Penjelasan Para ‘Ulama tentang Penentuan Ramadhan dan Idul Fitri Berdasarkan Hisab Falaki

Posted on 19 Juli 2012. Filed under: Fiqih, Manhaj | Tag:, , , , , , |

Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan berdasarkan Hisab Astronomis tidak memiliki dasar hukum sama sekali, baik dari Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun ijma’. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil di atas. Lebih dari itu, bahwa generasi as-salafush shalih telah bersepakat bahwa cara penentuan Ramadhan adalah hanya dengan ru`yatul hilal.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bâri ketika menjelaskan hadits:

إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا : يعني مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين

“Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini”. Yakni terkadang 29 hari, terkadang 30 hari.

“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya. Mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Maka (Syari’at) mengaitkan hukum (kewajiban) shaum dan yang lainnya dengan ru’yah (al-hilâl), dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka jika menggunakan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun pada masa setelah mereka muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) dengan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas:

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”

Beliau tidak berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’.

Hikmah di balik perintah ini adalah terwujudnya kesamaan perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari ketika langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.

Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syî’ah Râfidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan segelintir ahli fiqh terhadap mereka.

Al-Imâm Al-Bâji berkata : Ijmâ’ (Konsesus bersama) generasi as-salafush shâlih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imâm Ibnu Bazâzah berkata : ‘Ini (berpegang pada ilmu hisab) adalah keyakinan yang batil, syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujûm, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian Al-Hâfizh–

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

بخلاف من خرج في ذلك إلى الأخذ بالحساب أو الكتاب كالجداول وحساب التقويم والتعديل المأخوذ من سيرهما . وغير ذلك الذي صرح رسول الله صلى الله عليه وسلم بنفيه عن أمته والنهي عنه . ولهذا ما زال العلماء يعدون من خرج إلى ذلك قد أدخل في الإسلام ما ليس منه فيقابلون هذه الأقوال بالإنكار الذي يقابل به أهل البدع
مجموع الفتاوى 25 /179

“Berbeda dengan orang-orang yang keluar (dari cara yang haq) dalam permasalahan tersebut (penentuan awal Ramadhan) dengan mengambil cara hisab atau tulisan seperti jadwal dan perhitungan kalender yang diambil dari perhitungan peredaran Matahari dan Bulan, dan cara-cara lainnya yang dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah meniadakan hal tersebut dan melarangnya dari umatnya. Oleh karena itu para ‘ulama senantiasa menganggap orang-orang yang mengambil cara-cara tersebut (hisab) sebagai orang yang telah memasukkan dalam Islam suatu ajaran yang bukan bagian dari Islam itu sendiri. Maka mereka (para ‘ulama) menyikapi pendapat-pendapat seperti dengan pengingkaran, sebagaimana mereka menyikapi ahlul bid’ah.”

ولا ريب أنه ثبت بالسنة الصحيحة واتفاق الصحابة أنه لا يجوز الاعتماد على حساب النجوم كما ثبت عنه في الصحيحين أنه قال : { إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته } . والمعتمد على الحساب في الهلال كما أنه ضال في الشريعة مبتدع في الدين فهو مخطئ في العقل وعلم الحساب . فإن العلماء . بالهيئة يعرفون أن الرؤية لا تنضبط بأمر حسابي وإنما غاية الحساب منهم إذا عدل أن يعرف كم بين الهلال والشمس من درجة وقت الغروب مثلا ؛ لكن الرؤية ليست مضبوطة بدرجات محدودة فإنها تختلف باختلاف حدة النظر وكلاله وارتفاع المكان الذي يتراءى فيه الهلال وانخفاضه وباختلاف صفاء . الجو وكدره . وقد يراه بعض الناس لثمان درجات وآخر لا يراه لثنتي عشر درجة ؛ ولهذا تنازع أهل الحساب في قوس الرؤية تنازعا مضطربا وأئمتهم : كبطليموس لم يتكلموا في ذلك بحرف لأن ذلك لا يقوم عليه دليل حسابي . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . لما رأوا الشريعة علقت الأحكام بالهلال فرأوا الحساب طريقا تنضبط فيه الرؤية وليست طريقة مستقيمة ولا معتدلة بل خطؤها كثير وقد جرب وهم يختلفون كثيرا : هل يرى ؟ أم لا يرى ؟ وسبب ذلك : أنهم ضبطوا بالحساب ما لا يعلم بالحساب فأخطئوا طريق الصواب
مجموع الفتاوى 25 /207

“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada ilmu hisab astronomi sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah ) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahîhain (Al-Bukhâri dan Muslim) bahwa beliau bersabda:

‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak bisa menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yatul Hilâl, dan ber’idul-fitrilah berdasarkan ru’yatul Hilâl.”

Sementara orang yang menyandarkan diri pada ilmu hisab untuk menentukan al-hilâl, sebagaimana ia telah sesat dalam syari’at sekaligus sebagai mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini, maka ia pun salah menurut akal dan ilmu hisab itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal ilmu hisab mereka, kalau benar, adalah menentukan berapa derajat jarak antara al-hilâl (Bulan) dan Matahari ketika terbenam. Sementara ru’yah bukanlah perkara yang bisa dihitung secara pasti dalam derajat tertentu. Karena ru’yah berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendahnya tempat melakukan ru`yatul hilâl. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.

Bisa saja sebagain orang berhasil melihat Al-Hilal pada ketinggian 8° (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak berhasil melihatnya walaupun pada ketinggian 12° (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka –semacam Bathlemous – tidak berbicara dalam masalah ini sedikitpun, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab.

Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh ahli hisab yang datang belakangan –seperti Kusyiar Ad-Dailami dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati bahwa Syari’at (Islam) banyak mengaitkan hukum-hukum dengan (Ru’yah) Al-Hilâl. Maka mereka meyakini bahwa ilmu hisab merupakan cara yang bisa digunakan untuk memastikan ru’yatul hilâl. Padahal cara (hisab) tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan salahnya lebih banyak. Dan itu telah terbukti. Para pakar ilmu hisab pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?

Sebabnya adalah karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab padahal sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.”

فإنا نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو الإيلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلا ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا . وهذا القول وإن كان مقيدا بالإغمام ومختصا بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم .
مجموع الفتاوى 25 /132-133

“Maka kita mengetahui secara pasti dari agama Islam, bahwa menentukan terlihatnya hilal dalam penentuan pelaksanaan ibadah shaum, haji, ‘iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya yang terkait dengan hilal berdasarkan berita seorang ahli hisab bahwa hilal terlihat atau tidak terlihat, maka yang demikian tidak boleh. Dalil-dalil yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam masalah ini sangat banyak, dan kaum muslim telah berijma’ dalam masalah tersebut. Tidak diketahui adalah perbedaan pendapat dalam masalah tersebut, baik dulu maupun sekarang. Kecuali sebagian muta’akhkhirin dari kalangan orang-orang yang menampilkan diri sebagai ahli fiqh, yang muncul setelah abad ke-3 mengklaim bahwa apabila hilal terhalangi mendung maka boleh bagi seorang ahli hisab untuk menerapkan hisabnya untuk dirinya sendiri, jika hisab menunjukkan hilal terlihat maka berpuasa, jika tidak maka tidak berpuasa. Klaim ini, meskipun terbatas pada waktu mendung dan khusus bagi ahli hisab itu itu saja, maka merupakan pendapat yang ganjil, telah terdahului oleh ijma’ yang menunjukkan hal sebaliknya. Adapun mengikuti klaim tersebut dalam kondisi cerah atau mengkaitkan hukum umum dengannya, maka tidak diucapkan oleh seorang muslim pun.“


Diambil dari: http://www.salafy.or.id/waqi/penjelasan-para-ulama-tentang-penentuan-ramadhan-dan-idul-fitri-berdasarkan-hisab-falaki/

Oleh: Ustadz Alfian

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Penentuan Ramadhan Menurut Syari’at Islam

Posted on 19 Juli 2012. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , |

Penentuan awal dan akhir Ramadhan dilakukan dengan dua cara – tidak ada yang ketiga –

  1. Ru’yatul Hilal (melihat bulan),
  2. Ikmal (menggenapkan) bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Ini dilakukan apabila tidak berhasil melakukan ru’yatul hilal, baik karena mendung ataupun karena faktor-faktor lainnya.
  • Ar-Ru`yah : artinya melihat atau mengamati dengan menggunakan mata atau penglihatan.
  • Al-Hilâl : Bulan sabit yang paling awal terlihat pada permulaan bulan (asy-syahr).

Kenapa dinamakan Al-Hilâl?

  • Al-Hilâl berasal dari kata هَلَّ – أَهَلَّ  “halla”, “ahalla” artinya : “tampak atau terlihat.” Dinamakan demikian, karena merupakan bentuk Bulan Sabit yang pertama kali tampak pada awal bulan.
  • Sebab lain kenapa dinamakan Al-Hilâl adalah, karena orang-orang yang melihatnya berseru ketika memberitakannya. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Al-Hilâl adalah nama untuk sesuatu yang ditampakkan, yakni disuarakan. Penyuaraan itu tidak akan bisa terjadi kecuali jika bisa diketahui oleh penglihatan atau pendengaran.”

Jadi dinamakan dengan Al-Hilâl karena itu merupakan bentuk Bulan yang paling awal tampak dan terlihat, orang yang melihatnya berseru untuk memberitakan bahwa Al-Hilâl sudah terlihat.

Yang dinamakan dengan Al-Hilâl adalah khusus untuk bulan sabit pada malam pertama dan kedua saja, ada juga yang berpendapat hingga malam ketiga, ada pula yang berpendapat hingga malam ke-7. Adapun selebihnya tidak dinamakan dengan Al-Hilâl.

Dalam bahasa Indonesia, Al-Hilâl sering disebut Bulan Sabit Termuda. Walaupun dari sisi asal-usul dan sebab penamaan tidak sama.

1. Ru`yatul Hilâl dalam pengertian syara’ adalah : Melihat Al-Hilâl dengan mata atau penglihatan, pada saat terbenamnya Matahari pada petang hari ke-29 akhir bulan, oleh saksi yang dipercaya beritanya dan diterima kesaksiannya. Sehingga dengan itu diketahui bulan (asy-syahr) baru telah masuk.

Jadi, dalam ketentuan Syari’at Islam, masuknya bulan baru tidak semata-mata ditandai dengan wujûd (keberadaan) Al-Hilâl di atas ufuk, yaitu kondisi ketika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan setelah peristiwa ijtimâ’ (ijtimak/kunjungsi) ). Tapi masuknya bulan baru dalam ketentuan Syari’at Islam ditandai dengan terlihatnya Al-Hilâl. Meskipun secara perhitungan Al-Hilâl sudah wujud namun pada kenyataannya tidak terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru.

 

Dalil-dalil Ru’yatul Hilal:

أن رسول الله – – ذكر رمضان فقال : لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له

Bahwa Rasulullah menyebutkan bulan Ramadhan, maka beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian melihat al-hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi (oleh mendung, debu, atau yang lainnya) maka tentukan/perkirakanlah untuknya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh: Al-Bukhari 1906; Muslim 1080; An-Nasâ’i no. 2121; Demikian juga Mâlik dalam Al-Muwaththa` no. 557; Ahmad (II/63).

الشهر تسع وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

“Satu bulan itu dua puluh sembilan hari. Maka janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian melihatnya. Jika terhalang atas kalian maka sempurnakanlah bilangan (bulan menjadi) tiga puluh (hari).”

Diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhâri 1907; Asy-Syâfi’i dalam Musnad-nya no. 435 (I/446). Dalam riwayat lain dengan lafazh :

فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلالين
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idul-fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika (Al-Hilâl) terhalangi atas kalian, maka tentukanlah untuk (bulan tersebut menjadi) tiga puluh.”

Diriwayatkan oleh Al-Imâm Muslim 1080. Diriwayatkan pula oleh Abû Dâwûd no. 2320

Dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan lafazh:

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ

“Janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul-fitri sampai kalian melihat Al-Hilâl. Jika terhalang atas kalian maka bershaumlah kalian selama tiga puluh (hari).”

Al-Imâm Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya (IV/205) no. 7720 melalui jalur Nâfi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله تبارك وتعالى جعل الأهلة مواقيت، فإذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فاقدروا له أتموه ثلاثين

“Sesungguhnya Allah Tabâraka wa Ta’âlâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu. Maka jika kalian melihatnya mulailah kalian bershaum, dan jika kalian melihatnya ber’idul-fitrilah kalian. Namun jika terhalang atas kalian, maka perkirakanlah dengan menggenapkannya menjadi tiga puluh hari.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya (III/201) no. 1906.

Demikian juga diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzâq dalam Mushannaf-nya no. 7306 dengan lafazh:

إن الله جعل الأهلة مواقيت للناس، فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فعدوا له ثلاثين يوما

“Sesungguhnya Allah menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka mulailah ibadah shaum kalian berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika hilâl terhalangi atas kalian, maka hitunglah (bulan tersebut) menjadi tiga puluh hari.” Hadits ini dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3093, lihat pula Tarâju’ât Al-’Allâmah Al-Albâni fit Tash-hih no. 49.

  • Dari shahabat Abû Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوماً

“Jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka bershaumlah kalian, dan jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka ber’idul fitrilah kalian. Namun jika (Al-Hilâl) terhalang atas kalian, maka bershaumlah kalian selama 30 hari.”

Diriwayatkan oleh Muslim no. 1081, An-Nasâ`i no. 2119; Ibnu Mâjah no. 1655; dan Ahmad (II/263, 281).

Dalam riwayat lain dengan lafazh:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم الشهر فعدوا ثلاثين

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila asy-syahr (al-hilâl) terhalangi atas kalian maka hitunglah menjadi tiga puluh hari.”

Dalam riwayat Al-Bukhâri dengan lafazh:

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

“Bershaumlah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan beri’idul-fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila (al-hilâl) terhalangi atas kalian maka sempunakanlah bilangan bulan Sya’bân menjadi tiga puluh hari.”

  • Dari shahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah bersabda:

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

“Janganlah kalian melaksanakan shaum hingga kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya. Jika (al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari.”

Diriwayatkan oleh Al-Imâm Mâlik dalam Muwaththa` no. 559.

عَجِبْتُ مِمَّنْ يَتَقَدَّمُ الشَّهْرَ، وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ إِذَا رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ

“Saya heran dengan orang yang mendahului bulan (Ramadhan), padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Jika kalian telah melihat al-Hilâl maka bershaumlah, dan jika kalian melihatnya maka ber’idul fitrilah. Kalau (al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari.”

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (2125) Ahmad (I/221) dan Ad-Dârimi (1739). Lihat Al-Irwâ` no. 902.

 

  • Al-Imâm Abû Dâwûd meriwayatkan dengan sanadnya (no. 2325) dari shahabat ‘Âisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ ، عَدَّ ثَلاَثِينَ يَوْمًا ، ثُمَّ صَامَ

“Dulu Rasulullah senantiasa berupaya serius menghitung (hari sejak) hilâl bulan Sya’bân, tidak sebagaimana yang beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau bershaum berdasarkan ru’yah (hilâl) Ramadhan. Namun apabila (al-hilâl) terhalangi atas beliau, maka beliau menghitung (Sya’bân menjadi) 30 hari, kemudian (esok harinya) barulah beliau bershaum.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Imâm Ahmad (VI/149), Ibnu Khuzaimah (1910), Ibnu Hibbân (3444), Al-Hâkim (I/423) Al-Baihaqi (IV/406). Ad-Dâraquthni menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd no. 2325.

Dari seluruh hadits di atas, dapat diambil kesimpulan:

1. Rasulullah memerintahkan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan dan pelaksanaan ‘Idul Fitri dan ‘Idul ‘Adha berdasarkan ru`yatul hilâl, yaitu apakah al-hilâl sudah terlihat ataukah belum. Tidak semata-mata al-hilâl telah wujud ataukah belum. Inilah yang dipahami oleh para ‘ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Oleh karena mereka memberikan judul bab untuk hadits-hadits tersebut, yang menunjukkan pemahaman dan kesimpulan mereka terhadap makna lafazh-lafazh pada hadits-hadits tersebut. Di antaranya: Al-Imâm An-Nawawi memberikan bab untuk hadits-hadits di atas dalam kitab beliau Syarh Shahîh Muslim:

بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

Bab: Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.

Al-Imâm Ad-Dârimi dalam Sunan–nya memberikan bab:

بَاب الصَّوْمِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ

Bab : Ash-Shaum berdasarkan ru`yatul hilâl

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk memulai ibadah shaum Ramadhan atau merayakan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum al-hilâl benar-benar terlihat oleh mata. Al-Imâm Ibnu Hibbân menyebutkan bab dalam Shahîh-nya:

ذكر الزجر عن أن يصام من رمضان إلا بعد رؤية الهلال له

“Penyebutan dalil tentang larangan untuk bershaum Ramadhan kecuali setelah al-hilâl terlihat.”

3. Apabila pada malam ke-30 al-hilâl tidak bisa dilihat, baik karena mendung, debu, atau yan lainnya, maka wajib menempuh cara istikmâl, yaitu menggenapkan bulan tersebut menjadi 30 hari. Al-Imâm An-Nawawi telah menyebutkan bab:

بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Bab : Tentang kewajiban melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.

4. Dalam satu bulan itu bisa jadi 29 hari, bisa jadi 30 hari.

5. Dalam penentuan masuk dan keluar bulan-bulan qamariyah, kaum muslimin tidak membutuhkan tulisan dan ilmu hisab. Karena untuk menentukannya, umat Islam cukup dengan cara ru`yatul hilâl atau istikmâl.

6. Landasan syar’i dalam penentuan Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha adalah dengan ru`yatul hilal atau istikmâl.

7. Hikmah dan fungsi keberadaan Al-Hilâl, adalah sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia. Terlihatnya al-hilâl sebagai tanda dimulai dam diakhiri pelaksanaan shaum Ramadhan. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah telah meletakkan bab:

باب ذكر البيان أن الله جل وعلا جعل الأهلة مواقيت للناس لصومهم وفطرهم إذ قد أمر الله على لسان نبيه عليه السلام بصوم شهر رمضان لرؤيته والفطر لرؤيته ما لم يغم قال الله عز وجل { يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس } الآية

Bab : Penjelasan bahwasanya Allah Jalla wa ‘alâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia dalam memulai ibadah shaum mereka atau ‘idul fitri mereka. Karena Allah telah memerintahkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memulai shaum bulan Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idul fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl jika memang al-hilâl tidak terhalangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.”

8. Rasulullah tidak pernah mengajarkan untuk menjadikan ilmu hisab sebagai dasar penentuan Ramadhan, ‘Idul Ftri, dan ‘Idul Adha.

9. Kesalahan sebagian orang dalam menafsirkan sabda Nabi فاقدروا له (Perkirakanlah) bahwa yang dimaksud adalah menggunakan ilmu hisab. Karena makna lafazh tersebut telah ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu maknanya adalah menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari. Tentunya yang paling mengerti tentang makna dan maksud sabda Nabi adalah beliau sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan maksud suatu hadits adalah hadits yang lainnya. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah:

باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير للشهر إذا غم أن يعد شعبان ثلاثين يوما ثم يصام

Bab : Penyebutan dalil bahwa perintah untuk memperkirakan bilangan bulan apabila al-hilâl terhalangi (tidak terlihat) maksudnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari, kemudian (esok harinya) bershaum.

Al-Imâm Ibnu Hibbân:

باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا له ) أراد به أعداد الثلاثين

Bab : “Penyebutan dalil bahwa makna sabda Nabi فاقدروا له (perkirakanlah) adalah dengan menggenapkan menjadi 30 hari.

10. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mendahului bershaum sebelum masuk bulan Ramadhan, baik sehari atau dua hari sebelumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang bershaum pada hari ke-30 Sya’bân yang pada malam harinya al-hilâl tidak terlihat.

11. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kaum muslimin untuk memperhatikan dan menghitung secara serius hari-hari bulan Sya’bân dalam rangka mempersiapkan diri melakukan ru`yatul hilâl Ramadhan. Al-Imâm Ibnu Hibbân meletakan sebuah bab:

ذكر البيان بأن المرء عليه إحصاء شعبان ثلاثين يوما ثم الصوم لرمضان بعده

Bab : “Penyebutan dalil bahwa wajib atas setiap muslim untuk menghitung hari-hari bulan Sya’bân sampai 30 hari, kemudian melaksanakan shaum Ramadhan keesokan harinya.”

Wallahu a’lam.


Diambil dari: http://www.salafy.or.id/fiqih/ketetapan-syariat-islam-dalam-cara-penentuan-ramadhan-penentuan-awal-dan-akhir-ramadhan-2/

Oleh: Ustadz Alfian
Judul Asli: Ketetapan Syari’at Islam dalam Cara Penentuan Ramadhan

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Ketinggian Hilal Harus 2° (derajat) ???

Posted on 18 Juli 2012. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , |

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)”. (HR. Muslim 1081)

Dalam hadits tersebut sangat jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan untuk berpegang kepada ru`yatul hilal untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri, atau apabila gagal maka ditempuh cara istikmal (menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari).

Namun bersama jelasnya hadits tersebut setiap tahun kaum muslimin selalu ribut dan berselisih. Sebagian menyatakan bahwa ketinggian hilal minimal harus 2° (derajat) baru dinyatakan masuk Ramadhan atau Idul Fitri, sebagian menyatakan harus 4 derajat, dan masih banyak lagi. Kebingunan ini semakin rumit ketika sebagian pihak sudah mengumumkan kapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah sejak jauh-jauh hari. Sehingga jauh hari sebelum Ramadhan datang, sudah terbayang bahwa Ramadhan tahun tersebut atau Idul Fitri tahun tersebut akan ada dua versi atau umat Islam pasti tidak barsamaan dalam berpuasa atau berhari raya.

Sebagian pihak menyayangkan situasi perpecahan tersebut. Mereka mengatakan mengapa umat Islam tidak mau sepakat berpegang pada ilmu hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri? karena hisab falaki (katanya, ed) merupakan ilmu yang sudah sangat canggih dan hasilnya akurat, tidak keliru. Sehingga hisab falaki bersifat qathi’i sementara ru`yah adalah zhanni.

Akurasi hisab falaki sebenarnya tidak diragukan lagi. Namun anggapan bahwa hisab falaki bersifat qath’i tidak bisa dibenarkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh pakar hisab dari LAPAN, “Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syari’at.”

Jadi sebenarnya, hisab falaki untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri tidak bisa murni, harus “disesuaikan” dengan hukum-hukum syar’i. Maka tidak bisa lepas dari kriteria-kriteria tertentu supaya sesuai dengan hukum syari’at, yang itu bersifat zhanni. Sehingga hisab falaki bukanlah suatu hal qath’i lagi, namun zhanni.

Ada beberapa kriteria hisab falaki,

1. Kriteria Ijtimak (Konjungsi)

Penjelasannya sebagai berikut, sebagaimana diketahui bahwa Bulan beredar mengelilingi bumi, demikian pula Matahari dalam gerak semuanya mengelilingi bumi1. Peredaran Bulan lebih cepat dibanding peredaran Matahari, sehingga Matahari selalu terkejar, dan itu terjadi berkali-kali. Pada saat Matahari terkejar oleh Bulan dan keduanya pada posisi pada garis lurus itulah yang disebut Ijtimak (konjungsi). Menurut kriteria ini, sesaat setelah ijtima’ sudah terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati.

Tentu saja, ilmu hisab falaki dengan sangat akurat mampu menghitung peredaran Matahari dan Bulan, dan mampu menentukan secara tepat kapan ijtima’. Namun ketentuan aturan (kriteria) bahwa sesaat setelah ijtima’ itu terbentuk bulan baru (hilal) meskipun tidak bisa teramati, dari mana kriteria ini? Jelas-jelas kriteria ini mengabaikan aturan syari’at bahwa hilal harus teramati oleh mata. Pakar hisab sendiri mengatakan, “Bulan baru astronomi atau ijtimak tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas bulan qamariyah.”

2. Kriteria Wujudul Hilal

Kriteria ini merupakan “penyempurna” kriteria sebelumnya. Kriteria ini menyatakan tidak cukup ijtimak, namun harus dilihat posisi Matahari dan Bulan pada senja hari setelah Ijtimak. Apabila pada senja hari tersebut Matahari tenggelam lebih dahulu, maka berarti tercapai satu kondisi bahwa Bulan sudah di atas ufuk (wujud) pada saat Matahari tenggelam, berapapun ketinggian Bulan/hilal tersebut. Maka keesokan harinya berarti telah masuk Ramadhan/Idul Fitri. Jadi yang penting menurut kriteria ini adalah posisi hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska terjadinya ijtimak. Saat itu hilal sudah wujud (ada di atas ufuk) meskipun tidak bisa teramati oleh mata. Termasuk ketika mendung sekalipun, asalkan hilal sudah di atas ufuk, maka besok sudah bisa berpuasa atau berlebaran.

Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa menghitung posisi Bulan/hilal ketika Matahari tenggelam. Berapapun ketinggiannya, entah 2° atau kurang, yang penting sudah di atas ufuk berarti sudah Ramadhan/Idul Fitri. Namun masalahnya, kriteria ini jelas-jelas bertabrakan dengan nash hadits. Hadits mempersyaratkan hilal harus terlihat dengan mata, tidak semata-mata posisi hilal di atas ufuk.

Maka jangan heran apabila kriteria wujudul hilal pun menuai banyak kritik dari sesama praktisi hisab. Dinilai bahwa kriteria ini sudah usang, tidak ada landasan hukumnya, dan masih banyak lagi.

3. Kriteria Imkanur Ru`yah (visibilitas hilal)

Kriteria ini tidak hanya mempertimbangkan posisi hilal di atas ufuk ketika Matahari tenggelam paska Ijtimak, namun memperhitungkan faktor-faktor lain sehingga mencapai kondisi Imkanur Ru`yah, yakni hilal memungkinkan untuk dilihat, meskipun tidak harus benar-benar terlihat. Kemudian dalam menentukan faktor-faktor imkan itulah, para ahli hisab sendiri berselisih. Ada yang mempersyaratkan ketinggian minimal 2°, ada yang menyatakan minimal 4°.

Tentu saja hisab falaki dengan sangat akurat bisa memperhitungkan berapa ketinggian hilal tatkala Matahari tenggelam paska Ijtimak, apakah 6° , 5° ataukah 2°. Namun bisa berselisih, misalnya jika hasilnya adalah 2°, maka menurut pihak yang mempersyaratkan ketinggian minimal adalah 4° maka belum masuk Ramadhan atau belum Hari Raya, sementara yang mempersyaratkan 2° maka besok sudah Puasa atau sudah Lebaran. Bingung?

Ada lagi yang memperhitungkan jarak sudut antara Matahari dan Bulan, ada lagi yang memperhitungkan lebar hilal, dan sekian faktor lainnya. Dari manakah aturan-aturan tersebut datangnya? Sementara dalam syariat hanya dituntut hilal harus benar-benar terlihat oleh mata. Tidak sekedar imkan/visible (mungkin). Jika tidak bisa terlihat, terhalang mendung atau lainnya, maka ditempuh cara istikmal, meskipun secara hisab falaki hilal mungkin untuk terlihat karena ketinggian dan umur hilal sudah memenuhi kriteria secara hisab.

Maka kelompok hisab versi lainnya pun mengkritik tajam kriteria ini. Dianggapnya bahwa kriteria imkanur ru`yah ini terlalu rumit.

Sehingga sama-sama hisab, hasil hitungan posisi hilal pasti sama, pasti tepat, pasti akurat. Namun menyikapi hasil hitungan yang akurat tersebut para ahli hisab sendiri berbeda-beda. Misalnya, ketika mendapati hasil hisab posisi hilal +01° 38′ 40″ dan sebelum telah terjadi ijtimak pada pukul 11:25:24 WIB; maka kelompok hisab versi wujudul hilal ini sejak akhir bulan Rajab mereka sudah berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan. Karena menurut mereka posisi hilal yang demikian berarti hilal sudah di atas ufuk ketika Matahari tenggelam.

Sementara kelompok hisab versi imkanur ru`yah akan mengatakan hasil hisab tersebut menunjukkan bahwa posisi hilal sangat rendah, sehingga mustahil untuk bisa teramati. Jadi meskipun hilal sudah wujud namun belum imkan (belum memungkinkan) untuk dilihat/diru`yah.

Lain halnya dengan kelompok hisab versi ijtimak, bagi mereka adalah kapan ijtimak. Karena sudah diketahui ijtimak telah terjadi pada pukul 11:25:24 WIB maka mereka pun berani mengumumkan kapan 1 Ramadhan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Yang kebetulan pengumuman mereka dalam hal ini sama dengan pengumuman kelompok hisab versi wujudul hilal. Namun kalau misalnya ijtimak terjadi pada pukul 6 pagi misalnya, belum tentu sama pengumuman mereka dengan pengumuman versi wujudul hilal, karena posisi hilal sore harinya masih negatif alias masih di bawah ufuk (belum wujud). Maka lihatlah, kelompok hisab pun ribut.

Apabila hilal terhalang mendung, maka menurut para ahli hisab, selama hasil perhitungannya menyatakan hilal sudah wujud, atau sudah imkan untuk dilihat tetap masuk Ramadhan. Maka jelas-jelas ini bertentangan dengan nash hadits yang mengatakan, Apabila hilal terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)

Apabila kita mau kembali kepada bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau hanya mengajarkan kepada kita cara ru`yatul hilal (melihat hilal, ed) atau istikmal (menyempurnakan bilangan sampai 30, ed). Beliau sama sekali tidak menganjurkan umatnya untuk menjadikan hisab falaki sebagai patokan, dalam kondisi ilmu hisab falaki sudah ada pada masa beliau, dan sangat memungkinkan untuk mempelajari ilmu tersebut. Namun beliau justru bersabda,

“Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’idul fitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. Apabila terhalangi mendung atas kalian, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi 30 hari)”. (HR. Muslim 1081)

Beliau juga bersabda,

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ
“Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak menulis dan tidak menghitung.” 2

Hadits ini tidak berarti melarang umat Islam untuk belajar membaca dan menghitung. Namun makna hadits ini adalah untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, umat Islam tidak membutuhkan tulisan dan hitungan. Mereka cukup dengan syari’at yang Allah berlakukan buat mereka, yaitu menentukannya berdasarkan ru`yatul hilal. Hilal tersebut harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil/terpercaya, adapun khusus untuk Ramadhan walaupun satu saksi adil saja sudah cukup. Tidak boleh pula menjadikan ilmu hisab falaki sebagai landasan untuk menolak persaksian hilal.

Alhamdulillah, Allah memberikan taufiq kepada pemerintah negeri ini untuk senantiasa menjadikan ru`yatul hilal sebagai landasan. Sementara itu para pembela hisab terus berupaya memberikan statemen-statemen yang membenarkan hisab, di antaranya;

Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:

  • Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
  • Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.

Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem (menurut pembela hisab, ed):

  • Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
  • Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
  • Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.

Sebenarnya, statemen tersebut hanya merupakan upaya justifikasi (pembenaran) tanpa ada landasan dalil syari’at. Anggapan di atas bisa dijawab sebagai berikut,

  • Hisab dianggap lebih memberikan kepastian … dst. Namun ternyata pada prakteknya ternyata rumit. Karena hisab ternyata tidak bisa diterapkan secara murni, tidak lepas dari kriteria dan intepretasi, sebagaimana telah digambarkan di atas. Sehingga kepastian yang “ditawarkan” oleh hisab pun sulit terwujud.
  • Hisab dianggap bisa menyatukan penanggalan. Ternyata pada prakteknya juga nihil. Justru sebaliknya, hisab pun tidak ada kata sepakat. Antar versi justru saling menghujat dan menyalahkan.

Maka manfaat apakah yang diharapkan dari hisab?, sementara cara hisab jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya dalam syari’at. Bahkan bertentangan dengan kesepakatan para Salaful Ummah. Maka sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik rahimahullah bahwa; “generasi akhir umat ini tidak akan bisa menjadi baik kecuali dengan apa yang dengan generasi awal umat ini menjadi baik”.

Tidak cukup membela hisabnya mereka balik mencela ru`yah, yang merupakan ketetapan syari’at. Sungguh keterlaluan!! Tidakkah mereka menyadari dengan perbuatan mereka mencela ru`yah dan mengunggulkan hisab berarti mengkritik hukum Allah, berarti mengkritik Syari’at Islam yang telah sempurna, sebagaimana Allah firmankan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Maidah : 3)

Al-Imam Malik rahimahullah menegaskan berdasarkan ayat tersebut bahwa sesuatu yang bukan bagian dari agama pada hari tersebut (yakni saat ayat tersebut turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ed) maka pada hari ini pun bukan bagian dari agama. Maka sebagaimana hisab bukan bagian dari ketentuan hukum/syari’at Islam untuk penentuan awal Ramadhan pada masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam , maka pada hari ini pun hisab bukan merupakan bagian dari hukum/syari’at Islam.

Menjawab hujatan terhadap ru`yah di atas,

  • Ru`yah dianggap tidak bisa memastikan tanggal. … dst.

Tidak ada masalah ru`yah tidak bisa memastikan tanggal. Dan praktek sistem hilal ini telah dipraktekkan oleh umat Islam sejak zaman Nabi, para khulafa`ur rasyidin, para khalifah setelahnya selama bertahun-tahun, tidak ada masalah.

  • Ru`yah dianggap tidak bisa menyatukan tanggal. … dst.

Alhamdulillah ru`yah telah dipraktekkan oleh Umat Islam bertahun-tahun untuk menentukan Ramadhan dan Idul Fitri, dan mereka bersatu serta tidak ada masalah. Justru problem muncul tatkala sebagian pihak memunculkan ide penggunaan hisab falaki. Tanggal berbeda tidak ada masalah dalam ketentuan hukum Islam, di sana ada pembahasan mendetail dari para ‘ulama terkait hal tersebut. Yang menjadi masalah adalah penggunaan ilmu hisab falaki yang tidak ada dasarnya dalam ketentuan hukum Islam.

  • Banyak faktor yang mempengaruhi ru’yah.

Memang benar demikian adanya, oleh karena itu faktor-faktor tersebut tidak bisa dihisab. Sementara syari’at memberikan kriteria harus benar-benar terlihat, tidak sekedar wujudnya hilal di atas ufuk atau imkan/visible-nya hilal untuk dilihat walaupun tidak benar-benar terlihat. Kalau sekedar wujud atau imkan/visible ya memang bisa dihisab. Namun, kriteria yang dikehendaki dalam syari’at adalah ru`yah alias benar-benar terlihat. Meskipun secara hisab hilal sudah wujud atau imkan, namun faktanya tidak berhasil diru`yah, atau terhalang mendung maka belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.

Oleh karena itu, banyak faktor yang mempengaruhi ru`yah, maka ru`yah bisa berhasil bisa gagal, dan syari’at tidak mengharuskan ru`yah itu selalu berhasil. Justru syari’at memberikan alternatif ketika ru`yah gagal yaitu dengan cara istikmal. Maka menjadikan faktor geosentrik dan atmosferik sebagai poin kritik terhadap ru`yah merupakan pemutarbalikan fakta. Justru faktor tersebut merupakan di antara penghalang terbesar kenapa hisab tidak bisa dijadikan patokan untuk penentuan Ramadhan dan Idul Fitri.

Adapun faktor halusinasi dan psikologis yang disebut-sebut sebagai penyebab kesalahan para peru`yah sebenarnya merupakan tuduhan yang dipaksakan oleh kelompok hisab. Dengan tuduhan tersebut mereka mementahkan persaksian ru`yah apabila berbeda dengan hisab. Atau sebaliknya, menihilkan faktor ini apabila bersesuaian dengan hisabnya.

Contohnya peristiwa pada Idul Fitri 1432 H / 2011 kemarin! Tatkala sampai laporan persaksian hilal, yang ketika itu hasil hisab menyebutkan ketinggian hilal hanya +01° 49′ 57″. Maka kubu hisab Imkanur Ru`yah menyatakan hilal dengan ketinggian tersebut mustahil terlihat. Maka mereka menolak persaksian tersebut. Karena dinilai persaksian tersebut tidak valid, tidak ilmiah, … dst. Mengapa demikian, lagi-lagi di antaranya masalah halusinasi atau faktor psikologis para peru`yah. Sebaliknya kubu hisab wujudul hilal membela persaksian tersebut. Kata mereka, kenapa persaksian tersebut ditolak, padahal Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dulu ketika ada yang bersaksi diterima, …. dst, demikian pembelaan mereka. Sudah tidak ada lagi kekhawatiran kesalahan peru`yah karena faktor halusinasi atau faktor psikologis.

Padahal, jika kita mau objektif, masalah faktor psikologis atau halusinasi ini justru muncul karena pengaruh hisab. Karena jauh-jauh hari sudah diketahui hasil hisab, sehingga para peru`yah terpengaruh dan merasa bahwa hilal harus terlihat berdasarkan hasil hisab tersebut. Akibatnya mempengaruhi pandangan mereka tatkala melakukan observasi (proses ru`yah) di lapangan. Maka ini justru pengaruh negatif adanya hisab falaki. Sehingga menjadikan masalah ini sebagai kelemahan cara ru`yah yang ditetapkan syari’at merupakan pemutarbalikan fakta dan kesombongan!

Maka tidak ada alasan bagi kaum muslimin kecuali mereka mau kembali kepada ketetapan aturan hukum-hukum/syari’at Islam secara total. Termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu dengan cara yang telah ditetapkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam, yaitu ru`yatul hilal atau istikmal.

Sebagaimana ditegaskan oleh banyak para ‘ulama – yang berkomitmen di atas prinsip-prinsip Ahlus Sunnah – di antaranya oleh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,

  • Pertama, meninggalkan hisab falaki
  • Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.

Hanya dengan dua cara tersebut Umat Islam akan bisa bersatu. Sementara sangat disayangkan, di negeri ini penggunaan hisab falaki – dengan berbagai versinya – justru banyak disuarakan oleh ormas-ormas Islam yang katanya ingin memperjuangkan dakwah Islam. Sangat disayangkan, mereka ingin memperjuangkan Islam namun dengan cara-cara yang justru bertentangan dan menginjak-injak syari’at Islam itu sendiri.

Kaum muslimin dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk memulai Ramadhan dan Ber-idul Fitri selalu bersama-sama dengan Jama’ah (Pemerintah) mereka. Tidak berjalan sendiri-sendiri, masing-masing menentukan Ramadhannya dan Idul Fitrinya. Namun penetapan Ramadhan dan Idul Fitri serta Idul Adha merupakan tugas dan kewenangan pemerintah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam:

الصُّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari berpuasa adalah hari ketika kalian semua berpuasa (yakni bersama pemerintah), hari ‘Idul Fitri adalah hari ketika kalian semua ber’idul fitri (yakni bersama pemerintah), dan hari ‘Idul Adha adalah hari ketika kalian semua ber’idul Adha (yakni bersama pemerintah)”. (HR. At-Tirmidzi 697)

Maka atas segenap kaum muslimin adalah mereka mengikuti pengumuman pemerintah dalam penetapan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada pemerintah negeri ini untuk menjalankan sistem ru`yatul hilal atau istikmal sebagai landasan dalam mengumumkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Alhamdulillah setiap tahunnya pemerintah senantiasa memperhatikan laporan persaksian dari berbagai titik Pos Observasi Bulan (POB) yang tersebar di sekian tempat di nusantara ini.

Apabila suatu ketika ada persaksian hilal yang ditolak oleh pemerintah, maka wewenang keputusan ada di tangan pemerintah, adapun kaum muslimin wajib mentaati keputusan pemerintah tersebut. Al-Imam Ahmad dan ‘ulama lainnya mengatakan,

“Berpuasa dan beridul fitri dilaksanakan bersama penguasa dan kaum muslimin, baik ketika cerah maupun mendung.”

Al-Imam juga mengatakan,

“Kalau seandainya terjadi bahwa kaum muslimin berupaya melihat hilal pada malam ke-30 namun tidak berhasil, maka mereka menempuh cara istikmal 30 hari, namun ternyata kemudian sampai berita bahwa sebenarnya hilal terlihat pada sore hari malam ke-30 tersebut maka mereka mengqadha’ satu hari itu yang mereka terlanjur tidak berpuasa pada hari tersebut. Yang demikian tidak mengapa, mereka mendapat udzur bahkan mendapatkan pahala. Namun kalau seandainya mereka berpuasa berdasarkan berita dari ahli hisab, maka mereka tetap berdosa meskipun benar harinya. Karena mereka telah beramal berdasarkan sesuatu yang tidak diperintahkan.”


[1] Pendapat yang shahih menurut Al-Qur’an, bahwa Matahari-lah yang mengelilingi bumi

[2] HR Al-Bukhari, dalam Shahihnya Kitab Al Shaum, No.1913


Diambil dari: http://www.salafy.or.id/waqi/ketinggian-hilal-harus-20/

Oleh: Ustadz Alfian

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hati-hati Terhadap Ulama Yang Justru Menyesatkan Ummat

Posted on 1 Maret 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , |

“Aku heran dari (perbuatan) orang yang menjual kesesatan dengan petunjuk !

Dan aku lebih heran dari orang yang membeli dunia dengan Agama”

Itulah kurang lebih ungkapan dua bait syair yang menggambarkan tentang keberadaan dua golongan pengacau da’wah dan perusuh di kalangan umat.

Mereka tiada lain adalah para bandit-bandit da’wah, yang dzahirnya berbicara tentang agama tetapi kenyataannya justru jauh memalingkan umat dari agama, mereka tiada lain adalah para calo-calo da’wah yang senantiasa mengabaikan dan menjual prinsip-prinsip agama demi untuk menggapai kelezatan dunia.

Sungguh mereka adalah orang-orang yang telah dinyatakan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,

“Di malam hari saat aku isro’, aku melihat suatu kaum di mana lidah-lidah mereka dipotong dengan guntingan dari api” – atau ia (Rasulullah) berkata, “dari besi. Aku bertanya siapa mereka wahai Jibril? Mereka adalah para khatib-khatib dari umatmu!” (HR. Abu Ya’la dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma).

Para pembaca -hadzanallahu wa iyyakum- mereka adalah para da’i dan ulama-ulama su’ yang telah Allah beberkan keberadaannya. Allah berfirman,

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُم بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِندِ اللّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab. Dan mereka mengatakan ia (yang dibacanya itu datang) dari sisi Allah, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 78).

Dan Allah juga berfirman,

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ . وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh syaithon (sampai dia tergoda) maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami, maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Q.S. Al A’raf: 175-176).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengistilahkan mereka ulama su’ dengan sebutan “para dai yang berada di tepi pintu-pintu neraka”. Beliau peringatkan kita dari keberadaan mereka sebagaimana dalam sabdanya,

“… Dan sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku ialah para ulama-ulama yang menyesatkan.” (HR. Abu Daud dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu).

Adapun sahabat Umar ibnul Khaththab beliau mengistilahkan mereka dengan sebutan “al munafiq al alim”, ketika ditanya maksudnya, beliau menjawab “aliimul lisaan jaahilul qolbi!” (pandai berbicara tetapi bodoh hatinya -tidak memiliki ilmu-).

Para pembaca hadzanallahu wa iyyakum,

Allah subhanahu wa ta’ala tetap akan menjaga agama ini dari upaya penyesatan yang dilakukan oleh para ulama dan dai-dai sesat, sehingga kita dibimbing oleh Allah untuk senantiasa bersikap antipati dari seruan dan fatwa-fatwa mereka. Perhatikanlah peringatan-peringatan Allah berikut ini agar menjauh dan tidak mengikuti fatwa-fatwa mereka:

Pertama:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.” (At Taubah: 34).

Kedua:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang-orang kafir setelah kamu beriman.” (Ali Imran: 100).

Ketiga:

وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ
“… Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (Al Maidah: 49).

Keempat:

وَكَذَلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ

“Dan demikianlah kami telah menurunkan Al Qur’an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap siksa Allah.” (Ar Ra’d: 37).

Kelima:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاء الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian kami jadikanlah kamu berada suatu syari’at dan urusan agama, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al Jaatsiyah: 18).

Keenam:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم مِّن بَعْدِ مَا جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zhalim.” (Al Baqarah: 145).

Demikianlah dan semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjaga dan membimbing kita ke jalan yang diridhainya.

Wallahul Muwaffaq.

——————————————–

Maraji:

– Al Quranul Karim

– Al Musnad Abu Ya’la 1/118 no. 1314

– Sunan Abi Daud 4/450

– Ishlahul Mujtama’ Al Imam Al Baihani


Penulis: Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari

Al Wala wal Bara Edisi ke-3 Tahun ke-1 / 20 Desember 2002 M / 15 Syawwal 1423 H.

sumber: http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/3.htm
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Waspada terhadap Islam Sempalan

Posted on 18 Februari 2011. Filed under: Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Islam itu sesungguhnya hanya satu, sebagai agama yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak. “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah:3)

Islam telah menjawab segala problematika hidup dari segenap seginya. Tetapi di masa kini sedikit sekali orang yang mengetahui dan meyakini kesempurnaannya. Ini sesungguhnya adalah sebagai akibat pengkaburan Islam dari warna aslinya oleh debu dan polusi bid’ah, sehingga mayoritas umat Islam amat rancu permasalahannya terhadap agamanya.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (An-Nissa:115). Islam itu sendiri adalah Jama’ah (satu kesatuan) dan yang menyimpang dari padanya adalah firqah (perpecahan).

Allah berfiman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Islam ini dan jangan kalian berpecah belah dari agama ini…”(Ali Imran:102) Sedangkan firqah itu tidak lain disebabkan oleh adanya orang-orang yang mengikut perkara syubhat (rancu) dalam agama ini dan mengekor kepada hawa nafsu.

“Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (syubhat dan hawa nafsu), niscaya bila kamu ikut jalan-jalan itu akan menyimpangkan kalian dari jalan Allah.” (Al-An’am:153). Menyeleweng dari jalan Islam itu berarti menyimpang pula dari Al-Jama’ah, dan sekarang ini orang mengistilahkan dengan Islam sempalan, dalam pengertian sebagai aliran pemahaman Islam yang sesat.

Menginventarisasir Islam Sempalan

Untuk melakukan pekerjaan ini, haruslah merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah Salafus Shalih. Karena mereka mempunyai penilaian yang tegas dengan referensi yang lengkap dan jelas. Juga di dalam masalah ini menyangkut pula identifikasi pemahaman Islam sempalan tersebut.

Upaya yang demikian ini sangat penting di dalam memberi peringatan kepada umat Islam akan bahayanya penyimpangan dari pemahaman Islam yang benar dari pemahaman yang sesat. Juga upaya ini demikian pentingnya bila dikaitkan dengan kenyataan terlalu banyaknya firqah-firqah yang menyebabkan berbagai pikiran sesat di umat ini.

Banyaknya firqah-firqah demikian ini karena bid’ah itu akan melahirkan sekian banyak kesesatan. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada di umatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.

Para shahabat bertanya:  “Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Yaitu golongan yang mengikuti jalan hidupku dan jalan hidup para shahabatku.” (HR Tirmidzi, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Al-Jami’:5343)

Jadi ditegaskan di hadits ini bahwa umat Islam akan tercerai berai menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu golongan. Dan yang dikatakan selamat disini ialah selamat di dunia dan selamat di akhirat dari api neraka. Satu golongan yang tetap istiqomah ini berpegang dengan Al-Jama’ah sedangkan yang lainnya menyempal dari Al-Jama’ah sehingga sesat dan celaka. Mereka ini sesungguhnya yang dinamakan Islam sempalan.

Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak menulis buku-buku yang menguraikan berbagai golongan Islam sempalan ini dengan merinci satu persatu masing-masing pemahaman syahwatnya, agar umat Islam waspada dari bahaya kesesatan itu. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang menulis buku-buku tentang Islam sempalan ini ialah Al-Imam Ibnul Jauzy Al-Baghdadi dengan bukunya yang masyhur berjudul Talbis Iblis dalam satu jilid tebal.

Beliau menerangkan: “Sesungguhnya kita ahlus sunnah telah tahu adanya Islam sempalan dan pokok-pokok berbagai golongannya, dan sungguh setiap golongan dari mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Walaupun kita tidak mampu mengidentifikasi seluruh nama-nama golongan dan madzhab-madzhabnya, akan tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa induk-induk golongan ini ialah :
1. Al-Haruriyyah
2. Al-Qodariyyah
3. Al-Jahmiyyah
4. Al-Murji’ah
5. Ar-Rafidhah
6. Al-Jabriyyah

Sungguh para ulama telah menyatakan bahwa pokok berbagai sempalan yang sesat adalah enam aliran sempalan ini. Setiap aliran daripadanya terpecah menjadi dua belas aliran sehingga seluruhnya menjadi tujuh puluh dua aliran.”
Demikian Ibnul Jauzy menerangkan dalam Talbis Iblis karya beliau halaman 18-19 cet. Tahun 1347 H/1928 M Darut Thiba’ah Al-Muniriyyah.

Keterangan Tentang Keenam Pokok Aliran Sempalan :

1. Al-Haruriyyah
Ialah pemahaman kaum Khawarij yang mempunyai pemahaman sesat dalam perkara:
a. Mengkafirkan Sayyidinna Ali bin Abi Thalib karena mau berdamai dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan.

b. Mengkafirkan Ustman bin Affan karena dianggap membikin pelanggaran-pelanggaran selama pemerintahannya.

c. Mengkafirkan orang-orang yang ikut dalam perang Jamal (unta), yaitu ummul mukminin Aisyah, Thalhah, Zubair bin Al-Awwam, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair dan segenap tentara yang terlibat dalam pertempuran.

d. Mengkafirkan orang-orang yang terlibat dalam upaya perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sufyan. Juga mengkafirkan semua pihak yang terlibat dalam perundingan damai antara Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Mereka mengkafirkan semua orang pula yang ridha dan membenarkan dua upaya perdamaian di atas atau salah satunya.

e. Memberontak kepada pemerintahan muslimin yang berbuat dhalim karena pemerintahan tersebut dianggap kafir dengan perbuatan dhalimnya.

f. Menfkafirkan orang Islam yang berbuat dosa apapun.

2. Al-Qodariyyah
Ialah pemahaman sesat yang mengingkari rukun iman yang ke-enam, yaitu takdir Allah Ta’ala. Mereka mengatakan bahwa perbutan manusia ini adalah murni semata-mata dari perbuatan manusia sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kehendak dan takdir Allah.

3. Al-Jahmiyyah
Ialah pemahaman sesat yang menginginkan adanya sifat-sifat kemuliaan bagi Allah dan mengingkari nama-nama kemuliaan bagi-Nya.

4. Al-Murji’ah
Ialah peahaman sesat yang mengingkari hubungan antara iman dengan amal, dalam artian iman itu tidak bertambah dengan amalan shalih dn tidak pula berkurang dengan kemaksiatan sehingga imannya Nabi sama dengan imannya penjahat sekalipun.

5. Ar-Rafidhah
Ialah gerakan pemahaman sesat yang diwariskan oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan berupaya menyegarkan pemahamannya yang kafir, yaitu bahwa sayyidina Ali dan anak keturunannya adalah tuhan atau mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengkafirkan pula segenap shahabat Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. (Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah)

6. Al-Jabariyyah
Ialah pemahaman sesat yang meyakini bawa semua apa yang terjadi adalah perbuatan Allah dan tidak ada perbuatan makhluk sama sekali. Manusia tidak mempunyai kehendak sama sekali karena yang ada hanya kehendak Allah. Sehingga semua perbuatan manusia adalah ketaatan semata kepada kehendak Allah, dan tidak ada perbuatan maksiat. Orang berzina tidaklah dianggap maksiat karena perbuatan zina itu adalah perbuatan Allah dan kehendak-Nya. Semua manusia dianggap sama tidak ada muslim dan kafir, karena semuanya tidak mempunyai usaha (ikhtiar) dan tidak pula mempunyai kehendak apapun. (Talbis Iblis hal.22)

7. Al Mu’tazilah
Di samping enam aliran sesat yang kemudian bercabang menjadi berpuluh-puluh aliran sesat lainnya, juga ada aliran sesat yang besar pula, yaitu mu’tazilah. Aliran ini mengkeramatkan akal sehingga akal adalah sumber kebenaran yang lebih tinggi kedudukannya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari pengkeramatan akal ini timbullah kesesatan mereka yang meliputi :

a. Mengingkari adanya sifat-sifat mulia bagi Allah.

b. Orang Islam yang berbuat dosa tidak dinamakan muslim dan tidak dinamakan kafir, tetapi ia adalah fasiq. Akan tetapi bila ia tidak sempat bertaubat dari dosanya dan mati dalam keadaan demikian berarti kekal di neraka sebagaimana orang kafir. Orang yang telah masuk neraka tidak mungkin lagi masuk surga, sebagaimana orang yang masuk surga tidak mungkin lagi masuk neraka.

c. Menyerukan pemberontakan kepada pemerintah Islam yang berbuat dhalim dan pemberontakan itu dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.

d. Mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan hambanya.

e. Al-Qur’an itu adalah makhluk Allah sebagaimana pula sifat-sifat Allah lainnya adalah makhluk.

f. Mengingkari berita Al-Qur’an dan Al-hadits yang menyerukan bahwa wajah Allah itu dapat dilihat oleh kaum Mukminin di surga nanti. (Al-Farqu binal Firaq, Abdul Qahir Al-Isfaraini hal 114-115).

8. Al Bathiniyyah
Disamping mu’tazilah, ada juga aliran lain yang bernama bathiniyyah yang sering disebut orang thariqat sufiyyah. Mereka ini membagi syariat Islam dalam dua bagian, yaitu syariat batin dan syariat dhahir. Orang yang menganut aliran ini mempercayai bahwa para wali keramat itu syariatnya syariat batin sehingga tingkah lakunya tidak bisa diamati dengan patokan syariat dhahir.

Karena syariat batin itu sama sekali berbeda dengan syariat dhahir, maka yang haram di syariat dhahir bisa jadi halal dan bahkan suci dalam syariat batin. Orang-orang awam harus terikat dengan syariat dhahir. Jadi kalau orang awam berzina harus dicela dan dinilai telah berbuat maksiat, karena memang demikianlah syariat dhahir itu menilainya. Tapi kalau wali keramat berbuat mesum di diskotik atau di hotel tidak boleh dicela. Mereka para wali itu tidak lagi terikat dengan syariat dhahir, tetapi terikat dengan syariat bathin, yaitu syariat spesial milik para wali, jadi kalau ada orang yang mau mencoba mengkritik wali keramat itu dan mencelanya, maka ia harus setingkat mereka atau lebih tinggi.

Syariat dhahir itu diturunkan kepada Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam, sdangkan syariat batin diturunkan kepada para wali kearmat, melalui mimpi atau wangsit (ilham) atau lewat wahyu yang dibawa oleh para malaikat. (Talbis Iblis 162:169).

Dari aliran-aliran sempalan di atas terpecahlah sekian banyak aliran sesat yang ujungnya pasti membatalkan syariat Allah dan mengakkan syariat hawa nafsu serta kekafiran. (Al-Farqu bainal Firaq, Abdul Qahir bin Muhammad Al-Baghdadi Al-Isfaraini hal 281-312). Padahal masing-masing aliran yang bersumber dari 8 kelompok sempalan itu tentunya mempunyai pengikut dari umat Islam.

Demikianlah iblis dan anak buahnya memecah belah umat Islam melaui bid’ah, sehingga umat Islam terpecah belah menjadi beratus bahkan beribu-ribu aliran sesat yang telah menyempal dari Islam, walaupun mereka tetap meyakini keislamannya.

Tanah Subur bagi Islam Sempalan

Kalau Islam sempalan itu dimisalkan sebagai tanaman, maka tanah subur tempat ia tumbuh dengan bagus dan cepat ialah kebodohan umat Islam tentang agamanya. Kebodohan yang demikian ini adalah akibat dari semakin rendahnya perhatian umat kepada pentingnya memahami dan mempelajarai hukum agama.

Para ulama yang benar-benar memahami agama dan mengamalkannya semakin langka. Yang banyak ialah para ulama karbitan, makelar ilmu yang mencari dunia dengan agamanya. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan mencabutnya sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tidak tersisa seorang ulama pun, maka manusia pun menunjuk para pimpinan mereka orang-orang yang bodoh (tentang ilmu agama), maka mereka pun bertanya tentang agama kepada para pimpinan bodoh ini dan para pimpinan bodoh itupun memberi fatwa tanpa ilmu, akibatnya para pimpinan itu sesat dan menyesatkan pengikutnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi bermunculannya Islam sempalan, umat Islam harus dibangkitkan kembali semangatnya dalam menuntut dan mengamalkan ilmu agama. Disamping itu, segala upaya untuk menyebarkan ilmu agama haruslah dipermudah. Penjelasan dan pemahaman agama harus dikembalikan kepada ahlinya dan jangan sembarang orang merasa berhak berbicara tentangnya.

Apalagi kalau ia sama sekali tidak mempunyai latar belakang ilmu agama. Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat salah satunya ialah ilmu diambil dari orang-orang kecil.” (HR Ibnul Mubarrak dalam Az-Zuhud, lihat Ash-Shohihah no.696).

Ketika ditanya kepada Ibnul Mubarrak siapakah orang-orang kecil (Ashaghir) yang dimaksud di sini, beliau menjawab: “Orang-orang kecil itu ialah yang berbicara tentang agama dari pikirannya sendiri, adapun orang kecil yang mengambil ilmu dan menyampaikan dari ulama besar, maka tidaklah dia dimasukkan dalam golongan orang-orang kecil”. Oleh karena itu orang-orang yang menuntut ilmu agama dan kemudian menyebarkannya haruslah didkukung dan dibela, bila kita tidak ingin umat ini terus menerus diganggu dan dikacaukan oleh gerakan Islam sempalan.

Penutup

Mewaspadai gerakan Islam sempalan semestinya dengan ilmu agama yang cukup. Oleh karena itu para ulama ahlus sunnah wal jama’ah haruslah dijadikan patokan untuk menilai sesat atau tidaknya suatu gerakan. Dan jangan pula ulama karbitan dijadikan nara-sumber penilaian, akibatnya fitnah yang meresahkan umat Islam terus mencekam dan semakin sulit umat Islam dipersatukan serta dipersaudarakan dengan sesama mereka.
Wallahu a’lam bi shawab.

 

___________________________________________________________________________

(Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, Hal 11-13)

Judul Asli: Waspada terhadap Sempalan Islam

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=108
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh: Asy Syaikh Soleh Al Fauzan hafidzahullah

Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.

Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

Hari Raya Orang-orang Kafir Identik Dengan Agama Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

Setiap Umat Beragama Memiliki Hari Raya

Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48).

Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:

فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْداً وَإِنَّ هَذَا لَعِيْدُناَ

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ اْلأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:

1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)

Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)

Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:

وَلاَ تَدْخُلُوْا عَلىَ الْمُشْرِكيْنَ فِيْ كَناَئِسِهِمْ وَمَعاَبِدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْـزِلُ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya

Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)

Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)

3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)

4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)

5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka

Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Dosakah Bila Melakukan Hal Itu Dalam Rangka Mudahanah (basa-basi)?

Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya):

“Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

Orang-orang Kafir Bergembira Bila Kaum Muslimin Ikut Berpartisipasi Dalam Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

Bolehkah Seorang Muslim Ikut Merayakan Tahun Baru dan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)

Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.

Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257).

Wallahu A’lam.

___________________________________________________________

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=89


Perayaan Valentine’s Day Dalam IslamAqidah > Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Perayaan Valentine’s Day Dalam Islam

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Cinta adalah sebuah kata yang indah dan mempesona yang hingga sekarang belum ada yang bisa mendefinisikan kata cinta itu sendiri. Meskipun demikian setiap insan yang memiliki hati dan pikiran yang normal tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. Maha suci Dzat Yang telah menciptakan cinta.

Jika kita berbicara tentang cinta, maka secara hakikat kita akan berbicara tentang kasih sayang; jika kita berbicara tentang kasih sayang, maka akan terbetik dalam benak kita akan suatu hari yang setiap tahunnya dirayakan, hari yang selalu dinanti-nantikan oleh orang-orang yang dimabuk cinta, dan hari yang merupakan momen terpenting bagipara pemuja nafsu.

Sejenak membuka lembaran sejarah kehidupan manusia, maka disana ada suatu kisah yang konon kabarnya adalah tonggak sejarah asal mula diadakannya hari yang dinanti-nantikan itu. Tentunya para pembaca sudah bisa menebak hari yang kami maksud. Hari itu tak lain dan tak bukan adalah “Valentine Days” (Hari Kasih Sayang?).

Definisi Valentine’s Day

Para Pembaca yang budiman, mari kita sejenak menelusuri defenisi Valentine’s Day dari referensi mereka sendiri! Kalau kita membuka beberapa ensiklopedia, maka kita akan menemukan defenesi Valentine di tiga tempat :

Ensiklopedia Amerika (volume XIII/hal. 464) menyatakan, “Tanggal 14 Februari adalah hari perayaan modern yang berasal dari dihukum matinya seorang pahlawan kristen yaitu Santo Valentine pada tanggal 14 Februari 270 M”.

Ensiklopedia Amerika (volume XXVII/hal. 860) menyebutkan, “Yaitu sebuah hari dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta secara tradisional saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah. Yaitu hari dimana Santo Valentine mengalami martir (seorang yang mati sebagai pahlawan karena mempertahankan kepercayaan/keyakinan)”.

Ensiklopedia Britania (volume XIII/hal. 949), “Valentine yang disebutkan itu adalah seorang utusan dari Rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama”.


Sejarah Singkat Valentine Days

Konon kabarnya, sejak abad ke-4 SM, telah ada perayaan hari kasih sayang. Namun perayaan tersebut tidak dinamakan hari Valentine. Perayaan itu tidak memiliki hubungan sama sekali dangan hari Valentine, akan tetapi untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus. Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja. Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.

Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggalah seorang pendeta kristen yang bernama Valentine. Semasa hidupnya, selain sebagai pendeta ia juga dikenal sebagai tabib (dokter) yang dermawan, baik hati dan memiliki jiwa patriotisme yang mampu membangkitkan semangat berjuang. Dengan sifat-sifatnya tersebut, nampaknya mampu membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan yang mereka rasakan, karena kezhaliman sang Kaisar. Kaisar ini sangat membenci orang-orang Nashrani dan mengejar pengikut ajaran nabi Isa. Pendeta Valentine ini dibunuh karena melanggar peraturan yang dibuat oleh sang Kaisar, yaitu melarang para pemuda untuk menikah, karena pemuda lajang dapat dijadikan tentara yang lebih baik daripada tentara yang telah menikah. Valentine sebagai pendeta, sedih melihat pemuda yang mabuk asmara. Akhirnya dengan penuh keberanian, ia melanggar perintah sang Kaisar. Dengan diam-diam ia menikahkan sepasang anak muda. Pendeta Valentine berusaha menolong pasangan yang sedang jatuh cinta dan ingin membentuk keluarga. Pasangan yang ingin menikah lalu diberkati di tempat yang tersembunyi. Namun rupanya, sang Kaisar mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, dan kaisar sangat tersinggung hingga sang Pendeta diberi hukuman penggal oleh Kaisar Romawi yang bergelar Cladius II. Sejak kematian Valentine, kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya sampai pada tingkat pengkultusan !!

Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.

Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan “Valentine Days”

Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Biar tidak kelihatan formal, mereka membungkusnya dengan hiburan atau pesta-pesta.

Hukum Islam tentang Perayaan Valentine’s Day

Dalam Islam memang disyari’atkan berkasih sayang kepada sesama muslim, namun semuanya berada dalam batas-batas dan ketentuan Allah -Ta’ala- . Betapa banyak kita dapatkan para pemuda dan pemudi dari kalangan kaum muslimin yang masih jahil (bodoh) tentang permasalahan ini. Lebih parah lagi, ada sebagian orang yang tidak mau peduli dan hanya menuruti hawa nafsunya. Padahal perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Days) haram dari beberapa segi berikut :

Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir

Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, “Tak ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran. Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global”. [Lihat Al-Iqtidho’ (hal.186)].

Ikut merayakan Valentine’s Day termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut”. [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].

Seorang Ulama Mesir, Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengungkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya; “Diantara perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu membenci untuk menyamai Ahlul Kitab dalam segala urusan mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang terindah, dan menyemir rambut anak-anak mereka di hari itu dengan warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits shohih, “Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun mengikuti mereka”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani”. Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka”. [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu-]”.[Lihat Al-Ibda’ fi Madhorril Ibtida’ (hal. 254-255)]

Namun disayangkan, Sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan berbangga dengan perayaan Valentine Days. Di hari itu, mereka saling berbagi hadiah mulai dari coklat, bunga hingga lebih dari itu kepada pasangannya masing-masing. Padahal perayaan seperti ini tak boleh dirayakan. Kita Cuma punya dua hari raya dalam Islam. Selain itu, terlarang !!.

Pengantar Menuju Maksiat dan Zina

Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti; pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ : 32)

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَايَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يِمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]

Menciptakan Hari Rari Raya

Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan dalam firman-Nya,

“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS.Al-Maidah :3 ).

Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fitri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .

Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah– berkata saat mengomentari hadits ini, “Jadi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua hari raya yang sya’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu “.[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]

Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, justru perayaan ini sudah menjadi hari yang dinanti-nanti oleh sebagian kaum muslimin terutama kawula muda. Parahnya lagi, perayaan Valentine Days ini adalah untuk memperingati kematian orang kafir (yaitu Santo Valentine). Perkara seperti ini tidak boleh, karena menjadi sebab seorang muslim mencintai orang kafir.

__________________________________________________________________________________________________

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menyorot-perayaan-valentine-days.html#more-231

 

Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s DayAqidah >  Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

 

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Pertanyaan :

Bagaimana hukum merayakan hari Kasih Sayang / Valentine’s Day ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab :

“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca;

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal Ibadah Kita. Amin.

 

_____________________________________________________________________________

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s DayAqidah >  Perayaan Valentine’s Day Dalam Islam

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Beberapa versi sebab-musabab dirayakannya hari Kasih sayang ini, dalam The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day.

1. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada tahun 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. -Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan-. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri! .

Layaknya seorang muslim segera bertaubat mengucap istighfar, “Astaghfirullah“, wa naudzubillahi min dzalik.

 

___________________________________________________________________

(Dari berbagai sumber).

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Fatwa Ulama Tentang Merayakan Valentine’s DayAqidah >  Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Fatwa Ulama Tentang Merayakan Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Valentine’s Day sebenarnya, bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor kuffar. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine ? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra’ : 36).

Sebelum kita terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan kita tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan ummat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda: Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radiyallahu ‘anhu : Rasulullah bersabda:

“Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka“. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?” Rasulullah bersabda: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Bukhari dan Muslim ).

Pertanyaan :

Sebagian orang merayakan Yaum Al-Hubb (Hari Kasih Sayang) pada tanggal 14 Februari [bulan kedua pada kalender Gregorian kristen / Masehi] setiap tahun, diantaranya dengan saling-menghadiahi bunga mawar merah. Mereka juga berdandan dengan pakaian merah (merah jambu,red), dan memberi ucapan selamat satu sama lain (berkaitan dengan hari tsb).

Beberapa toko-toko gula-gula pun memproduksi manisan khusus – berwarna merah- dan yang menggambarkan simbol hati/jantung ketika itu (simbol love/cinta, red). Toko-tokopun tersebut mengiklankan yang barang-barang mereka secara khusus dikaitkan dengan hari ini. Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai hal berikut :

1. Merayakan hari valentine ini ?
2. Melakukan transaksi pembelian pada hari valentine ini?
3. Transaksi penjualan – sementara pemilik toko tidak merayakannya – dalam berbagai hal yang dapat digunakan sebagai hadiah bagi yang sedang merayakan?
Semoga Allah memberi Anda penghargaan dengan seluruh kebaikan !

Jawaban :

Bukti yang jelas terang dari Al Qur’an dan Sunnah – dan ini adalah yang disepakati oleh konsensus ( Ijma’) dari ummah generasi awal muslim – menunjukkan bahwa hanya ada dua macam Ied (hari Raya) dalam Islam : ‘ Ied Al-Fitr (setelah puasa Ramadhan) dan ‘ Ied Al-Adha (setelah hari ‘ Arafah untuk berziarah).

Maka seluruh Ied yang lainnya – apakah itu adalah buatan seseorang, kelompok, peristiwa atau even lain – yang diperkenalkan sebagai hari Raya / ‘Ied, tidaklah diperkenankan bagi muslimin untuk mengambil bagian didalamnya, termasuk mengadakan acara yang menunjukkan sukarianya pada even tersebut, atau membantu didalamnya – apapun bentuknya – sebab hal ini telah melampaui batas-batas syari’ah Allah:

وَتِلْكَ حُدُودُاللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”. [ At-Thalaq ayat: 1]

Jika kita menambah-nambah Ied yang telah ditetapkan, sementara faktanya bahwa hari raya ini merupakan hari raya orang kafir, maka yang demikian termasuk berdosa. Disebabkan perayaan Ied tersebut meniru-niru (tasyabbuh) dengan perilaku orang-orang kafir dan merupakan jenis Muwaalaat (Loyalitas) kepada mereka. Dan Allah telah melarang untuk meniru-niru perilaku orang kafir tersebut dan termasuk memiliki kecintaan, kesetiaan kepada mereka, yang termaktub dalam kitab Dzat yang Maha Perkasa (Al Qur’an). Ini juga ketetapan dari Nabi (Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) bahwa beliau bersabda :

“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”.

Ied al-Hubb (perayaan Valentine’s Day) datangnya dari kalangan apa yang telah disebutkan, termasuk salah satu hari besar / hari libur dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan untuk siapapun dari kalangan muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, adalah wajib untuknya menjauhi dari perayaan tersebut – sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allaah dan hukumanNya.

Lebih-lebih lagi, hal itu terlarang untuk seorang muslim untuk membantu atau menolong dalam perayaan ini, atau perayaan apapun juga yang termasuk terlarang, baik berupa makanan atau minuman, jual atau beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua hal ini dikaitkan sebagai bentuk tolong-menolong dalam dosa serta pelanggaran, juga sebagai bentuk pengingkaran atas Allah dan Rasulullah. Allah, Dzat yang Maha Agung dan Maha Tinggi, berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. [Surah al-Maa.idah, Ayat 2]

Demikian juga, termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk memegang teguh atas Al Qur’an dan Sunnah dalam seluruh kondisi – terutama saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan. Maka semoga dia memahami dan sadar dari akibat turutnya dia dalam barisan sesat tersebut yang Allah murka padanya (Yahudi) dan atas mereka yang tersesat (Kristen), serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu diantara mereka, yang tidak punya rasa takut – maupun harapan dan pahala – dari Allah, dan atas siapa-siapa yang memberi perhatian sama sekali atas Islam.

Maka hal ini sangat penting bagi muslim untuk bersegera kembali ke jalan Allah, yang Maha Tinggi, mengharap dan memohon Hidayah-Nya (Bimbingan) dan Tsabbat (Keteguhan) atas jalanNya. Dan sungguh, tidak ada pemberi petunjuk kecuali Allaah, dan tak seorangpun yang dapat menganugrahkan keteguhan kecuali dariNya.

Dan kepada Allaah lah segala kesuksesan dan semgoa Allaah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita ( Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan rekannya.

Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa
Ketua : Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz Al Asy-Syaikh;
Wakil Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;
Anggota: Syaikh ‘ Abdullaah ibn Ghudayyaan;

Anggota: Syaikh Bakar Ibn ‘ Abdullaah Abu Zaid

(Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor 21203. Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia)

 

____________________________________________________________________________________

Dinukil dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0020123_1.htm.
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Mengenal Pribadi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi WasallamAqidah >  Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

 

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tidak ada istilah Tauhid Hakimiyyah / Mulkiyah dalam Islam

Posted on 7 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Syaikh Suhaib Hasan Abdul Ghafar, ketua Jum’iyatul Qur’an Karim di London, mengajukan pertanyaan kepada Hai’ah Kibaril Ulama’ di kerajaan Saudi Arabia.

Diantara pertanyaannya yaitu :

“Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan ‘Tauhid Hakimiyah’ sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah Tauhid Ini termasuk dalam pembagian Tauhid yang tiga tersebut (Rububiyah, Uluhiyyah, Asma wa Sifat Allah) ? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya ?

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengutamakan Tauhid Uluhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini.

Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakanTauhid Asma wa Sifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hakimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini. Benarkah ucapan seperti ini ?”

Hai’ah Kibaril Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut :

Tauhiditu ada tiga macam yaitu ; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.

Adapun berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Uluhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hakimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid’ah) yang tidak pernah diucapkanoleh seorang pun dari para imam (Ahlusunnah) sepengetahuan kami.

Bahkan (-dari tiga macam pembagian tauhid di atas, red-) ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macamm, yaitu Tauhid Al-Ilmi Al-I’Tiqadi (Tauhid dalam Pengenalan dan Penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat dan yang kedua Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi (Tauhid dalam Meminta dan Menunjukkan) yaitu Tauhid Uluhiyah.

Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallahu a’lam.

Kita seluruhnya wajib mengutamakan Tauhid Uluhiyah dan memulai dengan melarang perbuatan syirik. Karena hal itu adalah dosa yang paling besar dan menggugurkan seluruh amal serta pelakunya kekal di dalam neraka. Seluruh para Nabi memulai dakwah mereka dengan memerintahkan agar ibadah kepada Allah semata dan melarang perbuatan syirik.

Sedangkan Allah memerintahkan kita mengikuti dan berjalan di atas manhaj mereka dalam berdakwah kepada Allah dalam semua perkara agama.

Mementingkan ketiga tauhid tersebut wajib di setiap masa. Karena kesyirikan dan penolakan terhadap Asma wa Sifat tetap terjadi, bahkan bertambah banyak dan dahsyat bahaya keduanya di akhir zaman ini.

Akan tetapi perkara ini samar bagi mayoritas kaum Muslimin, sedangkan para da’i yang menyeru pada kedua penyelewangan tersebut banyak dan sangat giat. Kesyirikan tidak hanya terjadi pada zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Penyelewengan Asma wa Sifat pun tidak hanya terjadi pada masa Imam Ahmad sebagaiman dikatakan oleh si penanya.

Bahkan pada masyarakat muslim hari ini bertambah besar bahayanya dan bertambah banyak terjadi. Sehingga mereka lebih sangat membutuhkan adanya orang-orang yang melarang kedua penyelewengan tersebut dan menjelaskan bahaya keduanya dengan pengetahun bahwa ‘istiqamah’ dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya dan mempraktekkan hukum-hukum syariat-Nya adalah termasuk dalam perwujudan tauhid dan keselamatan dari syirik.

(Fatwa Hai’ah Kibaril Ulama’ Saudi Arabia)

 

_______________________________________________________________________

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 17-18]

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=152

 

Tauhid, inti Dakwah para RasulAqidah >  Kedudukan Tauhid dalam Islam dan Urgensinya

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Bid’ahnya ucapan Shadaqallahul Adzim setelah Membaca al-Qur’an

Posted on 3 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , |

Dasar agama Islam ialah hanya beramal dengan Kitabullah dan Sunnah rasulNya. Keduanya adalah sebagai marja’ –rujukan- setiap perselisihan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Siapa yang tidak mengembalikan kepada keduanya maka dia bukan seorang mukmin. Allah berfirman,

“Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisa : 65).

Telah mafhum bersama bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk suatu urusan yang sia-sia, tetapi untuk satu tujuan agung yang kemaslahatannya kembali kepada manusia yaitu agar beribadah kepadaNya. Kemudian tidak hanya itu saja, tetapi Allah juga mengutus rasulNya untuk menerangkan kepada manusia jalan yang lurus dan memberikan hidayah –dengan izin Allah- kepada sirotil azizil hamid. Allah berfirman,

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS An Nahl : 64).

Sungguh, betapa besar rahmat Allah kepada kita, dengan diutusnya Rasulullah, Allah telah menyempurnakan agama ini. Allah telah berfirman,

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan telah Kuridhoi islam itu jadi agama bagimu…” (QS Al Maidah : 3).

Tak ada satu syariatpun yang Allah syariatkan kepada kita melainkan telah disampaikan oleh rasulNya. Aisyah berkata kepada Masyruq, “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad itu telah menyembunyikan sesuatu yang Allah telah turunkan padanya, maka sungguh ia talah berdusta !” (HR. Bukhori Muslim).

Berkat Al Imam As Syatibi, “Tidaklah Nabi meninggal kecuali beliau telah menyampaikan seluruh apa yang dibutuhkan dari urusan dien dan dunia…” Berkat Ibnu Majisyun, “Aku telah mendengar Malik berkata, “Barang siapa yang membuat bid’ah (perkara baru dalam Islam), kemudian menganggapnya baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad telah menghianati risalah, karena Allah telah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan unutukmu agamamu…””” (QS Al Maidah : 3).

Kaum muslimin –rahimakumullah-, sahabat Ibnu Mas’ud telah berkata, “Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru !”. Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah–nambah sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak ide atau atau anggapan–anggapan baik dalam agama yang tidak ada contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala, tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat yang telah dibawa oleh rasulullah, dan bahkan yang demikian itu dianggap telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi’i, ”Siapa yang membuat anggapan-anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru.”

Ucapan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin -sangat disayangkan-. Dari anak kecil sampai orang tua , pria atau wanita sudah biasa mengucapkan itu. Tak ketinggalan pula –sayangnya- para qori Al Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai membaca satu atau dua ayat AlQuran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu ?

Kaum muslimin –rahimakumullah-, mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah bid’ah, perhatikanlah keterangan- keterangan berikut ini.

Pertama
Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits Abdullah bin Mas’ud berkata, “Berkata Nabi kepadaku, “Bacakanlah padaku.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?” beliau menjawab, “ya”. Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (QS An Nisa : 41) beliau berkata, “cukup”. Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca.”
Sahabat Ibnu Mas’ud dalam hadits ini tidak menyatakan “sodaqollahul adzim” setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya untuk menyatakan “sodaqollahul adzim”, beliau hanya mengatakan kepada Ibnu Mas’ud “cukup”.

Kedua
Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 6 dan Muslim no. 2308 dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata, “Adalah Rasulullah orang yang paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan ramadhan, sampai saat Jibril menemuinya –Jibril selalu menemuinya tiap malam di Bulan Ramadhan- bertadarus Al Quran bersamanya”.
Tidak dinukil satu kata pun bahawa Jibril atau Nabi Muhammad ketika selesai qiroatul Quran mengucapkan “sodaqollahul adzim”.

Ketiga
Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 3809 dan Muslim no. 799 dari hadits Anas bin Malik –radiyallahu anhuma-, “Nabi berkata kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membacakan kepadamu “lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitab” (“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”) (QS Al Bayyinah : 1). Ubay berkata , ”menyebutku ?” Nabi menjawab, “ya”, maka Ubay pun menangis”.
Nabi tidak mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membaca ayat itu.

Keempat
Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 4474 dari hadits Raafi’ bin Al Ma’la –radiyallahu anhuma- bahwa Nabi bersabda, “Maukah engkau kuajari surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum aku pergi ke masjid ?” Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku mengingatkannya dan beliau berkata, “Alhamdulillah, ia (surat yang agung itu) adalah As Sab’ul Matsaani dan Al Quranul Adzim yang telah diberikan kepadaku.”
Beliau tidak mengatakan “sodaqollahul adzim”.

Kelima
Terdapat dalam Sunan Abi Daud no. 1400 dan Sunan At Tirmidzi no. 2893 dari hadits Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Ada satu surat dari Al Quran banyaknya 30 ayat akan memberikan syafaat bagi pemiliknya –yang membacanya/ mengahafalnya- hingga ia akan diampuni, “tabaarokalladzii biyadihil mulk” (“Maha Suci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan…”) (QS Al Mulk : 1).
Nabi tidak mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membacanya.

Keenam
Dalam Shahih Bukhori no. 4952 dan Muslim no. 494 dari hadits Baro’ bin ‘Ajib berkata, “Aku mendengar Rasulullah membaca di waktu Isya dengan “attiini waz zaituun” , aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih indah suaranya darinya”.
Dan beliau tidak mengatakan setelahnya “sodaqollahul adzim”.

Ketujuh
Diriwatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 873 dari hadits Ibnat Haritsah bin An Nu’man berkata, “Aku tidak mengetahui/hafal “qaaf wal qur’aanil majiid” kecuali dari lisan rasulullah, beliau berkhutbah dengannya pada setiap Jumat”.
Tidak dinukil beliau mengucapkan setelahnya “sodaqollahul adzim” dan tidak dinukil pula ia (Ibnat Haritsah) saat membaca surat “qaaf” mengucapkan “sodaqollahul adzim”.
Jika kita mau menghitung surat dan ayat-ayat yang dibaca oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para tabiin dari generasi terbaik umat ini, dan nukilan bahwa tak ada satu orangpun dari mereka yang mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membacanya maka akan sangat banyak dan panjang. Namun cukuplah apa yang kami nukilkan dari mereka yang menunjukkan bahwa mengucapkan “sodaqollahul adzim” setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya adalah bid’ah –perkara yang baru- yang tidak pernah ada dan di dahului oleh genersi pertama.
Kaum muslimin –rahimakumullah-, satu hal lagi yang perlu dan penting untuk diperhatikan bahwa meskipun ucapan “sodaqollahul adzim” setelah qiroatul Quran adalah bid’ah, namun kita wajib meyakini dalam hati perihal maknanya bahwa Allah maha benar dengan seluruh firmannya, Allah berfirman, “Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya daripada Allah”, dan Allah berfirman, “Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya dari pada Allah”. Barang siapa yang mendustakanya –firman Allah- maka ia kafir atau munafiq.
Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah.

Penulis:  Ustadz Abu Hamzah Yusuf
http://fdawj.atspace.org/awwb/th1/5.htm
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Pengagungan Kuburan / Makam Para Wali

Posted on 10 Januari 2011. Filed under: Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Kalau kita menengok perkembangan ideologi umat dewasa ini, maka banyak dijumpai kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh sebagian manusia, dan menjadi tempat yang lebih ramai dari tempat-tempat wisata. Mereka berduyun-duyun datang dari penjuru daerah maupun negara untuk meraih berbagai hajatnya masing-masing. Ada yang datang untuk meminta jodoh, jabatan, kekayaan, ataupun mendatangkan keselamatan hidup. Ada juga sebagian lainnya datang untuk beribadah kepada Allah seperti shalat, membaca Al Qur’an dan yang lainnya dengan anggapan bahwa beribadah di samping kuburan orang shalih lebih mendatangkan kekhusyu’an.

Sementara di sisi lain masjid-masjid Allah semakin sunyi dari jama’ah, sungguh ironis sekali. Hal inilah yang mendorong untuk dimuatnya tema ini, sebagai bentuk nasehat dan tambahan ilmu untuk kita semua, yang didasari atas rasa ukhuwah (solidaritas) imaniyah semata. Rasulullah bersabda:

الدِّيْنُ ألنَّصِيْحَةُ ، الدِّيْنُ ألنَّصِيْحَةُ ، الدِّيْنُ ألنَّصِيْحَةُ

“Agama adalah nasehat, Agama adalah nasehat, Agama adalah nasehat. (HR. Muslim, dari sahabat Tamim Ad Daari )

Bisakah Orang Mati Memberikan Manfaat ?

Secara fitrah yang suci, orang yang telah mati tidak mampu lagi berhubungan dengan orang yang hidup, baik berbicara ataupun mendengar panggilan orang yang memanggil. Lebih dari itu, Allah sebagai dzat Yang Maha Mengetahui tentang makhluk-Nya menetapkan bahwa orang yang mati telah terputus amalnya, tidak lagi ia mampu menjawab panggilan orang yang memanggil atau mengabulkan do’a orang yang berdo’a kepadanya, dan tidak ada seorang pun yang mampu menjadikan orang mati dapat berinteraksi dengan orang yang hidup. Sebagaimana firman Allah (artinya):

“Dan orang-orang yang kalian sembah selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kalian menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruan kalian, dan kalaupun mereka mendengarnya mereka tiada dapat memperkenankan permintaan kalian dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian……” (Faathir: 13-14)

Begitu juga firman-Nya:

“Dan kamu (Wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang-orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 22)

Rasululah bersabda (artinya):

“Bila anak Adam (manusia) telah meninggal maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasaa’i)

Pengagungan Kuburan Dari Masa Ke Masa

Awal mula munculnya fitnah pengagungan kuburan ini, terjadi pada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, sebagaimana diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang mereka (artinya):

“Nuh berkata: “Wahai Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan mereka telah melakukan tipu daya yang amat besar”. Mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.…” (Nuh: 21-24)

Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Al Bukhari menyatakan: “Sesembahan tersebut adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orang-orang shalih itu mati, tampillah setan membisikkan kepada orang-orang; “Dirikanlah di majelis-majelis kalian patung-patung mereka dan namakanlah dengan nama-nama mereka!” Orang-orang pun melakukan hal tersebut namun masih belum disembah, sampai orang-orang itu meninggal (dari generasi ke generasi) dan ilmu semakin dilupakan, akhirnya patung-patung tersebut itu pun disembah.”

Fitnah pengagungan kuburan terus berlangsung dari masa ke masa. Termasuk Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashara) juga mendapat kutukan dari Allah , disebabkan mereka terjatuh dalam pengagungan kuburan ini. Al Imam Al Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahih keduanya meriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah, bahwa Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah apa yang ia lihat tentang gereja Maria di negeri Habasyah (Ethopia) yang di dalamnya terdapat gambar-gambar/patung-patung. Rasulullah bersabda: “Mereka (Yahudi dan Nashara), bila ada seorang shalih diantara mereka meninggal, maka mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung (monumen-monumen) ataupun gambar-gambar orang shalih tersebut di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah . (Al Bukhari 1/15 dan Muslim 1/375)

Rasulullah diutus ke muka bumi juga pada saat bangsa Arab terfitnah dengan penyembahan patung orang-orang shalih yang di tancapkan di kuburan-kuburan mereka atau disekitar Ka’bah. Terbukti -hal yang demikian itu- dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya): “Apakah patut kamu (wahai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata, Al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.”(An-Najm: 19-22)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adalah seseorang yang membuat adonan roti dari gandum untuk para jamaah haji (tatkala ia mati orang-orang beri’tikaf di atas kuburnya lalu mereka menjadikannya berhala -red).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 4/35 dan Al Qaulul Mufid 1/253 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)

Para pembaca, kita bisa menyaksikan (langsung) pula bahwa malapetaka atau fitnah kuburan ini pun merupakan asal usul kekafiran dari agama-agama selain agama samawi, seperti Hindu, Budha, Konghuchu, agama-agama sesat yang ada di Yunani dan kepercayaan-kepercayaan lainnya yang tersebar di belahan dunia ini. Atas dasar itulah, sesungguhnya hakekat seluruh bentuk kekufuran adalah satu, karena dedengkot kekufuran itu adalah satu pula yaitu Iblis la’natullah.

Bentuk-Bentuk Pengagungan Kubur

Para pembaca, sesungguhnya fitnah pengagungan kuburan ini bermula dari sikap ghuluw (ekstrim) di dalam memuliakan orang-orang shalih. Padahal sikap ghuluw merupakan cara jitu iblis dan pengikutnya untuk menjatuhkan manusia dalam kebinasaan, dan ternyata telah terbukti pada kaum-kaum sebelum Islam. Pantaslah Rasulullah bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُو فَإِنَّمَا أَهْلََكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الغُلُو

“Hati-hatilah kalian dari perbuatan ghuluw (melampaui batas), sesungguhnya kebinasaan kaum sebelum kalian adalah karena disebabkan perbuatan ghuluw.”(HR. Ahmad)

Diantara bentuk-bentuk perbuatan ghuluw terhadap kuburan adalah:

1. Membuat Bangunan Di Atasnya.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tahdzir As-Sajid (hal. 9-20) membawakan hadits-hadits yang semuanya melarang membuat bangunan di atas kuburan. Diantaranya:

1. Hadits Jabir bin Abdullah :

نَهَىرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah melarang untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya dan membuat bangunan (mengkijing dan semisalnya) di atasnya.” (HR. Muslim, 3/62)

2. Hadits Ali , dari Abu Hayyaj Al-Asadi rahimahullah ia berkata:

قاَلَ ليْ علِيُّ بْنُ أَبِيْ طاَلِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى ماَ بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ أَنْ لاَتَدَعَ تِمْثاَلاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفاً إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku: ‘Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku dengannya? (Yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan.” (HR. Muslim)

Kalau kita melihat kenyataan sekarang, jarang sekali kuburan yang bersih dari bangunan, pengapuran, penerangan (lampu), bahkan ada yang dipasang tirai (selambu). Yang semuanya ini dilarang oleh agama, karena selain menyelisihi petunjuk Nabi , bahkan menyerupai kebiasaan orang-orang kafir dan menghambur-hamburkan harta. Padahal usaha tersebut sama sekali tidak memberikan manfaat kepada penghuni kubur, lebih dari itu sebagai fitnah bagi yang masih hidup.

2. Beribadah Kepada Allah Di Sisi Kuburan.

Perbuatan ini berasal dari sebuah keyakinan bahwa beribadah di sisi kuburan lebih bisa mendatangkan kekhusyu’an dan barakah. Disini kita sebutkan beberapa contoh ibadah yang lagi marak dilakukan di atasnya:

a.Shalat, sesungguhnya ia merupakan ibadah yang sangat mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan syari’at. Telah datang hadits-hadits shohih yang melarang shalat di atas kubur baik mengadap ke kuburan ataupun tidak (yakni menghadap ke kiblat). Diantaranya:

Hadits Abu Martsad Al Ghanawi , Rasulullah bersabda:

لاَتُصَلُّوا إِلَى الْقُبُور

“Janganlah kalian shalat menghadap ke kubur.” (HR. Muslim)

2. Hadits Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنِ الصَّلاَةِ بَيْنَ الْقُبُورِ

“Sesungguhnya Nabi Muhammad melarang shalat diantara kuburan-kuburan.” (HR. Al Bazzar no. 441, Ath Thabrani di Al Ausath 1/280)

3. Hadits Abu Sa’id Al Khudri

الأََرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

“Bumi dan seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah)

b. Memotong hewan kurban di atasnya. Rasulullah bersabda:

لاَعَقْرَ (أَي عِنْدَ الْقَبْرِ) فِي الإِسْلاَمِ

“Tidak ada sesembelihan di atas kuburan dalam Islam.” (HR. Abu Dawud 2/71, Ahmad 3/197, dari sahabat Anas )

Al Imam An Nawawi berkata: “Menyembelih sembelihan di atas kubur merupakan perbuatan yang dilarang, sesuai kandungan hadits Anas .” (Al Majmu’: 5/320)

c. Sengaja membaca Al Qur’an, berdo’a, bernadzar ataupun jenis ibadah yang lainnya di sisi kuburan.

Semua perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, kalau seandainya perkara ini adalah baik niscaya Rasulullah pasti akan menyampaikannya dan para sahabatlah radhiyallahu ‘anhum yang paling dahulu mengamalkannya.

Semestinya rumah-rumah Allah (masjid) ataupun rumah-rumah kita sendiri itulah yang lebih pantas untuk diramaikan dengan berbagai macam ibadah, bukan kuburan. Rasulullah bersabda:

لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُم

“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)

Dan jenis perbuatan inipun juga masuk dalam larangan sabda Rasulullah :

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ

“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid-masjid.” (HR. Al-Bukhari, 3/156, Muslim, 2/67 dan lainnya)

Karena makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup membangun masjid di atas kuburan dan juga mencakup menjadikan kuburan sebagai tempat sujud (ibadah) ataupun berdo’a walaupun tidak ada bangunan di atasnya. Kecuali berdo’a untuk si mayit, karena inilah yang dianjurkan dalam agama. (Lihat Ahkamul Jana’iz hal. 279 karya Asy Syaikh Al Albani dan Al Qaulul Mufid 1/396)

Sedangkan keyakinan menjadikan penghuni kubur sebagai wasilah (perantara) untuk mendekatkan dia dengan Allah , juga termasuk amalan baru (diada-adakan) yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian dari agama, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al Imam Asy Syafi’i berkata:

مَنِ اسْتَحَْسَنَ فَقَدْ شَرَع

“Barangsiapa yang menganggap baiknya suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.” (Al Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)

Sehingga jenis tawassul seperti ini tergolong dari tawassul yang tidak disyari’atkan (terlarang).

3. Beribadah Kepada Penghuni Kubur.

Tujuan utama yang diharapkan oleh iblis dan bala tentaranya adalah memalingkan manusia untuk mempersembahkan peribadatan kepada selain Allah . Kenyataan ini pun terjadi, banyak kita jumpai kuburan-kuburan yang dikunjungi ratusan bahkan ribuan orang perharinya. Dalam keadaan khusyu’ dan takut, bahkan diiringi linangan air mata, mereka meminta kepada penghuni kubur baik rizki, jodoh, jabatan, atau ketika ditimpa musibah buru-buru menyembelih sembelihan untuk penghuni kuburan tersebut. Inilah hakekat kesyirikan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad dari sahabat Abu Hurairah)

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celaka dan binasalah orang-orang yang melampaui batas (ekstrim).” (HR. Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud )

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya barang siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan baginya al jannah (surga), dan tempat kembalinya adalah an naar (neraka) dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang zhalim.” (Al Maidah: 72)

Akhir kata, kami mengajak seluruh saudara-saudara kaum muslimin untuk meramaikan masjid-masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan majlis-majlis ilmiah yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan apa yang telah dipahami oleh para sahabat nabi . Karena dengan tersebarnya ilmu yang haq ini merupakan jalan keluar terbaik dari musibah (fitnah) yang menimpa umat Islam yaitu pengagungan terhadap kuburan-kuburan yang dikeramatkan. (Nantikan edisi berikutnya: ‘Ziarah Kubur Dalam Bingkai Sunnah Nabawiyyah’)

 

____________________________________________________________________________________

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=113#more-113
Judul asli: Fitnah Kuburan Malapetaka Umat

 

Ziarah Kubur dalam IslamAqidah >  Meraih Kebahagiaan Hakiki

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sejarah Hitam IM (Ikhwanul Muslimin)

Posted on 4 Januari 2011. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Tokoh Sempalan | Tag:, , , , , , , , , , |

Pemikiran dan buku tokoh-tokoh mereka, semacam Hasan Al-Banna, Sayyid Quthub, Said Hawwa, Fathi Yakan, Yusuf Al-Qardhawi, At-Turabi tersebar luas dengan berbagai bahasa, sehingga sempat mewarnai gerakan-gerakan dakwah di berbagai negara.

Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya.

Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.

Kelahirannya

Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.

Pendidikannya

Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemimpinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.

Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perkenalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.

Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabipun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)

Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman se-tarekat ke kuburan, untuk meng-ingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.

Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab-pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya mendapat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga memberi saya wirid dan amalan tarekat itu.”

Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”

Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’ta-zilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.

Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.

Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.

Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya-pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.

Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin

Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin. Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya. Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.

Wafatnya

Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.

Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan. Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa? Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salaf.

Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram. Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam katakan:

تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا

“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)

Untuk melihat lebih dekat dan jelas buktinya mari kita simak pembahasan berikutnya.

Pandangan Umum terhadap Gerakan Ikhwanul Muslimin

Sekilas, dari sejarah singkat Hasan Al-Banna tampak jati diri gerakan yang didirikannya. Namun itu tidak cukup untuk mengungkap lebih gamblang. Untuk itu perlu kami nukilkan di sini beberapa kesimpulan yang didasari oleh komentar Al-Banna sendiri atau tokoh-tokoh gerakan ini atau simpatisannya.

Pertama: Menggabung Kelompok-kelompok Bid’ah

Tentu pembaca tahu, bahwa bid’ah tercela secara mutlak dalam agama:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Semua bid’ah itu sesat.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)

Kata-kata ini senantiasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ucapkan dalam pembukaan khutbahnya. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga katakan:

لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثاً

“Allah melaknati orang yang melindungi bid’ah.” (HR. Muslim, Kitabul Adhahi, Bab Tahrim Adz-Dzabh Lighairillah, no. 5096)

Yakni ridha terhadapnya dan tidak mengingkarinya. Dan banyak lagi hadits yang lain. Tapi anehnya, Al-Banna justru menaungi kelompok-kelompok bid’ah sebagaimana dia sendiri ungkapkan: “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah… tarekat sunniyah… hakekat shufiyyah…dan badan politik…” (Majmu’ah Rasa`il, hal. 122)

Ini menggambarkan usaha untuk mencampur antara al-haq dan al-bathil. Dan ini adalah cara yang batil. Jika memang dakwahnya adalah salafiyyah yang sesungguhnya –dan itulah kebenaran– tidak mungkin dipadukan dengan shufiyyah dengan berbagai bid’ahnya dan praktek politik praktis yang diimpor dari Barat.

Karena prinsip ini, maka realita membuktikan bahwa: “Ratusan ribu manusia telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka dari kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Shufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Shufi gaya baru…,” demikian ungkap Muhammad Quthub dalam bukunya Waqi’una Al-Mu’ashir (hal. 405).

Bahkan dengan kelompok Syi’ah-pun berpelukan. Itu terbukti dengan usaha Al-Banna untuk menyatukan antara Sunnah dengan Syi’ah, dan tak sedikit anggota gerakan yang beraliran Syi’ah. Umar At-Tilmisani, murid Al-Banna sekaligus pimpinan umum ketiga gerakan ini, mengungkapkan: “Pada tahun empat-puluhan seingat saya, As-Sayyid Al-Qummi, dan ia berpaham Syi’ah, singgah sebagai tamu Ikhwanul Muslimin di markas besarnya. Dan saat itu Al-Imam Asy-Syahid (Al-Banna) berusaha dengan serius untuk mendekatkan antar berbagai paham, sehingga musuh tidak menjadikan perpecahan paham sebagai celah, yang dari situ mereka robek-robek persatuan muslimin. Dan kami suatu hari bertanya kepadanya, sejauh mana perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah, maka ia pun melarang untuk masuk dalam permasalahan semacam ini… Kemudian mengatakan: ‘Ketahuilah bahwa Sunnah dan Syi’ah adalah muslimin, kalimat La ilaha illallah Muhammad Rasulullah menyatukan mereka, dan inilah pokok aqidah. Sunnah dan Syi’ah dalam hal itu sama dan sama-sama bersih. Adapun perbedaan antara keduanya adalah pada perkara-perkara yang mungkin bisa didekatkan.” (Dzikrayat la Mudzakkirat, karya At-Tilmisani, hal. 249-250)

Benarkah dua kelompok itu sama dan bersih dalam dua kalimat syahadat? Tidakkah Al-Banna tahu, bahwa di antara kelompok Syi’ah ada yang menuhankan ‘Ali bin Abi Thalib? Tidakkah dia tahu bahwa Syi’ah menuhankan imam-imam mereka, dengan menganggap mereka mengetahui perkara-perkara ghaib? Tidakkah dia tahu bahwa di antara Syi’ah ada yang meyakini bahwa Malaikat Jibril keliru menyampaikan risalah –mestinya kepada Ali, bukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam–? Seandainya hanya ini saja (penyimpangan) yang dimiliki Syi’ah, mungkinkah didekatkan antara keduanya? Lebih-lebih dengan segudang kekafiran dan bid’ah Syi’ah.

Kedua: Lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`

Pembaca, tentu anda tahu bahwa Al-Wala` (loyalitas kepada kebenaran) dan Al-Bara` (antipati terhadap kebatilan) merupakan prinsip penting dalam agama kita, Islam.

Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (wafat 449 H) mengatakan: “Dengan itu, (Ahlus Sunnah) seluruhnya bersepakat untuk merendahkan dan menghinakan ahli bid’ah, dan menjauhkan serta menjauhi mereka, dan tidak berteman dan bergaul dengan mereka, serta mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi mereka.” (‘Aqidatussalaf Ashabil Hadits, hal. 123, no. 175)

Tapi prinsip ini menjadi luntur dan benar-benar luntur dalam manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Itu terbukti dari penjelasan di atas. Juga sambutan hangatnya terhadap pimpinan aliran Al-Marghiniyyah, sebuah aliran wihdatul wujud yang menganggap Allah menjadi satu dengan makhluk (lihat Qafilatul Ikhwan Al-Muslimin, 1/259, karya As-Sisi). Lebih dari itu –dan anda boleh kaget– Al-Banna mengatakan: “Maka saya tetapkan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan permusuhan karena agama. Karena Al-Qur`an menganjurkan untuk bersahabat dengan mereka. Dan Islam adalah syariat kemanusiaan sebelum syariat kesukuan. Allah-pun telah memuji mereka dan menjadikan kesepakatan antara kita dengan mereka… dan ketika Allah ingin menyinggung masalah Yahudi, Allah menyinggung mereka dari sisi ekonomi, firman-Nya….” (Al-Ikhwanul Al-Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/409 dinukil dari Al-Maurid, hal. 163-164)

Apa yang pantas kita katakan wahai pembaca? Barangkali tepat kita katakan di sini:

أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (Al-Baqarah: 85)

Kemana hafalan Al-Qur`an-nya? Siapapun yang membaca pasti tahu bahwa Allah telah mengkafirkan Yahudi, mereka membunuh para nabi, mencela Allah, tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beberapa kali berusaha membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah ini semua tidak pantas menimbulkan permusuhan antara muslimin dengan Yahudi dalam pandangannya?

Bukti lain tentang lemahnya Al-Wala` dan Al-Bara`, bahwa sebagian penasehatnya adalah Nashrani. Menurut pengakuan Yusuf Al-Qardhawi, katanya: “Saya tumbuh di sebuah lingkungan yang berkorban untuk Islam. Madrasah ini, yang memimpinnya adalah seorang yang mempunyai ciri khas keseimbangan dalam pemikiran, gerakan, dan hubungannya. Itulah dia Hasan Al-Banna. Orang ini sendiri adalah umat dari sisi ini, di mana dia bisa bergaul dengan semua manusia, sampai-sampai sebagian penasehatnya adalah orang-orang Qibthi –yakni suku bangsa di Mesir yang beragama Nashrani– dan ia masukkan mereka ke dalam departemen politiknya…” (Al-Islam wal Gharb, ma’a Yusuf Al-Qardhawi, hal. 72, dinukil dari Dhalalat Al-Qardhawi, hal. 4)

Padahal Allah k berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُوْنِكُمْ لاَ يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ اْلآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali ‘Imran: 118)

Ketiga: Tidak Perhatian terhadap Aqidah

Pembaca, aqidah adalah hidup matinya seorang muslim. Bagi muslim sejati, yang berharga menjadi murah demi membela aqidah. Aqidah adalah segala-galanya, tidak bisa main-main, tidak bisa coba-coba. Tapi tidak demikian adanya dengan kelompok yang kita bicarakan ini. Itu terbukti dari keterangan di atas, ditambah keadaan Al-Banna sendiri yang tidak beraqidah salaf dalam mengimani Asma`ul Husna dan sifat-sifat Allah. Salah jalan, ia terangkan aqidah salaf tapi ternyata itu aqidah khalaf (yang datang belakangan dan menyelisihi salaf). Ungkapnya: “Adapun Salaf, mereka mengatakan: Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan kami serahkan keterangan tentang maksudnya kepada Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka menetapkan sifat Al-Yad (tangan) dan Al-’Ain (mata)… Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya…” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 292, 324)

Tauhid Al-Asma` dan Sifat, adalah salah satu dari tiga unsur penting dalam ilmu-ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Intinya adalah mengimani nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat-sifat-Nya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an atau Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan dalam hadits yang shahih.

Aqidah Ahlussunnah dalam hal ini tergambar dalam jawaban Imam kota Madinah saat itu, Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbuhi rahimahullah, ketika ditanya oleh seseorang: “Allah naik di atas ‘Arsy-Nya, bagaimana di atas itu?” Dengan bercucuran keringat karena kaget, beliau menjawab: “Naik di atas itu diketahui maknanya. Caranya tidak diketahui. Iman dengannya adalah wajib. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah!”

Ucapan Al-Imam Malik ini minimalnya mengandung empat hal:

1. Naik di atas itu diketahui maknanya: Demikian pula nama, sifat dan perbuatan Allah yang lain seperti, murka, cinta, melihat, dan sebagainya. Semuanya diketahui maknanya, dan semua itu dengan bahasa Arab yang bisa dimengerti.

2. Tapi caranya tidak diketahui: yakni kaifiyyah, cara dan seperti apa tidaklah diketahui, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberitahukan perincian tentang hal ini. Demikian pula sifat-sifat yang lain.

3. Iman dengannya adalah wajib: karena Allah memberitakannya dalam Al-Qur`an dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dalam haditsnya yang shahih.

4. Dan bertanya tentang itu adalah bid’ah: yakni bertanya tentang tata caranya dan seperti apa sifat-sifat tersebut adalah bid’ah, tidak pernah dilakukan oleh generasi awal. Mereka beriman apa adanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah memberitakan perincian tata caranya. Berbeda dengan ahli bid’ah yang melakukan takyif yakni mereka-reka kaifiyyah sifat tersebut, atau bertanya untuk mencari tahu dengan pertanyaan: Bagaimana?

Dengan penjelasan di atas, maka ucapan Hasan Al-Banna: …”Semua itu dengan makna yang tidak kita ketahui, dan kita serahkan kepada Allah pengetahuan tentang ilmunya”, adalah ucapan yang menyelisihi kebenaran. Dan ini tentu bukan manhaj salaf. Bahkan ini adalah manhaj Ahluttafwidh atau Al-Mufawwidhah, yang menganggap ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah itu bagaikan huruf muqaththa’ah, yakni huruf-huruf di awal surat seperti alif lam mim, yang tidak diketahui maknanya.

Madzhab ini sangat berbahaya, yang konsekuensinya adalah menganggap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya bodoh, karena mereka tidak mengetahui makna ayat-ayat itu. Oleh karenanya, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa: “Al-Mufawwidhah termasuk sejahat-jahat ahli bid’ah.” (lihat Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql karya Ibnu Taimiyyah, 1/201-205, dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 71)

Bukti lain, ia hadir di salah satu sarang kesyirikan terbesar di Mesir yaitu kuburan Sayyidah Zainab, lalu memberikan wejangan di sana, tetapi sama sekali tidak menyinggung kesyirikan-kesyirikan di sekitar kuburan itu (lihat buku Qafilatul Ikhwan, 1/192). Jika anda heran, maka akan lebih heran lagi ketika dia mengatakan: “Dan berdoa apabila diiringi dengan tawassul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan perantara seseorang dari makhluk-Nya, adalah perbedaan pendapat yang sifatnya furu’ (cabang) dalam hal tata cara berdoa dan bukan termasuk perkara aqidah.” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Pembaca, jika anda mengikuti kajian-kajian majalah kesayangan ini, pada dua edisi sebelumnya dalam Rubrik Aqidah akan anda dapati pembahasan tentang tawassul. Tawassul (menjadikan sesuatu sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Allah) telah dibahas panjang lebar oleh ulama dan sangat erat kaitannya dengan aqidah. Di antara tawassul itu ada yang sampai kepada derajat syirik akbar, adapula yang bid’ah. Dari sisi ini, bisa pembaca bandingkan antara nilai aqidah menurut para ulama dan menurut Hasan Al-Banna.

Keempat: Menganggap Sepele Bid’ah dalam Agama

Sekilas telah anda ketahui tentang bahaya bid’ah yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam katakan:

شَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

“Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.” (HR. Muslim, Kitabul Jum’ah, no. 2002)

Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallm berpesan:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ …

“Dan jauhi oleh kalian perkara-perkara baru (yakni dalam agama) karena semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan di neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Namun berbeda keadaannya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana anda baca dalam sejarah ringkas Al-Banna. Berbagai macam bid’ah ia kumpulkan, kelompok-kelompok bid’ah ia rangkul, acara bid’ah ia datangi seperti maulud Nabi dan dzikir bersama dengan satu suara, bahkan sebagian bacaannya mengandung aqidah wihdatul wujud. Tentu itu bukan secara kebetulan, terbukti dengan penegasannya: “Dan bid’ah idhafiyyah, tarkiyyah, dan iltizam pada ibadah-ibadah yang bersifat mutlak adalah perbedaan fiqih, yang masing-masing punya pendapat dalam masalah itu…” (Majmu’ Rasa`il karya Al-Banna, hal. 270)

Ia hanya anggap bid’ah-bid’ah itu layaknya perbedaan fiqih biasa. Coba bandingkan dengan wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Oleh karenanya, muncul kaidah mereka yang sangat populer: “Kita saling membantu pada perkara yang kita sepakati, dan saling mamaklumi pada apa yang kita perselisihkan.” Pada prakteknya, mereka saling memaklumi dengan Syi’ah, Shufi yang ekstrim, bahkan Yahudi dan Nashrani, apalagi ahli bid’ah yang belum sederajat dengan mereka.

Sedikit penjelasan terhadap ucapan Al-Banna, bid’ah idhafiyyah adalah sebuah amalan yang pada asalnya disyariatkan, tapi dalam pelaksanaannya ditambah-tambah dengan sesuatu yang bid’ah. Termasuk di dalamnya yaitu sebuah ibadah yang mutlak, artinya tidak terkait dengan waktu, jumlah, tata cara, atau tempat tertentu. Tetapi dalam pelaksanaannya, seseorang mengaitkan dengan tata cara tertentu dan iltizam (terus-menerus) dengannya. Contoh dzikir dengan ucapan La ilaha Illallah, dalam sebuah hadits dianjurkan secara mutlak, tapi ada orang yang membatasi dengan jumlah tertentu (500 kali, misalnya) dan beriltizam dengannya.

Bid’ah tarkiyyah, adalah meninggalkan sesuatu yang Allah halalkan atau mubahkan dengan niat bertaqarrub, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah dengan itu. Contohnya adalah orang yang tidak mau menikah dengan tujuan semacam itu, seperti yang dilakukan pendeta Nashrani dan sebagian muslimin yang mencontoh mereka. (lihat Mukhtashar Al-I’tsham, hal. 11 dan 72)

Kelima: Bai’at Bid’ah

Bai’at adalah sebuah ibadah. Layaknya ibadah yang lain, tidak bisa dibenarkan kecuali dengan dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sejarah Nabi dan para shahabatnya, bahkan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka, mereka tidak pernah memberikan bai’at kepada selain khalifah, imam, atau penguasa muslim. Maka, sebagaimana dikatakan Sa’id bin Jubair –seorang tabi’in–: “Sesuatu yang tidak diketahui oleh para Ahli Badr (shahabat yang ikut Perang Badr), maka hal itu bukan bagian dari agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165). Al-Imam Malik mengatakan: “Sesuatu yang di masa shahabat bukan sebagai agama, maka hari ini juga bukan sebagai agama.” (Al-Fatawa, 4/5 dinukil dari Hukmul Intima`, hal. 165)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang bai’at, beliau menjawab: “Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyyul amr (penguasa) kaum muslimin. Adapun bai’at-bai’at yang ada ini adalah bid’ah, dan merupakan akibat dari adanya ikhtilaf (perselisihan). Yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di satu negara atau satu kerajaan, hendaknya bai’at mereka hanya satu dan untuk satu pimpinan…” (Fiqh As-Siyasah As-Syar’iyyah hal. 281 dan lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 214). Lebih rinci tentang hukum bai’at, silakan anda buka-buka kembali Asy-Syariah edisi-edisi sebelumnya.

Sementara, Hasan Al-Banna sendiri berbai’at kepada syaikh tarekat shufi. Dan ketika mendirikan gerakan ini, ia dibai’at oleh enam tunas gerakan ini, bahkan Al-Banna menjadikan bai’at sebagai unsur penting manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin. Dia katakan: “Wahai saudara-saudara yang jujur, rukun bai’at kita ada sepuluh, hafalkanlah: 1. Paham, 2. Ikhlas, 3. Amal, 4. Jihad, 5. Pengorbanan, 6. Taat, 7. Kokoh, 8. Konsentrasi, 9. Persaudaraan, 10. Percaya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 268)

Untuk mengkaji kritis secara tuntas point-point itu tentu butuh berlembar-lembar kertas. Namun cukup untuk mengetahui batilnya, bahwa rukun-rukun bai’at ini berdiri di atas asas bai’at yang salah. Sebagai tambahan, tahukah anda apa yang dimaksud ketaatan pada point keenam? Silahkan anda simak penuturan Al-Banna: “…Dan pada periode kedua yaitu periode takwin (menyusun kekuatan), aturan dakwah dalam periode ini adalah keshufian yang murni dari sisi rohani dan militer murni dari sisi amal. Dan selalu, motto dua sisi ini adalah ‘komando’ dan ‘taat’ tanpa ragu, bimbang, bertanya, segan.” (Risalah Ta’lim, karya Al-Banna, hal. 274)

Yakni taat komando secara mutlak, bagaikan mayat di hadapan yang memandikan. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saja, dalam bai’at yang sah mensyaratkan ketaatan dengan dua syarat:

1. Pada perkara yang sesuai syariat.

2. Sebatas kemampuan.

(lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 217)

Tahukah pula anda, apa yang dimaksud dengan paham pada point pertama? Mari kita simak penuturan sang imam ini: “Hanyalah yang saya maukan dengan ‘paham’ ini, adalah engkau harus yakin bahwa pemikiran kami adalah Islami dan benar, dan agar engkau memahami Islam sebagaimana kami memahaminya dalam batas 20 prinsip yang kami ringkas seringkas-ringkasnya.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 356)

Pembaca, haruskah seseorang berbai’at untuk membenarkan pemikiran Al-Banna yang sedemikian rupa, seperti anda baca? Haruskah kita memahami Islam seperti dia pahami, hanya berkutat pada 20 prinsip yang ia buat, itu pun bila prinsip-prinsip itu benar?

Anehnya juga, ketika menyebutkan 38 kewajiban muslim berkaitan dengan bai’at tersebut, salah satunya adalah: “Jangan berlebih-lebihan minum kopi, teh dan minuman-minuman sejenis yang membuat susah tidur.” (Majmu’ Rasa`il, karya Al-Banna, hal. 277, dinukil dari Haqiqatud Da’wah, karya Al-Hushayyin, hal. 80), namun dia tidak menyinggung masalah pembenahan aqidah.

Pembaca yang saya muliakan, dari penjelasan di atas tentu anda merasakan, bagaimana sosok Hasan Al-Banna begitu mewarnai corak gerakan yang ia dirikan. Sekaligus anda dapat mengetahui betapa jauhnya gerakan ini dari Ash-Shirathul Mustaqim, jalan yang digariskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kita diperintahkan menelusurinya serta berhati-hati dari selainnya. Lebih-lebih, gerakan ini juga, tidak kurang-kurangnya memuji musuh-musuh Allah seperti, Al-Khomeini, dan tokoh-tokoh Syi’ah yang lain, Al-Marghini tokoh wihdatul wujud, memusuhi Muwahhidin, melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada aparatur negara yang dianggap merugikan dengan cara yang tidak syar’i, berdemo, melakukan kudeta tanpa melalui prosedur syar’i, nasyid ala shufi dan sandiwara. Dan betapa pengikutnya berlebihan dalam menyanjung Al-Banna sampai menjulukinya Asy-Syahid (yang mati syahid), dan dengan yakin salah satu di antara mereka mengatakan: “Bahwa ia (yakni Hasan Al-Banna) hidup di sisi Rabbnya dan mendapat rizki di sana.” (lihat Al-Maurid Al-’Adzb Az-Zulal, karya An-Najmi hal. 206, 165, 208, 226, 229, 117, 228)

Padahal, Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan sebuah bab dalam bukunya Shahih Al-Bukhari berjudul: “Tidak boleh dikatakan bahwa fulan adalah syahid”, lalu beliau sebutkan dalilnya. Beliau juga menyebutkan hadits dalam bab lain: “…Bahwa Ummul ‘Ala berkata: ‘Utsman bin Mazh’un dapat bagian di rumah kami (setelah diundi), maka ketika ia sakit kami mera-watnya. Tatkala wafat, aku katakan: ‘Persaksianku atas dirimu wahai Abu Sa`ib (‘Utsman bin Mazh’un) bahwa Allah telah memuliakanmu’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Darimana engkau tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya katakan: ‘Ayah dan ibuku tebusanmu, wahai Rasulullah. Demi Allah, saya tidak tahu.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: ‘Sesungguhnya aku, demi Allah, dan aku ini adalah utusan Allah, aku tidak tahu apa yang akan Allah perlakukan kepadaku dan kepada kalian’. (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Wahai saudaraku, sadarlah dan ambillah pelajaran….

Sumber: http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=303
Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Judul asli : Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin
Read Full Post | Make a Comment ( 3 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...