya ada di neraka kecuali satu. Maka mereka (para shahabat) bertanya : “Siapa dia ya Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dia adalah apa yang aku dan shahabatku berada di atasnya.”

Hadits ini menjelaskan kepada kita jalannya kaum Mukminin yang disebut dalam ayat tadi. Siapakah orang-orang Mukmin yang disebutkan dalam ayat itu? Meraka itulah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada hadits Al Firaq, ketika beliau ditanya tentang Firqatun Najiah (golongan yang selamat), manhaj, sifat, dan titik tolaknya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, “apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya.”

Maka jawaban ini wajib diperhatikan, karena merupakan jawaban dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika bukan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maka itu adalah tafsir dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap jalannya orang-orang Mukmin yang terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasulullah sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin.”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan jalannya orang-orang Mukmin. Sementara itu (dalam hadits, pent.) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyebutkan tanda Firqatun Najiah yang tidak termasuk 72 golongan yang binasa. Sesungguhnya Firqatun Najiah adalah golongan yang berdiri di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat.

Maka pada hadits ini kita akan dapati apa yang kita dapati pula dalam ayat. Sebagaimana ayat tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja, demikian pula hadits tidak membatasi penyebutan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam saja. Di samping itu ayat juga menyebutkan jalannya orang-orang Mukmin demikian pula dalam hadits terdapat penyebutan “shahabat Nabi” maka bertemulah hadits dengan Al Qur’an. Oleh sebab itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yakni Kitabullah dan Sunnahku dan tidaklah terpisah keduanya (Al Qur’an dan As Sunnah) sampai keduanya datang kepadaku di Haudl.” (Diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’-nya, Al Hakim dalam Mustadrak-nya dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ hadits nomor 2937)

Banyak golongan-golongan terdahulu maupun sekarang yang tidak berdiri di atas dasar yang ketiga ini sebagaimana yang disebutkan di dalam Al Qur’an dan Hadits. Pada hadits di atas disebutkan tanda golongan yang selamat yaitu yang berada di atas apa yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Semakna dengan hadits ini adalah hadits Irbadl ibn Sariyah radhiallahu ‘anhu yang termasuk salah satu shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari kalangan Ahlus Shufah, yakni mereka dari kalangan fuqara’ yang tetap berada di Masjid dan menghadiri halaqah-halaqah (majelis taklim) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam secara langsung dan bersih. Berkata Irbadl ibn Sariyah radhiallahu ‘anhu :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberi nasehat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami berlinang (karena terharu). Kami berkata : “Ya Rasulullah seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan maka berilah kami wasiat.” Maka beliau bersabda : “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian, dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah. Dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu di neraka.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi. Berkata Tirmidzi, hadits ini hasan)

Hadits ini merupakan (penguat) bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak membatasi perintahnya kepada umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnahnya saja ketika mereka berselisih akan tetapi beliau menjawab dengan uslub/cara bijaksana, dan siapa yang lebih bijaksana dari beliau setelah Allah? Oleh sebab itu tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang) setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak.”

Beliau juga memberikan jawaban dari soal yang mungkin akan muncul (dipertanyakan) : “Apa yang kita lakukan ketika itu wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah menjawab : “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku.” Dan Rasulullah tidak mencukupkan perintahnya terhadap mereka yang hidup pada waktu terjadi perselisihan dengan hanya mengikuti sunnah beliau, akan tetapi menggabungkannya dengan sabda beliau :

“ … dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”

Jika demikian halnya, maka seorang Muslim yang menginginkan kebaikan pada dirinya dalam masalah akidah, dia harus kembali pada jalannya orang-orang Mukmin (para shahabat) bersama dengan Kitab (Al Qur’an dan As Sunnah) yang shahih dengan dalil ayat dan hadits Al Firaq (perpecahan) serta hadits dari Irbadl ibn Sariyyah radhiallahu ‘anhu.

Inilah kenyataan yang ada dan sangat disesalkan bahwasanya hal ini banyak dilalaikan oleh semua hizbi-hizbi/sekte-sekte Islamiyah masa sekarang ini sebagaimana keberadaan firqah-firqah yang sesat, khususnya kelompok Hizbut Tahrir yang berbeda dengan sekte-sekte lainnya di mana Hizbut Tahrir dalam melaksanakan Islam menggunakan akal manusia sebagai tolok ukurnya.
__________________________________________________________________________________
(Dikutip dari buku Terjemahan HT Mu’tazilah Gaya Baru, terbitan Cahaya Tauhid Press)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=75
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tahukah Anda Apa Pemahaman Khawarij Itu?

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Khawarij, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Khawarij, tahukah Anda apa pemahaman Khawarij itu? Pemahaman Khawarij adalah pemahaman yang sesat! Pemahamannya telah memakan banyak korban. Yang menjadi korbannya adalah orang-orang jahil, tidak berilmu, dan berlagak punya ilmu atau berilmu tapi masih sedikit pemahamannya tentang Dien ini.

Para pemuda banyak menjadi korban. Dengan hanya bermodal semangat “semu” mereka mengkafirkan kaum Muslimin. Mereka kafirkan ayah, ibu, dan saudara-saudara mereka yang tidak sealiran atau tidak sepengajian dengan mereka. Sebaliknya, mereka menganggap hanya diri-diri mereka saja yang sempurna Islamnya, yang lainnya kafir. Ringan sekali lidah mereka menuduh kaum Muslimin sebagai orang yang kafir atau telah murtad dari agamanya. Mereka tidak mengetahui patokan-patokan syar’i untuk menghukumi seseorang itu menjadi kafir, fasiq, sesat, atau yang lainnya. Kasihan mereka.

Mereka memberontak kepada pemerintahan Muslimin yang sah. Hingga akibat pahit pemberontakan yang mereka lakukan ditelan oleh semua kaum Muslimin. Sejarah Islam mencatat bahwa gerakan yang mereka lakukan selalu menyengsarakan kaum Muslimin. Cara seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam sama sekali.

Oleh karena itu, para pemuda harus tahu patokan-patokan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Apakah perbuatan yang dia lakukan itu bermanfaat atau tidak, apakah tindakannya itu akan membuahkan hasil yang baik atau bahkan menjerumuskan dirinya ke dalam kesesatan.

Harakah-harakah, yayasan-yayasan, organisasi-organisasi, dan kelompok-kelompok yang berpemahaman seperti pemahaman Khawarij ini tumbuh subur. Kita dapat melihat dengan kacamata ilmu bahwa beberapa kelompok yang ada sekarang ini seperti :

Harakah Hijrah wat Takfir-nya DR. Umar Abdurrahman, DI/TII/NII, Islam Jamaah atau Darul Hadits atau Lemkari atau LDII atau entah apa lagi nama yang akan mereka berikan kalau kebusukan gerakannya terungkap. Yang penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mereka itu.

Siapa Khawarij Itu?

Imam Al Barbahari berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij. Dan berarti dia telah memecah kesatuan kaum Muslimin dan menentang sunnah. Dan matinya seperti mati jahiliyah.” (Syarhus Sunnah karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid Ar Raddadi halaman 78)

Asy Syahrastani berkata : “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada imam yang rasyidin atau setelah mereka di masa para tabi’in dan para imam di setiap jaman.” (Al Milal wan Nihal halaman 114)

Khawarij adalah juga orang-orang yang mengkafirkan kaum Muslimin hanya karena mereka melakukan dosa-dosa, sebagaimana yang akan kita paparkan nanti.

Imam Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya, Talbis Iblis : [ Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah. Abu Sa’id berkata : Ali pernah mengirim dari Yaman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepotong emas dalam kantung kulit yang telah disamak dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membagikannya kepada empat orang : Zaid Al Kahil, Al Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Hishn, dan Alqamah Watshah atau ‘Amir bin Ath Thufail. Maka sebagian para shahabatnya, kaum Anshar, serta selain mereka merasa kurang senang. Maka Nabi berkata :

“Apakah kalian tidak percaya kepadaku padahal wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore?!”

Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol dahinya, lebat jenggotnya, tergulung sarungnya, dan botak kepalanya. Orang itu berkata : “Takutlah kepada Allah, wahai Rasulullah!” Maka Nabi mengangkat kepalanya dan melihat orang itu kemudian berkata : “Celaka engkau, bukankah aku manusia yang paling takut kepada Allah?” Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid berkata : “Wahai Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya?” Nabi berkata : “Mungkin dia masih shalat.” Khalid berkata : “Berapa banyak orang yang shalat dan berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi hatinya?” Nabi berkata : “Aku tidak disuruh untuk meneliti isi hati manusia dan membelah dada mereka.” Kemudian Nabi melihat kepada orang itu dalam keadaan berdiri karena takut sambil berkata :

“Sesungguhnya akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Al Qur’an yang tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya.” (HR. Bukhari nomor 4351 dan Muslim nomor 1064) ]

Dalam riwayat lain bahwa orang ini berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berbuat adillah!” Maka Nabi berkata : “Celaka engkau, siapa lagi yang dapat berbuat adil kalau aku tidak adil?!” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 1064)

Imam Ibnul Jauzi berkata : [ Orang itu dikenal dengan nama Dzul Khuwaishirah At Tamimi. Dia adalah Khawarij yang pertama dalam Islam. Penyebab kebinasaannya adalah karena dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Kalau dia berilmu, tentu ia akan tahu bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para pengikut orang ini termasuk orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib. Itu terjadi ketika peperangan antara Ali dengan Muawiyah telah berlarut-larut. Pasukan Muawiyah mengangkat mushaf-mushaf dan memanggil pasukan Ali untuk bertahkim (mengadakan perundingan). Maka mereka berkata : “Kalian memilih satu orang dan kami juga memilih satu orang. Kemudian kita minta keduanya untuk memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah.” Maka manusia (yang terlibat dalam peperangan itu) berkata : “Kami setuju.” Maka pasukan Muawiyah mengirim ‘Amr bin Al ‘Ash. Dan pasukan Ali berkata kepadanya : “Kirimlah Abu Musa Al Asy’ari.” Ali berkata : “Aku tidak setuju kalau Abu Musa, ini Ibnu Abbas, dia saja.” Mereka berkata : “Kami tidak mau dengan orang yang masih ada hubungan kekeluargaan denganmu.” Maka akhirnya dia mengirim Abu Musa dan keputusan diundur sampai Ramadhan. Maka Urwah bin Udzainah berkata : “Kalian telah berhukum kepada manusia pada perintah Allah. Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” (Slogan ini yang selalu didengungkan oleh Khawarij sampai sekarang. Ucapan ini benar, tetapi makna yang dimaukan tidak benar, pent.) ]

Ali kemudian pulang dari Shiffin dan masuk ke Kufah, tapi orang-orang Khawarij tidak mau masuk bersamanya. Mereka pergi ke suatu tempat yang bernama Harura’ sebanyak dua belas ribu orang kemudian berdomisili di situ. Mereka meneriakkan slogan : “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!!”

Itulah awal tumbuhnya mereka. Dan mereka memproklamirkan bahwa komandan perang adalah Syabats bin Rib’i At Tamimi dan imam shalat adalah Abdullah bin Al Kawwa’ Al Yasykuri. Khawarij adalah orang yang sangat kuat beribadah, tapi mereka meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali bin Abi Thalib. Dan ini adalah penyakit yang berbahaya.

Ibnu Abbas berkata : Ketika Khawarij memisahkan diri, mereka masuk ke suatu daerah. Ketika itu jumlah mereka enam ribu orang. Mereka semua sepakat untuk memberontak kepada Ali bin Abi Thalib. Dan selalu ada beberapa orang datang kepada Ali sambil berkata : “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kaum ini ingin memberontak kepadamu.” Maka Ali berkata : “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka dulu yang memerangiku dan mereka akan tahu nanti.” Maka suatu hari aku datangi dia (Ali) di waktu shalat Zhuhur dan kukatakan kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin, segerakanlah shalat, aku ingin mendatangi mereka dan berdialog dengan mereka.” Maka Ali berkata : “Aku mengkhawatirkan keselamatan dirimu.” Aku katakan : “Jangan takut, aku seorang yang baik akhlak dan tidak menyakiti seseorang pun.” Maka dia akhirnya mengijinkanku. Kemudian aku memakai kain yang bagus buatan Yaman dan bersisir. Kemudian aku datangi mereka di tengah hari. Maka aku memasuki suatu kaum yang belum pernah aku lihat hebatnya mereka dalam beribadah. Jidat mereka menghitam karena sujud. Tangan-tangan mereka kasar seperti lutut unta. Mereka memakai gamis yang murah dan dalam keadaan tersingsing. Wajah mereka pucat karena banyak bergadang di waktu malam. Kemudian aku ucapkan salam kepada mereka. Maka mereka berkata : “Selamat datang Ibnu Abbas, ada apakah?” Maka aku katakan kepada mereka : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta dari sisi menantu Nabi. Kepada mereka Al Qur’an turun dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya daripada kalian.” Maka sebagian mereka berkata : “Jangan kalian berdebat dengan orang Quraisy karena Allah telah berfirman :

“Tapi mereka adalah kaum yang suka berdebat.” (Az Zukhruf : 58)”

Maka ada tiga orang yang berkata : “Kami akan tetap berbicara dengannya.” Maka kukatakan kepada mereka : “Keluarkan apa yang membuat kalian benci kepada menantu Rasulullah, Muhajirin, dan Anshar! Kepada mereka Al Qur’an turun. Dan tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian. Mereka adalah orang yang lebih tahu tentang tafsir Al Qur’an.”

Mereka berkata : “Ada tiga hal.” Aku berkata : “Sebutkan!” Mereka berkata : “Pertama, dia (Ali) berhukum kepada manusia dalam perintah Allah, sedangkan Allah telah berfirman :

‘Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.’ (QS. Al An’am : 57)

Maka apa gunanya orang-orang itu kalau Allah sendiri telah memutuskan hukum?!” Aku berkata : “Ini yang pertama, apa lagi?” Mereka berkata : “Kedua, dia (Ali) telah berperang dan membunuh tapi mengapa dia tidak mau mengambil wanita sebagai tawanan perang dan harta rampasan musuhnya? Jika mereka (orang-orang yang diperangi Ali, pent.) memang kaum Muslimin, mengapa dia (Ali) membolehkan kita untuk memerangi dan membunuh mereka tapi dia melarang kita untuk mengambil tawanan?” Aku berkata : “Apa yang ketiga?” Mereka berkata : “Dia (Ali) telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin (pemimpin kaum Mukminin) maka kalau dia bukan Amirul Mukminin berarti dia adalah Amirul Kafirin (pemimpin orang kafir).” Aku berkata : “Apakah ada selain ini lagi?” Mereka berkata : “Cukup ini saja.”

Aku katakan kepada mereka : “Adapun ucapan kalian tadi, dia berhukum kepada manusia dalam memutuskan hukum Allah, akan aku bacakan kepada kalian ayat yang membantah argumen kalian. Jika argumen kalian telah gugur apakah kalian akan ruju’?” Mereka berkata : “Tentu.” Aku berkata : “Sesungguhnya Allah sendiri telah menyerahkan hukum-Nya kepada beberapa orang tentang seperempat dirham harga kelinci dan ayatnya :

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang ihram. Barangsiapa yang di antara kalian membunuhnya dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian.’ (QS. Al Maidah : 59)

Dan juga tentang seorang istri dengan suaminya :

‘Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.’ (QS. An Nisa’ : 35)

Maka aku sumpah kalian dengan nama Allah, manakah yang lebih baik kalau mereka berhukum dengan manusia untuk memperbaiki hubungan antara mereka dan untuk menahan darah mereka agar tidak tertumpah atau yang lebih utama hukum yang mereka putuskan dalam harga seekor kelinci dan seorang wanita? Manakah antara keduanya yang lebih utama?” Mereka berkata : “Tentu yang pertama.” Aku berkata : “Apakah kalian keluar dari kesalahan ini.” Mereka berkata : “Baiklah.”

Aku berkata : “Adapun ucapan kalian, dia (Ali) tidak mau mengambil tawanan dan ghanimah (rampasan perang). Apakah kalian akan menawan ibu kalian, Aisyah? Demi Allah, kalau kalian berkata, dia bukan ibu kami, berarti kalian telah keluar dari Islam. Dan demi Allah, kalau kalian berkata, kami tetap akan menawannya dan menghalalkan (kemaluan)nya untuk digauli seperti wanita lain (karena dengan demikian ibu kita, Aisyah berstatus budak dan budak hukumnya boleh digauli oleh pemiliknya, pent.), berarti kalian telah keluar dari Islam. Maka kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah telah berfirman :

‘Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri-diri mereka sendiri. Dan istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka.’ (QS. Al Ahzab : 6)

Maka apakah kalian keluar dari kesalahan ini?” Mereka berkata : “Baiklah.”

Aku berkata : “Adapun ucapan kalian, dia telah menghapus dari dirinya gelar Amirul Mukminin. Aku akan membuat contoh dengan orang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada perjanjian Hudaibiyah, beliau berdamai dengan kaum musyrikin. Abu Sufyan bin Harb dan Suhail bin ‘Amr. Beliau berkata kepada Ali : ‘Tulis untuk mereka sebuah tulisan yang berbunyi : Ini apa yang telah disepakati oleh Muhammad Rasulullah. Maka kaum musyrikin berkata : ‘Demi Allah, kami tidak mengakuimu sebagai Rasulullah. Kalau kami mengakuimu sebagai Rasulullah, untuk apa kami memerangimu?!’ Maka beliau berkata : ‘Ya Allah, Engkau yang tahu aku adalah Rasul-Mu. Hapuslah kata itu, hai Ali!’ (HR. Bukhari nomor 2699 dan Muslim nomor 1783). Dan tulislah : ‘Ini apa yang disepakati oleh Muhammad bin Abdullah.’

Maka demi Allah, tentu Rasulullah lebih baik dari Ali, tapi beliau sendiri menghapus gelar itu dari dirinya hari itu.”

Ibnu Abbas berkata : “Maka bertaubatlah 2000 (dua ribu) orang dari mereka dan selainnya tetap memberontak, maka mereka pun akhirnya dibunuh.” (Talbis Iblis halaman 116-119)

Dari kisah di atas tadi kita bisa mengambil beberapa point yang menerangkan bahwa di antara sifat orang Khawarij adalah :

1. Jahil Terhadap Fiqih dan Syari’at Islam

Ini tampak dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka.” (HR. Bukhari nomor 3610 dan Muslim nomor 4351)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa mereka banyak membaca Al Qur’an tetapi beliau sendiri mencela mereka, mengapa demikian? Karena mereka tidak paham tentang Al Qur’an. Mereka mencoba memahami sendiri Al Qur’an dengan akal-akal mereka. Mereka enggan belajar kepada para shahabat. Maka dari itu Ibnu Abbas berkata : “Aku datang dari sisi kaum Muhajirin dan Anshar serta menantu Nabi. Al Qur’an turun kepada mereka. Dan mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari kalian.” Dan : “Al Qur’an turun kepada mereka, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang ikut bersama kelompok kalian, sedangkan mereka adalah orang yang paling tahu tentang tafsirnya.”

Maka hendaknya seseorang itu merasa takut kepada Allah kalau dia menafsirkan ayat seenak perutnya tanpa di dasari keterangan dari para ulama Ahli Tafsir yang berpemahaman Salaf.

Dan penangkal penyakit ini adalah dengan belajar. Bukan dengan berlagak pintar. Maka belajarlah, karena para Shalafush Shalih adalah orang-orang yang rajin belajar. Alangkah celakanya orang yang baru belajar beberapa saat kemudian menyatakan dirinya sebagai ulama, ahli hadits, faqih, mujtahid, ? dan seterusnya.

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : Imam An Nawawi berkata : “Yang dimaksud adalah mereka tidak mendapat bagian kecuali hanya melewati lidah mereka saja dan tidak sampai kepada kerongkongan mereka, terlebih lagi hati-hati mereka. Padahal yang dimaukan adalah mentadabburinya (memperhatikan dan merenungkan dengan teliti) agar sampai ke hati.” (Fathul Bari : 12/293)

2. Mereka Adalah Orang-Orang Yang Melampaui Batas Dalam Beribadah

Ini tampak dari keterangan Ibnu Abbas tentang mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang hitam jidatnya, pucat wajahnya karena seringnya begadang di waktu malam, ? dan seterusnya.

Dan juga diterangkan oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Akan datang suatu kaum pada kalian yang kalian akan merendah bila shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa kalian dibandingkan dengan puasa mereka, amal-amal kalian dibanding dengan amal-amal mereka. Mereka membaca Al Qur’an (tapi) tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya anak panah dari buruan.” (HR. Bukhari nomor 5058 dan Muslim nomor 147/1064)

Mereka melampaui batas dalam beribadah hingga terjerumus ke dalam bid’ah. Mereka tidak tahu bahwa : “Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah.”

“Ini adalah ucapan emas. Telah shahih dari beberapa shahabat di antaranya : Abu Darda’ dan Ibnu Mas’ud.

Ubay bin Ka’ab berkata : ‘Sesungguhnya sederhana di jalan ini dan (di atas) sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh tapi menentang jalan ini dan sunnah. Maka lihatlah amalan kalian jika dalam keadaan bersungguh-sungguh atau sederhana hendaknya di atas manhaj (cara pemahaman dan pengamalan) para Nabi dan sunnah mereka.’

Ini adalah ucapan yang memberikan keagungan bagi seorang Muslim yang ittiba’ (mengikuti) secara benar dalam amalan-amalan dan ucapan-ucapannya sehari-hari.

Ucapan ini diambil dari beberapa hadits di antaranya :

‘Janganlah kalian melampaui batas dalam agama ini.’

‘Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu (terus-menerus) walau sedikit’.” (HR. Bukhari 1/109 dan Muslim nomor 782) [Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan halaman 55-56]

Seorang Alim Ahli Al Qur’an, Muhammad Amin Asy Syinqithi berkata dalam Adlwa’ul Bayan 1/494 : “Para ulama telah menyatakan bahwa kebenaran itu berada di antara sikap melampaui batas dan sikap meremehkan. Dan itu adalah makna ucapan Mutharrif bin Abdullah :

‘Sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah. Kebaikan itu terletak antara dua kejelekan.’

Dan dengan itu, kamu tahu bahwa orang yang berhasil menjauhi kedua sifat itu telah mendapat hidayah.” Ucap Syaikh Ali Hasan dalam buku Dhawabith Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar ‘inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah halaman 9.

3. Menghalalkan Darah Kaum Muslimin dan Menuduh Mereka Sebagai Orang Yang Telah Kafir

Sifat ini sudah melekat kental pada mereka. Tapi yang mengherankan, mereka malah bersikap adil terhadap orang-orang kafir. Imam Ibnul Jauzi berkata :

Di perjalanan, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabbab maka mereka berkata : “Apakah engkau pernah mendengar dari ayahmu sebuah hadits yang dia dengar dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya, aku mendengar ayahku berkata : ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara tentang fitnah. Yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Maka jika engkau mendapati masa seperti itu, jadilah engkau seorang hamba Allah yang terbunuh’.” (HR. Ahmad 5/110, Ath Thabrani nomor 3630, dan hadits ini memiliki beberapa syawahid)

Mereka berkata : “Apakah engkau mendengar ini dari ayahmu yang dia sampaikan dari Rasulullah?” Dia menjawab : “Ya.” Maka mereka membawanya ke tepi sungai kemudian mereka penggal lehernya. Maka muncratlah darahnya seakan-akan dua tali sandal. Kemudian mereka membelah perut budak wanitanya yang sedang hamil.

Dan ketika mereka melewati sebuah kebun kurma di Nahrawan, jatuhlah sebuah. Maka salah seorang mereka mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Maka temannya berkata : “Engkau telah mengambilnya dengan cara yang tidak benar dan tanpa membayar.” Kemudian dia memuntahkannya. Dan salah seorang mereka ada yang menghunuskan pedangnya dan mengibaskannya, kemudian lewatlah seekor babi milik ahli dzimmah (kafir yang membayar jizyah) dan dia membunuhnya. Mereka berkata : “Ini adalah perbuatan merusak di muka bumi.” Kemudian dia menemui pemiliknya dan membayar harga babi itu. (Talbis Iblis halaman 120-121)

Pelaku Dosa Besar Tidak Menjadi Kafir

Ini adalah i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan Khawarij dalam hal ini menyelisihi Ahlus Sunnah. Mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, minum khamr, dan sejenisnya telah kafir. Ini bertentangan dengan ayat :

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan Allah. Dan Dia mengampuni yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An Nisa’ : 48)

“Dan Allah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni dosa itu (syirik) bagi orang yang belum bertaubat darinya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Shalih Fauzan halaman 9)

“Dalam ayat ini ada bantahan kepada orang-orang Khawarij yang menganggap kafir karena melakukan dosa-dosa. Dan juga bantahan bagi Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar itu kekal di dalam neraka. Dan mereka (para pelaku dosa besar) menurut mereka (Mu’tazilah) bukan Mukmin dan bukan kafir.” (Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman halaman 78)

4. Mereka Adalah Orang Yang Muda dan Buruk Pemahamannya

Ini diambil dari hadits :

“Akan keluar di akhir jaman suatu kaum yang muda-muda umurnya. Pendek akalnya. Mereka mengatakan ucapan sebaik-baik manusia. Mereka membaca Al Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama seperti lepasnya anak panah dari buruannya.” (HR. Bukhari nomor 3611 dan Muslim nomor 1066)

Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Ahdatsu Asnan artinya bahwa mereka itu para pemuda. Dan Sufaha’ul Ahlam artinya akal mereka jelek.” Imam An Nawawi berkata : “Kemantapan dan bashirah yang kuat akan muncul ketika usia mencapai kesempurnaan.” (Fathul Bari 12/287)

Dibunuhnya Ibnu Muljam (Tokoh Khawarij Yang Membunuh Ali)

Imam Ibnul Jauzi berkata : “Ketika Ali telah wafat, dikeluarkanlah Ibnu Muljam untuk dibunuh. Maka Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangannya dan kakinya, tapi dia tidak berteriak dan tidak berbicara, kemudian matanya dipaku dengan paku panas, dia juga tetap tidak berteriak bahkan dia membaca surat Al ‘Alaq sampai habis dalam keadaan darah mengalir dari dua matanya. Dan ketika lidahnya akan dipotong barulah dia berteriak, maka ditanyakan kepadanya : ‘Mengapa engkau berteriak?’ Dia berkata : ‘Aku tidak suka kalau aku mati di dunia dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah.’ Dan dia adalah orang yang keningnya berwarna kecoklatan karena bekas sujud. Semoga Allah melaknatnya.” (Talbis Iblis halaman 122)

Beliau berkata lagi : “Mereka memiliki kisah-kisah yang panjang dan madzhab-madzhab yang aneh. Aku tidak ingin memperpanjangnya karena yang dimaukan di sini adalah untuk melihat bagaimana iblis menipu orang-orang yang dungu itu. Yang mereka beramal dengan keadaan mereka dan mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pihak yang salah dan orang-orang yang bersama dengannya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Dan hanya mereka saja yang berada di atas kebenaran.

Mereka menghalalkan darah anak-anak tetapi menganggap tidak boleh memakan buah tanpa membayar harganya. Mereka bersusah-susah dalam ibadah dan begadang. Ibnu Muljam berteriak ketika akan dipotong lidahnya karena takut tidak berdzikir. Mereka menganggap halal untuk memerangi Ali.

Kemudian mereka menghunuskan pedang-pedang mereka kepada kaum Muslimin. Dan tidak ada yang mengherankan dari merasa cukupnya mereka dengan ilmu mereka dan meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari Ali.

Dzul Khuwaishirah telah berkata kepada Nabi : ‘Berbuat adillah, karena engkau tidak adil.’ Dan iblislah yang menunjuki mereka kepada kehinaan ini. Kita berlindung kepada Allah dari ketergelinciran.” (Talbis Iblis halaman 123)

Firqah-Firqah Khawarij

Imam Ibnul Jauzi berkata : Haruriyah (nama lain dari Khawarij, pent.) terbagi menjadi dua belas kelompok.

Pertama, Al Azraqiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu seorang pun yang Mukmin.” Dan mereka mengkafirkan kaum Muslimin (Ahli Qiblat) kecuali orang yang sepaham dengan mereka.

Kedua, Ibadhiyah, mereka berkata : “Siapa yang menerima pendapat kita adalah orang yang Mukmin dan siapa yang berpaling adalah orang munafik.”

Ketiga, Ats Tsa’labiyah, mereka berkata : “Sesungguhnya Allah tidak ada menetapkan Qadha dan Qadar.”

Keempat, Al Hazimiyah, mereka berkata : “Kami tidak tahu apa iman itu. Dan semua makhluk akan diberi udzur[1].”

Kelima, Khalafiyah, mereka berkata : “Pria atau wanita yang meninggalkan jihad berarti telah kafir[2].”

Keenam, Al Mujarramiyah, mereka berpendapat : “Seseorang tidak boleh menyentuh orang lain, karena dia tidak tahu yang suci dengan yang najis. Dan janganlah dia makan bersama orang itu hingga orang itu bertaubat dan mandi[3].”

Ketujuh, Al Kanziyah, mereka berpendapat : “Tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan hartanya kepada orang lain karena mungkin dia bukan orang yang berhak menerimanya. Dan hendaklah dia menyimpan harta itu hingga muncul para pengikut kebenaran.”

Kedelapan, Asy Syimrakhiyah, mereka berpendapat : “Tidak mengapa menyentuh wanita ajnabi (yang bukan mahram) karena mereka adalah rahmat[4].”

Kesembilan, Al Akhnashiyah, mereka berpendapat : “Orang yang mati tidak akan mendapat kebaikan dan kejelekan setelah matinya.”

Kesepuluh, Al Muhakkimiyah, mereka berkata : “Siapa yang berhukum kepada makhluk adalah kafir.”

Kesebelas, Mu’tazilah dari kalangan Khawarij, mereka berkata : “Samar bagi kami masalah Ali dan Mu’awiyah maka kami berlepas diri dari dua kelompok itu.”

Kedua belas, Al Maimuniyah, mereka berpendapat : “Tidak ada iman, kecuali dengan restu orang-orang yang kami cintai.” (Talbis Iblis halaman 32-33)

Harakah-harakah Islam dewasa ini juga banyak terkena fikrah (pemikiran) seperti ini. Mereka menganggap kaum Muslimin yang tidak sepaham dengan mereka sebagai orang-orang yang telah murtad dari agama Allah. Dan yang parahnya juga mereka membolehkan untuk mencuri barang milik selain kelompok mereka dengan alasan “ini harta orang kafir (fa’i).”

Tetapi ketika dakwah Salafiyah muncul dan kemudian menyerang dan meluluhlantakkan mereka, mereka pun sekarang berkata : “Kami juga salafi, ya akhi. Kami juga Ahlus Sunnah.” Ini mirip dengan seperti yang dikatakan oleh penyair :

…….Semua mengaku memiliki hubungan dengan Laila

…….Tapi, Laila sendiri tidak mengakuinya

Maka hendaknya seseorang itu melihat kembali dan mengoreksi langkah dakwah yang dia tempuh selama ini. Dan hendaknya dia kembali kepada manhaj Salaf dalam Aqidah dan Manhaj. Dan itu akan didapat dengan belajar serta memohon bimbingan dari Allah. Atau kalau tidak, dia akan menjadi seperti yang dikatakan oleh Allah :

Katakanlah : “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi : 103-104)

Dan amalannya hanya akan menjadi amalan yang meletihkan saja, sebagaimana firman Allah :

“Amalan yang meletihkan.” (QS. Al Ghasyiyah : 3)

Maka hendaknya seseorang itu berhati-hati dalam bekerja. Hendaknya dia sadar kalau amalannya akan menjadi sia-sia dan tidak berguna. Dan jadilah dia orang yang merugi di akhirat. Mari kita ajak mereka dengan tegas : “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Salaf umat ini.”

Bolehkah Seseorang Memerangi Khawarij

Imam Al Barbahari berkata : “Dihalalkan memerangi Khawarij bila mereka menyerang kaum Muslimin, membunuh mereka, merampas harta, dan mengganggu keluarga mereka.” (Halaman 78)

Penutup

Sebagai penutup pembicaraan tentang Khawarij, saya akan membawakan sebuah kisah tentang taubatnya seorang Khawarij. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Lalika’i, setelah beliau membawakan sanadnya, beliau berkata : Muhammad bin Ya’qub Al Asham berkata : “Pernah ada dua orang Khawarij thawaf di Baitullah maka salah seorang berkata kepada temannya : ‘Tidak ada yang masuk Surga dari semua yang ada ini kecuali hanya aku dan engkau saja.’ Maka temannya berkata : ‘Apakah Surga yang diciptakan Allah seluas langit dan bumi hanya akan ditempati oleh aku dan engkau?’ Temannya berkata : ‘Betul.’ Maka temannya tadi berkata : ‘Kalau begitu, ambillah Surga itu untukmu.’ Maka orang itu pun meninggalkan paham Khawarijnya.” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah 7/1234, tahqiq DR. Ahmad Sa’ad Hamdan nomor 2317)

Allahu A’lam Bish Shawwab.

_________________________________________________________________________________

[1] Yakni dimaafkan terhadap ketidaktahuannya itu.

[2] Ini seperti pendapat NII dan Jamaah Jihad lainnya semisal Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.

[3] Ini seperti pendapat LDII.

[4] Ini seperti pendapat Hizbut Tahrir di jaman ini.

(Dikutip dari tulisan Awas … ! Paham Khawarij Menjangkiti Harakah Islamiyah, oleh : Muhammad Ali Ishmah Al Medani, Bulletin Al Manhaj IV/1419 H/1998 M])

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=39
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh: Asy Syaikh Soleh Al Fauzan hafidzahullah

Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.

Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

Hari Raya Orang-orang Kafir Identik Dengan Agama Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

Setiap Umat Beragama Memiliki Hari Raya

Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48).

Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:

فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْداً وَإِنَّ هَذَا لَعِيْدُناَ

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ اْلأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:

1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)

Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)

Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:

وَلاَ تَدْخُلُوْا عَلىَ الْمُشْرِكيْنَ فِيْ كَناَئِسِهِمْ وَمَعاَبِدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْـزِلُ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya

Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)

Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)

3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)

4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)

5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka

Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Dosakah Bila Melakukan Hal Itu Dalam Rangka Mudahanah (basa-basi)?

Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya):

“Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

Orang-orang Kafir Bergembira Bila Kaum Muslimin Ikut Berpartisipasi Dalam Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

Bolehkah Seorang Muslim Ikut Merayakan Tahun Baru dan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)

Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.

Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257).

Wallahu A’lam.

___________________________________________________________

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=89


Perayaan Valentine’s Day Dalam IslamAqidah > Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Perayaan Valentine’s Day Dalam Islam

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Cinta adalah sebuah kata yang indah dan mempesona yang hingga sekarang belum ada yang bisa mendefinisikan kata cinta itu sendiri. Meskipun demikian setiap insan yang memiliki hati dan pikiran yang normal tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. Maha suci Dzat Yang telah menciptakan cinta.

Jika kita berbicara tentang cinta, maka secara hakikat kita akan berbicara tentang kasih sayang; jika kita berbicara tentang kasih sayang, maka akan terbetik dalam benak kita akan suatu hari yang setiap tahunnya dirayakan, hari yang selalu dinanti-nantikan oleh orang-orang yang dimabuk cinta, dan hari yang merupakan momen terpenting bagipara pemuja nafsu.

Sejenak membuka lembaran sejarah kehidupan manusia, maka disana ada suatu kisah yang konon kabarnya adalah tonggak sejarah asal mula diadakannya hari yang dinanti-nantikan itu. Tentunya para pembaca sudah bisa menebak hari yang kami maksud. Hari itu tak lain dan tak bukan adalah “Valentine Days” (Hari Kasih Sayang?).

Definisi Valentine’s Day

Para Pembaca yang budiman, mari kita sejenak menelusuri defenisi Valentine’s Day dari referensi mereka sendiri! Kalau kita membuka beberapa ensiklopedia, maka kita akan menemukan defenesi Valentine di tiga tempat :

Ensiklopedia Amerika (volume XIII/hal. 464) menyatakan, “Tanggal 14 Februari adalah hari perayaan modern yang berasal dari dihukum matinya seorang pahlawan kristen yaitu Santo Valentine pada tanggal 14 Februari 270 M”.

Ensiklopedia Amerika (volume XXVII/hal. 860) menyebutkan, “Yaitu sebuah hari dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta secara tradisional saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah. Yaitu hari dimana Santo Valentine mengalami martir (seorang yang mati sebagai pahlawan karena mempertahankan kepercayaan/keyakinan)”.

Ensiklopedia Britania (volume XIII/hal. 949), “Valentine yang disebutkan itu adalah seorang utusan dari Rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama”.


Sejarah Singkat Valentine Days

Konon kabarnya, sejak abad ke-4 SM, telah ada perayaan hari kasih sayang. Namun perayaan tersebut tidak dinamakan hari Valentine. Perayaan itu tidak memiliki hubungan sama sekali dangan hari Valentine, akan tetapi untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus. Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja. Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.

Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggalah seorang pendeta kristen yang bernama Valentine. Semasa hidupnya, selain sebagai pendeta ia juga dikenal sebagai tabib (dokter) yang dermawan, baik hati dan memiliki jiwa patriotisme yang mampu membangkitkan semangat berjuang. Dengan sifat-sifatnya tersebut, nampaknya mampu membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan yang mereka rasakan, karena kezhaliman sang Kaisar. Kaisar ini sangat membenci orang-orang Nashrani dan mengejar pengikut ajaran nabi Isa. Pendeta Valentine ini dibunuh karena melanggar peraturan yang dibuat oleh sang Kaisar, yaitu melarang para pemuda untuk menikah, karena pemuda lajang dapat dijadikan tentara yang lebih baik daripada tentara yang telah menikah. Valentine sebagai pendeta, sedih melihat pemuda yang mabuk asmara. Akhirnya dengan penuh keberanian, ia melanggar perintah sang Kaisar. Dengan diam-diam ia menikahkan sepasang anak muda. Pendeta Valentine berusaha menolong pasangan yang sedang jatuh cinta dan ingin membentuk keluarga. Pasangan yang ingin menikah lalu diberkati di tempat yang tersembunyi. Namun rupanya, sang Kaisar mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, dan kaisar sangat tersinggung hingga sang Pendeta diberi hukuman penggal oleh Kaisar Romawi yang bergelar Cladius II. Sejak kematian Valentine, kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya sampai pada tingkat pengkultusan !!

Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.

Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan “Valentine Days”

Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Biar tidak kelihatan formal, mereka membungkusnya dengan hiburan atau pesta-pesta.

Hukum Islam tentang Perayaan Valentine’s Day

Dalam Islam memang disyari’atkan berkasih sayang kepada sesama muslim, namun semuanya berada dalam batas-batas dan ketentuan Allah -Ta’ala- . Betapa banyak kita dapatkan para pemuda dan pemudi dari kalangan kaum muslimin yang masih jahil (bodoh) tentang permasalahan ini. Lebih parah lagi, ada sebagian orang yang tidak mau peduli dan hanya menuruti hawa nafsunya. Padahal perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Days) haram dari beberapa segi berikut :

Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir

Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, “Tak ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran. Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global”. [Lihat Al-Iqtidho’ (hal.186)].

Ikut merayakan Valentine’s Day termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut”. [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].

Seorang Ulama Mesir, Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengungkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya; “Diantara perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu membenci untuk menyamai Ahlul Kitab dalam segala urusan mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang terindah, dan menyemir rambut anak-anak mereka di hari itu dengan warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits shohih, “Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun mengikuti mereka”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani”. Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka”. [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu-]”.[Lihat Al-Ibda’ fi Madhorril Ibtida’ (hal. 254-255)]

Namun disayangkan, Sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan berbangga dengan perayaan Valentine Days. Di hari itu, mereka saling berbagi hadiah mulai dari coklat, bunga hingga lebih dari itu kepada pasangannya masing-masing. Padahal perayaan seperti ini tak boleh dirayakan. Kita Cuma punya dua hari raya dalam Islam. Selain itu, terlarang !!.

Pengantar Menuju Maksiat dan Zina

Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti; pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ : 32)

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَايَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يِمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]

Menciptakan Hari Rari Raya

Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan dalam firman-Nya,

“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS.Al-Maidah :3 ).

Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fitri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .

Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah– berkata saat mengomentari hadits ini, “Jadi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua hari raya yang sya’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu “.[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]

Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, justru perayaan ini sudah menjadi hari yang dinanti-nanti oleh sebagian kaum muslimin terutama kawula muda. Parahnya lagi, perayaan Valentine Days ini adalah untuk memperingati kematian orang kafir (yaitu Santo Valentine). Perkara seperti ini tidak boleh, karena menjadi sebab seorang muslim mencintai orang kafir.

__________________________________________________________________________________________________

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menyorot-perayaan-valentine-days.html#more-231

 

Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s DayAqidah >  Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

 

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Pertanyaan :

Bagaimana hukum merayakan hari Kasih Sayang / Valentine’s Day ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab :

“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca;

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal Ibadah Kita. Amin.

 

_____________________________________________________________________________

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s DayAqidah >  Perayaan Valentine’s Day Dalam Islam

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Beberapa versi sebab-musabab dirayakannya hari Kasih sayang ini, dalam The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day.

1. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada tahun 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. -Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan-. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri! .

Layaknya seorang muslim segera bertaubat mengucap istighfar, “Astaghfirullah“, wa naudzubillahi min dzalik.

 

___________________________________________________________________

(Dari berbagai sumber).

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Fatwa Ulama Tentang Merayakan Valentine’s DayAqidah >  Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Fatwa Ulama Tentang Merayakan Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Valentine’s Day sebenarnya, bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor kuffar. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine ? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra’ : 36).

Sebelum kita terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan kita tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan ummat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda: Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radiyallahu ‘anhu : Rasulullah bersabda:

“Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka“. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?” Rasulullah bersabda: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Bukhari dan Muslim ).

Pertanyaan :

Sebagian orang merayakan Yaum Al-Hubb (Hari Kasih Sayang) pada tanggal 14 Februari [bulan kedua pada kalender Gregorian kristen / Masehi] setiap tahun, diantaranya dengan saling-menghadiahi bunga mawar merah. Mereka juga berdandan dengan pakaian merah (merah jambu,red), dan memberi ucapan selamat satu sama lain (berkaitan dengan hari tsb).

Beberapa toko-toko gula-gula pun memproduksi manisan khusus – berwarna merah- dan yang menggambarkan simbol hati/jantung ketika itu (simbol love/cinta, red). Toko-tokopun tersebut mengiklankan yang barang-barang mereka secara khusus dikaitkan dengan hari ini. Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai hal berikut :

1. Merayakan hari valentine ini ?
2. Melakukan transaksi pembelian pada hari valentine ini?
3. Transaksi penjualan – sementara pemilik toko tidak merayakannya – dalam berbagai hal yang dapat digunakan sebagai hadiah bagi yang sedang merayakan?
Semoga Allah memberi Anda penghargaan dengan seluruh kebaikan !

Jawaban :

Bukti yang jelas terang dari Al Qur’an dan Sunnah – dan ini adalah yang disepakati oleh konsensus ( Ijma’) dari ummah generasi awal muslim – menunjukkan bahwa hanya ada dua macam Ied (hari Raya) dalam Islam : ‘ Ied Al-Fitr (setelah puasa Ramadhan) dan ‘ Ied Al-Adha (setelah hari ‘ Arafah untuk berziarah).

Maka seluruh Ied yang lainnya – apakah itu adalah buatan seseorang, kelompok, peristiwa atau even lain – yang diperkenalkan sebagai hari Raya / ‘Ied, tidaklah diperkenankan bagi muslimin untuk mengambil bagian didalamnya, termasuk mengadakan acara yang menunjukkan sukarianya pada even tersebut, atau membantu didalamnya – apapun bentuknya – sebab hal ini telah melampaui batas-batas syari’ah Allah:

وَتِلْكَ حُدُودُاللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”. [ At-Thalaq ayat: 1]

Jika kita menambah-nambah Ied yang telah ditetapkan, sementara faktanya bahwa hari raya ini merupakan hari raya orang kafir, maka yang demikian termasuk berdosa. Disebabkan perayaan Ied tersebut meniru-niru (tasyabbuh) dengan perilaku orang-orang kafir dan merupakan jenis Muwaalaat (Loyalitas) kepada mereka. Dan Allah telah melarang untuk meniru-niru perilaku orang kafir tersebut dan termasuk memiliki kecintaan, kesetiaan kepada mereka, yang termaktub dalam kitab Dzat yang Maha Perkasa (Al Qur’an). Ini juga ketetapan dari Nabi (Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) bahwa beliau bersabda :

“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”.

Ied al-Hubb (perayaan Valentine’s Day) datangnya dari kalangan apa yang telah disebutkan, termasuk salah satu hari besar / hari libur dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan untuk siapapun dari kalangan muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, adalah wajib untuknya menjauhi dari perayaan tersebut – sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allaah dan hukumanNya.

Lebih-lebih lagi, hal itu terlarang untuk seorang muslim untuk membantu atau menolong dalam perayaan ini, atau perayaan apapun juga yang termasuk terlarang, baik berupa makanan atau minuman, jual atau beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua hal ini dikaitkan sebagai bentuk tolong-menolong dalam dosa serta pelanggaran, juga sebagai bentuk pengingkaran atas Allah dan Rasulullah. Allah, Dzat yang Maha Agung dan Maha Tinggi, berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. [Surah al-Maa.idah, Ayat 2]

Demikian juga, termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk memegang teguh atas Al Qur’an dan Sunnah dalam seluruh kondisi – terutama saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan. Maka semoga dia memahami dan sadar dari akibat turutnya dia dalam barisan sesat tersebut yang Allah murka padanya (Yahudi) dan atas mereka yang tersesat (Kristen), serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu diantara mereka, yang tidak punya rasa takut – maupun harapan dan pahala – dari Allah, dan atas siapa-siapa yang memberi perhatian sama sekali atas Islam.

Maka hal ini sangat penting bagi muslim untuk bersegera kembali ke jalan Allah, yang Maha Tinggi, mengharap dan memohon Hidayah-Nya (Bimbingan) dan Tsabbat (Keteguhan) atas jalanNya. Dan sungguh, tidak ada pemberi petunjuk kecuali Allaah, dan tak seorangpun yang dapat menganugrahkan keteguhan kecuali dariNya.

Dan kepada Allaah lah segala kesuksesan dan semgoa Allaah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita ( Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan rekannya.

Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa
Ketua : Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz Al Asy-Syaikh;
Wakil Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;
Anggota: Syaikh ‘ Abdullaah ibn Ghudayyaan;

Anggota: Syaikh Bakar Ibn ‘ Abdullaah Abu Zaid

(Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor 21203. Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia)

 

____________________________________________________________________________________

Dinukil dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0020123_1.htm.
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Mengenal Pribadi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi WasallamAqidah >  Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

 

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Musuh-musuh Dakwah Tauhid

Posted on 4 Januari 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sebagaimana dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dakwah yang mengajak kepada tauhid niscaya akan menghadapi musuh-musuh yang tiada henti-hentinya untuk memadamkan cahaya tauhid di muka bumi ini. Daulah Utsmani, yang merupakan representasi kelompok Sufi, yang juga diagungkan banyak kelompok pergerakan Islam, adalah salah satunya. Bagaimana kisah selengkapnya, simak kajian berikut!

Telah menjadi sunnatullah, Allah telah menetapkan adanya musuh-musuh yang senantiasa menghalangi dakwah menuju tauhid dan upaya-upaya untuk menegakkan syariat Islam. Mereka bisa datang dari kaum kafir ataupun dari kalangan kaum munafiqin yang memakai baju Islam yang merasa terusik kepentingannya dan khawatir terbongkar kedok dan syubhat-syubhatnya. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lainnya perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِيْنَ، وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيْرًا

“Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh dari kalangan orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabb mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)

Begitu pula dakwah yang dilakukan para ulama pewaris nabi, yang selalu berdakwah untuk memurnikan tauhid serta menegakkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang telah berupaya memurnikan tauhid umat serta mengajak mereka untuk menegakkan syariat Islam. Namun musuh-musuh dakwah beliau tidak rela terhadap apa yang beliau lakukan.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu menyimpulkan musuh yang menghalangi dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam tiga jenis:

1. Para ulama suu` yang memandang Al-Haq sebagai suatu kebatilan dan memandang kebatilan sebagai Al-Haq, dan berkeyakinan bahwa pembangunan (kubah-kubah) di atas kubur serta mendirikan masjid di atas kubur-kubur tersebut, kemudian berdoa, ber-istighatsah kepadanya serta amalan yang serupa dengan itu, adalah bagian dari agama dan petunjuk (yang benar, pent). Dan mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mengingkari hal itu berarti dia telah membenci orang-orang shalih, serta membenci para wali.

Jenis yang pertama ini adalah musuh yang harus diperangi.

2. Jenis yang kedua adalah orang-orang yang dikenal sebagai ulama, namun mereka tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang sebenarnya. Mereka tidak mengetahui pula tentang kebenaran dakwah beliau bahkan cenderung bertaqlid kepada yang lain, serta membenarkan setiap isu negatif yang dihembuskan ahli khurafat dan para penyesat.

Sehingga mereka menyangka berada di atas kebenaran atas isu-isu negatif yang dituduhkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwasanya beliau membenci para wali dan para nabi, serta memusuhi mereka dan mengingkari kekeramatannya. Sehingga mereka memusuhi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mencela dakwahnya serta membuat orang antipati terhadap beliau.

3. Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Mereka memusuhi beliau agar kekuatan para pengikut dakwah Islamiyyah tersebut tidak sampai menyentuh mereka, yang akan menurunkan mereka dari posisinya serta menguasai negeri-negeri mereka.-sekian dari Asy-Syaikh Ibnu Baz.1

Faktanya, musuh-musuh dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu banyak diperankan oleh:

1. Kaum kafir Eropa

Inggris, Prancis, dan lainnya, yang tengah berkuasa dan menjajah negeri-negeri Islam pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang bertujuan memurnikan tauhid dan menegakkan syariat, merupakan suatu kekuatan besar yang dapat mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri jajahannya.

Karena dakwah beliau ini telah berhasil menyatukan umat dalam naungan aqidah tauhid di sejumlah negeri. Selain di daerah Najd, ternyata dakwah beliau telah berhasil menyentuh muslimin di negeri lainnya seperti di Afrika Utara yang mayoritasnya adalah negeri-negeri jajahan Inggris dan Prancis, India sebagai jajahan Inggris, dan tak luput pula Indonesia sebagai jajahan Belanda.

Hal ini membuat para penjajah kafir itu geram dan mengkhawatirkan bangkitnya muslimin di negeri jajahannya. Sehingga mereka pun berupaya untuk menjauhkan kaum muslimin dan membuat mereka antipati terhadap dakwah tauhid yang dilancarkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab2.

Hal ini mereka lakukan dengan cara:

a. Menebarkan isu-isu negatif dan dusta tentang dakwah tauhid di tengah-tengah muslimin melalui para misionaris mereka, baik secara lisan maupun tulisan.

b. Memprovokasi dan mempengaruhi pemerintahan Dinasti ‘Utsmani untuk membenci dan memerangi dakwah tauhid, dan dikesankan kepada mereka bahwa dakwah mulia tersebut sebagai ancaman besar bagi eksistensi Daulah ‘Utsmaniyyah3.

c. Pemberian bantuan pasukan dari pemerintahan penjajah Inggris maupun Prancis kepada Dinasti ‘Utsmani dalam upayanya menyerang dakwah tauhid.4

Di antara bukti yang menunjukkan provokasi mereka terhadap Dinasti ‘Utsmani untuk memusuhi dan menyerang dakwah tauhid adalah adanya penyerangan tentara Dinasti ‘Utsmani terhadap kota Ad-Dir’iyyah sebagai pusat dakwah tauhid di bawah pimpinan Ibrahim Basya pada tahun 1816 M atas perintah ayahnya Muhammad Ali Basya, Gubernur Mesir ketika itu, yang bersekongkol dengan penjajah Prancis.

Karena keberhasilannya atas penyerangan ke negeri Ad-Dir’iyyah itu, Pemerintah Inggris mengirimkan utusannya, yaitu Kapten George Forster Sadleer, untuk menyampaikan ucapan selamat secara khusus dari Pemerintahan Inggris atas keberhasilan Dinasti ‘Utsmani menghancurkan Ad-Dir’iyyah5.

2. Daulah ‘Utsmaniyyah

Yang tak kalah gencar pula adalah permusuhan pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang telah terprovokasi kaum kafir penjajah. Keadaan ini diperburuk oleh para mufti pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang notabene beraqidah tashawwuf. Siang dan malam mereka memprovokasi pemerintah untuk memerangi dakwah tauhid di Najd, baik di masa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu masih hidup, ataupun permusuhan mereka terhadap dakwah tauhid sepeninggal beliau.

Tercatat dalam sejarah, beberapa kali ada upaya penyerangan yang dilakukan Dinasti ‘Utsmani terhadap Negeri Najd dan kota-kota yang ada di dalamnya yang terkenal sebagai pusat dakwah tauhid.

Di antaranya apa yang terjadi di masa Sultan Mahmud II, ketika memerintahkan Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang kekuatan dakwah tauhid di Najd. Tentara Muhammad ‘Ali Basya dipimpin oleh anaknya Ibrahim Basya dalam sebuah pasukan besar dengan bantuan militer dari negara-negara kafir Eropa. Pada akhir tahun 1232 H, mereka menyerang kota ‘Unaizah dan Al-Khubra` serta berhasil menguasai Kota Buraidah. Sebelumnya, pada bulan Muharram 1232 H, tepatnya tanggal 23 Oktober 1818 M, mereka berhasil menduduki daerah Syaqra’ dalam sebuah pertempuran sengit dengan strategi tempur penuh kelicikan yang diatur oleh seorang ahli perang Prancis bernama Vaissiere.

Bahkan dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani yang menyerang Najd pada waktu itu didapati 4 orang dokter ahli berkebangsaan Itali. Nama-nama mereka adalah Socio, Todeschini, Gentill, Scots. Nama terakhir ini adalah dokter pribadi Ibrahim Basya. Demikian juga didapati perwira-perwira tinggi Eropa yang bergabung dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani dalam penyerangan tersebut.6

Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti ‘Utsmani telah bersekongkol dengan negara-negara kafir Eropa di dalam memerangi dakwah tauhid, yang tentunya hal ini mengundang amarah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadi sebab terbesar hancurnya Daulah ‘Utsmaniyyah.

Belum lagi kondisi tentara dan pasukan tempur Dinasti ‘Utsmani yang benar-benar telah jauh dari bimbingan Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sejarawan berkebangsaan Mesir yang sangat terkenal, yaitu Abdurrahman Al-Jabrati. Ketika menyampaikan kisah tentang kondisi pasukan Dinasti ‘Utsmani dan membandingkannya dengan pasukan tauhid di Najd, yang beliau nukil dari penjelasan salah seorang perwira tinggi militer Mesir yang menceritakan tentang kondisi pertempuran yang terjadi pada tahun 1227 H yang dipimpin Ahmad Thusun, putra Muhammad ‘Ali Basya, beliau menyatakan:

“…dan beberapa perwira tinggi mereka (tentara Mesir, pent.) yang menyeru kepada kebaikan dan sikap wara’ telah menyampaikan kepadaku bahwa mana mungkin kita akan memperoleh kemenangan, sementara mayoritas tentara kita tidak berpegang dengan agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak beragama dengan agama apapun dan tidak bermadzhab dengan sebuah madzhab pun. Dan berkrat-krat minuman keras telah menemani kita. Di tengah-tengah kita tidak pernah terdengar suara adzan, tidak pula ditegakkan shalat wajib. Bahkan syi’ar-syi’ar agama Islam tidak terbetik di benak mereka.

Sementara mereka (tentara Najd, pent), jika telah masuk waktu shalat, para muadzin mengumandangkan adzan dan pasukan pun segera menata barisan shaf di belakang imam yang satu dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahan diri. Jika telah masuk waktu shalat, sementara peperangan sedang berkecamuk, para muadzin pun segera mengumandangkan adzan. Lalu seluruh pasukan melakukan shalat khauf, dengan cara sekelompok pasukan maju terus bertempur sementara sekelompok yang lainnya bergerak mundur untuk melakukan shalat.

Sedangkan tentara kita terheran-heran melihat pemandangan tersebut. Karena memang mereka sama sekali belum pernah mendengar hal yang seperti itu, apalagi melihatnya.” –sekian

Kalau kisah tersebut disampaikan salah seorang perwira tinggi militer Mesir, maka Abdurrahman Al-Jabrati sendiri juga menceritakan tentang pertempuran yang terjadi pada tahun 1233 H yang dipimpin Ibrahim Basya dalam menghancurkan Ad-Dir’iyyah, yang tidak jauh berbeda dari kisah yang disampaikan sang perwira tinggi tersebut di atas. Lihat penjelasan tersebut dalam kitab Al-Jabrati, IV/140.8

Dinasti ‘Utsmani melengkapi kekejaman dan permusuhannya terhadap dakwah tauhid dengan menawan Al-Amir Abdullah bin Su’ud, sebagai salah satu penerus dan pembela dakwah tauhid yang telah menginfakkan jiwa dan hartanya dalam menegakkan kalimat tauhid serta syariat Islam. Beliau dikirim ke Mesir dan selanjutnya dikirim ke Istambul lalu dihukum pancung di sana setelah sebelumnya diarak di jalan-jalan Istanbul, dijadikan sebagai lelucon dan olok-olok selama tiga hari. Peristiwa ini terjadi pada 18 Shafar 1234 H/ 17 Desember 1818 M.9

3. Permusuhan kaum sufiyyah

Musuh berikutnya yang dengan gencar memusuhi dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang-orang dari aliran tashawwuf/Sufi yang merasa kehilangan pamor di hadapan para pengikutnya. Dengan dakwah tauhid, banyak syubhat dan kerancuan kaum Sufi yang terbongkar dan terbantah dengan hujjah-hujjah yang terang dan jelas, yang disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, murid-murid, serta para pendukungnya.

Berbagai macam bid’ah dan amalan-amalan yang menyelisihi sunnah Rasul serta amalan-amalan yang tercampur dengan berbagai praktek kesyirikan yang selama ini mereka tebarkan di daerah Najd ataupun Hijaz (Makkah dan Madinah), mulai tersingkir dan dijauhi umat. Demikian juga praktek amalan ibadah haji yang selama ini telah mereka penuhi dengan bid’ah dan amalan yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berbagai upaya untuk memakan harta umat dengan cara batil, juga terhalangi dengan adanya dakwah tauhid tersebut.

Ini semua membuat mereka geram dan marah terhadap dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan murid-muridnya. Itu semua mendorong mereka untuk berupaya menjauhkan umat dari dakwah beliau. Mereka sebarkan berbagai macam kedustaan tentang beliau dan dakwah tauhid yang disampaikannya.

Kaum Sufi bersama orang-orang kesultanan Turki dan Mesir serta kaum kafir Eropa menciptakan sebuah julukan terhadap dakwah beliau dengan Gerakan Dakwah Al-Wahhabiyyah serta melukiskannya sebagai madzhab baru di luar Islam. Nama Al-Wahhabiyyah adalah sebuah nama yang dinisbahkan kepada ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab.

Padahal jika mereka mau jujur, semestinya mereka menjulukinya dengan Muhammadiyyun, yaitu nisbah kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu secara langsung. Namun hal itu sengaja mereka lakukan dalam rangka memberikan kesan lebih negatif terhadap dakwah beliau. Karena jika memakai julukan Muhammadiyyun akan terkesan di banyak kalangan bahwa ini adalah sebuah madzhab yang baik.

Bahkan mereka tak segan-segan mengucapkan kata-kata kotor untuk memuluskan tujuannya, yang sebenarnya kita sendiri malu untuk mendengar dan menukilkan kalimat tersebut. Namun dengan sangat terpaksa kami nukilkan salah satu contoh kata-kata kotor dan menjijikkan yang diucapkan tokoh-tokoh Sufi.

Di antaranya adalah yang diucapkan salah satu tokoh mereka yang dikenal dengan nama Muhammad bin Fairuz Al-Hanbali (meninggal 1216 H) dalam rekomendasinya terhadap kitab Ash-Shawa’iq war Ru’ud, sebuah kitab yang penuh dengan tuduhan dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, karya seorang tokoh Sufi yang bernama Abdullah bin Dawud Az-Zubairi (meninggal 1225 H). Dalam rekomendasinya itu, Ibnu Fairuz berkata:

“…Bahkan mungkin saja Asy-Syaikh (yakni ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab, pent.) pernah lalai untuk menggauli ibunya (yakni ibu Muhammad bin Abdul Wahhab, pent.) sehingga dia didahului oleh setan untuk menggauli isterinya. Jadi pada hakekatnya setanlah ayah dari anak yang durhaka ini.”10

Sebuah ucapan kotor yang penuh kekejian dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu bahkan terhadap ayah dan ibunya.

Mereka juga menuduh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan berbagai tuduhan dusta, di antaranya:

 Tuduhan bahwasanya beliau mengklaim An-Nubuwwah (yakni mengaku sebagai nabi), sebagaimana disebutkan dalam kitab Mishbahul Anam karya Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba’alawi (hal. 5-6). Dan dinyatakan pula oleh Ahmad Zaini Dahlan (meninggal 1304 H) dalam sebuah makalah kecilnya yang berjudul Ad-Durar As-Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah (hal. 46): “…yang nampak dari kondisi Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya dia adalah seorang yang mengklaim An-Nubuwwah. Hanya saja dia tidak mampu untuk menampakkan klaimnya tersebut secara terang-terangan.”

Pernyataan semacam ini dia tegaskan juga dalam kitabnya yang lain yang berjudul Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

Buku-buku Ahmad Zaini Dahlan ini, adalah buku-buku yang sarat dengan kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap dakwah dan pribadi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Buku-buku itu, dalam kurun 60 tahun terakhir ini, sering menjadi referensi kaum Sufi di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah tauhid yang mulia itu. Bahkan sebagian buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Lebih parah lagi, buku-buku karya kaum Sufi ini dimanfaatkan kaum kafir dan para orientalis sebagai referensi bagi mereka dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah mulia tersebut dan menjauhkan umat Islam darinya. Di antara mereka adalah seorang orientalis berkebangsaan Denmark bernama Caresten Nie Bury dalam bukunya (Travel Through Arabia and Other Countries In The East) namun dia tidak berhasil memasuki Najd. Sehingga ketika menulis tentang sejarah Najd, dia banyak menukil dan menyandarkan karyanya pada berita-berita yang beredar di Jazirah Arabia yang telah dipenuhi banyak kedustaan oleh para tokoh Sufi di sana11.

Begitu juga salah seorang tokoh kafir yang lainnya menulis sebuah buku yang berjudul (Memorandum, by T.E. Ravenshaw)12. Buku ini pun dipenuhi berbagai macam kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.

Kemudian diikuti pula oleh seorang orientalis lainnya yang bernama William W. Hunter dalam bukunya Al-Muslimun fil Hind (The Indian Musalmans, dicetak pada tahun 1871 M, kemudian dicetak kedua kalinya pada tahun 1945 M) yang telah banyak menukil dari seniornya, yaitu T.E. Ravenshaw.13

 Beliau juga dituduh sebagai penganut inkarul hadits (aliran yang mengingkari hadits); sebagaimana dituduhkan Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba‘alawi di dalam kitabnya Mishbahul Anam. Tentunya tuduhan tersebut sangatlah aneh. Karena Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu selalu berhujjah dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam banyak karya beliau, yang telah banyak diketahui oleh umat Islam. Namun begitulah kaum Sufi, tidak malu dan segan untuk berdusta untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid.

 Tuduhan kepada Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud -salah satu pembela dan pembawa bendera dakwah tauhid yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan segala yang dimilikinya dalam membela dakwah yang mulia tersebut – bahwasanya beliau telah menghancurkan kubah yang dibangun di atas kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal itu sama sekali tidak pernah terjadi.

Memang benar beliau dan para pendukungnya telah menghancurkan beberapa kubah yang berada di Najd dan sekitarnya, namun sedikitpun mereka belum pernah menyentuh bangunan kubah di atas kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun mereka semua yakin bahwa bangunan kubah tersebut tidak diridhai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertentangan dengan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ القَبْرُ وَأِنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dilaburnya sebuah makam, dan diduduki, serta dibangun di atasnya.” (HR. Muslim 970)

Hal ini dipertegas pula dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ketika beliau mengutus Abul Hayyaj, “Maukah engkau aku utus dengan sebuah misi yang dengan misi tersebut pula aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Yaitu:

أَلاَّ تَدَعَ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا، وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Jangan kau biarkan satu gambarpun kecuali kau musnahkan, dan jangan kau biarkan ada satu kuburan pun yang menonjol kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 969)

Namun demikianlah musuh-musuh dakwah tauhid memutarbalikkan fakta, sehingga beberapa sejarawan orientalis senang dengan disebutkannya beberapa kisah dusta tersebut. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa buku sejarah karya mereka, di antaranya tulisan yang berjudul Hadhir Al-‘Alam Al-Islami (The New World of Islam) karya L. Stoddard (1/64), Dictionary of Islam “Wahhabiyah” karya Thomas P. Hughes (hal. 660), Mustaqbal Al-Islam (Future of Islam) karya Lady Anne Blunt (hal. 45). Dan masih banyak sejarawan orientalis lainnya yang memanfaatkan kedustaan serta tuduhan batil kaum Sufi terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk semakin mencemarkan dakwah tauhid yang beliau dakwahkan.14

 Dan masih banyak tuduhan-tuduhan dusta yang lainnya.

Namun kami simpulkan kedustaan-kedustaan tersebut dengan menukilkan sebuah surat yang ditulis oleh putra beliau yang bernama Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditujukan kepada penduduk Makkah pada tahun 1218 H / 1803 M. Beliau berkata:

“…Adapun sekian perkara dusta atas nama kami dalam rangka untuk menutupi al-haq, di antaranya tuduhan bahwa kami menafsirkan Al-Qur`an dengan logika kami serta mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan pemahaman kami… Dan bahwasanya kami merendahkan kedudukan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan kami bahwasanya Nabi telah menjadi debu di kuburnya dan tongkat salah seorang kami lebih bermanfaat dari beliau, dan bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki syafaat, serta berziarah kepadanya tidak disunnahkan…, dan bahwasanya kami adalah beraliran mujassimah15, serta mengkafirkan manusia secara mutlak (tanpa batas, pent)… Maka ketahuilah bahwa seluruh kisah khurafat tersebut di atas dan yang semisalnya… Jawaban kami terhadap setiap permasalahan tersebut di atas adalah dengan ucapan:

سُبْحَانَكَ هَذا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ

“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami) sesungguhnya ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (An-Nur: 16)

—sekian dari kitab Al-Hadiyyatus Sunniyyah, hal. 46 16

4. Syi’ah Rafidhah

Tak kalah dahsyat dari permusuhan kaum Sufi terhadap dakwah tauhid, adalah permusuhan kaum Syi’ah Rafidhah, yang juga merasa terusik dengan adanya dakwah tauhid. Aqidah mereka yang sesat dan penuh dengan kekufuran, yang mereka tebarkan di tengah-tengah umat dengan penuh pembodohan dan penipuan, terbongkar dengan tersebarnya dakwah tauhid tersebut. Umat menjadi mengerti bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang meyakini bahwa:

 ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah seorang imam yang ma’shum, dan seluruh shahabat yang menyelisihinya adalah kafir.

 Para imam Syi’ah Rafidhah yang 12 mengetahui perkara-perkara ghaib, bahkan punya andil di dalam mengatur alam semesta.

 Keyakinan mereka dengan aqidah Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib dan imam-imam mereka yang 12 akan kembali hidup di akhir zaman

 dan lain-lain,

adalah aqidah sesat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekufuran.

Ini semua membuat mereka marah dan memusuhi dakwah tauhid hingga hari ini. Belum lagi kemarahan mereka karena pasukan tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib di Karbala. Itu semua mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid tersebut dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.

Tak cukup sampai di situ. Mereka bahkan melampiaskan kebencian dan permusuhannya itu dalam bentuk tindakan fisik. Di antaranya adalah pembunuhan atas Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud pada tanggal 18 Rajab 1218 H/4 November 1803 M, yang dilakukan seorang Syi’ah Rafidhah berkebangsaan Iran. Beliau dibunuh oleh penjahat ini ketika beliau sedang menunaikan shalat Ashar. Tepatnya ketika beliau bersujud, tiba-tiba datanglah orang Syi’ah tersebut dengan membawa sebilah belati kemudian menghunjamkannya ke tubuh Al-Amir Abdul Aziz rahimahullahu.

Permusuhan ini terus berlanjut hingga masa kini. Baik dalam bentuk permusuhan fikri ataupun fisik. Sebagai contoh adalah sejumlah upaya penyerangan yang dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah pengikut Khumaini (Khomeini, red.) di Kota Makkah, pada musim haji tepatnya pada hari Jum’at 6 Dzulhijjah 1407 H. Didahului penyebaran selebaran-selebaran yang berisi kedustaan dan provokasi, sebuah penyerangan sporadis dan penuh kezhaliman itu menelan 402 korban jiwa dari jamaah haji dan pihak keamanan Negeri Tauhid.

Tak cukup sampai di sana, pada tahun 1409 H, kembali para pengikut Khumaini dari kalangan Syi’ah Rafidhah yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu melakukan peledakan bom di Masjidil Haram, yang juga menelan korban jiwa serta korban luka dari para jamaah haji, tamu-tamu Allah.17

5. Hizbiyyun dan pergerakan-pergerakan Islam

Zaman berganti zaman, generasi pun telah berganti. Namun permusuhan terhadap dakwah tauhid tak kunjung usai, dan memang akan terus berlanjut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum hizbiyyun menampilkan diri sebagai musuh dakwah tauhid dan sunnah yang ditegakkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan para penerusnya. Di antara kaum hizbiyyun itu pada masa ini adalah:

 Al-Ikhwanul Muslimun (IM)

Gerakan yang didirikan di atas upaya merangkul berbagai macam kelompok dan pemikiran bid’ah —sebagaimana telah dijelaskan dalam majalah Asy Syari’ah edisi 20, Sejarah Hitam IM— telah mempraktekkan berbagai macam bentuk permusuhan terhadap dakwah tauhid dan sunnah serta negara tauhid Saudi Arabia. Baik melalui statemen dan karya-karya tulis para tokohnya, maupun dalam bentuk tindakan fisik nyata di lapangan.

Di antara penulis dan tokoh besar IM adalah Muhammad Al-Ghazali, yang melarikan diri dari ancaman Anwar Sadat – Presiden Mesir kala itu – dan tinggal di negeri Saudi Arabia.

Dengan segala fasilitas yang dia terima dari negeri tauhid ini, dia justru menikam dari belakang dan membalas kebaikan itu dengan caci maki terhadap para ulama tauhid dan sunnah, penerus dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa karyanya yang penuh dengan kesesatan. Di antaranya adalah apa yang dia tulis dalam kitabnya Kaifa Nata’amalu ma’al Qur`an dan kitab As-Sunnah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits.

Namun Alhamdulillah, para ulama tauhid telah membantah dan menghancurkan syubhat-syubhatnya. Di antaranya adalah bantahan yang ditulis Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahumallah.

Kemudian permusuhan Muhammad Al-Ghazali terhadap dakwah tauhid dan sunnah ini diikuti pula oleh tokoh dan pemikir besar IM lainnya, yaitu Yusuf Al-Qaradhawi. Dia adalah murid dari Muhammad Al-Ghazali sekaligus temannya. Namun cara Al-Qaradhawi di dalam menunjukkan permusuhannya lebih halus dan terselubung dibandingkan gurunya. Hal ini nampak sekali dalam karya-karyanya, seperti kitab Kaifa Yata’amalu Ma’as Sunnah dan Awwaliyatul Harakatil Islamiyyah, serta beberapa kitabnya yang lain.18

Kemudian pada generasi berikutnya IM melahirkan tokoh-tokoh semacam Muhammad Surur bin Naif Zainal ‘Abidin, yang nampak lebih arogan dalam memusuhi negeri tauhid dan dakwah tauhid itu sendiri. Begitu besar kebencian dan permusuhannya, sehingga dia merasa sesak nafasnya dan sempit dadanya untuk tinggal bersama kaum muslimin di negeri tauhid. Dia justru memilih tinggal bersama kaum kafir di Inggris dengan merendahkan dirinya di bawah perlindungan hukum-hukum kufur di negeri kafir yang sangat memusuhi Islam itu. Sementara itu, dia mengkafirkan pemerintah-pemerintah muslimin dengan alasan mereka tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah.

Dengan penuh kebencian dan tanpa malu, dia keluarkan sejumlah pernyataan pedas dan dusta tentang ulama-ulama tauhid dan sunnah di negeri tauhid Saudi Arabia khususnya. Lihat sebagian pernyataan-pernyataannya yang pernah dimuat dalam majalah Asy Syari’ah Vol. I/No. 12/1425 H/2005. Lihat pula kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-57; Al-Irhab karya Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, hal. 67-77.

Kelompok ini pun tak segan-segan melakukan tindakan fisik untuk mewujudkan permusuhannya terhadap dakwah Tauhid dan para da’inya, sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat. Di antaranya adalah yang terjadi di negeri Yaman berupa penembakan brutal dan sporadis terhadap sejumlah Ahlus Sunnah di sebuah masjid, yang menyebabkan sebagian mereka terbunuh.

Bahkan salah satu tokoh IM di negeri Yaman mengancam Ahlus Sunnah dengan pernyataannya: “Jika seandainya kami memiliki kekuatan, niscaya kami akan memerangi Wahhabiyyin sebelum kami memerangi kaum komunis.” Hal ini sebagaimana dikisahkan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam beberapa kali ceramah beliau.

Lebih dari itu semua, apa yang telah terjadi di Afghanistan dengan terbunuhnya seorang mujahid Ahlus Sunnah, yaitu Asy-Syaikh Jamilurrahman rahimahullahu. Pembunuhnya adalah salah seorang dari kelompok IM yang dikenal dengan Abu ‘Abdillah Ar-Rumi. Dia datang ke Afghanistan membawa kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus Sunnah dan menjulukinya dengan Wahhabiyyah. Pembunuhan sadis ini terjadi pada hari Jum’at 20 Shafar 1412 H/ 30 Agustus 1991 M sebelum Asy-Syaikh Jamilurrahman berangkat menuju shalat Jum’at. Pembunuh kejam itu mendatangi beliau sebagai tamu yang hendak memeluknya. Tanpa disangka ternyata orang ini melepaskan tembakan ke arah Asy-Syaikh dan tepat mengenai wajah dan kepala beliau!

Inilah sekelumit contoh permusuhan dan kebencian tokoh-tokoh besar IM terhadap para ulama tauhid dan sunnah serta negeri tauhid Saudi Arabia.

 Hizbut Tahrir

Kelompok Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah kelompok sempalan yang didirikan Taqiyyuddin An-Nabhani di negeri Yordania pada tahun 1372 H/1953 M. Selengkapnya bisa pembaca dapati pada majalah Asy Syari’ah Vol. II/No. 16/1426 H/2005.

Namun yang hendak kita tampilkan di sini adalah bentuk kebencian dan permusuhan HT terhadap Daulah Tauhid dan para ulamanya.

Permusuhan itu diwujudkan dalam statemen-statemen mereka dan karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam buku berbahasa Inggris How The Khilafah Destroyed (Kaifa Hudimat Al-Khilafah) karya Abdul Qadim Zallum yang diterbitkan Khilafah Publication London England. Buku ini adalah salah satu buku refensi utama dalam perjalanan HT.

Dalam buku ini, penulisnya telah menuduh Daulah Tauhid sebagai suatu bentuk konspirasi Barat dalam meruntuhkan Khilafah ‘Utsmaniyyah, dengan mengkambinghitamkan Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud rahimahullahu dan menyatakan beliau sebagai agen Inggris. Padahal justru beliau adalah seorang yang telah menyerahkan waktu, tenaga, pikiran, dan hidupnya untuk membela dan menegakkan tauhid sebagaimana telah kami sebutkan di atas.

Tuduhan HT ini sama sekali tidak disertai dengan bukti dan fakta ilmiah. Tapi yang ada hanya sebatas analisa dan klaim semata. Sebaliknya telah kami paparkan di atas dengan bukti-bukti ilmiah bahwa ternyata Dinasti ‘Utsmanilah yang sebenarnya bersekongkol dan diperdaya oleh negara-negara kafir Eropa dalam memerangi dakwah tauhid dan sunnah.

Kemudian mereka juga menuduh gerakan Dakwah Tauhid sebagai gerakan pemberontakan terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan ini pun adalah tuduhan yang batil dan dusta, sebagaimana telah kami bahas di atas.

Masih dalam buku tersebut di atas, penulis HT ini menuduh bahwa Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud telah menghancurkan bangunan kubah di atas makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mempereteli batu perhiasan dan ornamen-ornamennya yang sangat berharga. Namun itu semua adalah dusta. Bahkan dengan itu, penulis HT ini telah mengikuti jejak para orientalis Eropa belaka, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tak kalah serunya adalah salah satu tokoh HT yang bernama Muhammad Al-Mis’ari ikut meramaikan permusuhan kelompok ini terhadap dakwah dan negara tauhid dalam beberapa statemennya.

Di antaranya adalah pernyataan dia yang dimuat oleh surat kabar Asy-Syarqul Ausath edisi 6270, terbit pada hari Jum’at 8 Ramadhan 1416 H:

“Sesungguhnya kondisi saat ini di negeri Saudi Arabia yang tidak mengizinkan bagi kaum Masehi (Nashara, pent.) dan Yahudi untuk mempraktekkan syi’ar-syi’ar ibadah secara terang-terangan akan berubah dengan tampilnya Komisi ini19 di medan hukum. Bahwasanya pemberian hak kepada kaum minoritas adalah wajib, dalam bentuk hak untuk melaksanakan syi’ar-syi’ar agama mereka di gereja-gereja mereka, serta hak untuk mendapatkan pengakuan resmi atas pelaksanaan akad pernikahan sesuai dengan aturan agama mereka secara khusus serta hak-hak lainnya, sebagai bentuk penyempurnaan terhadap kebebasan kehidupan keagamaan dan kehidupan pribadi mereka secara sempurna. Baik mereka itu dari kaum Yahudi, Masehi, ataupun kaum Hindu!!”

Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya pembangunan gereja-gereja adalah perkara yang mubah dalam syariat Islam.”20

Dia pun dengan lancang mencaci maki Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab —sang Mujaddid yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat ini dan menjauhkan mereka dari kesyirikan dan bid’ah— dengan statemennya yang dia ucapkan dalam sebuah selebaran resmi yang dikeluarkan CDLR dari London pada hari Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M:

“Kedua: Saya tidak akan membahas tentang aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Namun saya hanyalah menyebutkan tentang sebuah realita, yaitu bahwasanya dia (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent) adalah seorang yang berpemikiran nyleneh dan bukanlah seorang yang alim. Dia adalah seorang yang diliputi dengan berbagai masalah dan cara bersikap nyleneh yang memang sesuai dengan ke-nyleneh-an kaum di Najd pada masa itu…”

Nampak sekali kebencian tokoh besar HT yang satu ini terhadap dakwah tauhid sekaligus menunjukkan kebodohannya tentang tauhid itu sendiri. Namun yang sangat aneh dari orang ini, ketika dia mencaci maki Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pada saat yang sama dia memuji tokoh besar Syi’ah Rafidhah, Al-Khumaini, dengan pernyataannya:

“Sesungguhnya dia (Al-Khumaini, pent) adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius…”

Dalam selebaran yang sama pula, dengan penuh arogansi dia mencaci maki salah satu imam dakwah ini, yaitu Al-Imam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu dengan pernyataannya:

“Pertama: Saya tidak menuduh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dengan kekufuran. Namun saya menyatakan dengan satu kata bahwa mayoritas ulama dan masyayikh berpandangan bahwasanya dia (Ibnu Baz) setelah (mengeluarkan) fatwanya tentang bolehnya upaya perjanjian damai dengan Israil telah sampai ke sebuah tahapan yang mendekati kepada kekufuran. Saya hanya menukilkan pendapat para ulama dan masyayikh tersebut. Adapun pendapat saya pribadi adalah beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz, pent) telah sampai pada derajat pikun, bodoh, dan kelemahan yang sangat rendah.”21

Bantahan tuntas atas ucapan keji ini para pembaca bisa mendapatinya dalam buku kami Mereka Adalah Teroris (Bantahan Aku Melawan Teroris) hal. 325-326 footnote no. 215. Begitu pula tentang jawaban hukum perdamaian dengan kaum kafir, lihat hal. 203-219 (cet. II/Edisi Revisi)

Subhanallah… Betapa kejinya ucapan tersebut! Seseorang yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat serta menjauhkan dari kesyirikan dibenci, dicaci maki, dan dituduh dengan tuduhan-tuduhan dusta. Sementara seorang Syi’ah Rafidhah, semacam Khumaini, yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran disanjung dan dipuji. Inikah sebuah Hizb dan tokohnya yang konon menginginkan tegaknya khilafah??!

Sayang sekali Al-Mis’ari yang telah mengumumkan kebenciannya terhadap daulah tauhid serta ulamanya dan merasa gerah hidup di tengah-tengah muslimin, justru rela dan merasa tentram tinggal di negeri kufur dengan perlindungan hukum dari mereka.

 Al-Qa’idah (Al-Qaeda, red.)

Jaringan Al-Qa’idah, yang merupakan jaringan khawarij terbesar masa kini, juga tak kalah besar kebencian dan permusuhannya terhadap daulah tauhid dan sunnah serta para ulamanya. Kebencian tersebut tidak hanya dituangkan dalam bentuk statemen-statemen para tokohnya, bahkan juga dalam bentuk serangan fisik dan teror.

Usamah bin Laden mencaci maki salah seorang imam besar Ahlus Sunnah pada masa ini, yaitu Al-Imam Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu, di antaranya dalam suratnya yang ditujukan kepada Al-Imam Ibnu Baz tanggal 27/7/1415 H yang dikeluarkan Hai`ah An-Nashihah (Lembaga Nasehat) di negeri London, Usamah berkata:

“Dan kami mengingatkan engkau —wahai syaikh yang mulia— atas beberapa fatwa dan sikap-sikap yang mungkin Anda tidak mempedulikannya, padahal fatwa-fatwa tersebut telah menjerumuskan umat ini ke dalam jurang kesesatan (yang dalamnya) sejauh (perjalanan) 70 (tujuh puluh) tahun.”

Dengan tegas dan lugas, Usamah bin Laden menghukumi daulah tauhid Saudi Arabia sebagai negara kafir. Hal ini sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yul ‘Am Al-Kuwaity edisi 11-11-2001 M, dalam sebuah wawancara dengan Usamah bin Laden, ia menjawab:

“Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai Negara Islam….”

Usamah juga memvonis kafir Putra Mahkota Abdullah bin Abdul ‘Aziz –waktu itu dan kini sebagai Raja Negara Saudi Arabia—, yaitu dalam ucapannya yang terakhir untuk rakyat Iraq pada bulan Dzulhijjah 1423 H:

“…… Maka para penguasa tersebut telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan sekaligus MEREKA TELAH KELUAR DARI AGAMA (ISLAM) INI dan berarti mereka juga telah mengkhianati umat.”

Dengan bangga Usamah menyanjung para teroris yang melakukan aksi peledakan di negeri tauhid tersebut:

“Aku (Usamah) memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah meledakkan (bom) di kota Riyadh, atau peledakan di kota Khubar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya.”

Dalam dua peledakan ini, terkhusus di Kota Khubar, memakan 18 korban jiwa yang mayoritasnya adalah muslimin, serta 350 lebih luka-luka dan sebagiannya lagi menderita cacat seumur hidup. Tidak cukup itu, bahkan Usamah “membumbui” kebenciannya terhadap daulah tauhid dengan kedustaan. Di antara kedustaannya adalah pernyataan dia bahwa kaum Salibis telah menduduki Masjidil Haram.

Wallahu a’lam.

_________________________________________________________________________________________________

1 Lihat kitab Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Da’watuhu wa Siratuhu, karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 23; lihat pula kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, cet. III hal. 91.

2 Lihat kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, hal. 63-67 (cet III/1419 H).

3 Ibid, hal. 77-78.

4 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139.

5 Lihat kitab Imam wa Amir wa Dakwah likulli Al-‘Ushur karya Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hushain, penerbit Daruth Tharafain cet. I th. 1993, hal. 191, dan penulis mengisyaratkan pada kitab Jaulah fi Biladil ‘Arab hal. 104-111

6 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139

7 Shalat Khauf yaitu shalat fardhu yang ditegakkan ketika sedang berkecamuk perang, dengan beberapa tata cara tertentu yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat fardhu di luar waktu pertempuran.

8 Dinukil dari kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 152-153.

9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.

10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.

9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.

10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.

12 Ibid, hal. 236.

13 Ibid, hal. 237.

14 Ibid, hal. 214

15 Yaitu sebuah aliran yang menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jasmani seperti layaknya makhluk. Ini adalah aliran sesat yang keluar dari prinsip manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.

16 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 213

17 Revolusi Iran Khumaini telah banyak mempengaruhi pemikiran para aktivis dan pergerakan Islam di mancanegara untuk melakukan tindakan-tindakan teror dan pembunuhan-pembunuhan serta menebarkan pemikiran bernuansa terorisme pada kaum muda Islam. Bahkan secara terbuka kelompok Al-Ikhwanul Muslimun menyatakan dukungannya terhadap Revolusi Iran ini.

18 Lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 175-203. Untuk mengetahui lebih banyak tentang kesesatan aqidah dan pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, lihat buku Membongkar Kedok Yusuf Al-Qaradhawi cet. Pustaka Salafiyah, Depok

19 Komisi yang dimaksud adalah Lajnah Ad-Difa’ ‘anil Huquqisy Syar’iyyah (Komisi Pembelaan Hak-hak Syari’ah) [C.D.L.R] yang berpusat di London, di mana Muhammad Al-Mis’ari ini sebagai Juru Bicara Resminya. Komisi ini banyak mengeluarkan statemen dan tindakan-tindakan yang berisi provokasi untuk membenci dan melawan pemerintah Saudi Arabia. Selengkapnya tentang Komisi ini dan fatwa para ulama sunnah tentangnya bisa dibaca pada buku Mereka Adalah Teroris hal. 370-374 (edisi revisi).

20 Lihat kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 38-39 (cet. II) Percetakan Darus Salaf.

21 Lihat kitab Al-Quthbiyyah hiyal fitnah Fa’rifuha Abu Ibrahim bin Sulthan, hal. 115.

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh

http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=303
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Hikmah Ilahi di Balik Musibah yang Melanda

Posted on 3 Januari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Para pembaca yang dirahmati Allah, belakangan ini negeri kita Indonesia diguncang berbagai musibah. Rangkaian bencana, gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, dan lain sebagainya telah menelan banyak korban, baik nyawa maupun harta benda. Sedangkan yang selamat, tidak sedikit dari mereka yang harus tinggal di pengungsian, bahkan terpisahkan dengan keluarga dan karib kerabat.

Beberapa kalangan pun ramai mengeluarkan statement-statement terkait dengan sebab terjadinya musibah yang melanda tersebut. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa musibah merupakan peristiwa alam semata, tidak ada kaitannya dengan agama. Sebagian lainnya mengatakan bahwa musibah merupakan ketentuan dan takdir Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang tidak ada kaitannya dengan dosa. Ada lagi yang mengatakan bahwa musibah merupakan kejadian untuk membuat takut manusia dan tiada kaitannya dengan dosa. Ada juga yang menghubungkannya dengan perkara-perkara gaib. Dan banyak lagi kepentingan-kepentingan duniawi dalam mengomentari terjadinya musibah tersebut. Hanya kepada Allah saja kita memohon petunjuk. Untuk menjawab semua itu, mari kita simak keterangan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, agar kita tidak semakin jauh dari bimbingan Allah dan Rasul-Nya.

Para pembaca yang dirahmati Allah, ketahuilah bahwa semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini, termasuk musibah yang melanda tersebut bukanlah murni peristiwa alam semata. Ia merupakan ketentuan (takdir) dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:

“Tiada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

“Tidak ada satu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taghabun: 11)

Dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya Allah takdirkan berbagai musibah tersebut sebagai peringatan (menciptakan rasa takut) bagi para hamba (terkhusus yang durhaka) agar sadar dan kembali kepada agama Islam yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Tidak ada satu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mu’jizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda itu melainkan untuk menakuti.” (Al-Isra`: 58-59)

Para pembaca yang dirahmati Allah, sudah menjadi ketetapan ilahi (sunnatullah) bahwa tidaklah sebuah bencana ditimpakan kepada penduduk suatu negeri melainkan karena dosa dan kezhaliman mereka. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahankesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)

“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Hud: 117)

Bisa juga karena mereka telah jauh dari Allah dan syari’at-Nya yang mulia sehingga Allah turunkan musibah tersebut sebagai peringatan. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pengajaran?” (At-Taubah: 126)

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman pula mengisahkan tentang Nabi Yunus ‘alaihis salam:

“Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (Yunus: 98)

Para pembaca yang mulia, sesungguhnya di balik musibah terdapat hikmah dan pelajaran berharga. Ia berfungsi sebagai nasehat agar kita selalu introspeksi diri atas berbagai dosa dan kezhaliman yang ada. Demikian pula ia sebagai peringatan bahwa kehidupan dunia ini tak pernah lengang dari ujian dan cobaan. Sehingga manakala hal itu terjadi tiada jalan keluar kecuali kembali kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala dengan bertaubat dan memohon ampun kepada- Nya, bersabar, mengerjakan shalat, serta amalan-amalan shalih lainnya. Tidak dengan kembali kepada petuah-petuah dukun, paranormal, ataupun orang pintar, karena yang demikian itu diharamkan dalam agama Islam yang mulia ini. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah:153-157)

Para pembaca yang dirahmati Allah, musibah benar-benar mengingatkan kita akan kekuasaan Allah Subhanallahu wa Ta’ala, sehingga tidak boleh bagi kita merasa aman dari makar (adzab) Allah. Allah Maha Kuasa untuk menurunkan musibah (adzab) saat manusia terlelap tidur. Sebagaimana dalam firman- Nya (artinya):

“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?” (Al-A’raf: 97)

Bahkan Maha Kuasa pula untuk menurunkannya saat mereka sedang bermain di waktu pagi. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):

“Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?” (Al-A’raf: 98)

Siapapun dari kita pasti mengidamkan kehidupan bahagia, aman, sentosa, bergelimang rahmat, dan jauh dari musibah (adzab). Bagaimanakah agar kehidupan yang bahagia tersebut dapat terwujud?

Untuk mengetahui jawabannya, simaklah firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala berikut ini:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)

“Dan Allah telah berjanji kepada orangorang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (Dengan syarat) mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Demikianlah, keimanan yang jauh dari kesyirikan, ketaqwaan yang jauh dari kemaksiatan, dan amal shalih yang berkesinambungan dapat menghindarkan penduduk suatu negeri (dengan izin Allah) dari musibah (adzab) yang menakutkan sehingga menjadi aman sentosa. Bahkan akan menjadi sebab turunnya barakah dari langit dan bumi, istiqamah diatas agama, dan berkuasa di muka bumi.

Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk kembali kepada Allah, berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah (ajaran) Rasul-Nya, beramal shalih secara berkesinambungan, berpegang teguh dengan keimanan yang jauh dari kesyirikan, bid’ah, khurafat, serta menjaga ketakwaan yang jauh dari berbagai dosa dan kemaksiatan.

Akhir kata, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala melindungi negeri yang kita cintai ini, membimbing rakyat dan pemimpinnya kepada jalan yang lurus. Amin Ya Mujibas Sa`ilin…

Buletin Islam Al-Ilmu Edisi No: 45 / XII / VIII / 1431 H

 

_________________________________________________________________________________________

http://www.buletin-alilmu.com/hikmah-ilahi-di-balik-musibah-yang-melanda

 

Bahaya Pemikiran Takfir Sayyid QuthbAqidah >  Keyakinan Sufi

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kesesatan Qardhawi – Menyeru cinta pada Yahudi & Nasrani

Posted on 28 Desember 2010. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Menyerukan Untuk Mencintai Yahudi Dan Nashrani

Dakwah untuk mencintai ahli kitab bukan hanya dilakukan oleh Qaradhawi saja tapi juga dipropagandakan oleh para dai ikhwanul muslimin lainnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Para pendahulu yang telah melakukan propaganda ini antara lain Hasan Al Banna, Muhammad Al Ghazali, Al Hudhaibi, dan lain-lainnya. Di antara mereka semua yang paling sering menyerukan adalah Qaradhawi, sebagaimana pengakuan yang dituangkan dalam berbagai buku, wawancara, dan ceramahnya secara terang-terangan.

Untuk menggiring simpati kaum awam yang jahil dan taklid buta, Qaradhawi memoles dakwah yang bathil ini dengan berbagai syubhat :

Syubhat Pertama :

Qaradhawi berdalil dengan firman Allah :

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)

Di sini Qaradhawi telah berpaling dan pura-pura tidak tahu terhadap penjelasan Ahli Tafsir tentang makna ayat ini. Untuk menyanggah istidlal (pengambilan dalil) yang keliru ini, penulis mempunyai beberapa bantahan.

Pertama, dalam ayat ini terdapat petunjuk untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang yang tersirat di dalamnya. Ada perbedaan antara al birr (kebaikan) dengan al mawaddah (kecintaan) yang diserukan oleh Qaradhawi. Al Mawaddah adalah al hubb (rasa cinta) sebagaimana yang tertera dalam Lisaanul ‘Arab (I:247) dan Al Qaamuus serta buku-buku bahasa Arab lainnya. Sedangkan al birr bermakna ash shillah (penghubung), tidak durhaka serta berbuat ihsan (kebajikan) sebagaimana yang termaktub dalam Lisaanul ‘Arab (I:371) dan Al Qaamuus.

Berbuat kebaikan kepada orang-orang non Muslim yang tidak memerangi Islam dan dalam rangka mendakwahi mereka ke dalam Islam adalah perkara yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, berbuat kebaikan dan kebajikan kepada non Muslim tidak menuntut adanya rasa kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Inilah yang dipahami oleh para ulama Salafus Shalih terdahulu dan kemudian, antara lain :

1. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Beliau berkata : “Sesungguhnya al birr (berbuat kebaikan), ash shillah (menghubungkan), dan al ihsan (berbuat kebajikan) tidak menuntut adanya sikap saling mencintai dan saling menyayangi karena hal ini terlarang dalam Al Qur’an :

‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum baik untuk semua yang memerangi maupun yang tidak memerangi. Wallahu A’lam.” [Al Fath 5:276 pada hadits nomor 2620]

2. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Beliau telah menjelaskan : “Sesungguhnya di awal surat ini –yakni surat Al Mumtahanah– Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Allah telah memutuskan cinta kasih antara Muslim dan kafir. Sebagian kaum Muslimin merasa bingung dan menganggap bahwa berbuat baik kepada orang kafir termasuk bagian dari loyalitas dan kecintaan kepada mereka. Maka Allah menjelaskan bahwa hal itu tidak termasuk loyalitas yang terlarang karena Allah tidak melarang berbuat baik kepada mereka. Bahkan Allah telah menuliskan kebaikan ada pada setiap sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Adapun yang terlarang adalah ber-wala’ (setia) kepada orang kafir dan mencintai mereka.” (Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I:301 bab Hukmu Awqafihim wa Waqful Muslim ‘Alaihim)

3. Imam Syaukani rahimahullah.

Beliau menyatakan tentang bolehnya menerima hadiah dari orang kafir dan bolehnya memberikan hadiah kepada mereka. Kemudian beliau mengatakan : “Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum kepada orang yang memerangi ataupun yang tidak memerangi. Sedangkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya adalah khusus bagi yang memerangi saja. Perbuatan baik dan bijak tidak mengharuskan adanya rasa saling mencintai dan mengasihi yang terlarang.” [Nailul Authaar VI:4]

4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.

Dalam Kitab Al Qaumiyah, setelah menyebutkan hadits Asma’ bin Abu Bakar dan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepadanya untuk berbakti kepada ibunya, Syaikh bin Baz berkata : “Kebaikan semacam ini dan berbagai kebaikan lain yang semisalnya bisa menyebabkan seseorang masuk Islam dengan senang hati. Di dalamnya terdapat unsur silaturrahim dan kedermawaman terhadap orang yang membutuhkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin, tidak membahayakan, dan sama sekali bukan termasuk loyalitas terhadap orang-orang kafir. Ini sangat jelas bagi yang berakal dan berfikir.” [Al I’laam bi Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 15]

5. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullahu ta’ala.

Beliau berkata : “Ada perbedaan yang sangat mencolok antara ihsan dalam interaksi, dengan mawaddah (kecintaan dalam hati). Makanya dalam surat AL Mumtahanah ayat 8 Allah berfirman :

Hendaknya kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka.’

Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan mengatakan :

‘Hendaknya kalian mencintai mereka.’ [Al I’laam bin Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 12]

Para pembaca yang budiman, demikianlah sebagian pendapat ulama dalam memahami arti al birr dan al ihsan terhadap ahli kitab, sesuai dengan yang termaktub dalam ayat.

Mereka membedakan arti berbuat kebajikan dan mencintai. Saya tidak mendapati seorang pun dari para ulama dan Ahli Tafsir yang berpendapat seperti pendapatnya Yusuf Al Qaradhawi kecuali orang-orang yang semanhaj dengannya.

Di antara yang memperjelas perbedaan yang sangat jauh antara berbuat kebajikan dengan kecintaan yang menumbuhkan loyalitas yaitu Allah melarang kaum Muslimin untuk mencintai dan berkasih sayang antara ayah dengan anak-anaknya jika memang mereka itu lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Kendati demikian, Allah tetap memerintahkan untuk berbuat kebajikan kepada mereka dengan berfirman :

“Maka bergaul-lah dengan keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15)

Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat kebajikan tidak menuntut adanya kecintaan dalam hati.

Kedua, perhatikanlah apa yang dikatakan oleh para Ahli Tafsir mengenai ayat tadi. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Para Ahli Tafsir menjelaskan ayat ini adalah rukhshah dari Allah bagi orang-orang yang tidak memerangi kaum Muslimin dan juga diperbolehkan berbuat kebajikan kepada mereka walaupun loyalitas sudah terputus di antara mereka.” (Kitab Zaadul Masiir)

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan juga tidak bekerjasama untuk mengusirmu seperti para wanita dan orang-orang yang lemah dari mereka.” (Tafsiir Ibnu Katsiir III:349)

Muhammad bin Jamaluddin Al Qasimi rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang kafir dari penduduk Mekkah yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Itulah keadilan. Inilah batasan loyalitas yang tidak dilarang bahkan itu diperintahkan sebagai hak mereka.” (Mahaasinut Ta’wiil 16:128)

Ketiga, sudah menjadi hal yang diketahui khalayak yang mempunyai ilmu walaupun minim bahwa ayat-ayat yang melarang ber-wala’ (loyal) kepada orang-orang kafir adalah larangan yang bersifat umum tanpa ada pengecualian dari suatu kelompok tertentu. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang keluar dari larangan ini kecuali orang yang dipaksa melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyelisihi syariat dengan syarat tidak dilakukan dengan hati. Dari sinilah diketahui bahwa mencintai orang-orang kafir adalah haram selama-lamanya.

Para pembaca yang budiman, dari pembahasan di atas kita bisa mengetahui bahwa Qaradhawi tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dan tidak meniti manhaj mereka dalam memahami Al Qur’an.

Syubhat Kedua :

Syubhat lain yang dijadikan dalih bagi Qaradhawi untuk membolehkan mencintai Ahli Kitab adalah ucapannya :

“Sesungguhnya Ahli Kitab bila mereka membaca Al Qur’an, mereka mendapati pujian di dalam Al Qur’an terhadap Kitab-Kitab mereka dan Rasul-Rasul serta Nabi-Nabi mereka.” (Al Halaal wal Haraam halaman 128)

Untuk membantah syubhat kedua ini, penulis sampaikan beberapa sanggahan kepadanya.

Pertama, memang Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul yang telah diutus-Nya. Tak ada seorang Muslim pun yang menyangkal bahwa beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada mereka seperti Taurat, Zabur, dan Injil serta beriman kepada para Rasul-Nya termasuk bagian dari rukun iman. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an dan yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul-Nya’. Dan mereka mengatakan : ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa) : ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (QS. Al Baqarah : 285)

Juga seperti yang tercantum dalam hadits Jibril yang panjang ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang iman. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab :

“Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya … .” (HR. Muslim dari Umar radliyallahu ‘anhu)

Kedua, pujian Allah kepada kitab suci dan rasul-rasul dari kalangan ahli kitab tidak mewajibkan agar kita mencintai mereka karena Allah memuji firman-Nya sendiri yang diturunkan dalam Taurat, Zabur, dan Injil beserta para Rasul-Nya yang terpilih. Tapi Allah tidak memuji kepada ahli kitab yang merupakan saudaranya kera dan babi, yang telah mendustakan Allah, merubah firman-Nya, membunuh para Rasul-Nya, dan menyakiti hamba-hamba-Nya dari zaman dahulu kala sampai sekarang.

Ketiga, sesungguhnya Allah telah mensifati mereka dengan beberapa sifat buruk, melaknat mereka, mengabarkan bahwa mereka senantiasa mencampur-adukkan kebenaran dengan kebathilan, dan menyembunyikan kebenaran walaupun mereka mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78-79)

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim.” (QS. Al Jumu’ah : 5)

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’. Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 78)

Allah juga telah menerangkan sifat mereka yang menentang wahyu-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka, kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. Ali Imran : 23)

“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (QS. An Nisa’ : 44)

Dalam menjelaskan keadaan ahli kitab, banyak sekali ayat Al Qur’an yang mencela mereka. Akan tetapi Qaradhawi membutakan diri dan mengabaikan ayat-ayat tersebut lalu berkelana mencari-cari dalih yang bisa dipakai untuk mengelabui kaum Muslimin yang awam. Memang dalam Al Qur’an ada ayat yang memuji ahli kitab namun pujian itu tertuju kepada ahli kitab yang telah masuk Islam atau yang konsisten di atas agama Nabinya karena mereka tidak berjumpa dengan masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114)

Hanya orang bingung saja yang mengira bahwa ayat ini adalah pujian Allah terhadap ahli kitab walaupun mereka tetap berada di atas agama mereka. Padahal ayat ini turun kepada segolongan ahli kitab yang telah masuk Islam dan setelah masuk Islam mereka dicela oleh oleh orang-orang kafir.

Asbabunnuzul ayat tersebut dijelaskan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul sebagai berikut :

Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata : “Setelah Abdullah bin Salam dan Tsa’labah bin Sya’ah serta Asad bin Ubaid dari kalangan masuk Islam, mereka beriman, bersedekah, dan mencintai Islam. Maka pendeta-pendeta yahudi yang masih kafir mengatakan :

‘Tidak ada yang beriman kepada Muhammad dan mengikutinya melainkan dia adalah orang-orang kita yang paling jelek. Seandainya mereka termasuk dari orang-orang pilihan kami maka mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang.’

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat mengenai hal itu :

“Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114) [HR. Ath Thabrani]

Sedangkan azbabunnuzul versi yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu. Dia berakata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengakhirkan shalat Isya kemudian keluar menuju ke masjid dan manusia sudah menunggu-nunggu untuk shalat. Beliau bersabda :

“Tiada seorang pun pemeluk agama yang berdzikir kepada Allah pada waktu seperti ini selain kalian.”

Ibnu Mas’ud berkata : “Lalu turunlah ayat tentang mereka :

‘Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab … .’

Sampai ayat :

‘… Dan apa saja yang kebajikan yang mereka kerjakan maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya dan Allah Maha Mengtahui orang-orang yang bertakwa’.” [HR. Ahmad dalam Kitab Shahiihul Musnad Asbaabin Nuzuul]

Atas dasar inilah maka pujian kepada ahli kitab hanya berlaku khusus bagi yang mempunyai sifat-sifat yang tertera dalam ayat saja.

Syubhat Ketiga :

Qaradhawi berkata : “Al Qur’an tidak memanggil mereka kecuali dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) dan yaa ayyuhal ladziina uutul kitaaba (wahai orang-orang yang diberi Al Kitab). Dengan lafadh ini Al Qur’an menunjukkan bahwa pada dasarnya agama mereka adalah agama samawi. Maka antara ahli kitab dan kaum Muslimin dijembatani oleh kasih sayang dan kekerabatan. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok agama yang satu, semua Nabinya telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al Halaalu wal Haraam halaman 327)

Para pembaca yang budiman, lihatlah! Betapa tajamnya pengaburan dan betapa lemahnya istidlal yang ditempuh oleh Qaradhawi. Untuk meluruskannya, saya memiliki beberapa bantahan.

Pertama, sesungguhnya panggilan Allah dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), sama sekali tidak menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang kepada mereka.

Kedua, sesungguhnya hubungan dan kekerabatan yang disebutkan oleh Qaradhawi telah diputuskan oleh Allah dengan diutusnya Rasulullah dan diwahyukannya Al Qur’an yang me-nasakh (menghapus) seluruh syariat dan agama sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah : 48)

Imam Asy Syaukani menjelaskan ayat tersebut dalam Kitab Fathul Qadiir :

“Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan … .’

Maksudnya adalah dengan apa yang diturunkan kepadamu dalam Al Qur’an karena Al Qur’an mencakup semua syariat Allah dalam kitab-kitab terdahulu. Sedangkan makna kalimat :

Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.’

Adalah hawa nafsu pemeluk agama-agama yang telah lalu.

Allah telah menghapus semua agama dengan datangnya Islam. Walaupun seandainya ahli kitab tidak mengubah agama mereka dan mereka tetap berpegang teguh dengan agama lama mereka tapi dengan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan turunnya Al Qur’an serta dihapusnya semua syariat yang lain maka ahli kitab tidak boleh lagi memeluk agama lama mereka.

Terlebih lagi jika mereka telah merubah kitab suci dan meninggalkan agama mereka sendiri. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun yang mendengarku dari umat ini, baik yahudi maupun nashrani kemudian mati dan dia tidak beriman dengan risalah yang dibawa olehku melainkan dia termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim 2:186)

Ketiga, bahwa panggilan kepada mereka dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) telah warid (tercantum) dalam Al Qur’an dalam konteks celaan terhadap mereka. Konteks celaan terhadap ahli kitab yang memakai lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), misalnya :

“Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” (QS. Ali Imran : 70)

“Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Keempat, apakah pemahaman Qaradhawi bahwa mencintai ahli kitab atas dasar panggilan Allah wahai ahli kitab ini sesuai dengan pemahaman para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (para shahabat)? Ternyata tidak! Kalau begitu, di manakah posisi Qaradhawi dari kitab-kitab ulama?

“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al Baqarah : 111)

“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami.” (QS. Al An’am : 148)

Katakanlah : “Tuhanku hanya mengaharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)

Syubhat Keempat :

Qaradhawi berkata dalam kitabnya Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68 :

“Sesungguhnya Islam membolehkan setiap umatnya untuk menikah dengan ahli kitab (yahudi dan nashrani). Kehidupan suami istri harus dibangun di atas sakinah, mawaddah, dan rahmah (ketenangan jiwa, rasa cinta, dan menyayangi), sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al Qur’an :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (QS. Ar Rum : 21)

Ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa)”

( Lihatlah, wahai saudaraku! Dalam ungkapan ini secara terang-terangan Qaradhawi berdakwah (menyeru) agar seorang Muslim mencintai orang kafir.) . Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai seorang istrinya yang dari ahli kitab? Bagaimana mungkin seorang anak tidak mencintai kakek dan nenek serta bibinya bila ibunya seorang kafir dzimmi?

Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan oleh Qaradhawi ini jelas sangat bathil dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, bahwa para Salaf ridlwanullah ‘alaihim tidak ada yang menjadikan bolehnya seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab sebagai dalil untuk mencintai dan menyayangi ahli kitab. Mereka (Salaf) adalah umat yang paling mengetahui istidlal Al Qur’an setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bahkan tidak ada Imam dan Ahli Fikih yang perkataannya sependapat Qaradhawi ini.

Kedua, bahwa cinta ada dua macam (cinta tabiat dan cinta syar’i). Cinta tabiat adalah rasa cinta yang sudah menjadi tabiat manusia, seperti cinta kepada ayah, anak, saudara, istri, kakek, dan seterusnya. Cinta semacam ini ada pada setiap manusia, baik Mukmin ataupun kafir yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Cinta tabiat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an karena hal itu dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada pamannya :

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Qashash : 56)

Kecintaan Rasulullah kepada pamannya ini tidak disyariatkan tapi tabiat asli manusia.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan :

“Dhahir ayat ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi’ ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencintai Abu Thalib, pamannya. Bagaimana menafsirkan ayat ini? Jawabannya ada beberapa kemungkinan :

Pertama, beliau mencintai Abu Thalib yakni menginginkan hidayahnya. Kedua, cinta beliau kepada pamannya itu adalah cinta thabi’i (tabiat manusiawi), seperti cinta anak kepada bapaknya walaupun dia kafir. Ketiga, cinta Nabi kepada pamannya yang kafir itu terjadi sebelum turunnya larangan mencintai orang kafir.

Dari ketiga penafsiran tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah yang pertama, yaitu mencintai hidayahnya bukan perasaannya. Hal ini berlaku umum bagi Abu Thalib dan lainnya dan bisa jadi kecintaan di sini cinta tabiat dan yang demikian tidak bertentangan dengan cinta yang syar’i”. (Al Qaulul Mufiid Syarh Kitaabit Tauhid 1:349)

Pembagian rasa cinta menjadi cinta tabiat dan cinta syar’i ini diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim pada hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian hingga saya menjadi orang yang lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”

Imam Nawawi berkata :

Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi berkata : “Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak menghendaki rasa cinta yang bersifat tabiat namun beliau menghendaki rasa cinta yang bisa memilih. Karena seseorang mencintai dirinya adalah cinta tabiat dan hal itu tidak ada jalan untuk menolaknya.”

Ibnu Baththal, Qadhi `Iyadh, dan ulama lainnya menjelaskan : “Rasa cinta ada tiga macam, yaitu cinta penghormatan dan pengagungan, seperti cintanya seorang anak kepada ayahnya, cinta karena kasih sayang, seperti mencintai anak, dan cinta karena kecocokan dan kesenangan, seperti cintanya kepada seluruh manusia. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpulkan berbagai macam cinta dalam dirinya.” (Syarah Muslim halaman 15 hadits 18/19. Lihat Fathul Baari I hadits 14/15 bab VIII)

Para ulama banyak yang membahas masalah cinta daan macam-macamnya dalam kitab-kitab mereka. Untuk menambah ilmu bacalah kitab-kitab mereka.

Ketiga, ulama yang membolehkan pernikahan seorang Muslim dengan wanita ahli kitab tetap mengharamkan mencintai orang-orang non Muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ini banyak sekali dan sebagian telah penulis sebutkan. Akan tetapi hawa nafsu telah memalingkan Qaradhawi dari ayat-ayat ini. Dia lebih tertarik dengan syubhat-syubhat yang lemah, bahkan lebih lemah dari sarang laba-laba.

Keempat, kalaulah kita terima pendapat Qaradhawi bahwa rasa cinta yang ada di antara seorang Muslim dengan istrinya dari ahli kitab adalah cinta yang syar’i maka dalil dari ayat tersebut menjadi khusus bagi seorang Muslim bersama istrinya saja. Ini hanya sekedar pengandaian saja. Akan tetapi dalil tersebut bersifat umum yang menuntut haramnya rasa cinta syar’i kepada orang-orang kafir semuanya.

Kelima, Allah membolehkan seorang Muslim menikah dengan wanita ahli kitab tujuannya agar pernikahan itu bisa menyebabkan pihak wanita mendapat hidayah karena berbagai kelebihan yang Allah berikan kepada lelaki dibandingkan wanitanya, seperti kesempurnaan akal dan kemampuan untuk mempengaruhi dan lain sebagainya.

Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan pria ahli kitab supaya hal itu tidak menyebabkan kepatuhan kepada pria non Muslim dan kemudian meninggalkan agamanya.

Selanjutnya, jika pembaca mengkritisi ucapan Qaradhawi lebih teliti lagi maka akan pembaca ketahui bahwa dia tidak membatasi kecintaan hanya kepada ahli kitab saja. Bahkan dia mengglobalkan kecintaannya kepada semua orang kafir. Inilah kutipan ucapannya :

Hal ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). (Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68)

Perhatikan wahai saudaraku, ungkapan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Qaradhawi membawa pemikiran yang busuk dan bathil untuk mengkaburkan Al Wala’ wal Bara’ yang itu merupakan salah satu pokok aqidah Islam.

Syubhat Kelima :

Dalam kitab Al Halaal wal Haraam pada halaman 327, Qaradhawi mengatakan :

Jika seorang Muslim berdebat dengan ahli kitab maka hindarilah perdebatan yang bisa menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Ankabut : 46)

Istidlal (pengambilan dalil) ini pun jauh dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu dalam menghukumi firman Allah ini. Sebagai bantahannya kami kemukakan beberapa poin :

Pertama, para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut. Tapi, tak satu pun mufassir yang mendukung pendapat Qaradhawi. Di antara pendapat tersebut adalah :

1. Bahwa ayat tersebut sudah mansukh (dihapus) dengan ayat saif (perintah perang). Ini adalah pendapat Mujahid (Seperti yang tercantum dalam Tafsir Al Qurthubi, Ath Thabari, serta yang lainnya)dan Ibnu ‘Athiyah Al Andalusi (Al Muharrir Al Wajiiz Fi Tafsiiril Kitaabil Aziiz, XII:229.) . Pendapat para mufassir ini menutup hujjah bagi Qaradhawi untuk membela diri.

2. Makna berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik adalah mendoakan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla (agar mereka mendapat hidayah) dan menyampaikan argumen, ayat-ayat, dan bukti-bukti dengan harapan mereka mau menyambut Islam dan hijrah ke dalamnya. Berinteraksi kepada mereka harus dengan cara dan ucapan yang lembut saat mengajaknya kepada kebenaran serta menolak kebathilan dengan cara yang paling mudah untuk sampai kepada hal itu.

3. Ada yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah janganlah kalian mendebat orang-orang yang beriman kepada Muhammad dari kalangan ahli kitab, seperti Abdullah bin Salam dan semua yang beriman kepadanya, kecuali dengan cara yang terbaik. Menurut pendapat yang kedua, ayat tersebut termasuk muhkamat (ayat-ayat yang jelas). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.

Walaupun ayat tersebut muhkamat namun tidak ada kaitannya dengan pendapat Qaradhawi karena dia menjadikan ayat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) sebagai dalil untuk menghindari hal yang menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Bahkan dari ayat inilah Qaradhawi mensyariatkan perintah untuk mencintai yahudi dan nashrani. Mungkin dia pura-pura tidak tahu tentang maksud ayat billatii hiya ahsan, yakni jalan yang dibangun di atas ilmu dan argumen serta burhan (bukti) yang jelas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125)

Berdebat dengan ahli kitab atau dengan para pelaku kebathilan dengan tujuan agar mereka mau menerima petunjuk kebenaran dan mengembalikan mereka dari kebathilan tidak menuntut adanya rasa cinta kepada pelaku kebathilan dan kesesatan. Jika tidak dipahami demikian maka harus dikatakan bahwa Musa dan Harun diperintah untuk mencintai Fir’aun ketika Allah berfirman kepada keduanya :

“Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut.” (QS. Thaha : 44)

Karena ucapan yang lemah lembut adalah ucapan baik yang didasari dengan ilmu, argumen, dan hikmah.

Kalimat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) mempunyai beberapa makna, di antaranya :

1. Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

2. Menahan diri dari (memerangi) mereka setelah mereka memberikan jizyah (pajak). Pengertian ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir.

3. Cara yang terbaik adalah dengan Al Qur’an.

Kedua, sesungguhnya berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik merupakan sebab agar mereka mau menerima Islam. Hal ini jauh dari sikap keras terhadap mereka yang bisa menyebabkan mereka mencela Islam dan orang yang membawanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am : 108)

Saudara pembaca yang budiman, setelah mengetahui pendapat para mufassir tentang ayat yang dikaburkan oleh Qaradhawi, jelaslah bagi kita bahwa tak seorang pun dari kalangan Salafusshalih dan pengikut baik mereka yang sejalan dengan pemikiran Qaradhawi.

Setelah memaparkan berbagai syubhat dan talbis (pemutarbalikan) kebenaran kepada kaum Muslimin, Qaradhawi berusaha mendekatkan kaum Muslimin dengan umat Nashrani. Ia berkata :

Hal ini berlaku untuk ahli kitab secara umum. Sedangkan untuk orang nashara, secara khusus dalam Al Qur’an Allah telah menempatkan mereka pada suatu posisi yang dekat dengan kaum Muslimin. Allah berfirman : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya kami ini orang nashrani’. Yang demikian ini disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang nashrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al Maidah : 82) [Al Halaal wal Haraam halaman 328]

Syubhat Qaradhawi tersebut bisa penulis luruskan dengan beberapa bantahan berikut :

Pertama, ayat yang dikutip Qaradhawi itu mengabarkan bahwa nashara adalah orang-orang yang mencintai kaum Muslimin karena mereka mengetahui bahwa apa yang ada pada kaum Muslimin adalah kebenaran. Apakah hal ini mengharuskan seorang Muslim untuk mencintai mereka yang telah mengkultuskan salib, mempertuhankan Nabi Isa, meyakini doktrin bahwa Al Masih adalah anak Allah, serta kesyirikan dan kekufuran besar lainnya. Subhanallah! Ini adalah kedustaan yang besar.

Kedua, ayat tersebut turun kepada Najasyi yang masuk Islam bersama para shahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar Razi (Shahiihul Musnad Min Asbaabin Nuzuul halaman 99)

Ketiga, ayat ini mengisyaratkan kepada keimanan dan keislaman orang yang disebutkan dalam ayat berikutnya :

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).”

Keempat, berbagai kemenangan yang diraih umat Islam di berbagai belahan negeri nashara tidak menunjukkan kedekatan hati antara umat nashara dan kaum Muslimin. Justru hal itu menunjukkan adanya kebencian dan permusuhan yang luar biasa kepada mereka.

Para pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita bagaimana sikap pembelaan Yusuf Al Qaradhawi terhadap musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.

(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=633
Read Full Post | Make a Comment ( 3 so far )

Sambutan para Ulama’ tentang buku kesesatan Qaradhawi

Posted on 28 Desember 2010. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sambutan Syaikh Al ‘Allamah Muhaddits Ad Diyar Al Yamaniah Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah

Segala puji bagi Allah. Kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan dari kejelekan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Amma Ba’du.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nashrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah : 34)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengingatkan bahayanya ulama su’ :

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini dan berkata : ‘Kami akan diberi ampun.’ Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (QS. Al A’raf : 169)

Dalam satu riwayat yang shahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Yang paling aku khawatirkan dari hal-hal yang sangat aku khawatirkan kepada umatku adalah orang munafik yang pandai bersilat lidah.”

Dalam Sunan Abu Daud diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Pada hari kiamat ada seorang lelaki yang dihadapkan lalu dilemparkan ke dalam neraka sampai terburai isi perutnya. Lalu ia berputar-putar laksana keledai yang berputar-puter mengelilingi penggiling gandum. Maka para penghuni neraka berkerumun kepadanya dan bertanya : ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk di sini, bukankah kamu dulu orang yang memerintahkan kami kepada kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Ia menjawab : ‘Dulu saya memang memerintahkan kalian kepada kebaikan namun saya tidak menjalankannya dan saya melarang kalian dari kemungkaran namun saya melakukannya.’”

Alhamdulillah. Tiada seorang pun dai penyeru kepada kesesatan dari kalangan ulama jahat melainkan ada panah Ahlus Sunnah yang membidiknya sampai dia tersungkur dan tersingkap kebobrokannya. Para dai Ahlus Sunnah senantiasa memperingatkan kaum Muslimin dari kebathilan dan kesesatan ulama jahat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap.” (QS. Al Anbiya’ : 18)

Di antara sekian banyak dai dhalalah yang menyeru kepada kesesatan pada jaman sekarang ini adalah Yusuf Al Qaradhawi, mufti Qatar. Sungguh dia telah menjadi amunisi baru bagi musuh-musuh Islam. Dia telah mencurahkan pena dan lisannya guna menyerang agama Islam.

Da’i Ahlus Sunnah tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan mengarahkan anak panah kepadanya dan menghabisi argumennya sebagaimana mereka telah menghabisi da’i-da’i sesat lainnya. Di antara da’i Ahlus Sunnah yang melakukan demikian adalah Syaikh Al Fadhil Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Dia telah banyak meneliti sepak-terjang kesesatan Qaradhawi. Pokok-pokok kesesatan Qaradhawi itu dipatahkannya berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

Jazahullah Khairan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan ganjaran yang lebih baik dan memberkahi ilmunya. Semoga Allah menjaganya supaya dia bisa menjaga dien (agama) ini agar bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin. Amiin.

Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i

Sambutan Syaikh Al Muhaddits Al Faqih Ahmad bin Yahya An Najmi hafidhahullah

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini Al Yamani hafidhahullah menyodorkan kepadaku sebuah kitab berjudul Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalafatil Qaradhaawii Li Syarii’atil Islam yang ditulisnya. Setelah menelaahnya, ternyata berisi bantahan terhadap berbagai kesesatan dan penyimpangan Qaradhawi yang tersebar dalam berbagai kitab, wawancara, dan fatwa yang banyak bertebaran di berbagai koran dan majalah. Sejumlah kebathilan Qaradhawi yang dibantah antara lain :

1. Seruannya untuk mencintai yahudi dan nashrani.

2. Propaganda terhadap gerakan pendekatan (penyatuan) berbagai agama dan sering menghadiri muktamar gerakan tersebut.

3. Pendapat bahwa jihad hanya disyariatkan untuk bertahan saja, bukan untuk memerangi orang-orang kafir.

4. Pendapat bahwa demokrasi adalah syura dan telah dibahas secara luas dalam fiqih Islam.

5. Membolehkan wanita untuk bergabung bersama laki-laki di parlemen bahkan memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

6. Membolehkan banyaknya hizb (golongan) dan firqah (kelompok) dengan beragam pemikiran dan manhaj yang berbeda, sama halnya dengan banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. Karena banyaknya kelompok dan golongan adalah solusi damai bagi umat.

7. Berusaha mencampuradukkan sufi dengan Salafi serta upayanya dalam mensufikan Salafiyah dan mensalafikan sufi dan masih banyak lagi kejahilan dan kesesatan Yusuf Al Qaradhawi yang menghancurkan agama dari dasarnya, bagaikan meruntuhkan bangunan dari pondasinya.

Jazahullah Khairan. Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al’Udaini telah membantahnya dengan menggunakan nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah serta atsar dari Salaful Ummah (umat shalih yang terdahulu) dengan bantahan yang membungkamkan lawan. Jazahullah Khairan wa Baaraka fiih. Semoga Allah membalas dan memberkahinya.

Saya sangat menganjurkan kepada para thalabul ‘ilmi (penuntut ilmu) untuk membaca kitab ini. Dalam kitab ini telah dijelaskan secara detail penyakit Islam beserta penawarnya.

Semoga kita mendapatkan pertolongan dan taufik-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beserta keluarga dan shahabatnya.

Jaizan, Shamithah ~ Yaman, 17 Jumadil Tsani 1420 H.

Ahmad bin Yahya An Najmi

Sambutan Syaikh Al Muhaddits Al Fadhil Abu Ibrahim Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi hafidhahullah

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi pamungkas yang tidak ada Nabi sesudahnya, beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Saya telah menelaah Kitab Raf’ul Litsaam min Makril Qaradhaawii bi Diinil Islam karya Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Kitab ini adalah sebuah risalah yang baik dan bermanfaat bagi orang yang Allah kehendaki untuk mendapat kebaikan dan hidayah.

Jazahullah Khairan Jazaa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan ganjaran yang sangat baik atas pengorbanan yang telah dicurahkan untuk menasihati Yusuf Al Qaradhawi dan juga umat Islam umumnya. Wajib hukumnya bagi kaum Muslimin untuk menerima kebenaran yang datang kepadanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus : 32)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al Mukminun : 71)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan kita semua kepada jalan yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan shahabatnya. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Yaman, 12 Rajab 1420 H.

Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi Al ‘Abdali

Sambutan Syaikh Al Fadhil Ad Da’iyah Abu An Nashr Muhammad bin Abdullah Al Imam hafidhahullah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Saya sudah menelaah Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalafatil Qaradhaawii Li Syarii’atil Islam karya Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Di dalamnya disingkap tirai kebobrokan Yusuf Al Qaradhawi. Barangsiapa yang tidak menututp aib dirinya dengan adanya malam maka aibnya tidak akan tertutup sama sekali pada siang harinya.

Dalam buku ini, penulis juga mengungkap sekilas tentang khurafat Qaradhawi. Bagi orang yang mengutamakan kebenaran, dengan mengetahui perilaku khurafat Qaradhawi ini saja sudah cukup baginya untuk menilai jati diri Qaradhawi yang sebenarnya.

Sebelumnya para ulama telah membabat habis pemikiran Muhammad Al Ghazali ketika ia terperosok ke dalam berbagai penyimpangan yang sangat besar. Kini Yusuf Al Qaradhawi menjadi penerusnya. Al Qaradhawi adalah Al Ghazali kedua pada jamannya.

Ikutilah kelana yang diberkahi ini dan reguklah ilmunya untuk membasahi dahaga dan menghilangkan penyakit. Bagi orang yang adil, tak ada yang patut dilakukan selain bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan para pembela agama ini. Adapun orang yang sombong, walaupun pegunungan dilebur dalam kedua tangannya, dia tetap tak mau mengakui kebenaran.

Semoga kitab ini bisa diterima dan bermanfaat serta mengembalikan Yusuf Al Qaradhawi kepada kebenaran. Amiin.

Muhammad bin Abdullah Al Imam

Sambutan Syaikh Ad Da’iyah Al Muhannik Abu Dzar Abdul Aziz bin Yahya Al Bura’i rahimahullah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Saya telah membaca Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalafatil Qaradhaawii Li Syarii’atil Islam karya Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Kitab ini sangat berharga dan bermanfaat. Penulisnya membongkar berbagai perkara yang sebelumnya saya tidak mengira kalau perkara sebathil itu disampaikan oleh Yusuf Al Qaradhawi.

Penulis buku ini telah mencurahkan perhatian yang sangat besar bagi para thalabul ilmi yang lain. Datanya akurat, karena dia mengumpulkan referensi dari berbagai kitab, tulisan, dan risalah Qaradhawi, dilengkapi dengan kliping dari berbagai koran dan majalah.

Kita memuji Allah yang telah menakdirkan salah seorang thalabul ilmi menjadi benteng sunnah dan membantah kebathilan pelakunya. Upaya yang dilakukan oleh penulis buku ini sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah di setiap masa. Kitab-kitab Al Jarh wat Ta’diil (kitab-kitab yang berisi celaan dan pujian terhadap rawi) dan kitab-kitab aqidah senantiasa mengungkap para pelaku kebathilan, kedustaan, dan hawa nafsu.

Sebagian kitab fiqih juga ditulis dengan metode bantahan dan analisa menurut gaya bahasa pengarang yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang keras, tapi ada pula yang sopan-santun dan lemah-lembut.

Tentang Qaradhawi, manhaj ikhwanul muslimin telah mendarah daging dalam dirinya. Sudah pernah saya katakan dan akan selalu saya katakan bahwa ikhwanul muslimin tidak mempunyai seorang alim pun yang layak menjadi referensi dalam ilmu syariah. Jika memang ada seorang alim dalam bidang syariah maka pasti dia telah mendapatkan ilmunya dari luar jamaah ikhwanul muslimin. Sedangkan yang mendapat ilmu dari sesama anggota ikhwanul muslimin lalu menjadi ulama pasti akan melahirkan berbagai penyimpangan. Contoh yang nyata adalah Yusuf Al Qaradhawi dan Muhammad Al Ghazali.

Propaganda penyatuan agama yang dilakukan oleh Al Qaradhawi sebelumnya telah dipelopori oleh Az Zindani dan Hasan At Turabi. Seluruh ikhwanul muslimin mengakui keduanya bahkan keduanya mewakili mereka dalam muktamar Wihdatul Adyan (penyatuan agama) di Sudan.

Propaganda untuk mencintai orang-orang yahudi dan nashrani tidak dilakukan oleh Qaradhawi sendiri tapi dilakukan juga oleh Makmun Al Hudhaibi, tokoh ikhwanul muslimin lainnya. Dalam wawancara di koran Al Muharrir edisi 267, Senin 29 Agustus 1994, Makmun Al Hudhaibi mengatakan :

Bila ada orang Qibthi (nashrani) yang menerima prinsip-prinsip kami maka kami akan segera mencalonkannya untuk menjadi pemimpin-pemimpin kami dan kami tidak akan menuntutnya menjadi seorang Muslim … .

Lalu sang wartawan menimpali : “Kalau begitu kalian tidak mempunyai larangan untuk mencalonkan orang-orang Qibthi –nama suku di Mesir yang mayoritas nashrani– menjadi pemimpin-pemimpin kalian secara langsung?” Al Hudhaibi menjawab :

Bukan hanya itu saja, bahkan kami tidak mempunyai larangan bagi orang Qibthi untuk menjadi anggota ikhwanul muslimin … .

Dalam masalah emansipasi wanita. Di koran yang sama, Al Hudhaibi juga membolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin di selatan Mesir selain negeri As Sha’id. Hal itu tidak haram bagi penduduk As Sha’id hanya saja masyarakat tidak mau menerimanya. Ia juga membolehkan perempuan menjadi qadhi (hakim) di beberapa bidang.

Demikian pula Az Zindani. Secara terang-terangan dia mengajukan usulan untuk membuat majelis khusus bagi syaikhah (syaikh wanita/wanita alim) Yaman. Padahal seluruh masyarakat Yaman tidak satu kaum pun yang menjuluki wanita dengan sebutan syaikhah. Untuk menyukseskan idenya, dia menulis buku berjudul Al Mar’atu wa Huquuquhas Siyaasah fil Islaam (perempuan dan hak-hak politiknya dalam Islam).

Hal ini saya jelaskan secara detail agar pembaca mengetahui bahwa Qaradhawi bermanhaj ikhwanul muslimin.

Oleh karena itu, saya sarankan kepada para thalabul ilmi yang sudah mumpuni untuk mengkaji kehidupan Hasan Al Banna secara obyektif, baik sebelum maupun pasca mendirikan ikhwanul muslimin sampai dia meninggal dunia. Bacalah buku-buku tulisan Hasan Al Banna, buku-buku biografi dan perjalanan dakwah yang ditulis oleh para pengagumnya. Perhatikanlah orang-orang yang berpengaruh pada diri Hasan Al Banna dan amati keterkaitannya dengan Madrasah Aqliyah (rasional). Maka akan ditarik kesimpulan bahwa orang-orang ikhwanul muslimin adalah para aqlaniyun (rasionalis).

Jika ada orang datang kepada Hasan Al Banna dengan nash Al Qur’an dan As Sunnah yang sangat terang seperti terangnya matahari di siang bolong, ia akan berkilah, namun kenyataannya begini dan masyarakatnya bagini, juga kemaslahatannya begini, dan seterusnya.

Perhatikan pula hubungan antara tokoh-tokoh ikhwanul muslimin dengan mu’tazilah. Ternyata mereka serupa dalam mendahulukan akal daripada naql (dalil/wahyu). Pembaca juga akan menjumpai di antara mereka ada yang menolak hadits ahad. Mereka juga sepakat terhadap prinsip khuruj (keluar/memberontak) kepada pemerintah Muslim yang dhalim. Ini adalah salah satu prinsip dari prinsip mu’tazilah yang mereka katakan sebagai amar ma’ruf nahi munkar.

Setelah mengkajinya, pembaca akan memahami hakikat ikhwanul muslimin. Maka pembaca harus bersikap adil tanpa menyimpulkan suatu hukum dari nas (Al Qur’an dan As Sunnah) melebihi dari yang ditunjukkan oleh nash tersebut. Jangan berlebihan dan salah dalam menguraikannya lalu menguak hakikat sesuatu yang telah berlalu dalam ketersembunyiannya. Demi Allah, jika bisa melakukan hal ini dengan sempurna maka pembaca akan menjadi penulis yang sangat brilian dan memukau. Maka saat itu kita sudah tidak tersibukkan oleh perilaku ikhwanul muslimin lagi. Bukan berarti kita menunggu agar mereka ridha kepada kita karena kita dan mereka telah seperti yang dikatakan oleh penyair :

Allah mengetahui bahwa kami tidak mencintai kalian

Kami tak mencela jika kalian tidak mencintai kami

Mereka telah menghalalkan dari kami segala sesuatu yang haram bagi mereka, yakni menggunjing, mendustakan, dan lain-lainnya.

Sekadar contoh, di Shan’a, Yaman, ada seorang lelaki yang biasa dipanggil Abdullah Sha’tar (Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam salah satu acara taklim, Abdullah Sha’tar adalah seorang lelaki yang tidak punya ilmu agama sedikit pun. Dia manusia yang paling jahil terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.) Dia disyaikhkan oleh orang-orang ikhwanul muslimin dan jam’iyah al hikmah. Dia mengeluarkan kaset berjudul asbaabu tafawwuqil yahudi ‘alal muslimiin (sebab-sebab yahudi mengungguli kaum Muslimin).

Dalam kaset tersebut dia sangat melecehkan Ahlus Sunnah :

Sesungguhnya mereka (Ahlus Sunnah) dan orang-orang freemasonry itu bersaudara. Mereka semua adalah intel amerika, yang ini berjenggot dan yang itu tidak berjenggot namun semua menunaikan peranannya masing-masing.

Setelah itu, dia bersumpah atas ucapannya. Dan kaset tersebut masih aku simpan dengan baik. Sampul kaset tersebut bergambar parabola dan jam. Begitulah ia mengatakan. Semoga Allah memberikan sanksi yang seadil-adilnya kepada Abdullah Sha’tar.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga pernah dituduh oleh orang-orang musyrik sebagai intelnya orang-orang ‘ajam (orang-orang di luar Arab) seperti yang dilakukan oleh orang ini (terhadap dai Ahlus Sunnah, pent.).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘ajam sedang Al Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS. An Nahl : 103)

Alangkah serupanya dua keadaan ini. Benar, ia telah berbicara tanpa memakai perasaan karena telah terbuai oleh budaya barat. Dan orang yang butuh dikasihani ini lupa bahwa salah satu sebab orang kafir lebih unggul daripada kita adalah karena kita kagum terhadap apa yang ada pada mereka. Sedangkan Ahlus Sunnah sepakat bahwa mengajar manusia dengan perkara-perkara dien yang diawali dengan perbaikan aqidah adalah inti keunggulan kaum Muslimin terhadap orang-orang kafir.

Saya tidak sedang membantah Abdullah Sha’tar, namun ini sekedar informasi agar diketahui khalayak khususnya bagi orang-orang yang sudah terpengaruh oleh pemikirannya bahwa dia berseberangan dengan kebenaran. Juga tidak saya kutip ucapan para ulama supaya tidak menambah panjang, karena para ulama juga tidak dipercaya oleh Abdullah Sha’tar.

Perlu juga saya kutipkan di sini perkataan Sayyid Quthub (Sayyid Quthub adalah orang yang memiliki kesesatan yang besar. Dia telah mencela shahabat, antara lain Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Mu’awiyah radliyallahu ‘anhuma. Bahkan dia juga mencela Nabi Musa ‘Alaihis Salam. Dan ia memiliki kesesatan-kesesatan lainnya. Penyimpangan dan kekeliruan Sayyid Quthub telah dibongkar oleh Syaikh Al ‘Allamah Al Muhaddits Rabi’ bin Hadi Al Madkhali –pengibar panji ilmu Al Jarh wat Ta’diil jaman ini– dalam beberapa kitab beliau, antara lain Mathaa’in Sayyid Quthub Fii Ashhaabi Rasuulillah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Celaan Sayyid Quthub Terhadap Para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), Adhwaa Islamiyah ‘Alaa ‘Aqiidati Sayyid Quthub (Pandangan Islam Terhadap Aqidah Sayyid Quthub), dan Al ‘Awaashim Mimmaa Fii Kutubi Sayyid Quthub Minal Qawaashim (Bantahan Keras Terhadap Penyimpangan Kitab-Kitab Sayyid Quthub). Penulis sarankan kepada para thalabul ilmi untuk membaca kitab-kitab tersebut.) , salah seorang tokoh ikhwanul muslimin dalam kitabnya Ma’aalim fii Ath Thariiq (penerbit Daarus Syuruuq, halaman 9) :

Sesungguhnya sekarang ini umat tidak memiliki –dan memang tidak diperlukan– kemampuan untuk bisa maju dan unggul dalam kehidupan manusia. Keunggulan dalam menciptakan inovasi teknologi yang bisa mengatur manusia dan mengendalikan dunia. Namun, sejak lama sekali kecanggihan Eropa telah jauh lebih unggul pada bidang ini dan sulit untuk bisa diungguli dalam beberapa abad sekarang ini. Maka dari itu harus ada keahlian lain yang telah hilang dari peradaban ini … .

Oleh karena itu, selain keahlian materi, harus ada keahlian lain untuk mengendalikan kemanusiaan namun bukan bersifat aqidah dan manhaj.

Wahai Abdullah Sha’tar dan para tokoh ikhwanul muslimin, sudah berapa banyak kedustaan dan talbis (pemutarbalikan) yang kalian tebarkan kepada umat? Sekarang ada orang yang mengungkapnya dan pada suatu hari akan nampaklah hakikatnya. Maka sungguh celakalah bagi para pendusta. Kaum Muslimin dan pemukanya, yakni para ulama dan para thalabul ilmi, baik yang masih hidup maupun yang belum dilahirkan (semuanya mendoakan kecelakaan bagi mereka). Suatu hari akan terungkaplah hakikat tipu dayanya dan tiada yang menanggung akibat makar jahat kecuali pelakunya sendiri.

Sesama ashhaabul baathil (pelaku kebathilan), mereka saling bahu membahu dalam menghadapi para penentangnya. Saya pernah menulis sebuah buku untuk mengomentari kaset ceramah Abdul Majid Az Zindani yang berjudul AL Hizbiyah. Lalu Muhammad Al Mahdi mengeluarkan kaset untuk membantah buku saya tersebut. Karena merasa belum puas maka dia menulis buku bantahan terhadap buku saya tersebut. Kemungkinan besar, bantahan itu dibantu oleh Az Zindani.

Saya sangat menyambut kritikan yang konstruktif dan nasihat yang baik. Hanya saja, konsep penulisan Muhammad Al Mahdi ini berlarut-larut. Apabila terus mengikuti tulisannya dengan bantahan maka akhirnya kita akan terseret keluar dari tataran akhlak yang mulia.

Demi Allah, sesungguhnya kami menyayangi Muhammad Al Mahdi. Dan betapa indahnya jika dia mau merenungi dan menyayangi dirinya dari penat yang mengantarkan kepada penyesalan akan ilmu, dakwah, dan politiknya.

Demi Allah, wahai saudaraku Al Mahdi. Seandainya aku mengetahui bahwa nasihat bisa membawa manfaat kepada mulutmu pasti akan aku sampaikan ke rumahmu. Namun aku melihat kamu menaiki kepalamu dan meniti jalan dengan serampangan. Semoga Allah memberi hidayah kepadamu.

Akhirnya aku memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia-Nya terhadap Ahlus Sunnah. Dakwah mereka adalah keberkahan yang dicintai oleh masyarakat Muslim seluruhnya. Ini adalah dakwah ilmiyah sedangkan dakwah-dakwah lainnya telah redup. Sekadar contoh, dakwah ikhwanul muslimin di Yaman telah redup. Demikian pula dengan para pendukung Abdurrahman Abdul Khaliq, pendukung Muhammad bin Surur, Jamaah Jihad, dan lain-lainnya. Mereka sudah tidak punya kenangan lagi. Memang masih tersisa sedikit pengikut Sururiyin, hal ini karena kemunculan mereka memang belakangan. Setiap yang baru memang mempunyai kelezatan tersendiri dan sebentar lagi akan terbongkarlah hakikat mereka.

Sehingga yang tinggal bagi umat hanyalah dakwah Ahlus Sunnah yang berumur panjang. Ahlus Sunnah telah menelan masa berabad-abad, tetapi tetap langgeng tidak binasa seperti bulan. Ada yang mengatakan :Telah lewat berabad-abad namun senantiasa nampak kepada kami dengan wajah muda belia.

Ini yang bisa aku sampaikan. Wallhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

16 Rajab 1420 H.

Abdul Aziz bin Yahya Al Bura’i

PO. Box. 94 Mafriq Jaisy, Yaman.

(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=630

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Menggugat Emansipasi Wanita

Posted on 6 Mei 2010. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , |

Musuh-musuh Islam dari abad ke abad telah berusaha merusak akhlaq ummat Islam, sebab jika mereka berhasil merusak akhlaq ummat, maka mereka akan mudah merusak aqidah ummat. Mereka selalu membuat opini dan gambaran bahwa mereka (walaupun durhaka & kafir) adalah orang-orang maju. Sedang kaum muslimin yang berpegang teguh dengan ajarannya adalah orang-orang terbelakang dan marginal (pinggiran)!!

Musuh-musuh Islam –utamanya Yahudi & Nasrani- selalu mencari jalan untuk menjauhkan ummat dari agamanya sampai akhirnya kafir alias murtad. Allah berfirman saat membongkar dan menampakkan isi hati mereka di dalam Al-Qur’an,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah, itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al-Baqoroh : 120)

Diantara obyek yang paling mereka perangi adalah kaum wanita. Mereka paham bahwa jika wanita rusak, maka kaum lelaki akan terpengaruh. Sebab wanita adalah fitnah (pengaruh) dahsyat dalam menyeret kaum lelaki dalam kemaksiatan dan penyimpangan. Inilah yang disinyalir oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai kholifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Lantaran itu, waspadailah dunia, dan waspadailah wanita, sebab awal fitnah (masalah) di kalangan Bani Isra’il adalah pada wanita”. [HR. Muslim dalam Adz-Dzikr wa As-Du’a’ (no.6883)]

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Aku tidak meninggalkan fitnah (masalah) yang lebih besar atas kaum lelaki setelahku dibandingkan wanita”. [HR. Al-Bukhoriy dalam An-Nikah (no. 5096), dan Muslim dalam Adz-Dzikr wa Ad-Du’a’ (no. 7880 & 6881)]

Ahli Hadits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarofuriy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sebab yang menjadikan wanita sebagai fitnah (ujian) terbesar bagi kaum laki-laki, “Sebab tabiat manusia seringnya condong kepada wanita, dan manusia terjerumus ke dalam perkara yang haram gara-gara wanita. Manusia melakukan perang dan permusuhan karena wanita. Minimalnya wanita mendorong seseorang untuk cinta dunia. Nah, kerusakan apakah yang lebih berbahaya daripada ini (cinta dunia)?” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (7/89)]

Wanita adalah ujian terbesar bagi kaum lelaki sehingga telah tercatat dalam sejarah bahwa sebagian masalah yang timbul karena berawal dari wanita, seperti perang kabilah, perang antar negara, putusnya hubungan antara seorang dengan orang lain, karena wanita. Tersebarnya kebiasaan-kebiasaan keji (zina), karena pengaruh wanita. Fitnah wanita di zaman ini semakin merajalela dan menjadi-jadi dengan adanya emansipasi dalam segala lini dan sudut kehidupan. Para wanita telah keluar dari rumah kemuliaan dan kesuciannya dengan penuh gejolak keluar menuju jurang kehancuran dan kenistaan, sehingga kita tak akan menemukan sebuah kantor, kecuali diisi oleh wanita. Kita tak akan menemukan suatu lapangan pekerjaan, selain berderet di dalamnya wanita-wanita yang tak punya malu sampai kita akan tertawa dengan sinis diiringi oleh kesedihan ketika melihat para wanita kita menjadi pajangan untuk memuaskan syahwat terlaknat kaum lelaki; menjadi penarik etalase dan jualan; menjadi bulan-bulanan oleh para lelaki berhidung belang; menjadi pemain bola dan pesilat, bahkan jadi pegulat!!? Panti-panti pijat dan panti maksiat lainnya pun tak lepas dari wanita yang menjadi obyek. Sungguh memalukan nasib kaum wanita di zaman emansipasi ini.

Dahulu wanita menjadi manusia terhormat dan terjaga di dalam Islam, yakni di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan seterusnya. Lihatlah bagaimana Allah memuliakan para wanita dengan syari’at jilbab dan cadar dalam firman-Nya,

“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 59)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33)

Para wanita mukminah diperintahkan agar tetap di rumah; Wanita keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’. Demikianlah demi menjaga kesucian dan kehormatan seorang wanita, bukan sebagai kungkungan dan pemenjaraan sebagaimana yang digambarkan dan disebarkan oleh orang-orang munafiq di zaman ini. Wanita-wanita mukminah harus bersabar dalam melazimi rumahnya demi memelihara kesucian, dan sifat malunya. Mereka pun jika keluar karena ada hajat mendesak, maka mereka keluar dengan adab dan akhlaq Islam, yakni tetap menggunakan hijab dan jilbab syar’iy yang menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab ini sifatnya longgar (tidak ketat), dan tebal (tidak transrapan atau tipis), tidak mengundang perhatian kaum lelaki, dan tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir atau kaum laki-laki. Inilah tips yang harus dilakukan oleh para wanita muslimah untuk membentengi dirinya dari serangan dan permainan orang-orang kafir. Seorang wanita harus memakai jilbab seperti ini. Jika tidak, maka ia akan tergolong wanita yang ber-tabarruj (bersolek) ala jahiliah.

Perhatian: Sebagian wanita-wanita muslimah hari ini banyak memakai jilbab. Hanya disayangkan bahwa mereka tidak memakai jilbab syar’iy. Kebanyakan mereka memakai jilbab moderen yang pendek, lalu dipasangkan dengan pakaian ketat dan celana. Ini bukanlah jilbab syar’iy yang dianjurkan oleh agama, bahkan cara berpakaian seperti itu tercela. Inilah yang diistilahkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan “berpakaian, tapi telanjang”. JILBAB SYAR’IY ialah sejenis jilbab besar lagi panjang dan lapang, dapat menutup kepala, muka dan dada hingga terseret ke tanah. Lalu di bawahnya ada jilbab kecil, dan pakaian gamis panjang hingga menutupi kaki. Inilah jilbab syar’iy yang ditinggalkan oleh para wanita muslimah, kecuali yang dirahmati Allah -Azza wa Jalla-. Memang asing, tapi itulah yang syar’iy!!

Para pembaca yang budiman, Jika seorang wanita keluar dari peraduannya, lalu keluar mencari pekerjaan, padahal masih ada yang menanggung hidup dan hajatnya, maka disinilah setan akan memulai makar dan aksinya. Jabir -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi istrinya, Zainab sedang ia menyamak kulit miliknya. Beliau menyelesaikan hajatnya (berjimak), lalu keluar menuju para sahabatnya seraya bersabda,”Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa setan. Jika seorang diantara kalian melihat seorang wanita yang mengagumkan (tanpa sengaja, pent.), maka hendaknya ia mendatangi (berjimak dengan) istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat) yang terdapat pada dirinya”. [HR. Muslim (no.3393), Abu Dawud (no.2151), dan At-Tirmidziy (no.1158)]

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata menjelaskan dan meluruskan pemahaman tentang hadits ini, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyerupakan wanita dengan setan dalam sifat waswasah (memberikan bisikan), dan menggelincirkan orang, karena melihat wanita dari segala sisi adalah pengundang menuju kerusakan”. [Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (6/148-149), cet. Darul Fikr, 1415 H]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ulama berkata, “Jadi, wanita itu serupa dengan setan dalam mengajak kepada kejelekan dengan bisikan dan penghias-hiasannya terhadap kejelekan. Diambil sebuah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi seorang wanita agar jangan keluar diantara kaum lelaki, kecuali ada hajat mendesak, dan bahwa seyogyanya kaum lelaki menundukkan pandangan dari melihat pakaiannya, dan memalingkan pandangan darinya secara mutlak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (9/181)]

Demikianlah para wanita di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka dimuliakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Mereka menganjurkan para wanita agar tetap berada di rumahnya dalam beraktifitas demi menjaga kesucian dirinya. Beliau tidaklah memerintahkan para wanita keluar dan bekerja di luar rumah, kecuali ada hajat mendesak. Sebab keluarnya para wanita untuk bekerja di sekitar kaum lelaki akan menimbulkan berbagai macam problema sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Munculnya berbagai macam pelanggaran sosial berupa prostitusi, selingkuh, zina, pacaran, hubungan gelap, keretakan rumah tangga, pembunuhan, peperangan, permusuhan, dan sederet kemaksiatan. Seringnya dilatari karena problema yang berkaitan dengan wanita. Banyaknya pengangguran di kalangan kaum lelaki yang pada gilirannya menyebabkan banyaknya wanita-wanita menjadi perawan tua, dan lelaki dewasa yang melajang, karena lapangan pekerjaannya “direbut” oleh kaum wanita. Akibatnya kaum lelaki yang tipis agama memilih pintu belakang yang tidak syar’iy alias haram!! Sebaliknya kaum wanita hidup melajang, tanpa pelindung dan penghibur baginya. Ketika itulah wanita hanya bisa gigit jari dan melamun menunggu sang dambaan tak kunjung datang, karena kantong lagi kering alias miskin akibat sempitnya lapangan pekerjaan yang diisi oleh para wanita yang berseliweran bagaikan semut mengelilingi gula. Nas’alullahal afiyah was salamah min fitnatin nisaa’.

Dahulu para wanita kita berhias dengan sifat malu. Namun kini tinggal kenangan saja sejak mereka tertipu dengan propaganda emansipasi yang menghasung mereka untuk keluar dari rumah demi mencari kerja, demi menyaingi kaum lelaki yang selama ini menurut sangkaan mereka yang dusta bahwa kaum lelaki telah melakukan monopoli, menzhalimi hak kaum wanita, wanita dikerangkeng dan diborgol, dan berbagai macam propaganda dan panah kedustaan yang diarahkan kepada Islam yang seakan mengajari ummatnya untuk menzhalimi kaum wanita. Padahal tidaklah demikian, bahkan Islam menjunjung tinggi hak para wanita.

Derajat mereka amat tinggi dalam Islam. Kini sejak mereka meninggalkan petunjuk agamanya, para wanita muslimah turun ke derajat paling rendah. Kini dipermainkan kehormatannya, dan dijadikan barang murahan dengan iming-iming maya dan pujian semu lagi menipu. Kondisi paling jorok dan hina dalam sejarah kaum feminis, kaum wanita dijadikan “bintang” (baca: binatang) dalam TV, majalah, koran atau tabloid dengan penampilan buka-bukaan dan memancing birahi hewani. Mereka bangga dengan kehinaan dan kejorokan seperti ini. Maka maraklah kegiatan setan yang disebut dengan “PORNO AKSI” dan “PORNOGRAFI”. Lebih bejat lagi, ada sebagian orang yang berotak comberan berusaha melegitimasi dan mendukung program bejat itu dengan berbagai macam dalih dan wangsit setan ketika ada yang mengingkarinya. Na’udzu billah minasya syaithon wa junudih.

Itulah realita yang terjadi di negeri kita; ada sekelompok manusia mengusung dan memperjuangkan emansipasi zhalim tersebut demi merusak ummat Islam. Mereka mewahyukannya kepada teman-teman, dan bala tentara mereka untuk memusuhi petunjuk para nabi. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.(QS. Al-An’aam: 112)

Inilah sebuah unek-unek yang mengganjal hati seorang pencinta ummat. Semoga kalimat yang ringkas ini menjadi teguran, dan peringatan bagi semua pihak agar bisa mengentaskan ummat yang berada dalam keterpurukan akhlaq dan agama menuju pangkuan Islam yang penuh kesucian. Nas’alullahal afiyah was salamah wa anyahdiyanaa ilaa sawaa’is sabil.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 120 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menggugat-emansipasi.html

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Amrozi cs & yang semisal dengan mereka BUKAN MATI SYAHID!

Posted on 28 November 2008. Filed under: Khawarij | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Eksekusi ‘Syahid’?

Pelaksanaan eksekusi pada hari Ahad dini hari tanggal 9 November 2008 M atas tiga aktor bom Bali I, Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas, mengundang perhatian banyak kalangan dari seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya nasional bahkan internasional. Hal inilah yang mengundang mereka berkomentar, baik atas pelaksanaan eksekusi tersebut maupun atas kematian mereka dengan eksekusi itu, kontroversipun terjadi, sebagian pihak menyanjung mereka, sebagian pihak membenarkan hukuman eksekusi tersebut, sementara yang lain menentangnya. Kontroversi semacam ini terjadi karena masing-masing menilai dari sudut pandang yang berbeda, sehingga wajar saja kalau mereka berselisih pendapat, karena dasar berpendapatnya saja berbeda.

Sayang, tak sedikit dari umat Islam dengan status sosial yang berbeda-beda, turut pula ramai-ramai ikut andil berkomentar dalam peristiwa ini. Mereka tidak memandangnya dari sudut pandang ajaran Islam yang murni, bahkan cenderung menggunakan perasaan, apakah dengan perasaan kasihan, atau sebaliknya semata-mata dengan perasaan benci dan marah, sehingga muncullah hasil yang berbeda karena berlandaskan perasaan yang berbeda. Sebagian lagi membubui penilaiannya dengan pengetahuan tentang ajaran Islam yang minim dan yang sudah tercampur dengan gaya berpikirnya para korban eksekusi, sehingga tak segan-segan memastikan mereka sebagai syahid, pahlawan, pasti senang di surga, di sorga dibawa oleh burung hijau, disambut para bidadari dan pujian-pujian semacam itu.

Tak pelak lagi, kejadian-kejadian paska pelaksanaan sampai pada penguburan-pun dikait-kaitan dengan vonis ‘kebahagiaan’ di atas, ada yang bilang bahwa jenazahnya wangi, mukanya tersenyum, cuaca mendadak menjadi mendung, disambut burung belibis hitam – yang diartikan bidadari menjelang penguburan pertanda jenazah mereka diterima Allah – dan hal-hal semacam itu. Bahkan lebih parah, sebelum pelaksanaan eksekusi pun sudah dikomentari bahwa mereka bakal dapat bidadari. Subhanallah…

Sekilas saya membaca komentar-komentar semacam itu, membuat saya terpanggil untuk menulis makalah ini, tak lain tujuannya adalah untuk berupaya meluruskan cara berpikir kaum muslimin sehingga tidak bermudah-mudahan untuk mengeluarkan vonis positif atau negatif, terlebih dalam urusan semacam ini yang lebih sarat dengan urusan ghaib, urusan akhirat yang hanya di sisi Allah Ta’ala sajalah pengetahuannya.

Ya, tak sedikit mereka yang telah menjadi korban ‘komentar tanpa ilmu’, sehingga jangan dianggap angin lalu. Semua ucapan yang kita ucapkan dicatat oleh para malaikat dan menjadi dokumen pribadi kita, untuk kemudian akan kita pertanggung jawabkan di sisi Allah Ta’ala kelak.
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir [Qoof:18]

Perlu dicamkan, bahwa urusan nasib seseorang di akhirat itu bukan urusan kita, bahkan itu urusan ghaib yang hanya Allah Yang Maha Tahu yang memiliki pengetahuan tentangnya. Sehingga seseorang yang mengatakan bahwa mereka itu syahid, berarti ia – tanpa ilmu – telah menvonisnya pasti masuk ke dalam surga, ya, pasti tanpa ilmu, karena hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahui nasib mereka dia akhirat kelak.

Wahai kaum muslimin, kita mesti mengingat firman Allah Ta’ala:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isra’:36]

Janganlah karena dorongan emosional, lalu kita berbicara tanpa ilmu yang berakibat mencelakakan kita sendiri.

Dahulu di zaman Nabi sempat muncul beberapa kejadian yang membuat sebagian sahabat mengeluarkan vonis kebahagiaan di akhirat kepada beberapa sahabat yang lain, namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menampik persaksian mereka itu, karena hal semacam ini tidak ada yang tahu termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalaulah tanpa berita wahyu dari langit Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengetahui.

Suatu ketika seorang sahabat mulia Utsman bin Madz’un meninggal dunia, segeralah seorang wanita mempersaksikan baginya kemuliaan di Akhirat, namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas persaksiannya. Kisah berharga tersebut termaktub dalam kitab Shahih Al-Bukhari, bahwa seorang wanita bernama Umul ‘Ala, wanita Anshor yang pernah berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkisah bahwa saat itu dibagikan undian orang-orang muhajirin, maka kami mendapatkan bagian Utsman bin Madz’un sehingga kami menempatkannya di rumah kami, tapi ia dirundung sakitnya yang menyebabkan kematiannya, maka ketika beliau wafat dan dimandikan lalu dikafani dengan kain kafannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, aku-pun mengatakan,
رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لقد أَكْرَمَكَ الله
“Rahmat Allah atas dirimu wahai Abu Saib (Utsman bin Madz’un), persaksianku terhadap dirimu bahwa Allah telah memuliakan dirimu”, maka serta merta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وما يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمَهُ فقلت بِأَبِي أنت يا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ الله فقال أَمَّا هو فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ والله إني لَأَرْجُو له الْخَيْرَ والله ما أَدْرِي وأنا رسول اللَّهِ ما يُفْعَلُ بِي قالت فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Darimana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya”. Akupun mengatakan, ”Ayahku sebagai tebusanmu Wahai Rasulullah, lalu siapa yang Allah muliakan?” Rasulullah menjawab: ”Adapun dia maka telah datang kematiannya, demi Allah aku benar-benar berharap untuknya kebaikan, demi Allah saya sendiri tidak tahu -padahal aku ini adalah utusan Allah- apa yang nantinya akan diperlakukan terhadap diriku”. Umul ‘Ala mengatakan: Demi Allah aku tidak lagi memberikan tazkiyah (persaksian baik) setelah itu selama-lamanya.

Coba renungi kisah ini, siapakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah Utsman bin Madz’un dan siapakah Umul ‘Ala.

Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sudah jelas bagi kita siapakah beliau, adapun Utsman bin Madz’un maka beliau termasuk orang–orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqunal awwalun) Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang ke 14 dalam masuk Islam, beliau ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama anaknya, beliau termasuk pasukan perang Badar. Demikian biografinya sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah. Ummu ‘Ala sendiri adalah Shahabiyyah (sahabat wanita) yang mulia periwayat hadits Nabi, dan salah seorang wanita yang berbai’at kepada Nabi, siap untuk tunduk patuh kepada titahnya.

Marilah kita renungkan, seorang wanita mulia bersaksi atas kebahagiaan seorang lelaki yang hidupnya penuh dengan perjuangan besar, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan persaksiannya, lebih daripada itu, beliau tegaskan bahwa beliau sendiri sebagai seorang Rasul tidak mengetahui nasib dirinya.
Sementara di waktu lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga pernah bersaksi atas kebahagiaan di akhirat untuk seorang anak kecil yang meninggal dunia. Diriwayatkan sbb :
عن عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قالت دُعِيَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى جَنَازَةِ صَبِيٍّ من الْأَنْصَارِ فقلت يا رَسُولَ اللَّهِ طُوبَى لِهَذَا عُصْفُورٌ من عَصَافِيرِ الْجَنَّةِ لم يَعْمَلْ السُّوءَ ولم يُدْرِكْهُ قال أَوَ غير ذلك يا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لها وَهُمْ في أَصْلَابِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ لِلنَّارِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لها وَهُمْ في أَصْلَابِ آبَائِهِمْ
Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata bahwa Rasulullah pernah diminta untuk menyolati jenazah seorang anak dari Al-Anshor, maka aku katakan: ”Wahai Rasulullah beruntung anak ini, (ia menjadi seekor) burung ushfur dari burung-burung ushfur di dalam Surga, ia belum berbuat kejelekan sama sekali dan belum menjumpainya. ” Nabi menjawab: ”Atau (bahkan) selain itu, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menciptakan untuk surga penghuninya, Allah ciptakan mereka untuk surga sejak mereka berada pada tulang sulbi ayah-ayah mereka, dan Allah menciptakan untuk neraka penghuninya Allah menciptakan mereka sejak mereka dalam tulang sulbi ayah-ayah mereka. ” [Shahih HR Muslim]

Ya, seorang bocah yang masih suci belum melakukan kejelekan dan belum menjumpainya sebagaimana tutur Aisyah, dan ia adalah seorang anak sahabat Anshor sehingga ‘Aisyah-pun bersaksi atas kebahagiaannya. Ternyata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menegur ‘Aisyah atas persaksiannya, mengapa? Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri waktu itu belum tahu tentang nasib anak-anak muslim itu. Ulama yang lain mengatakan –atas dasar bahwa anak muslim nantinya bakal di surga dan itu telah disepakati ulama– bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melarang ‘Aisyah untuk terburu-buru memastikan sesuatu tanpa ada dalil yang pasti. Hal itu karena ini adalah urusan ghaib, urusan akhirat yang hanya di Tangan Allah dan manusia tidak tahu-menahu tentangnya.

Bahkan dalam kejadian lain, di sebuah perjalanan peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa sahabat sempat memvonis surga bagi seseorang yang mati di sela-sela perjalanan itu, diriwayatkan,
عن أبي هُرَيْرَةَ قال خَرَجْنَا مع النبي صلى الله عليه وسلم إلى خَيْبَرَ فَفَتَحَ الله عَلَيْنَا فلم نَغْنَمْ ذَهَبًا ولا وَرِقًا غَنِمْنَا الْمَتَاعَ وَالطَّعَامَ وَالثِّيَابَ ثُمَّ انْطَلَقْنَا إلى الْوَادِي وَمَعَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَبْدٌ له وَهَبَهُ له رَجُلٌ من جُذَامَ يُدْعَى رِفَاعَةَ بن زَيْدٍ من بَنِي الضُّبَيْبِ فلما نَزَلْنَا الْوَادِي قام عبد رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَحُلُّ رَحْلَهُ فَرُمِيَ بِسَهْمٍ فَكَانَ فيه حَتْفُهُ فَقُلْنَا هَنِيئًا له الشَّهَادَةُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَلَّا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيده إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عليه نَارًا أَخَذَهَا من الْغَنَائِمِ يوم خَيْبَرَ لم تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ قال فَفَزِعَ الناس فَجَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أو شِرَاكَيْنِ فقال يا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ يوم خَيْبَرَ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شِرَاكٌ من نَارٍ أو شِرَاكَانِ من نَارٍ
Dari Abu Hurairah ia berkata: Kami keluar bersama Nabi menuju ke Khaibar, maka Allah memenangkan kami, dan kami tidak mendapat rampasan perang berupa emas, ataupun perak, tapi kami mendapatkan rampasan berupa barang-barang, makanan dan pakaian. Lalu kami beranjak ke sebuah lembah, dan bersama Rasulullah seorang budak, beliau diberi oleh seorang dari bani Judzam, panggilannya Rifa’ah bin Zaid dari bani Dhobib, maka ketika kami singgah di lembah itu budak tersebut bangkit untuk melepaskan bawaan tunggangannya, ternyata dia dilempar panah sehingga itu menjadi sebab kematiannya, kamipun mengatakan: “Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan: “Sekali-kali tidak, demi yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya kainnya akan menyalakan api padanya, ia mengambilnya dari rampasan perang pada perang Khaibar dan belum dibagi.” Abu Hurairah berkata: ”Maka orang-orang sangat takut sehingga ada seorang yang menyerahkan satu tali sandal atau dua tali sandal dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami mendapatkannya pada perang Khaibar,” maka Rasulullah bersabda: “Satu atau dua tali sandal dari neraka.”. ”
Para sahabat mempersaksikan kesyahidan untuk budak tersebut, budak yang membantu Nabi, berjuang bersama beliau, meninggal dalam perjalanan perang yang tentu semuanya itu sebenarnya adalah jihad fi sabilillah. Namun dengan tegas Nabi membantah persaksian mereka, bahkan diiringi dengan sumpah dengan nama Allah, dan bahwa pelanggarannya berupa mencuri selembar kain sebelum dibagi-bagikan menghalanginya untuk mendapatkan kemuliaan syahid, ya, hanya karena selembar kain yang dia curi…
Yang lebih membuat tercengang para sahabat adalah peristiwa lain dimana Nabi bersaksi neraka terhadap seseorang yang berjuang keras dalam berjihad. Imam Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا ، فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى عَسْكَرِهِ ، وَمَالَ الآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ ، وَفِى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلٌ لاَ يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلاَّ اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ ، فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ » (( وفي رواية فقالوا أينا من أهل الجنة إن كان هذا من أهل النار )) فقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ . قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ . قَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ الرَّجُلُ الَّذِى ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ . فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ . فَخَرَجْتُ فِى طَلَبِهِ ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِى الأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عِنْدَ ذَلِكَ « إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Sahl bin Sa’ad ia mengatakan: Bahwa Rasulullah bertemu dengan orang-orang musyrik sehingga mereka saling menyerang, maka tatkala Rasulullah menuju ke kampnya, dan yang lain juga menuju ke kamp mereka, sementara di antara para sahabat Nabi ada seseorang yang tidak membiarkan seorangpun (dari musyrikin-pent) yang lepas dari regunya kecuali dia kejar dan dia tebas dengan pedangnya. Akhirnya para sahabat mengatakan: “Tidaklah seorangpun dari kita pada hari ini mencukupi seperti yang dicukupi Fulan itu.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya dia termasuk penduduk Neraka” (dalam sebuah riwayat): Maka para sahabat mengatakan: “Siapa diantara kita menjadi penghuni Al-Jannah, bila dia saja termasuk penghuni An-Nar ?”
Maka seseorang diantara orang-orang mengatakan: Aku akan menguntitnya terus. Iapun keluar bersamanya, setiap kali orang itu berhenti ia ikut berhenti, dan jika dia cepat iapun cepat. Ia berkisah: Lalu orang itu terluka dengan luka yang parah, maka ia ingin segera mati sehingga ia letakkan (gagang) pedangnya di bumi dan ujungnya di antara dua dadanya kemudian dia mengayunkan dirinya di atas pedangnya, sehingga iapun membunuh dirinya. Lalu orang yang menguntitnya itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah”. Beliau mengatakan: “Kenapa ?”, Ia menjawab: “Orang yang engkau sebutkan tadi bahwa dia termasuk penghuni Neraka.” Lalu orang-orang tercengang dengan hal itu. Maka aku katakan: “Aku (akan membuktikan) untuk kalian tentangnya. Maka aku keluar menguntitnya sampai ia terluka dengan luka yang parah maka ia ingin cepat mati, akhirnya ia letakkan gagang pedangnya di bumi dan ujungnya di antara dua dadanya, lalu ia ayunkan dirinya di atas pedangnya sehingga iapun membunuh dirinya.“ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang benar-benar beramal dengan amalan penghuni Al-Jannah -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Neraka. Dan sungguh seseorang beramal dengan amalan penghuni Neraka -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Al-Jannah.” [Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim]

Sungguh benar-benar mencengangkan, penjuangan yang begitu gigih dalam jihad di jalan Allah, dan membuat kocar-kacir musuh, ternyata perjuangannya menjadi tidak begitu berarti manakala ia melanggar agama, bunuh diri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah persaksian mereka, hal itu karena kita sebagai manusia, banyak hal yang terluputkan dari kita, kita tidak mengetahui hal yang tersembunyi, hanyalah Allah yang tahu akhir dari nasib seseorang.

Kiranya kejadian-kejadian di atas menjadi pelajaran penting bagi kita semuanya, para sahabat Nabi yang mulia dengan keilmuan dan keimanan mereka bersaksi atas para sahabat yang lain yang memenuhi hari-hari mereka dengan perjuangan dan pengorbanan, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mencegah mereka dari persaksian-persaksian tersebut, kenapa? Sekali lagi ini urusan ghaib yang hanya diketahui oleh Dzat Yang Maha Tahu urusan itu, Allah ‘Azza wa Jalla.

Atas dasar itu, maka menjadi keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mereka saling-mewarisi dan mewariskan dari sejak zaman Nabi hingga kini, bahwa kita tidak bisa memastikan seorangpun secara tertentu dari muslimin bahwa dia akan masuk Surga karena sebuah amalan tertentu. Tentu saja, kepastian atas mereka yang kita peroleh informasinya dari wahyu ilahi, semacam Al-‘Asyroh Al-Mubasyraruna bil Jannah ‘, sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga’, diantaranya khalifah yang empat, atau yang semacam mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang digelari Imam Ahlussunnah, karena kegigihannya dalam memperjuangkan Aqidah, mengatakan:
لا نشهد على أهل القبلة بعمل يعمله بجنة ولا نار نرجو للصالح ونخاف عليه ونخاف على المسيء المذنب ونرجو له رحمة الله
Dan kami tidak bersaksi atas ahlul qiblah (yakni muslimin) karena sebuah amalan yang dia amalkan bahwa ia pasti masuk surga atau neraka, kami berharap baik bagi seorang yang shaleh tapi kami tetap khawatir padanya, dan kami khawatir terhadap mereka yang berbuat jelek, tapi kami tetap mengharap rahmat Allah padanya. [Ushulus Sunnah]

Imam Ahmad yang merasakan pahit getirnya kejahatan penguasa saat itu, penyiksaan, penjara, intimidasi dalam waktu kurang lebih 3 masa khalifah yaitu Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, itu semua karena memperjuangkan aqidah, hampir-hampir nyawa melayang karenanya.

Bahkan sudah melayang nyawa sekian ulama yang mendahului beliau saat itu, namun itu tidak membuat beliau larut dalam perasaan yang membawa kepada persaksian yang tidak benar, walaupun kesedihan terasa begitu mendalam dalam sanubari.

Tidak ketinggalan, Al Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, yang sebagian ulama menyebutnya sebagai kitab yang paling Shahih setelah Kitabullah, oleh karenanya umat Islam menyambutnya dengan lapang dada, beliau meletakkan sebuah bab berjudul:
باب لاَ يَقُولُ فُلاَنٌ شَهِيدٌ
“TIDAK BOLEH SESEORANG MENGATAKAN FULAN SYAHID”
Lalu beliau menyebutkan riwayat :
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيلِهِ ، اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِى سَبِيلِهِ »
Abu Hurairah berkata dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: ”Allah lebih tahu siapakah yang (benar-benar) berjihad di jalan-Nya, Allah lebih tahu siapakah yang terluka di jalan-Nya. ”
Ibnu Hajar menerangkan: [Tidak boleh Mengatakan Fulan Syahid] yakni dengan memastikan hal itu kecuali dengan (berita) dari wahyu, seolah-olah beliau (Al-Bukhari) mengisyaratkan kepada hadits Umar bahwa beliau berkhutbah lalu mengatakan: “Kalian katakan dalam peperangan-peperangan kalian ‘fulan syahid’ dan ‘fulan mati syahid’, barangkali dia telah memberatkan kendaraannya, ketahuilah janganlah kalian mengatakan semacam itu akan tetapi katakanlah seperti yang dikatakan Rasulullah: “Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia syahid”. “ Dan itu hadits hasan Riwayat Ahmad dan Said bin Manshur dan selain keduanya.

Aqidah inipun ditegaskan oleh Ath-Thohawi dalam buku aqidahnya:
ونرجو للمحسنين من المؤمنين ان يعفو عنهم ويدخلهم الجنة برحمته ولا نأمن عليهم ولا نشهد لهم بالجنة ونستغفر لمسيئهم ونخاف عليهم ولا نقنطهم
Kami berharap untuk orang-orang yang berbuat baik dari mukminin untuk Allah ampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam Al-Jannah dengan rahmat-Nya dan kami tidak merasa aman atas mereka serta tidak bersaksi bahwa mereka pasti dapat surga. Kami juga memintakan ampun untuk orang-orang yang berbuat jelek dan kami khawatir atas mereka tapi kami tidak putus asa pada mereka.

Dan begitulah sifat seorang mukmin, ia tidak merasa aman tentram dengan amalnya, karena yakin pasti diterima, bahkan ia selalu merasa khawatir, jangan-jangan amalnya tidak diterima, Aisyah bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah ayat :
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan (yakni dari shodaqoh atau yang mereka amalkan dari amal shalih), dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. [Al-Mukminun:60]
“Apakah maksudnya adalah seorang yang berzina dan meminum khamr serta mencuri?“ Rasulullah menjawab: “Tidak wahai putri Ash-Shiddiq, akan tetapi itu adalah seseorang yang berpuasa shalat, bersedekah dan khawatir amalannya tidak diterima.” [HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Demi Allah mereka mengamalkan ketaatan serta bersungguh-sungguh padanya tapi mereka juga takut kalau amalnya ditolak, sesungguhnya seorang mukmin menyertakan antara perbuatan baik dan rasa khawatir, sementara seorang munafiq menggabung antara perbuatan jelek dan perasaan tenang.” [Lihat Syarh At-Thahawiyah]

Para pembaca yang saya hormati, jujur saja, apakah yang dilakukan Imam Samudra cs suatu amal kebaikan? Seandainyapun itu suatu amal kebaikan, maka itupun tetap tidak membolehkan kita untuk memastikan bahwa itu diterima, bahkan hanya bisa mengharap, lebih-lebih memastikan syahid dan dapat surga serta bidadarinya. Hal itu sebagaimana penjelasan Allah, Rasul dan para ulama, inilah hukum Islam, jika kita mau menegakkan hukum Islam. Tapi kalau ternyata apa yang dilakukannya adalah suatu amal kejelekan, maka ini dari jenis yang kita khawatirkan, bahkan kekhawatiran besar.

Apa sebenarnya yang mereka lakukan?
Mari kita melihat sejenak, mereka telah menyebabkan lenyapnya nyawa seorang muslim, mereka telah membunuh dan melukai ratusan orang kafir para wisatawan asing, mereka telah menghancurkan gedung, mereka telah mengangkat senjata, muslimin kerepotan menerima tuduhan serupa, dan menimbulkan rasa takut di masyarakat, dan beberapa hal lain dengan alasan jihad.

Saya tidak ingin membahas semuanya, namun saya hanya akan menyoroti beberapa hal, itupun dengan singkat, agar tidak keluar dari maksud tulisan ini.

Pertama, menyebabkan lenyapnya nyawa seorang muslim, nyawa muslim walaupun hanya satu orang, maka itu sangat berharga di sisi Allah Ta’ala. Maka tidak boleh melakukan tindak kejahatan terhadap jiwa muslim dan membunuhnya tanpa alasan/cara yang benar. Barangsiapa yang melakukan hal itu berarti telah melakukan salah satu dosa besar dari dosa-dosa besar, Allah berfirman:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [An-Nisa:93] dan berfirman:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءتْهُمْ رُسُلُنَا بِالبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُم بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.[Al-Maidah:32]

Al-Imam Mujahid (seorang Tabi’in, Ahli Tafsir) mengatakan: (seperti membunuh semua manusia seluruhnya) “dalam hal dosanya”. Ini menunjukkan besarnya masalah membunuh jiwa tanpa cara/alasan yang benar, dan Nabi bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إلا الله وَأَنِّي رسول اللَّهِ إلا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang benar selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari 3 perkara: pezina yang telah menikah, jiwa dengan jiwa, orang yang keluar dari agama meninggalkan jama’ah” [Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الناس حتى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسول اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فإذا فَعَلُوا ذلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ على اللَّهِ
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang benar melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, bila mereka melakukan hal itu, mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungannya nanti diserahkan kepada Allah”. [Muttafaqun’alaih dari hadits ibnu Umar]

Dan dalam sunan Nasa’i dari hadits Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ على اللَّهِ من قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
”Sungguh lenyapnya dunia bagi Allah lebih ringan dari terbunuhnya seorang muslim”. [Shahih, HR At-Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu majah dan yang lain Shohih At-Targhib:2439]
وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى الْبَيْتِ فَقَالَ مَا أَعْظَمَكَ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكَ وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكَ
Dan Abdullah Ibnu Umar suatu hari memandang ke Ka’bah seraya mengatakan:”Betapa agungnya engkau dan betapa agungnya kehormatan engkau, tetapi seorang mukmin lebih besar kehormatannya disisi Allah dari pada engkau” [Shahih lighoirihi, HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Shohih At-Targhib:2441]

Kedua, membunuh jiwa mu’ahad (orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai atau keamanan), diantara mereka adalah para wisatawan asing tersebut

Dari Abdullah bin ‘Amr bn Al-Ash dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam ia bersabda:
من قَتَلَ مُعَاهَدًا لم يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ من مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
”Barangsiapa yang membunuh Mu’ahad maka ia tidak mendapatkan bau surga padahal baunya dapat dicium dari jarak perjalanan 40 tahun” [HR Al-Bukhori dan Ibnu Majah]

Dan siapa saja yang dimasukkan oleh penguasa muslim dengan perjanjian aman maka jiwa dan hartanya juga terlindungi, tidak boleh menyentuhnya dan barangsiapa yang membunuhnya maka maka dia seperti yang disabdakan Nabi shallallahu`alaihi wa sallam…”tidak akan mendapat bau surga”, dan ini adalah ancaman yang keras bagi orang yang mencoba membunuh orang yang berada dalam perjanjian aman.
Maksudnya siapa saja yang masuk dengan perjanjian aman dari penguasa untuk kepentingan suatu maslahat yang dia pandang, maka tidak boleh mengganggunya atau bertindak jahat terhadapnya, apakah kepada jiwanya atau hartanya.

Ketiga, melakukan kerusakan di muka bumi, dengan menimbulkan ketakutan melalui aksi terornya, Allah berfirman:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [Al-Maidah:33]

Ibnu Katsir mengatakan: kata Muharobah (memerangi) artinya melawan dan menyelisihi dan kata ini tepat diberikan kepada kekafiran atau qoth’u toriiq (penyamun jalanan) serta yang menakut-nakuti manusia dengan kejahatnnya di jalanan, demikian pula kata ‘merusak di bumi’ di berikan kepada berbagai macam kejahatan dan kejelekan. [Tafsir Al-Quran Al-Adhim:2/50]

Demikian pula kesimpulan Asy-Syaukani tentang makna ‘kerusakan di muka bumi’: Dan telah diperselisihkan tentang makna kerusakan di muka bumi dalam ayat ini, apakah itu? maka dikatakan dalam sebuah pendapat bahwa itu ‘syirik’. Dikatakan dalam pendapat lain bahwa itu ‘merampok atau mengganggu dengan kejahatan di jalan’, dan yang tampak dari susunan kalimat Al-Quran bahwa kata itu tepat untuk semua yang dapat disebut sebagai kerusakan di bumi, sehingga syirik adalah kerusakan di bumi, melakukan kejahatan di jalan juga kerusakan di bumi, menumpahkan darah dan merenggut kehormatan dan merampok harta juga kerusakan di muka bumi. Serta berbuat jahat terhadap hamba Allah tanpa alasan yang benar juga kerusakan di bumi, menghancurkan bangunan menebang pepohonan dan juga mengeringkan sungai juga kerusakan di bumi, dengan ini engkau tahu dengan tepat untuk menyebut ini semua sebagai kerusakan di bumi…[Tafsir Fathul Qadir]

Maka dari itu, siapapun yang melakukan kejahatan sebagaimana kriteria dia atas maka ia berhak mendapatkan hukuman yang Allah sebutkan dalam ayat yaitu, dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara menyilang atau diasingkan. Hal itu disesuaikan dengan besar kecilnya kejahatan yang dia lakukan setelah dipelajari dan terbukti kejahatannya, hukuman tersebut ditetapkan karena besarnya kejahatan yang dilakukan sehingga Allah menyebutnya sebagai peperangan terhadap Allah dan Rasul terutama bila diantara korbannya adalah muslimin.

Dilihat dari tiga masalah ini saja, maka tampak bahwa apa yang mereka (trio bomber dkk, red) lakukan bukanlah masalah sepele, bahkan merupakan ‘kejahatan kriminal yang amat besar’. Maka hukuman Hirobah-lah yang pantas bagi mereka menurut hukum Islam, seperti yang tersebut dalam surat Al-Maidah di atas, bila mereka konsekuen dengan tuntutan syari’at Islam, maka inilah syariat Islam bagi para pelaku kejahatan semacam ini.

Dari pemaparan secara singkat di atas, maka sangat keliru, bahkan salah besar, ketika seseorang berani memvonis surga atau syahid untuk mereka dengan amalan tersebut. Dan kesalahan vonis ini bukan hanya untuk mereka, bahkan untuk siapapun, kecuali bila ada wahyu ilahi yang menerangkan kepada kita bahwa seseorang syahid atau pasti masuk surga.

Maka berhati-hatilah, wahai kaum muslimin, untuk bicara tanpa ilmu !

Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawab.

Diambil dari: http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1365

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Posted on 11 September 2008. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1282

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Mengirim Pahala Bacaan Al Qur’an Untuk Mayyit

Posted on 11 September 2008. Filed under: Fatwa | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Pertanyaan 35:

Apabila dibacakan Al Qur’an, apakah pahalanya sampai kepada si mayyit?
Jawab:

Tidak sampai, dan ini adalah pendapat Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Qs. An-Najm: 39).

Dan juga hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari hadist Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَه
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”.

Apabila anak adam meninggal dunia terputuslah amalannya, beliau tidak katakan amalan orang lain (melainkan amalannya –pentj), orang yang membolehkannya bersandar kepada alasan ini, dan sebenarnya tidak ada dalil yang tegas untuknya, bahkan dalil yang tegas adalah bahwa ketika dua anak perempuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggal dunia, dan Utsman bin Madz’un, Hamzah, serta beberapa orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memerintahkan untuk mengirim bacaan untuk mereka? Atau beliau tidak memerintahkannya? Beliau tidak memerintahkan untuk membacakan Al Qur’an untuk mereka.

Manusia (sekarang) lebih memperhatikan bid’ah dan meninggalkan yang wajib, saya tidak katakan mereka meninggalkan sunnah, bahkan mereka meninggalkan yang wajib.

Katakan kepada mereka, orang-orang yang lalai; mana yang harus didahulukan membayarkan hutang-hutang si mayyit atau membacakan untuknya Al Qur’an?! (Akan tetapi) yang mereka dahulukan adalah membaca Al Qur’an. Mana yang lebih utama juga membayarkan hutang-hutangnya atau membacakan untuknya Al Qur’an?! Mereka mengutamakan membacakan Al Qur’an. Kaum muslimin telah mengambil ajaran Islam melalui taklid,

هَاتُواْ بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (Qs. Al Baqarah; 111).

Mana (riwayat yang menerangkan kalau) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu membacakan Al-Qur’an untuk Fathimah radhiyallahu ‘anha disaat Fathimah radhiyallahu ‘anha wafat, mana (riwayat) tersebut dengan sanad yang shahih?! Mana (riwayat) anak-anaknya Abu Bakar (pernah) membacakan Al-Qur’an kepada Abu Bakar As-Shiddiq?!

Yang penting saudara-saudaraku fillah sekalian, kesengsaraan dan kerugian ada pada selain jalan Allah Ta’ala.

Apabila seseorang mewakafkan tanah demi bacaan Al Qur’an (agar dibacakan untuknya Al Qur’an -pentj) maka wakaf tersebut batil (tidak sah -pentj) dan dibagi-bagikan di antara ahli warisnya kecuali kalau para ahli waris ingin agar tanah tersebut tetap untuk kemaslahatan seperti untuk madrasah tahfidz Al Qur’an atau untuk sumur (umum) atau yang lainnya dari maslahat-maslahat yang bermanfaat, maka yang demikian itu tidak mengapa. Wallahul musta’an.

 


Sumber :

Ijabatus Sa’il no: 35

http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=35
Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Orang-Orang Yang Boleh Meninggalkan Puasa Ramadhan

Posted on 11 September 2008. Filed under: Fatwa, Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah ditanya, “Siapakah orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan?”

Beliau Hafidzahullah menjawab, “Yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan adalah orang-orang yang mendapatkan udzur syar’i.

Yang pertama; Orang yang sedang berada di dalam perjalanan (safar), yaitu safar yang diperbolehkan baginya mengqashar shalat.

Kedua; Orang sakit yang merasa kesulitan apabila puasa, atau menyebabkan penyakitnya bertambah parah, atau tertundanya kesembuhan, mereka diberi keringanan untuk tidak puasa.

Ketiga; Wanita haidh dan nifas. Tidak boleh bagi mereka berpuasa di masa haidh dan nifas, dan haram bagi mereka puasa karena mereka termasuk golongan yang punya udzur syar’i.

Begitu pula wanita hamil dan menyusui, apabila mengkhawatirkan diri-diri mereka, atau bayi mereka, dibolehkan bagi mereka tidak puasa.

Begitu pula penderita sakit keras yang menurut kebiasaan sulit diharapkan sembuh, dan juga orang tua yang sudah renta. Semua mereka termasuk ahli udzur yang diberi keringanan oleh syariat untuk tidak berpuasa.

Diantara mereka ada yang diperintahkan untuk mengqadha seperti musafir dan orang sakit yang diharapkan sembuh, juga wanita haidh dan nifas, begitu pula wanita hamil dan menyusui, semua mereka diwajibkan mengqadha’ berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (Qs. Al Baqarah; 184)

Adapun orang-orang yang sudah tidak sanggup lagi mengqadha’ seperti orang tua yang sudah renta dan penderita sakit keras (menahun), tidak ada kewajiban mengqadha’ atas mereka, melainkan memberi makan orang miskin sejumlah puasa yang ditingalkan, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al Baqarah; 184). Tidak ada kewajiban puasa bagi mereka, dan tidak pula mengqadha’nya, melainkan yang wajib bagi mereka adalah gantinya yaitu memberi makan.

Sumber :
Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al Fauzan (2/407)

Diambil dari : http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=217

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan

Posted on 9 September 2008. Filed under: Fiqih, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , |

1. Pendahuluan
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

“Islam itu dibangun atas lima perkara, syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun ‘alaih.

Beliau shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebutkan Puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak agama itu kecuali dengannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan syari’at) padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bagi seorang perempuan, kewajibannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah ketika telah mencapai masa baligh yang mana masa ini tidak ditentukan oleh usia semata, melainkan oleh beberapa faktor :

Pertama : haidh, yaitu keluarnya darah kotor dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.

Kedua : Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.

Ketiga : Umur/usia 15 tahun sebagai batas maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas belum muncul. Maka seorang anak yang telah berusia 15 tahun walaupun belum haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk berpuasa Ramadhan.

Dan adalah juga kewajiban orang tua untuk memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan telah haidh walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, orang tua tersebut segera menyuruh anaknya untuk berpuasa.

Wanita muslimah mukallaf yang terkena kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba adalah wanita muslimah yang sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan bersafar). Dan jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam perjalanan) di dalam bulan Ramadhan maka boleh baginya berbuka puasa, dan wajib baginya untuk meng-qodho` (mengganti) pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al Baqarah : 185).

Demikian pula halnya seseorang yang menjumpai (mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan telah lemah sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa atau seorang yang sakit tidak ada harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh berbuka puasa dan untuk setiap hari berbukanya dia berkewajiban untuk memberi makan seorang miskin. Dan ini dinamakan fidyah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Q.S.Al Baqarah : 184).
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25)

2. Wanita yang terkena pengecualian dari kewajiban puasa Ramadhan

a. Wanita haidh dan nifas

– Wanita haidh
* Wanita yang sedang mengalami masa haidh dikecualikan dari kewajiban berpuasa bahkan wajib baginya untuk meninggalkan puasa ketika sedang haidh dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal dengan datangnya haidh. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

“Bukankah juga seorang wanita mengalami haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya diennya (agamanya)”. Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu.

Dan telah ada ijma’ ‘ulama bahwa wanita yang haidh yang meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana yang dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 2/351 katanya : “Ummat telah sepakat bahwasanya diharamkan atas wanita yang haidh shalat wajib maupun sunnah dan mereka (ummat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarir di dalam kitabnya Ikhtilaful Fuqoha` : “Ummat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua shalat baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua puasa baik yang fardhu maupun yang sunnah dan meninggalkan thowaf baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan shalat atau berpuasa atau thowaf, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalan fardhunya maupun sunnahnya sama sekali””. Dan hal yang serupa juga dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaj 1/637.

* Wajib bagi wanita tersebut untuk meng-qodho` (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada hari-hari yang lain dan tidak perlu meng-qodho` shalatnya. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya oleh seorang wanita yang bernama Ma’adzah katanya : “Kenapa wanita yang haidh meng-qodho` puasanya dan tidak meng-qodho` shalatnya ?” Beliau menjawab :

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”. Muttafaqun ‘alaihi.

Beliau radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa perkara ini adalah termasuk perkara tauqifiyah dimana pada perkara tersebut nashlah yang mesti diikuti.

* Seorang wanita yang haidh mulai berhenti berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula kalau dia sedang berpuasa maka puasanya batal dan tidak boleh diteruskan meskipun tinggal beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).

* Jika haidhnya sudah selesai maka dia mulai berpuasa dengan ketentuan :
Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya fajar (bukan matahari), maka dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa, meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, demikian pula Al-Qurthuby rahimahullahu dalam kitab Tafsirnya ketika menjelaskan tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (Q.S.Al Baqarah : 187).

Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari puasa, maka yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang mana hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu (hari “puasa”), kemudian dia wajib meng-qodho’ puasanya untuk hari itu.

* Tidak dianjurkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui salah seorang dari mereka ada yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya dan dapat benar-benar menghentikan darah, maka puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho`nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih ada yang keluar maka wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : “Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi tablet yang bisa menghalangi haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak membahayakan kesehatannya”. Al-Muntaqa Min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan 3/148.

– Wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan wanita haidh. Sebagaimana ijma’ nya para ahul ilmi bahwa wanita yang sedang nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy (dalam Al Minhaj 1/637) : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2)

3. Beberapa hal yang berkaitan haidh dan nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan :

* Wanita haidh yang telah lengkap (cukup bilangan hari haidh menurut kebiasaannya), kemudian dia mandi dan melaksanakan puasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farjinya (kemaluannya) maka hal ini tidak menghalanginya untuk terus shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anhuma :

كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami tidak menganggap kekuningan dan keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud.

* Jika darah haidhnya berhenti sebelum genapnya hari-hari kebiasaan haidhnya kemudian dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya maka darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai masanya dan puasa yang telah dilakukannya dalam selang waktu antara berhentinya darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak diperhitungkan dan dia harus meng-qodho` nya.

* Ada sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah kebiasaan wanita tersebut maka ia dianggap haidh.

* Wanita nifas, demikian pula halnya jika waktu nifasnya telah genap 40 hari kemudian dia mandi lalu setelah itu ada darah lagi yang keluar setelah lewat 40 hari tadi maka hal ini tidaklah berpengaruh dan tidak dianggap darah nifas lagi dan sudah boleh shalat dan puasa, kecuali kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.

* Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti, sehingga dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu tidak ada darah lagi setelah itu maka berarti masa nifasnya tidak sampai 40 hari dan hal ini mungkin saja terjadi.

* Jika setelah mandi lalu shalat dan berpuasa kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar maka dia harus segera menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.

* Darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak) apakah juga mengharuskan dia untuk berbuka (tidak berpuasa)?

Jawab :
Jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan kepalanya maka wanita yang keguguran tersebut dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh shalat dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya masih belum berbentuk, maka tidaklah dia dianggap nifas.

4. Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu Daud no.2408 dan Ibnu Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”.

Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ‘ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil jika mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk berbuka.

Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti puasanya (meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh meng-qodho`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita menyusui yang mengkhawatirkan dirinya atau anaknya dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin”.

Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.

Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau anak-anaknya.

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.

dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).

Peringatan/catatan Penting tentang wanita mustahadhah

Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.

Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihadhah.

Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251).

===========================================================

I. HUKUM-HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA.

1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).

2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).

Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).

3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.

4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.

5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.

6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)

II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)

Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.

Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).

Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.

Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.

Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)

III. I’TIKAF

1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.

2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :

دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.

3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.

4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.

5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.

6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.

7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.

8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.

9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta’ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).

Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

Diambil dari :
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1343
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1344

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Perkara Pembatal Pahala Puasa

Posted on 9 September 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه… وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]

Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.

Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa

Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.

Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ
(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]

Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]

Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
– Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
– Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
– Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]

Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.

Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]

Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut

Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1347

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab

Posted on 9 September 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah Ta’ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.

Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).

Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.

Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.

Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta’ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta’ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
– Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
– Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
– Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
– Berbeda karena ketajaman penglihatan.
– Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
– Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
– Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
– Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da’imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta’ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: ‘Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.’” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا

“Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam juga bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)

Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat ‘tentukanlah’ maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.

Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan lafadz:

فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:

فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:

فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.

Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya….. Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab… Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit.” (Fathul Bari 4/127)

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1340

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , |

Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Diantara acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.

Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)

Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)

Rukun Berpuasa

a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anhu )
Juga hadits Hafshah radiyallahu ‘anha, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.
Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.

Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah radiyallahu ‘anha pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)

Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman rahimahumullah. Ini adalah pendapat jumhur.

Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.

Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama [1]

b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab radiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.

Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.

Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas c dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.

Wallahu a’lam.

Footnote :
1. Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red

Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?

Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.

Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.

Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radiyallahu ‘anha:
“Utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Berkata Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma:
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)

Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 60)

Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.

Diantara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah radiyallahu ‘anha:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam

Diambil dari : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=295

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Adab-Adab Berpuasa

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , |

A. Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim)
Dari Salman radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44)

Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan [1] dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ

“Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya.
Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)

Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.
Firman Allah Ta’ala :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)
Berkata As-Sa’di rahimahullah: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)

B. Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya)
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:
“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)

Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)

Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu ‘anha :

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)

Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu , bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih jelas pada artikel ‘Sahur dan Berbuka’, -red.

Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja
Allah k berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu ‘anha :
“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu Majah no. 1679,dan lainnya)

Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari kurang lebih 18 orang shahabat dan dishahihkan oleh para ulama seperti Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnul Madini dan yang lainnya. Ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah serta dikuatkan oleh Ibnul Mundzir.
Ada beberapa perkara lain yang juga disebutkan sebagian para ulama bahwa hal tersebut termasuk pembatal puasa, di antaranya:

a. Muntah dengan sengaja
Namun yang rajih dari pendapat ulama bahwa muntah tidaklah membatalkan puasa secara mutlak sengaja atau tidak sengaja. Sebab asal puasa seorang muslim adalah sah, tidaklah sesuatu itu membatalkan kecuali dengan dalil. Adapun hadits Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barangsiapa yang dikalahkan oleh muntahnya maka tidak ada sesuatu atasnya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka hendaklah dia meng-qadha (menggantinya).” (HR. Ahmad, 2/498, At-Tirmidzi, 3/720, Abu Dawud, no. 2376 dan 2380, Ibnu Majah no. 1676)

Hadits ini dilemahkan oleh para ulama, di antaranya Al-Bukhari dan Ahmad. Juga dilemahkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah.
Namun jika muntah tersebut keluar lalu dia sengaja memasukkannya kembali maka hal ini membatalkan puasanya.

b. Menggunakan cairan pengganti makanan seperti infus
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama, dan yang rajih bahwa suntikan terbagi menjadi dua bagian:
1). Suntikan yang kedudukannya sebagai pengganti makanan maka hal ini membatalkan puasanya, sebab nash-nash syari’at bila didapatkan pada sesuatu yang termasuk dalam penggambaran yang sama maka dihukumi sama seperti yang terdapat dalam nash.
2).Suntikan yang tidak berkedudukan sebagai pengganti makanan, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa sebab gambarannya tidak seperti yang terdapat dalam nash baik lafadz maupun makna, tidak dikatakan makan dan tidak pula minum dan tidak pula termasuk dalam makna keduanya. Dan asalnya adalah sahnya puasa seorang muslim sampai meyakinkan pembatalnya berdasarkan dalil yang syar’i. (lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Islamiyyah: 2/130, fatwa Asy-Syaikh Bin Baaz t dalam Fatawa Ramadhan: 2/485, dan Fatwa Lajnah Da’imah: 2/486, dan fatwa Syaikhul Islam rahimahullah dalam Haqiqotus Shiyam: 54-60).
Namun Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menasehatkan bagi orang yang sakit untuk berbuka dan tidak berpuasa agar tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang menimbulkan syubhat. (Min Fatawa Ash-Shiyaam: 6)

c. Onani
Pendapat yang rajih dari pendapat para ulama bahwa onani tidaklah membatalkan puasa, namun termasuk perbuatan dosa yang diharamkan melakukannya baik ketika berpuasa maupun tidak. Allah k berfirman menyebutkan di antara ciri-ciri orang mukmin:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ

“Dan (mereka adalah) orang yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istrinya atau budak wanita yang mereka miliki. Maka sesungguhnya (hal itu) tidak tercela. Maka barangsiapa yang mencari selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7)

Hal-Hal yang Diperbolehkan Bagi Orang yang Berpuasa

a. Bersiwak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

“Jika aku tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.” (Muttafaq ‘alaih)

b. Masuknya waktu fajar dalam keadaan junub
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati waktu fajar dalam keadaan junub setelah (bersetubuh dengan) istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (Muttafaq ‘alaihi)

c. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan
Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا

“Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali bila kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah )

d. Menggauli istri selain bersetubuh
Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah radiyallahu ‘anha :
“Adalah Rasulullah nmencium (istrinya) dan beliau berpuasa, menggaulinya (bukan jima’) dan beliau berpuasa.” (Muttafaqun ‘alaihi)

e. Mencicipi makanan dan menciumnya asal tidak memasukkan ke dalam kerongkongannya
Berkata Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu :
“Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu (yang lain) selama tidak masuk kerongkongannya dalam keadaan dia berpuasa.” (Diriwayatkan Al-Bukhari secara mu’allaq dan disambung sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Baihaqi)

f. Mandi di siang hari
Sebagaimana yang terdapat pada kisah junub Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah lalu.

Perbuatan yang Dianjurkan di bulan Ramadhan

a. Memperbanyak shadaqah
b. Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat
Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُوْنُ فِيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya lalu membacakan padanya Al Qur`an.” (HR. Al-Bukhari)

c. Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya seperti pahala (yang berpuasa) dalam keadaan tidak berkurang sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad, 4/114, At-Tirmidzi, 3/807, Ibnu Majah, 1/1746, Ad-Darimi no. 1702, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi).

Wallahul muwaffiq

Diambil dari : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=296

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baaz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.

Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)

(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).

Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)

Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)

Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah:

“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:

a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.

b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.

c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).

Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:

“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

…يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah).” (Shahih HR. Muslim)

Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa, hadits no. 935)

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ

“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Diambil dari: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Jima’ Saat Puasa Ramadhan

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , |

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِيْ رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقْبَةً؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ فَأَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Datang seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah binasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu menjawab: “Aku telah menggauli (berjima’-pen) istriku di siang Ramadhan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyatakan: “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian kata beliau: “Mampukah engkau memberi makan enampuluh orang miskin?” Ia menjawab: “Tidak.” Kemudian iapun duduk dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi satu wadah kurma (sebanyak enampuluh mudd-pen) dan beliau berkata: “Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya: “Kepada yang lebih fakir dari kami? Sungguh di kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini dari kami.” Mendengar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari jalan Az-Zuhri Muhamad bin Muslim dari Humaid bin Abdurrahman dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu.

Dari Az-Zuhri diriwayatkan dari sembilan jalan:

1. Ibrahim bin Sa’d dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Musa bin Ismail (lihat Fathul Bari, 10/519) dan Ahmad bin Yunus (Al-Fath, 9/423).

2. Sufyan bin ‘Uyainah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Ali bin Abdullah (Al-Fath, 11/604) dan Al-Qa’nabi (Al-Fath, 11/605), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair (7/224), sementara Abu Dawud dari jalan Musaddad dan Muhamad bin ‘Isa (‘Aunul Ma’bud, 7/15), sementara At-Tirmidzi dari jalan Nasr bin ‘Ali dan Abu ‘Ammar Al-Husain bin Huraits dan beliau menyatakan: hasan shahih (Al-‘Aridhah, 3/198). Juga Ibnu Majah dari jalan Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah (2/312).

3. Syu’aib bin Abi Hamzah dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Abul Yaman (Al-Fath, 4/193).

4. Manshur dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan ‘Utsman dari Jarir (Al-Fath, 4/204), sementara Muslim dari jalan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir (7/226).

5. Al-Laits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Qutaibah (Al-Fath, 5/264), sementara Muslim dari jalan Yahya bin Yahya, Qutaibah dan Muhamad bin Rumh (7/226).

6. Ma’mar dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Mahbub dari Abdul Wahid (11/604), sementara Muslim dari jalan ‘Abd bin Humaid dari Abdurrazzaq (7/227), sementara Abu Dawud dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali dari Abdurrazzaq (‘Aunul Ma’bud, 7/16)

7. Al-Auza’i dikeluarkan Al-Bukhari dari jalan Muhamad bin Muqatil dari Abdullah (10/568).

8. Ibnu Juraij dikeluarkan Muslim dari jalan Muhamad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq (7/227).

9. Malik dikeluarkan Abu Dawud dari jalan Al-Qa’nabi (‘Aunul Ma’bud, 7/18).

Hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radiyallahu ‘anha:

Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anhuma semakna dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas dan dalam Kutubus Sittah selain An-Nasai, diriwayatkan dari jalan Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair dari ‘Abad bin Abdullah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha.

Dari Muhammad bin Ja’far bin Az-Zubair diriwayatkan dari dua jalan:

1. Abdurrahman bin Harits dikeluarkan oleh Abu Dawud dari jalan Muhamad bin Auf dari Sa’id bin Abi Maryam dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari Abdurrahman bin Al-Harits.

بِعَرَقٍ فِيْهِ عِشْرُوْنَ صَاعًا

(Al-‘Aun, 7/20).

2. Abdurrahman bin Qasim dan darinya diriwayatkan dari dua jalan:

1). ‘Amr bin Harits dikeluarkan Al-Bukhari secara mu’allaq dari Al-Laits (Al-Fath, 12/134) dan disebutkan secara maushul oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (5/237). Sementara Muslim dari jalan Abu Thahir bin Sarh dari Ibn Wahb (7/229), dan Abu Dawud dari jalan Sulaiman bin Dawud Al-Mahri dari Ibn Wahb (Al-‘Aun, 7/20)

2). Yahya bin Sa’id dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari jalan Abdullah bin Numair dari Yazid bin Harun (Al-Fath, 4/190), sementara Muslim dari jalan Muhammad bin Rumh dari Al-Laits (7/228) dan dari Muhammad bin Mutsanna dari Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi (7/228).

Fiqhul (kandungan) Hadits:

1. Orang yang disebut dalam riwayat di atas adalah Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi, sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, juga oleh Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam.

2. Hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha di atas dikeluarkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya pada bab:

إِذَا جَامَعَ فِيْ رَمَضَانَ

Menurut Al-Hafidz, yang dimaksud adalah orang tersebut telah melakukan jima’ di siang hari pada bulan Ramadhan dengan sengaja dan ia tahu keharamannya sehingga ia wajib membayar kaffarah.

Al-Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama juga membawakan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan sighah tamridh:

وَيُذْكَرُ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ: مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضَهُ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ. وَبِهِ قَالَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ

Disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

“Barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan tanpa sebab dan bukan karena sakit maka ia tidak bisa membayarnya dengan puasa selamanya kalaupun ia lakukan.”

Al-Hafidz berkata: “Riwayat di atas disebutkan secara maushul oleh Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam Sunan mereka dan dishahihkan Ibnu Hazm dari jalan Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah, keduanya dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Ammarah bin Umair dari Abul Muthawwas dari ayahnya dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, mirip dengan riwayat di atas. Dalam riwayat Syu’bah dengan lafadz:

فِيْ غَيْرِ رَخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ تَعَالَى لَهُ لَمْ يُقْضَ عَنْهُ وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ

“… Tanpa rukhshah yang Allah berikan baginya maka ia tidak akan bisa membayarnya walaupun ia puasa sepanjang masa.”

3. Lafadz

هَلَكْتُ

yang dimaksud adalah “Aku terjatuh pada dosa”, karena melakukan hal terlarang yang diharamkan ketika puasa yaitu jima’. Dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha dengan lafadz

احْتَرَقْتُ

: “Aku telah terbakar”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya: “Mengapa?” Jawabnya: “Karena aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhan.”

4. Hadits ini menunjukkan wajibnya bertanya tentang hukum syariat dari yang dilakukan orang ketika menyelisihi syariat dan kekhawatiran dari dampak bahayanya dosa.

5. Juga menunjukkan bolehnya mengungkap maksiat bagi orang yang ingin membersihkan dirinya dari dosa dan akibat dosa itu.

6. Pelajaran adab agar seseorang menggunakan kata kiasan dalam hal-hal yang tidak pantas disampaikan seperti penggunaan kata muwaqa’ah atau ishabah sebagai isyarat dari jima’.

7. Hadits ini pula menunjukkan wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang berjima’ dengan sengaja, dan ini merupakan madzhab seluruh ulama kecuali yang menyelisihinya dengan pernyataannya tidak wajib membayar kaffarah demikian. Diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan beberapa ulama lainnya, hal ini mereka kiaskan dengan shalat karena tidak ada kaffarah bagi yang merusaknya. Namun kias ini tidak berguna dengan adanya nash, selain juga karena perbedaan yang jelas dimana tidak ada jalan bagi harta untuk mengganti shalat. Berbeda dengan puasa, buktinya orang tua yang lemah dan lainnya yang tidak mampu puasa (menggantinya dengan harta, -red).

Mungkin mereka akan mengatakan, bila kaffarah itu memang wajib maka tidak akan gugur karena ketidakmampuan. Pernyataan inipun lemah karena justru gugurnya kewajiban membayar kaffarah menunjukkan bahwa kaffarah itu wajib, karena kalau tidak demikian (yaitu tidak wajib -red) tidak akan dinyatakan gugur hukumnya.

8. Jika seseorang melakukan jima’ di siang hari Ramadhan karena lupa, apakah puasanya batal sekaligus berkewajiban bayar kaffarah? Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama dan yang benar adalah dalam madzhab Asy-Syafi’i bahwa puasanya tidak batal dan tidak wajib pula membayar kaffarah.

9. Susunan pembayaran kaffarah dalam hadits yaitu memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut dan memberi makan enam puluh orang miskin. Susunan ini dilakukan secara berurutan dan tidak dengan pilihan secara bebas, demikian menurut pendapat mayoritas ulama.

10. Hadits ini juga menunjukkan bahwa jima’ antara suami istri hanya terkena satu kaffarah, dimana tidak disebutkan dalam riwayat di atas kewajiban kaffarah atas si istri. Demikian pendapat terbenar bagi Al-Imam Asy-Syafi’i juga madzhab Dawud dan madzhab Dzahiri. Sementara ulama lain membedakan antara istri yang dipaksa melakukan jima’ -baginya tidak berkewajiban bayar kaffarah- dengan istri yang melakukan jima’ dengan kesadaran -wajib membayar kaffarah-. Demikian madzhab Malik, Al-Imam Ahmad dan Hanafiyyah. Adapula di kalangan ulama yang menyamakan antara istri yang dipaksa maupun tidak tetap berkewajiban bayar kaffarah, yaitu Al-Imam Al-Auza’i.

11. Madzhab jumhur ulama menyebutkan bahwa puasa kaffarah ini dilakukan dua bulan dengan syarat berturut-turut.

12. Sabda Rasulullah n:

اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

“Pergi dan berikan ini pada keluargamu”

Artinya yang paling benar menurut Ibnul ‘Arabi, Al-Baghawi, Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Daqiqil ‘Ied adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan shadaqah itu kepada orang tersebut untuk dibagikan kepada keluarganya karena kefakirannya, sementara kewajiban kaffarah tetap dalam tanggungannya dan harus ia bayar ketika mampu. Ini adalah madzhab Malik bin Anas.

Oleh sebab itu Al-Bukhari memberi judul bab:

إِذَا جَامَعَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ فَتُصَدِّقُ عَلَيْهِ فَلْيُكَفِّرْ

Jika berjima’ dan tidak memiliki sesuatu kemudian mendapat shadaqah maka hendaknya ia membayar kaffarah.

Kata Al-Hafidz, ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan seseorang tidaklah menggugurkan kewajiban membayar kaffarah, namun hal itu tetap menjadi tanggungannya.(Al-Fath, 4/204)

13. Hadits di atas juga mengajarkan berlemah lembut pada orang yang belajar dan memberi pengajaran dengan cara lunak. Juga mengambil simpati orang dalam agama.

14. Hadits itu juga mengajarkan penyesalan dari perbuatan maksiat dan merasa takut dari akibat buruknya.

15. Bolehnya duduk di masjid untuk selain shalat tapi untuk kemaslahatan lainnya seperti belajar dan mengajar.

16. Bolehnya tertawa ketika ada sebabnya.

17. Diterimanya berita dari seseorang berkaitan dengan hal pribadinya yang tidak diketahui kecuali dari dirinya.

18. Ta’awun dalam ibadah dan membantu seorang muslim dalam hajatnya.

19. Orang yang mudhthar (sangat butuh pada apa yang ia miliki) tidak berkewajiban untuk memberikan itu atau sebagiannya pada orang mudhthar lainnya.

20. Jumhur ulama berpendapat wajibnya membayar puasa (meng-qodho) bagi yang merusak puasanya dengan jima’ dengan alasan puasa yang diwajibkan kepadanya belum ia laksanakan (karena batal disebabkan jima’), maka (puasa itu masih) menjadi tanggungannya. Sama dengan shalat dan lainnya ketika belum ia lakukan dengan syarat-syaratnya.

Walaupun sebagian ulama menyatakan tidak wajib lagi puasa atasnya karena telah tertutupi dengan kaffarah. Juga karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memerintahkan puasa kepadanya.

Ada pula yang menyatakan bila dia tunaikan kaffarah dengan puasa maka telah terbayar hutang puasanya. Tetapi bila tidak, maka tetap harus dia bayar karena jenis amalannya berbeda, demikian pendapat Al-Auza’i.

Termasuk yang menguatkan pendapat yang mewajibkan membayar puasa bersama dengan kaffarah adalah lafadz

صُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ

: “Dan puasalah sehari sebagai gantinya.” Dari riwayat Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, juga tersebut pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari jalan Abu Uwais, Abdul Jabbar dan Hisyam bin Sa’d, semuanya dari Az-Zuhri, juga dalam mursal Sa’id bin Musayyib, Nafi bin Jubair, Hasan dan Muhamad bin Ka’b. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar, dari keseluruhan jalan di atas diketahui bahwa tambahan perintah untuk bayar puasa memiliki asal (ada benarnya) (Al-Fath: 4/204)

21. Hadits dan atsar ini menurut Ibnu Hajar sengaja dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari untuk menunjukkan bahwa kewajiban membayar kaffarah diperselisihkan oleh salaf, dan bahwa yang membatalkan puasa dengan jima’ maka wajib membayar kaffarah, sementara hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau mengisyaratkan kelemahannya dengan sighah tamridh (bentuk pasif). Kalaupun shahih, maka isinya menguatkan pendapat yang tidak mewajibkan qadha (membayar puasa) bagi yang membatalkan puasanya dengan makan, tetapi tetap hal itu menjadi tanggungannya sebagai tambahan balasan baginya. Hal ini karena dengan diqadha berarti terhapus dosa darinya, namun bukan berarti dengan tidak bisa diqadha berarti gugur pula kewajiban membayar kaffarah pada sebab yang disebutkan yaitu jima’, dan pembatalan karena jima’ berbeda jelas dengan pembatalan karena makan.

22. Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang menyampaikan udzur yang dengannya gugur suatu hukum darinya atau berhak dengannya mengambil sesuatu, maka keterangannya diterima dan tidak dibebani untuk mendatangkan bukti, karena orang ini mengaku bahwa dirinya fakir dan mengaku telah merusak puasanya.

23. Hadits ini ditulis sebagai sebuah karya secara tersendiri tentang penjelasan dan keterangannya oleh Al-Imam Abdurrahim bin Hussain Al-‘Iraqi, dimana beliau membahas dan meng-istimbath tentang 1001 masalah dalam satu hadits ini. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap ahlul bid’ah yang menyatakan bahwa ulama hadits hanya tersibukkan dengan periwayatan, pembicaraan tentang sanad, al-jarh wat-ta’dil dan sejenisnya, dan tidak mengerti tentang fiqh hadits.

وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Sumber Bacaan:

1. Al-I’lam bi Fawa ‘id ‘Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin

2. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury

3. Sunan Ibnu Majah

4. ‘Aridhotul Ahwadzi, Ibnul ‘Arabi Al-Maliki

5. ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al-Adzimi Abadi

6. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani

7. Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi

Diambil dari : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=299

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , |

Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah ta’ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah ta’ala berkata: ‘Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena Aku’.” (Shahih, HR. Muslim)

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah ta’ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya Ta’ala. Padahal kita tahu bahwa Allah ta’ala Maha Pemurah, maka Dia tentu akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.

Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena Allah Ta’ala. Tidak nampak dalam dzahirnya dia sedang melakukan suatu amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah ta’ala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitarnya ada makanan dan minuman.

Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dengan meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala gerak-geriknya.

Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam taat kepada Allah Ta’ala, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi ketentuan taqdir-Nya Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya akan dipenuhi bagi orang-orang yang sabar pahala mereka berlipat ganda tanpa perhitungan.” (Az-Zumar: 10)

Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang diharamkan oleh Allah Ta’ala namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.

Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila dilakukan pada bulan yang mulia ini, dan ketika menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah Ta’ala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan faidah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Na’udzubillahi min dzalik.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah Allah ta’ala janjikan. Diantaranya:

1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah Ta’ala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan keluarganya atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah Ta’ala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

2. Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga menjaga telinga, tangan, kaki dan anggota badan lainnya dari bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Ta’ala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.” (Shahih HR. Al-Bukhari no. 1804)

Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket, mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan Allah Ta’ala. Begitu pula menjauhi televisi karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa.

3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah saya sedang berpuasa.” (Shahih, HR. Muslim)

Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yang lainnya.

Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Namun mendapatkan hasil yang demikian tidak akan didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di atas.

Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faidahnya kecuali dengan menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Sumber: Ceramah dan tanya jawab Masyayikh Salafiyyin (Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Asy-Syaikh Muhammad Al-’Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=300

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Shalat Tarawih

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , |

Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari

تَرْوِيْحَةٌ
yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Dan

تَرْوِيْحَةٌ

pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)

“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).

Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.

Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).

Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.

Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Dasar pendapat pertama:

1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau n, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi n), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)

• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu ‘anhum ‘ajma’in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:

Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:

• Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.

Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih

Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih

Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:

مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً …

“Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah n, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar z, dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:

1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:

كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu ‘anhu”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)

Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)

Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)

Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wassallam).

Wallahu a’lam

Diambil dari : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sahur dan Berbuka

Posted on 29 Agustus 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , |

Para pembaca hafizhakumullahu wa yarhamukum (semoga Allah k senantiasa menjaga dan merahmati anda semua). Ketahuilah, banyak pribadi muslim yang menyatakan: “Saya cinta kepada Allah k.” Dan mereka pun ingin mendapatkan kecintaan Allah k. Peryataan tersebut sangat mudah untuk diucapkan, akan tetapi dalam pengamalannya tentu saja memerlukan pengorbanan yang besar. Allah k berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata: “Ayat yang mulia ini adalah hakim (yang mengadili) bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Allah k namun dia tidak berada di jalan Nabi Muhammad n. Maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuannya hingga dia mengikuti ajaran Nabi Muhammad n.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Oleh karena itu, ketika kita mengeluarkan pernyataan tersebut sementara kita jauh dari ajaran Rasulullah n maka kita termasuk orang yang berdusta atas pernyataan kita. Al-Hasan Al-Bashri dan ulama salaf lainnya t berkata: “Sekelompok kaum telah menyangka bahwasanya mereka mencintai Allah h maka Allah k menguji mereka dengan ayat ini (yang tersebut di atas).” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/467)
Maka dari sinilah hendaknya kita melihat kembali kepada apa yang telah kita lakukan! Apakah kita telah mengikuti Nabi kita Muhammad n dengan sebenar-benarnya ataukah belum?
Kaitannya dengan pengamalan ayat di atas, kami paparkan ke hadapan anda suatu risalah ringkas tentang sahur dan ifthar (buka puasa) serta sunnah-sunnahnya, sehingga dalam sahur dan ifthar kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad n.

Makna Sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (
السَّحُوْرُ
) dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur. Adapun as-suhur (
السُّحُوْرُ
) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)

Hukum Sahur
Hukum makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik z bahwa Rasulullah n bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207)
Dalam riwayat lain, Nabi n mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri z, ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:

السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ …

“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)

Keutamaan Sahur
Adapun mengenai keutamaan sahur, Rasulullah n telah menjelaskannya dalam beberapa hadits di bawah ini:

1. Dalam sahur terdapat barakah

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

Dari Anas bin Malik z, ia berkata bahwa Nabi n bersabda: “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata dalam kitabnya (Fathul Bari, 4/166): “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi n.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.

2. Pujian Allah k dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur

السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ

Dari Abu Sa’id Al-Khudri z beliau berkata, Rasulullah n bersabda: “Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah k dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad, hadits hasan, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/686 no. 3683)

3. Menyelisihi puasa ahli kitab

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ

Dari ‘Amr bin Al-‘Ash z, sesungguhnya Rasulullah n bersabda: “Yang membedakan antara puasa kami (orang-orang muslim) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Al-Imam Muslim dan lainnya)

Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi t berkata: “Sahur adalah pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab, karena Allah k telah membolehkan kita sesuatu yang Allah k haramkan bagi mereka, dan penyelisihan kita terhadap ahli kitab dalam masalah ini merupakan nikmat (dari Allah k) yang harus disyukuri.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1584)

Waktu Sahur
Waktu yang utama untuk makan sahur adalah dengan mengakhirkan waktunya hingga mendekati terbit fajar. Dan mengakhirkan waktu sahur ini merupakan sunnah Rasulullah n sebagaimana hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit z, beliau bekata:

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً

“Kami makan sahur bersama Rasulullah n kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit z berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam Al-Bukhari t mengatakan dalam Shahih Al-Bukhari:

بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُوْرِ وَصَلاَةِ الْفَجْرِ

“Bab perkiraan berapa lama waktu antara sahur dengan shalat fajar”. Maksudnya (jarak waktu) antara selesainya sahur dengan permulaan shalat fajar. (Fathul Bari, 4/164)
Dan hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahih Al-Bukhari pada kitab Tahajjud, dari Anas bin Malik z, beliau ditanya:

كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً

“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi n dan Zaid bin Tsabit z makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (4/164) menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.
Bila kita sebutkan dengan catatan waktu maka kira-kira jarak antara keduanya 10-15 menit. Wallahu a’lam.

Tamr (Kurma) Sebaik-baik Makanan Untuk Sahur
Terkadang di antara hidangan makan sahur kita terdapat beberapa jenis makanan dengan beragam rasanya, sehingga kita dapat memilih makanan yang baik dan disukai. Akan tetapi tahukah anda jenis makanan apa yang paling baik untuk sahur? Ketahuilah! Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi n berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah z dari Nabi n, beliau bersabda:

نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 562 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1146 no. 6772)
Ketika kita telah mengetahui hal ini maka selayaknyalah bagi kita untuk mengamalkan Sunnah Nabi kita Muhammad n.

Ifthar (Berbuka)
Waktu Berbuka
Allah k telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman Allah k:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Demikian pula Nabi Muhammad n telah menjelaskan dalam haditsnya:
Dari ‘Umar bin Al-Khaththab z berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Rasulullah n bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Makna (sabda Nabi n di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)
Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui bahwasanya ketika menjelang malam dan siangpun telah pergi, serta matahari telah tenggelam dengan sempurna, maka itulah saat dibolehkannya bagi kita untuk berbuka puasa.

Hal-hal yang Disunnahkan ketika Berbuka
1. Bersegera ifthar (berbuka) ketika telah tiba waktunya.
Rasulullah n bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan ifthar (berbuka).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Sahl bin Sa’d z)
Al-Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied t mengatakan: “Dalam hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan buka puasa hingga tampak bintang-bintang.” (disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/234)
Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya:
a. Mengikuti Sunnah Rasulullah n.
b. Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para Nabi u.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abud-Darda’ n sesungguhnya Nabi n bersabda:

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةَ تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَتَأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): mensegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ath-Thabrani, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/583 no. 3038)
c. Menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nashrani (Syarhuth-Thiibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234). Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka, oleh karena itu bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah z dari Nabi n, beliau bersabda:

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Agama ini senantiasa tampak, selama manusia bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar/berbuka).” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/58 no. 2353 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689 dan Al-Misykah, 1/622 no. 1995)
Al-Imam Sarafuddin Ath-Thiibi t berkata: “Dalam sebab ini (yang terdapat dalam hadits ‘karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar)’) menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus ini dengan menyelisihi musuh-musuh (agama Islam) dari Yahudi dan Nashrani, dan sesungguhnya mencocoki mereka merupakan keretakan dalam agama.” (Syarhuth-Thiibi, 5/1589 no. 1995)

2. Bacaan ketika berbuka
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar c beliau berkata: Rasulullah n apabila berbuka beliau mengatakan:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ

“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta mendapat pahala insya Allah.” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2357 dan Al-Irwa’, 4/39 no. 920)

3. Berbuka dengan ruthab (kurma yang setengah matang), bila tidak dijumpai maka berbuka dengan tamr (kurma), dan bila tidak ada maka dengan minum air.
Sebagaimana mengikuti amalan Nabi n yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik z beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَعَلَى ثَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah n berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr, jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air.” (Hadits hasan shahih, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/59 no. 2356 dan Al-Irwa, 4/45 no. 922)

Keutamaan Memberi Buka Orang Puasa
Suatu kenikmatan yang sangat besar apabila dengan rizki yang telah Allah k karuniakan, kita dapat menyisihkan sebagiannya untuk memberi makanan berbuka kepada orang-orang yang berpuasa dikarenakan pahalanya yang sangat besar. Nabi n bersabda:

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Barang siapa memberi makanan berbuka seorang yang puasa maka baginya (orang yang memberi buka) semisal pahala (orang yang puasa) tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang puasa.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya, dari Zaid bin Khalid z)
Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Al-Jami’ush Shahih, 3/171 no. 807) dan Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkan hadits ini, lihat Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1095 no. 6414)
Setelah memandang begitu besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang memberi makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, selayaknyalah bagi kita untuk berlomba-lomba dalam meraih keutamaan yang sangat besar ini dengan menyisihkan rizki yang Allah k karuniakan kepada kita untuk memberi makanan berbuka orang yang berpuasa. Sekalipun kita hanya mampu memberikan kepada satu atau dua orang saja. Atau mungkin kita hanya mampu memberi satu biji kurma atau sekedar air minum. Maka janganlah kesempatan yang baik ini kita sia-siakan!

Doa Orang yang Diundang Makan/ Minum untuk Orang yang Mengundang
Ketika kita diundang untuk makan/ minum, maka disunnahkan bagi yang diundang untuk mendoakannya ketika telah selesai makan/ minum dengan doa yang telah dicontohkan Rasulullah n:

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ

“Semoga orang-orang yang puasa berbuka di sisi kalian dan orang-orang yang shalih lagi bertakwa makan makanan kalian serta para malaikat mendoakan kalian.” (Hadits shahih riwayat Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/459 no. 3854 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 1/253 no. 1137)
Juga perlu diingat bahwa dalam makan baik sahur atau berbuka, kita dilarang berlebih-lebihan, Allah k berfirman:

وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141)
Demikian yang dapat kami haturkan ke hadapan anda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sahur dan ifthar serta sunnah-sunnahnya.

Wallahu a’lam. 

Keutamaan Malam Seribu Bulan

(Diterjemahkan dan dirangkum oleh Qomar Suaidi, Lc.)

Malam Lailatul Qadar adalah malam yang dimuliakan Allah k. Allah k menamainya dengan Lailatul Qadar, menurut sebagian pendapat, karena pada malam itu Allah k mentakdirkan ajal, rizki dan apa yang terjadi selama satu tahun dari aturan-aturan Allah k. Hal ini sebagaimana Allah k firmankan:

فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad Dukhan: 4)
Di dalam ayat tersebut Allah k menamai Lailatul Qadar karena sebab tersebut. Menurut pendapat lain, disebut malam Lailatul Qadar karena malam tersebut memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah k. Allah k menyebutnya sebagai malam yang berkah, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesunggunhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (Ad Dukhan: 3)
Allah k juga memuliakan malam ini dalam firman-Nya:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Al Qadr: 2-3)
Maksudnya, amalan di malam yang barakah ini menyamai pahala amal seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar padanya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih. Ini menunjukkan keutamaan malam yang besar ini. Oleh karenanya Nabi n berusaha mencari malam Lailatul Qadar. Beliau bersabda:
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau ataupun yang akan datang.”
Allah k juga mengabarkan bahwa pada malam itu malaikat Jibril dan ruh turun. Ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya malam ini karena turunnya malaikat tidak terjadi kecuali untuk perkara yang besar. Kemudian Allah k mensifati malam itu dengan firman-Nya:

سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al Qadr: 5)
Allah k mensifati malam tersebut dengan malam keselamatan. Ini menunjukkan kemuliaan, kebaikan, dan keberkahannya. Orang yang terhalangi dari kebaikan malam itu berarti terhalangi dari kebaikan yang sangat banyak. Inilah keutamaan-keutamaan yang besar pada malam barakah ini.
Akan tetapi, Allah k menyembunyikannya di bulan Ramadhan agar seorang muslim bersungguh-sungguh mencarinya. Sehingga amalnya semakin banyak dan dengan itu ia menggabungkan antara banyaknya amal di seluruh malam-malam Ramadhan dan bertepatan dengan malam Lailatul Qadar dengan segala keutamaan, kemuliaan dan pahalanya. Sehingga dengan itu ia mengumpulkan antara dua kebaikan. Ini merupakan karunia Allah k atas hamba-hamba-Nya.
Ringkasnya, bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang besar (agung) dan berkah. Juga merupakan nikmat dari Allah k yang mendatangi seorang muslim di bulan Ramadhan. Maka jika dia diberi taufik untuk memanfaatkannya dalam kebaikan, ia akan mendapatkan pahala yang besar dan kebaikan yang banyak yang sangat dia butuhkan. (penjelasan Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam Fatawa Ramadhan, 2/847-849)

Kapan Malam Lailatul Qadar itu?
Terdapat riwayat dari Nabi n bahwa malam Lailatul Qadar terjadi pada malam 21, malam 23, malam 25, malam 27, atau malam 29 dan akhir malam bulan Ramadhan.
Al-Imam Asy-Syafi’I t berkata: “Ini menurut saya, wallahu a’lam, karena Nabi n menjawab sesuai dengan pertanyaannya. Dan pendapat yang paling kuat bahwa itu terjadi pada malam-malam yang ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda Nabi ndari ‘Aisyah x bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau mengatakan:
“Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, lihat Shifat Shaum An-Nabi, Asy-Syaikh Ali Hasan, hal. 87)

Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar
Dari Ubai ia berkata, Rasulullah n bersabda:
“Pagi hari dari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari tembaga sampai tinggi.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas c, ia berkata, bersabda Rasulullah n:
“Lailatul Qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Bazzar, sanadnya hasan. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 90)

Wallahu a’lam

Diambil dari : http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=302

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kebohongan Mahdi versi Syi’ah

Posted on 15 Juli 2008. Filed under: Syi'ah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc

Para ulama telah membongkar kebohongan Mahdi versi Syi’ah dan membantah tuntas syubhat-syubhat mereka.

Di antara para ulama yang telah melakukannya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, dan ulama-ulama masa kini. Untuk itu kami ringkaskan pembahasan berikut ini dari kitab Badzlul Majhud Fi Itsbati Musyabahatir Rafidhah Lil Yahud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili.

1. Al-Hasan Al-‘Askari sebagai bapak Al-Mahdi versi Syi’ah sebenarnya tidak mempunyai anak. Ia meninggal tanpa keturunan. Dan sungguh ini adalah hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang besar untuk membongkar kedok kedustaan mereka. Dan ini diakui oleh buku-buku Syi’ah sendiri seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini, Al-Irsyad karya Al-Mufid, dan lain-lain.

2. Anggaplah kelahiran itu ada, tapi persembunyiannya yang lama ini membuat keberadaannya tiada arti. Ath-Thusi, ulama mereka, menyebutkan sebab tidak keluarnya adalah takut dibunuh. Ini adalah sebab yang dibuat-buat, karena dalam keyakinan mereka, ia akan muncul dan mendapat pertolongan dari Allah (Biharul Anwar, 52/191).
Lalu mengapa takut? Ataukah dia tidak beriman dengan berita-berita riwayat mereka itu? Demikian pula, bila dia takut dibunuh alias pengecut, maka ini –menurut mereka juga– tidak sesuai dengan syarat keimaman. Sebab, menurut mereka, syarat sebagai seorang imam adalah harus yang paling pemberani. (Al-Anwar An-Nu’maniyyah, 1/34)

3. Artinya pula, ia akan keluar nanti bila sudah aman. Lalu untuk apa keluar jika sudah aman, tidak ada perlunya?!

4. Sekarang negara Syi’ah sudah ada, yaitu Iran. Bukankah negara itu siap melindungi Mahdi mereka? Mengapa tidak keluar?

5. Kalau ia tidak bisa melindungi dirinya dari pembunuhan, bagaimana mau melindungi orang lain? Alasan yang dibuat-buat itu, justru menunjukkan bahwa Mahdi mereka memang tidak ada.

6. Mahdi mereka itu tidak ada maslahatnya dari sisi din dan dunia. Lebih-lebih di antara prinsip Syi’ah adalah bahwa hukum-hukum syariat tidak bisa dilaksanakan sampai munculnya Mahdi. Sementara Mahdi mereka hanya fiktif. Artinya, mereka hidup tanpa syariat.

Apakah ini bisa diterima oleh akal seorang muslim, siapapun dia? Oleh karenanya, mau tidak mau Khomeini (tokoh Syiah) harus mengakui realita ini, sehingga dia katakan: “Sesungguhnya, kita berada pada masa persembunyian besar (Mahdi) dan telah lewat masanya lebih dari 1.200 tahun… Sekarang sesungguhnya hukum-hukum Islam dan undang-undang syariat, apakah akan dibiarkan dan ditinggalkan sampai masanya muncul, supaya selama selang waktu persembunyian yang panjang masanya ini orang-orang menjadi tanpa beban, mereka berada dalam kebebasan semau mereka?

Maknanya bahwa syariat Islam hanya untuk waktu yang terbatas. Dalam kurun waktu 1 atau 2 abad saja. Dan ini adalah termasuk penghapusan syariat Islam yang paling jelek yang kami tidak sependapat dengannya. Demikian pula tidak seorang muslim pun sependapat….” (Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hal. 41-42, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)

Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili mengatakan: “Apa yang disebutkan oleh Khomeini bahwa keyakinan Al-Ghaibah (persembunyian Al-Mahdi) pada akhirnya mengarah kepada penghapusan syariat mereka. Ini adalah pendapat yang benar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tampakkan melalui lisannya, untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tegakkan hujjah atas mereka (orang-orang Syi’ah).” (Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)

Dari sini, mungkinkah Sunnah dan Syi’ah bergandeng tangan? Orang yang berakal tentu menjawab tidak mungkin. Hal itu bagaikan mencampur antara minyak dan air.
Atas dasar itu, maka segala ajakan menuju pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah adalah merupakan kesesatan dan upaya untuk mengubur al-wala` dan al-bara` serta menghapus identitas As-Sunnah dari Ahlus Sunnah.

Tidakkah kalian sadar –wahai pengikut aliran Syi’ah– akan kebatilan aqidah kalian ini? Dan ini baru satu masalah. Demikian pula aqidah-aqidah kalian yang lain. Tak jauh kebatilannya dari itu, bahkan banyak yang lebih batil darinya. Sadarlah dan kembalilah kepada Islam yang dibawa oleh Rasul Rabb semesta alam, Muhammad bin Abdillah Al-Qurasyi, Al-Hasyimi…
Wallahu a’lam.

Diambil dari : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=511

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

« Entri Sebelumnya

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...