Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (II)

Posted on 28 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sambungan dari Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)

Dalam kitab yang sama beliau (Ibnul Jauzi) melanjutkan : Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ditanya tentang nyanyian. Ia menjawab : “Saya melarangmu dari nyanyian dan membencinya untukmu.” Orang itu bertanya : “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim menukas : “Wahai anak saudaraku, jika Allah memisahkan al haq (kebenaran) dan al bathil (kebathilan) pada hari kiamat, maka di manakah nyanyian itu berada?”

Ibnu Abbas juga pernah ditanya demikian dan balik bertanya : “Bagaimana pendapatmu jika al haq dan al bathil datang beriringan pada hari kiamat, maka bersama siapakah al ghina’ (nyanyian) itu?” Si penanya menjawab : “Tentu saja bersama al bathil.” Kemudian Ibnu Abbas berkata : “(Benar) pergilah! Engkau telah memberikan fatwa (yang tepat) untuk dirimu.” Dan Ibnul Qayyim menerangkan bahwa jawaban Ibnu Abbas ini berkenaan dengan nyanyian orang Arab yang bebas dan bersih dari pujian-pujian dan penyebutan terhadap minuman keras atau hal-hal yang memabukkan, zina, homoseks, atau lesbian, juga tidak mengandung ungkapan mengenai bentuk dan rupa wanita yang bukan mahram dan bebas pula dari iringan musik, baik yang sederhana sekalipun, seperti ketukan-ketukan ranting, tepukan tangan, dan sebagainya.

Dan tentunya jawaban beliau ini akan lebih keras dan tegas seandainya beliau melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid mengomentari jawaban ini dan menyatakan bahwa jawaban ini (jawaban Al Qasim dan Ibnu Abbas) adalah jawaban bijak dan sangat tepat. (Lihat Muntaqa Nafis halaman 306)

Ibnu Baththah Al Ukbari (ketika ditanya tentang mendengarkan nyanyian) berkata : “Saya melarangnya, saya beritahukan padanya bahwa mendengarkan nyanyian itu diingkari oleh ulama dan dianggap baik oleh orang-orang tolol. Yang melakukannya adalah orang-orang sufi yang dinamai para oleh muhaqqiq sebagai orang-orang Jabriyah. Mereka adalah orang-orang yang rendah kemauannya, senang mengadakan bid’ah, menonjol-nonjolkan kezuhudan, … .” (Muntaqa Nafis halaman 308)

Asy Sya’bi mengatakan bahwa orang-orang yang bernyanyi dan yang (mengundang) penyanyi untuk dirinya pantas untuk dilaknat. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya, lihat Kasyful Qina’ halaman 91 dan Muntaqa Nafis min Talbis Iblis halaman 306)

Fudhail bin ‘Iyadl mengatakan bahwa al ghina’ (nyanyian) adalah mantera zina. (Kasyful Qina’ halaman 90 dan Mawaridul Aman halaman 318)

Dalam kitab yang sama (halaman 318), disebutkan pula nasihat Yazid Ibnul Walid kepada pemuka-pemuka Bani Umayah : “Wahai Bani Umayah, hati-hatilah kamu terhadap al ghina’, sebab ia mengurangi rasa malu, menghancurkan kehormatan dan harga diri, dan menjadi pengganti bagi khamr, sehingga pelakunya akan berbuat sebagaimana orang yang mabuk khamr berbuat. Oleh karena itu, kalau kamu merasa tidak dapat tidak (mesti) bernyanyi juga, jauhilah perempuan, karena nyanyian itu mengajak kepada perzinaan.”

Adl Dlahhak menegaskan : “Nyanyian itu menyebabkan kerusakan bagi hati dan mendatangkan murka Allah.” (Muntaqa Nafis halaman 307)

Dalam kitab yang sama, Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru-guru anaknya : “Hendaklah yang pertama kau tanamkan dalam pendidikan akhlaknya adalah benci pada alat-alat musik, karena awalnya (permainan musik itu) adalah dari syaithan dan kesudahannya adalah kemurkaan Ar Rahman Azza wa Jalla.”

Imam Abu Bakar Ath Thurthusi dalam khutbah (kata pengantar) kitabnya, Tahrimus Sima’, menyebutkan :

[ … oleh karena itu saya pun ingin menjelaskan yang haq dan mengungkap syubhat-syubhat yang bathil dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan saya mulai dengan perkataan para ulama yang berhak mengeluarkan fatwa ke seluruh penjuru dunia agar orang-orang yang selama ini secara terang-terangan menampakkan kemaksiatan (bernyanyi dan bermain musik) sadar bahwa mereka telah teramat jauh menyimpang dari jalan kaum Mukminin. Allah ta’ala berfirman :

“Dan siapa yang menentang Rasul setelah jelas bagi mereka petunjuk serta mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum Mukminin, Kami biarkan dia memilih apa yang diingini nafsunya dan Kami masukkan dia ke jahanam sedangkan jahanam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115) ]

Selanjutnya beliau (Imam Ath Thurthusi) menyebutkan bahwa Imam Malik melarang adanya nyanyian dan mendengarkannya. Menurut Imam Malik, apabila seseorang membeli budak wanita dan ternyata ia penyanyi, hendaklah segera dikembalikan, sebab hal itu merupakan aib. Ketika beliau ditanya tentang adanya rukhshah (keringanan) yang dilakukan (sebagian) penduduk Madinah, beliau menjawab : “Yang melakukannya (bernyanyi dan bermain musik) di kalangan kami adalah orang-orang fasik.”

Imam Abu Hanifah dan Ahli Bashrah maupun Kufah, seperti Sufyan Ats Tsauri, Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Asy Sya’bi, dan lain-lain membenci al ghina’ dan menggolongkannya sebagai suatu dosa dan hal ini tidak diperselisihkan di kalangan mereka. Madzhab Imam Hanafi ini termasuk madzhab yang sangat keras dan pendapatnya paling tegas dalam perkara ini. Hal ini ditunjukkan pula oleh shahabat-shahabat beliau yang menyatakan haramnya mendengarkan alat-alat musik, walaupun hanya ketukan sepotong ranting. Mereka menyebutnya sebagai kemaksiatan, mendorong kepada kefasikan, dan ditolak persaksiannya.

Intisari perkataan mereka adalah : Sesungguhnya mendengar nyanyian dan musik adalah kefasikan dan bersenang-senang menikmatinya adalah kekufuran. Inilah perkataan mereka meskipun dengan meriwayatkan hadits-hadits yang tidak tepat apabila dinisbatkan (disandarkan) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Mereka (ulama madzhab Hanafi) juga menyeru agar seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan jika melewatinya atau jika bunyi musik itu kebetulan berada di rumah tetangganya. Hal ini pernah dilakukan Abu Yusuf ketika mendengar ada yang bernyanyi dan bermain musik di sebuah rumah, beliau berkata : “Masuklah dan tidak perlu ijin, karena mencegah kemungkaran adalah fardlu (wajib). Maka jika tidak boleh masuk tanpa ijin, terhalanglah bagi manusia menegakkan kewajiban ini.”

Kemudian Imam Ath Thurthusi melanjutkan pula keterangannya bahwa Imam Syafi’i dalam kitab Al Qadla, Al Umm (6/214) menegaskan sesungguhnya al ghina’ adalah permainan yang dibenci dan menyerupai kebathilan bahkan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Siapa yang terus-menerus (sering) bernyanyi maka ia adalah orang dungu dan ditolak persaksiannya.

Para shahabat Imam Syafi’i yang betul-betul memahami ucapan dan istinbath (pengambilan kesimpulan dari dalil), madzhab beliau dengan tegas menyatakan haramnya nyanyian dan musik dan mereka mengingkari orang-orang yang menyandarkan kepada beliau (Imam Syafi’i) mengenai penghalalannya. Di antara mereka adalah Qadly Abu Thayyib Ath Thabari, Syaikh Abi Ishaq, dan Ibnu Shabbagh. Demikian pernyataan Imam Ath Thurthusi rahimahullah. (Mawaridul Aman Muntaqa min Ighatsati Lahfan halaman 301)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya menyatakan :

“Adapun yang perlu diketahui dalam permasalahan ini adalah bahwa sesungguhnya duf (rebana), alat musik tiup, dan nyanyian-nyanyian, jika terkumpul (dilakukan/dimainkan secara bersamaan) maka mendengarkannya haram, demikian pendapat para imam madzhab dan ulama-ulama Muslimin lainnya. Dan tidak ada keterangan yang dapat dipercaya dari seseorang yang ucapannya diikuti (jadi pegangan) dalam ijma’ maupun ikhtilaf bahwa ia (Imam Syafi’i) membolehkan keduanya (nyanyian dan musik).

Adapun persaksian yang dapat diterima beritanya dari shahabat-shahabat beliau adalah dalam permasalahan ‘bagaimana hukum masing-masingnya bila berdiri sendiri, terompet sendiri, duff sendiri?’ Maka siapa saja yang tidak memiliki kemampuan mendapatkan keterangan rinci tentang hal ini dan tidak memperhatikannya dengan teliti, bisa jadi akan meyakini adanya perselisihan di kalangan ulama madzhab Syafi’i dalam mendengar seluruh alat-alat musik ini. Hal ini adalah kekeliruan yang nyata dan oleh sebab itu, hendaknya ia mendatangkan dalil-dalil syar’i dan logis. Sebab tidaklah semua perselisihan itu melegakan dan bisa jadi pegangan. Maka siapa saja yang meneliti adanya perselisihan ulama dalam suatu persoalan dan mengambil keringanan (rukhshah) dari pendapat-pendapat mereka, berarti ia terjerumus dalam perbuatan zindiq atau bahkan hampir menjadi zindiq.” (Mawaridul Aman 303)

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsari hafidhahullah mengomentari pernyataan Ibnul Qayyim ini dengan menukil riwayat Al Khalal (dalam Al Amru bil Ma’ruf) dari Sulaiman At Taimy yang mengatakan : “Kalau kamu mengambil setiap keringanan (rukhshah) dari seorang alim atau kekeliruannya, berarti telah terkumpul pada dirimu seluruh kejahatan.” (Lihat Mawaridul Aman halaman 303)

Diriwayatkan dari Imam Syafi’i secara mutawatir bahwa beliau berkata : “Saya tinggalkan di Baghdad sesuatu yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya at taghbir dan menghalangi manusia –dengannya– dari Al Qur’an.” (Juz’uttiba’ As Sunan Wajtinabil Bida’ oleh Dliya’ Al Maqdisi dalam Mawaridul Aman halaman 304)

Ditambahkan pula oleh Abu Manshur Al Azhari (seorang imam ahli lughah dan adab bermadzhab Syafi’i, wafat tahun 370 H) : “Mereka menamakan suara yang mereka perindah dengan syair-syair dalam berdzikrullah ini dengan taghbir, seakan-akan mereka bernyanyi ketika mengucapkannya dengan irama yang indah, kemudian mereka menari-nari lalu menamakannya mughbirah.” (Talbis Iblis halaman 230 dalam Kasyful Qina’ halaman 54)

Maka kalaulah seperti ini ucapan beliau terhadap at taghbir dengan ‘illahnya (alasan) karena menghalangi manusia dari Al Qur’an, –padahal at taghbir itu berisi syair-syair yang mendorong untuk zuhud (tidak butuh) terhadap dunia, para penyanyi mendendangkannya sementara hadirin mengetuk-ngetuk sesuatu atau dengan mendecakkan mulut sesuai irama lagu–, maka bagaimana pula ucapan beliau apabila mendengar nyanyian yang ada di jaman ini, at taghbir bagi beliau bagai buih di lautan dan meliputi berbagai kejelekan bahkan mencakup segala perkara yang diharamkan?!

Adapun madzhab Imam Ahmad sebagaimana dikatakan Abdullah, puteranya : “Saya bertanya pada ayahku tentang al ghina’ menumbuhkan kemunafikan dalam hati, ini tidaklah mengherankanku.” (Lihat Mawaridul Aman 305)

Pada kesempatan lain, beliau berkata : “Saya membencinya. Nyanyian itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Jangan bermajelis dengan mereka (penyanyi).” (Talbis Iblis halaman 228 dalam Kasyful Qina’ halaman 52)

Ibnul Jauzi menerangkan : “Sesungguhnya nyanyian itu mengeluarkan manusia dari sikap lurus dan merubah akalnya. Maksudnya, jika seseorang bernyanyi (bermain musik), berarti ia telah melakukan sesuatu yang membuktikan jeleknya kesehatan akalnya, misalnya menggoyang-goyangkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Dan ini tidak berbeda dengan perbuatan orang-orang yang kurang akalnya, bahkan sangat jelas bahwa nyanyian mendorong sekali ke arah itu, bahkan perbuatannya itu seperti perbuatan pemabuk. Oleh sebab itu, pantas kalau larangan keras ditujukan terhadap nyanyian.” (Muntaqa Nafis 307)

Ibnul Qayyim pun menjelaskan dalam Mawaridul Aman halaman 320-322 : “Sesungguhnya ucapan Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan tadi menunjukkan dalamnya pemahaman shahabat tentang keadaan hati, amalan-amalannya, sekaligus jelinya mereka terhadap penyakit hati dan obat-obatnya. Dan sungguh, mereka adalah suatu kaum yang merupakan dokter-dokter hati, mereka mengobati penyakit-penyakit hati dengan obat terbesar dan paling ampuh.”

Beliau melanjutkan : “Ketahuilah bahwa nyanyian bagaikan angin panas yang mempunyai pengaruh amat kuat dalam menebarkan bibit-bibit kemunafikan. Dan kemunafikan tersebut akan tumbuh dalam hati bagaikan tumbuhnya tanaman dengan air.”

Inti pernyataan ini adalah nyanyian itu melalaikan hati dan menghalanginya dari Al Qur’an dalam upaya pemahaman serta pengamalannya. Karena sesungguhnya Al Qur’an dan al ghina’ tidak akan bersatu dalam sebuah hati, selamanya. Ya, karena keduanya memiliki berbagai perbedaan yang menyolok dan sangat bertolak belakang. Al Qur’an mencegah kita untuk memperturutkan hawa nafsu, menganjurkan kita menjaga kehormatan dan harga diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya yang mulia, juga mengajak kita menjauhi dorongan-dorongan (syahwat) dan keinginan hawa nafsu serta berbagai sebab kesesatan lainnya. Al Qur’an juga melarang kita mengikuti dan meniru langkah-langkah syaithan. Sedangkan al ghina’ mengajak kita pada kebalikan dari yang diperintahkan dan dicegah oleh Al Qur’an. Bahkan al ghina’ memperindah pandangan kita terhadap syahwat dan hawa nafsu, mempengaruhi yang tersembunyi sekalipun dan menggerakkannya kepada seluruh kejelekan serta mendorongnya untuk menuju kepada hal-hal yang (dianggap) menyenangkan.

Oleh karena itu, ketika kita melihat seorang yang memiliki kedudukan terhormat, kewibawaan, dan kecermelangan akal, serta keindahan iman dan keagungan Islam, dan manisnya Al Qur’an akan tetapi ia senang mendengarkan nyanyian dan cenderung kepadanya, berkuranglah akalnya dan rasa malu dalam dirinya pun mulai menipis, wibawanya lenyap, bahkan kecermelangan akalnya telah pula menjauhinya,. Akibatnya syaithan bergembira menyambut keadaan ini. Imannya pun mengeluh dan mengadukannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan akhirnya Al Qur’an menjadi sesuatu yang berat baginya. Lalu ia (iman itu) berdoa kepada Rabbnya : “Ya Rabbku, jangan Kau kumpulkan aku dengan musuh-Mu dalam hati (dada) yang sama.”

Akhirnya, ia akan menganggap baik hal-hal yang dianggapnya jelek sebelum ia mendengarkan nyanyian dan membuka sendiri rahasia yang pernah dia sembunyikan. Setelah itu ia pun mulai berpindah dari keadaan dirinya yang semula penuh dengan kewibawaan dan ketenangan menjadi orang yang banyak bicara dan berdusta, menggoyang-goyangkan kepala, bahu, menghentakkan kakinya ke bumi, mengetuk-ngetuk kepala, melompat-lompat dan berputar-putar bagai keledai, bertepuk tangan seperti perempuan, bahkan kadang merintih bagai orang yang sangat berduka atau berteriak layaknya orang gila.

Sebagian orang-orang arif berkata : “Mendengar nyanyian mewariskan kemunafikan pada suatu kaum, dusta, kekafiran, dan kebodohan.”

Warisan yang paling besar pengaruhnya akibat nyanyian adalah rasa rindu (asyik) terhadap bayangan (gambaran khayal), menganggap baik segala kekejian, dan apabila ini terus berlanjut, akan menyebabkan Al Qur’an menjadi berat di hati, bahkan menimbulkan rasa benci apabila mendengarnya secara khusus.

Oleh sebab itu, jika hal yang seperti ini bukan kemunafikan, apalagi yang dikatakan hakikat kemunafikan itu? Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.

Adapun rahasia penting tentang hakikat kemunafikan adalah perbedaan atau perselisihan yang nyata antara lahir dan bathin. (Mawaridul Aman halaman 322)

Penyanyi maupun yang mendengarkannya berada di antara dua kemungkinan. Bisa jadi dia akan membuka kedoknya berbuat terang-terangan sehingga jadilah ia orang yang durhaka. Atau di samping bernyanyi, ia juga menampakkan ibadahnya, akibatnya jadilah ia seorang yang munafik.

Dalam hal terakhir ini, ia menampakkan rasa cintanya kepada Allah dan kampung akhirat, sementara hatinya mendidih oleh gelegak syahwat, kecintaan terhadap perkara yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu suara alat-alat musik dan permainan-permainan lainnya, serta hal-hal yang diserukan oleh nyanyian. Hatinya pun penuh dengan kejelekan itu dan kosong atau sepi dari rasa cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasul-nya. Inilah intinya nifak.

Juga seperti yang telah kita sepakati bahwa iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Tentunya perkataan dan perbuatan yang haq (taat). Padahal iman itu hanya tumbuh di atas dzikrullah dan tilawatil Qur’an, sedangkan nifak sebaliknya. Ia merupakan perkataan yang bathil dan amalan-amalan sesat dan tumbuh di atas al ghina’.

Salah satu ciri kemunafikan adalah kurangnya dzikrullah, malas dan enggan menegakkan shalat, kalaupun shalat mematuk-matuk seperti burung makan jagung, sangat minim dzikirnya kepada Allah. Perhatikan firman Allah mengenai orang-orang munafik ini :

“Jika mereka menegakkan shalat mereka menegakkannya dalam keadaan malas, mereka ingin pujian dan perhatian manusia dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit.” (QS. An Nisa’ : 142)

Akhirnya, dalam kenyataan saat ini kita tidak dapati mereka yang terfitnah dengan nyanyian melainkan inilah sebagian di antara sifat-sifat mereka. Dan di samping itu, nifaq juga dibangun di atas dusta dan al ghina’ adalah kedustaan yang paling tinggi. Di dalamnya, kejahatan menjadi sesuatu yang menarik dan indah, bahkan tak jarang ia menghiasi lebih indah lagi dan setiap perkara kebaikan terasa jauh, sulit dijangkau, dan sangat jelek. Inilah hakikat kemunafikan. Al ghina’ merusak dan mengotori hati, sehingga apabila hati itu telah kotor apalagi rusak, hati akan menjadi lemah dan gampang takluk di bawah kekuasaan kemunafikan.

Ibnul Qayyim meneruskan : “Seandainya mereka yang memiliki bashirah memperhatikan dan membandingkan keadaan orang-orang yang bergelut dengan nyanyian dan mereka yang senantiasa menyibukkan diri dengan dzikrullah, nyatalah baginya betapa dalamnya pengetahuan dan pemahaman para shahabat terhadap hati dan penyakit-penyakit serta pengobatannya.” (Demikian penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Mawaridul Aman 322-323)

Semoga keterangan ini dapat bermanfaat bagi orang yang menginginkan hatinya hidup dan selamat sebagai bekal baginya untuk menghadap Allah ta’ala.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

________________________________________________________________________________

[1] Orang yang jika mengajarkan sesuatu mudah diterima dan dipahami.

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli “Nyanyian dan musik dalam Islam”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=27
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kedudukan Wanita Dalam Islam

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Propaganda-propaganda penghancuran kian menyeruak di tengah kehidupan kaum muslimin. Tidak pernah terbayang jika mereka tengah diintai oleh lawan yang kuat dan tangguh, tiba-tiba terdengar satu kaum atau daerah atau beberapa orang telah menanggalkan baju kemuliaannya dan berpindah agama. Sesungguhnya banyak cara dan jalan bagi Iblis untuk menjerat dan menyesatkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menggiring mereka menuju neraka Sa’ir.

Banyak pengikut yang siap dikomando olehnya dalam upaya penghancuran ini, dan terlalu banyak dalang yang siap menjalankan kemauan Iblis la’natullah ‘alaih. Banyak pemikir yang siap merancang jalan-jalan penyesatan. Banyak tokoh agama yang siap membelokkan jalan yang lurus. Dan banyak da’i yang siap menjadi penyeru kepada jalan Iblis. Terpeliharalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan binasalah orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Banyaknya jalan Iblis untuk menjerat lawannya dan banyaknya pendukung dalam melaksanakan niatnya, mengharuskan kita agar selalu siap menghadapinya dengan persenjataan yang lengkap dan bekal yang cukup. Tidak ada senjata yang paling ampuh untuk menghadapi kekuatan Iblis dan segala manuvernya selain ilmu agama. Dan tidak ada perbekalan yang lengkap dalam perjalanan jihad melawannya melainkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan bagi kalian furqan (pembeda).” (Al-Anfal: 29)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan menjadikan dia faqih dalam agama.”

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”

Wanita dalam Islam

Kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Allah Maha Adil dalam menentukan syariat-Nya, dan Maha Bijaksana dalam meletakkan hukum-hukum-Nya untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka dengan berbagai bentuk dan cara. Di antaranya:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka, agar terjaga kehormatan mereka. Sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian.”

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebankan mereka untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka, sebagaimana di dalam surat An-Nisa` ayat 5:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Dan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang muttafaqun ‘alaih:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian.”

Dan hadits dalam riwayat Abu Dawud (no. 1695):

كَفَى بِالـْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukup sebagai dosa, seseorang yang menyia-nyiakan tanggungannya.”

3. Kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuh mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

4. Kaum wanita tidak boleh bepergian dalam sebuah safar melainkan harus disertai mahram, melihat kondisi seorang wanita yang lemah serta membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan. Sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu (no. 1086-1087) dan Muslim rahimahullahu (no. 1338-1339) dari hadits Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhum.

5. Kaum wanita dilarang ber-tabarruj (bersolek) seperti wanita jahiliah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى

“Dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.”

6. Urusan talak perceraian tidak diserahkan kepada wanita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”

Juga dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Perceraian di tangan kaum lelaki dan tidak di tangan selainnya.” (Zadul Ma’ad, 5/278)

7. Tidak diwajibkan bagi wanita untuk ikut memikul amanat jihad fi sabilillah, sebagaimana telah dibebankan kepada kaum lelaki. (lihat kitab Kasyful Wa’tsa` Bizajril Khubatsa` Ad-Da’in ila Musawatin Nisa` bir Rijal wa Ilgha` Fawariqil Untsa karya Asy-Syaikh Abu Abdurrahman Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri)

Beberapa bentuk perlakuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum wanita di atas, jika dipelajari dan ditinjau dengan akal yang sehat dan fitrah yang bersih, akan diketahui bahwa itu semua merupakan cara untuk menjaga eksistensi wanita. Dan semuanya adalah perlakuan yang bijak dan adil, sesuai dengan kodrat mereka. Namun berapa dari wanita yang memahami diri dan kemuliaannya?

Wanita dalam Pandangan Jahiliah

Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya. Dalam keadaan seperti ini, bagaimanakah wanita diperlakukan di masa tersebut? Bagaimana status sosialnya menurut mereka?

Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan. Karena adat yang terjadi di antara mereka adalah prinsip “Tidak bisa mewarisi kecuali orang yang menghunus pedang dan yang melindungi gadis.” Dia tidak memiliki hak memprotes atau ikut bermusyawarah dalam urusan suaminya. Segala urusannya diserahkan kepada walinya. Dan adat bangsa jahiliah yang paling buruk adalah mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Perbuatan ini menunjukkan puncak kekejaman, kebengisan, dan kebiadaban sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya nan suci:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)

Tujuan bangsa Arab dalam penguburan itu beragam. Di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan karena mengkhawatirkan kehormatan mereka dan khawatir mendapat celaan. Karena mereka adalah orang-orang yang senang melakukan penyerangan dan peperangan. Hal ini bisa menjadikan anak-anak perempuan mereka menjadi tawanan musuh, menurut mereka. Ini merupakan puncak kerendahan dan kehinaan. Dan kabilah bangsa Arab yang pertama kali melakukan penguburan terhadap anak-anak perempuan mereka adalah kabilah Rabi’ah.

Di antara mereka ada yang mengubur anak perempuan hidup-hidup disebabkan keadaan hidup yang sangat melilit, sulitnya mata pencaharian, dan fakir. Kemiskinan itulah mendorong mereka melakukannya. Telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra`: 31)

 

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka’.” (Al-An’am: 151)

Adapula di antara mereka yang membunuh anak mereka karena kecemburuan dan khawatir mendatangkan aib. Karena mereka bisa mendatangkan penyakit, seperti hitam atau gemuk dan sebagainya. Sungguh mereka telah melakukan perbuatan biadab yang membuat hati luka tersayat dan air mata berlinang.

Fenomena kedzaliman ini telah menjadi aturan masyarakat dan diterapkan pada diri perempuan yang tidak berdosa. Islam datang mengharamkan perbuatan biadab tersebut dan memberi hukuman yang setimpal bagi orang yang melakukannya.

Wanita dalam Pandangan Orang Kafir

1. Wanita dalam pandangan bangsa Yunani

Yunani digolongkan sebagai bangsa pendahulu yang paling tinggi dan paling banyak peradabannya. Keadaan kaum wanita pada masa mereka berada dalam tingkat kemunduran dalam segala segi kehidupan, sehingga mereka tidak memiliki kedudukan sedikitpun di masyarakat. Bahkan muncul suatu keyakinan bahwa sesungguhnya kaum wanita adalah penyebab penderitaan dan musibah bagi seseorang. Sehingga tidak heran jika mereka menempati posisi yang paling rendah. Karena kedudukan mereka yang rendah itulah, kaum lelaki tidak duduk bersama mereka dalam satu meja makan.

Pada generasi berikutnya terjadi perubahan akibat arus syahwat, perangai kebinatangan dan hawa nafsu, yang menarik mereka untuk memberikan kebebasan kepada kaum wanita dalam urusan yang hanya terbatas pada seks. Sehingga para wanita tak ubahnya seperti pelacur-pelacur. Akibatnya, kaum wanita sebagai pelacur menempati posisi yang tinggi. Mereka menjadi pusat yang dikelilingi oleh segala aktivitas masyarakat Yunani. Bahkan mereka membuat hikayat-hikayat untuk para pelacur.

2. Wanita dalam pandangan bangsa Romawi

Mereka adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan ketinggian setelah bangsa Yunani. Kita melihat aturan-aturan bangsa ini condong kepada kedzaliman, kejahatan dan penyiksaan kepada kaum wanita. Di antara ucapan mereka yang berkaitan dengan wanita: “Sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya belum lepas.” Yakni, di dalam masyarakat mereka, seorang suami memiliki hak yang penuh terhadap istrinya, sebagaimana hak raja atas rakyatnya. Sehingga dia mengatur istrinya sesuai dengan hawa nafsunya. Kaum lelaki memandang kaum wanita hanya sebagai pelampiasan nafsu birahi, tidak lebih dari itu. Mereka hidup di atas persaingan untuk meraih wanita telanjang. Mereka juga mempermudah urusan perceraian karena sebab yang sangat sepele. Banyaknya perceraian itu mengakibatkan para wanita menganggap kebaikan hidup mereka berdasarkan jumlah suami, tanpa memiliki rasa bersalah dan malu. Yang lebih aneh dari itu semua, apa yang telah disebutkan oleh Al-Qudai Jaarum (340-420 M) tentang seorang wanita yang telah menikah terakhir kali pada hitungan yang ke-23, sementara dia merupakan istri yang ke-21 bagi suaminya yang baru.

Akibat semua itu, negara Romawi hancur dengan kehancuran yang keji sebagaimana hancurnya bangsa Yunani sebelumnya. Semua itu karena mereka tenggelam dalam syahwat kebinatangan, yang hal itu tidak pantas terjadi pada hewan apalagi pada manusia.

3. Wanita di negeri Persia

Sebuah negeri yang telah menguasai hukum di sebagian besar negara, yang menentukan kekuasaan, membuat undang-undang dan aturan-aturan. Kita melihat bahwa undang-undang tersebut merendahkan serta mendzalimi kaum wanita. Mereka menentukan hukuman yang amat sangat berat bagi kaum wanita hanya dengan kesalahan yang ringan. Pada saat yang sama, kaum lelaki memiliki kebebasan yang mutlak dan hukuman tidak ditimpakan kecuali kepada kaum wanita. Sehingga, kalau seorang wanita terjatuh dalam kesalahan yang berulang-ulang maka dia harus membunuh dirinya sendiri. Saat itu juga terdapat aturan bahwa kaum wanita dilarang untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki di luar kalangan Zaradashty (penyembah matahari). Sementara laki-laki memiliki kebebasan mengatur sesuai dengan nafsunya. Kebiasaan lain adalah bila wanita dalam keadaan haid, maka dia dipindahkan dari kota ke tempat yang jauh di luar kota. Tidak ada seorangpun yang boleh mendekatinya kecuali para pelayan yang menyuguhkan makanan untuknya.

4. Wanita di negeri Cina

Secara umum masyarakat Cina berada dalam kehidupan yang kacau dan biadab. Mereka bebas berhubungan seks tanpa memiliki rasa malu. Sehingga anak-anak hanya mengenal ibu mereka dan tidak mengenal bapak mereka. Dalam masyarakat ini, wanita tidak memiliki hak kecuali menerima perintah dan melaksanakannya. Tidak boleh memprotes. Masyarakat Cina dahulu memiliki adat yang mengakar. Di mana seorang ayah harus berjalan di atas adat yang sudah umum, yaitu wanita tidak berhak memperoleh warisan dan tidak boleh menuntut harta bapaknya sedikitpun. Mereka juga menyamakan kaum wanita itu dengan air mengalir yang membersihkan kotoran, yakni dianggap sebagai kesenangan dan harta warisan.

5. Wanita di India

Keadaan kaum wanita di negeri India tidaklah lebih baik dibanding keadaan mereka di negeri Yunani dan Romawi. Wanita dalam pandangan mereka adalah sebagai budak, sedangkan kaum lelaki sebagai tuan. Karena, dalam pandangan mereka, seorang gadis menjadi budak terhadap bapaknya, seorang istri menjadi budak bagi suaminya, seorang janda menjadi budak terhadap anak-anaknya. Keumuman bangsa Hindu berkeyakinan bahwa kaum wanita merupakan unsur dosa dan penyebab kemunduran perangai serta jiwa. Bila sang suami meninggal maka dia tidak memiliki hak hidup, sehingga ia harus mati pada hari ketika suaminya mati, dengan cara dibakar di atas satu tungku.

6. Wanita dalam pandangan Yahudi

Menurut bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk yang hina dan rendah sebagaimana barang jualan jelek yang di jual di pasar-pasar. Hak-haknya dirampas, dan mereka diharamkan dari hak waris jika warisan tersebut berupa harta. Adapun ayah, jika meninggalkan hutang berupa barang kebutuhan rumah, maka hutang tersebut dibebankan kepada kaum wanita. Namun jika meninggalkan harta, maka sedikitpun wanita tersebut tidak mendapatkan bagian. Bila menikah, wanita tidak diberi mahar meskipun harta calon suaminya berlimpah.

Dan jika harta warisan tersebut kembali ke anak perempuan karena tidak memiliki saudara laki-laki, maka ia tidak boleh menikah dengan keturunan yang lain. Ia juga tidak berhak mengalihkan warisannya kepada keturunan selainnya. Mereka memandang bahwa kaum wanita bagi kaum lelaki merupakan salah satu pintu Jahannam. Di mana wanita merupakan sebab yang akan menjerumuskan ke dalam dosa. Di antara anggapan mereka, wanita adalah sumber segala musibah yang menimpa manusia. Dan mereka meyakini bahwa kaum wanita merupakan laknat, karena dialah penyebab menyelewengnya Nabi Adam ‘alaihissalam.

Jika mereka tengah datang bulan alias haid, konsekuensinya adalah tidak diajak makan, duduk, serta tidak boleh menyentuh bejana, agar bejana tersebut tidak menjadi najis. Dia diasingkan di sebuah kemah, lalu roti dan air ditaruh di depannya. Dan dia tetap berada di kemahnya sampai dia suci.

7. Wanita dalam pandangan Nasrani

Agama Nasrani datang ke Eropa berupaya untuk mengatasi kekacauan yang telah meluas di masyarakat Barat ketika itu, yaitu kekacauan etika dan kemungkaran yang membuat kita miris. Padahal hewan yang lebih rendah saja jauh dari hal itu. Mereka menetapkan teori-teori yang diyakini sebagai obat penyembuh terhadap segala marabahaya. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Di antara teori-teori mereka adalah menganggap wanita sebagai sumber kemaksiatan, asal kejelekan dan kejahatan. Wanita bagi kaum lelaki adalah salah satu pintu Jahannam. Oleh karena itu, wanita menjadi sumber gerakan dalam berbuat dosa. (Lihat secara ringkas kitab Nisa` Haular Rasul karya Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi)

Emansipasi, Adakah di dalam Islam?

Jika seruan emansipasi bermotif:

1. Memperjuangkan hak-hak kaum wanita sehingga sama dalam kehidupan dengan hak-hak kaum lelaki,

2. Mengangkat kedudukan kaum wanita agar setara dengan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan,

3. Memerdekakan kaum wanita dari belenggu keterbelakangan sehingga sama dengan kaum lelaki dalam kemajuan,

Tentunya prinsip emansipasi yang demikian sangatlah bertentangan dengan keadilan Islam sebagai agama yang telah mengatur kehidupan setiap manusia, sekaligus juga menyelisihi kandungan keindahan wahyu. Di mana wahyu telah memisahkan serta menentukan bagi laki-laki dan wanita adanya hak serta kewajiban yang tidak sama. Begitu juga, wahyu telah menentukan perbedaan-perbedaan dalam banyak perkara, seperti adanya perbedaan dalam hal penciptaan, bersuci, shalat, pelaksanaan jenazah, zakat, puasa dan i’tikaf, haji, aqiqah, jihad, kepemimpinan dan perang, nikah, talak, khulu’, li’an dan ‘iddah, hukum had dan qishash, serta perbedaan dalam masalah hak waris. (Kasyful Wa’tsa` karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri)

Berjalan di atas ketentuan wahyu, sesungguhnya adalah sebuah pengangkatan, perjuangan dan kemerdekaan bagi kaum wanita yang sesuai dengan fitrah penciptaan mereka. Sebaliknya, meninggalkan bimbingan wahyu akan menyebabkan kehancuran dan kebinasaan.

Bahaya Seruan Emansipasi

Propaganda emansipasi wanita adalah sebuah lagu lama yang diembuskan oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Selama kaum muslimin –terutama kaum wanitanya– konsekuen dengan agama dan Sunnah Nabinya, tentunya kehidupan mereka akan baik dan bersih. Dengannya mereka akan mengetahui seluk-beluk musuh. Ini semua membuat benci musuh-musuh Islam khususnya Yahudi dan Nasrani. Maka disebarkanlah paham baru ini, emansipasi wanita, untuk memecah belah umat Islam, memperluas kerusakan di antara mereka, mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah pingitan, serta menghilangkan rasa malu dari mereka. Setelah semuanya itu terjadi, akan mudah bagi Yahudi dan Nasrani untuk menguasai dunia Islam serta menghinakan kaum muslimin.

Pada protokol zionis disebutkan: “Kita wajib berusaha memperluas kerusakan akhlak di setiap penjuru (negara-negara Islam) agar dengan mudah menguasai mereka.”

Glastone, seorang Inggris yang fanatik mengatakan: “Tidak mungkin menguasai negara-negara timur (negara-negara Islam) selama kaum wanitanya tidak menanggalkan hijab dari wajahnya. (Caranya adalah) menutup Al-Qur`an dari mereka, mendatangkan minuman-minuman keras dan narkoba, pelacuran, serta kemungkaran-kemungkaran lain yang melemahkan agama Islam.”

Propaganda emansipasi ini disambut hangat oleh orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyimpangan dan penyelewengan. Orang yang hidupnya tidak lain kecuali melampiaskan hawa nafsu birahi semata. Bahkan dukungan-dukungan materi mengucur deras untuk melariskan propaganda ini. Dukungan terhadap propaganda Yahudi untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin ini dipimpin oleh ‘Persatuan Yahudi Internasional dan Salibisme’ seperti:

1. Markus Fahmi, seorang Nasrani, menerbitkan buku yang berjudul Wanita di Timur tahun 1894 M. Dia menyerukan wajibnya menanggalkan hijab atas kaum wanita, pergaulan bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu dan larangan kawin lebih dari satu orang.

2. Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya untuk mendirikan persatuan istri-istri Mesir. Yang menjadi sasarannya adalah persamaan hak talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab, serta pergaulan bebas.

3. Ahli syair, Jamil Shidqi Az-Zuhawis. Dalam syairnya, dia menyuruh kaum wanita Irak membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan kaum pria. Dia juga menyatakan bahwa hijab itu merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat. (Lihat secara ringkas risalah Al-Huquq Az-Zaujiyah fil Kitab was Sunnah wa Bayanu Da’wati Hurriyyati Al-Mar`ah karya Hasyim bin Hamid bin ‘Ajil Ar-Rifa’i)

Kerusakan propaganda ini sesungguhnya telah diketahui oleh orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang suci. Cukuplah melirik bahaya yang akan timbul melalui propaganda ini sebagai salah satu dari sekian bentuk perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan propaganda ini tidaklah bertujuan melainkan untuk mengikis dan menghancurkan aqidah kaum muslimin.

Emansipasi dan Aqidah

Aqidah mengajarkan agar setiap hamba menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar Islam dan menerima dengan sepenuh hati segala perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa memilah-milahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala–dengan kemahaadilan dan kebijaksanaan-Nya– telah membuat aturan dan jalan di atas ilmu-Nya, yang harus ditaati dan ditempuh. Semuanya itu bertujuan agar mereka selamat di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi khalil-Nya.” (An-Nisa`: 125)

Propaganda emansipasi wanita jelas-jelas menghancurkan prinsip ketundukan terhadap segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pasrah menerima segala keputusan-Nya. Padahal semuanya dibangun di atas ilmu-Nya, keadilan, dan kebijaksanaan-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________________________________________________________

Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Judul Asli: Emansipasi, Propaganda Untuk Meruntuhkan Aqidah

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=616
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tidak Akan Beruntung Suatu Kaum Jika Dipimpin Oleh Seorang Wanita

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, telah berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 19507, 19547, 19556, 19573, 19603, 19612; Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Maghazi bab Kitabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar no. 4425, Kitabul Fitan no. 7099, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan an Rasulillah no. 2188, Al-Imam An-Nasa`i rahimahullahu dalam kitab Adabul Qudhah no. 5293.

Jalur Periwayatan Hadits

Hadits ini diriwayatkan dari jalan Mubarak bin Fadhalah Abu Fadhalah Al-Bashri, ‘Auf bin Abi Jamilah Al-Bashri, Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawil, semuanya meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terdapat riwayat lain yang diriwayatkan dari jalan Ahmad bin Abdul Malik Al-Harani yang meriwayatkan dari Bakr bin Abdul Aziz, dari Abu Bakrah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga dari jalan ‘Uyainah bin Abdurrahman Al-Ghathafani, dari ayahnya, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jalan Periwayatan Hadits

Dalam hadits ini terdapat riwayat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Para ulama ahlul hadits seperti Al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, ‘Ali ibnul Madini rahimahumullah mempermasalahkan periwayatan beliau dari para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum, bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu tidak mendengar (meriwayat)-kan dari para sahabat yang disebutkan tadi.

Qatadah rahimahullahu berkata: “Demi Allah, tidak pernah Al-Hasan Bashri rahimahullahu menyampaikan hadits kepada kami dari para ahli Badr secara langsung.”

Namun riwayat beliau dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu telah ditetapkan sebagai riwayat yang sah atau akurat. Meskipun dalam hadits ini bentuk periwayatan dengan menggunakan kata “dari” yang mengandung kemungkinan (mendengar langsung atau tidak).

Akan tetapi Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits no. 2704 dalam Kitab Ash-Shulhi bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lil Hasan ibn ‘Ali: “Ali bin Abdullah Al-Madini telah berkata kepadaku: bahwa mendengarnya Al-Hasan Al-Bashri dari Abu Bakrah telah pasti bagi kami dalam hadits ini.” (Fathul Bari, 5/375)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata bahwa sanad hadits di atas semuanya adalah orang-orang Bashrah. Dan telah berlalu pada Kitab Ash-Shulhi pendapat yang menyatakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu telah mendengarkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. (Fathul Bari, 13/67)

Sebab Periwayatan Hadits

Hadits ini mempunyai sebab periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mengatakan:

لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan sebab suatu kalimat yang aku dengar dari Nabi pada saat terjadinya fitnah Perang Jamal. Di mana waktu itu hampir-hampir aku akan bergabung dengan Ashabul Jamal (pasukan yang dipimpin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan berperang bersama mereka.” Lalu beliau berkata: “(Yaitu sebuah hadits) ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka. Beliaupun bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)

Adapun pada riwayat lain dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَصَمَنِي اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى. قَالَ: مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟ قَالُوا: ابْنَتَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللهُ بِهِ

“Allah telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggalnya Kisra. Beliau berkata: ‘Siapa yang mereka angkat sebagai Kisra baru?’ Mereka berkata: ‘Putrinya.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” Kemudian Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang ke negeri Bashrah, aku ingat ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah melindungiku dengannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2188, dan beliau mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.”)

Penjelasan Hadits

Abu Bakrah adalah Nufai’ bin Harits Ats-Tsaqafi, meninggal pada tahun 52 H. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata: Musaddad berkata: “Abu Bakrah dan Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma meninggal pada tahun yang sama.”

Kisra adalah Kisra bin Abrawaiz bin Hurmuz, raja Persia. Ia mempunyai anak laki-laki bernama Syairawaih. Syairawaih mempunyai anak perempuan bernama Buran. Adapun sebab diangkatnya Buran sebagai raja adalah ketika terjadi pemberontakan terhadap Kisra yang dipimpin oleh putranya sendiri (Syairawaih) hingga dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya, lalu merebut kekuasaannya.

Ketika ayahnya tahu bahwa anaknya berbuat demikian (menginginkan untuk membunuhnya), iapun melakukan siasat (tipu daya) untuk membunuh anaknya setelah kematiannya nanti, dengan menaruh racun pada sebagian lemari khusus. Dalam lemari tersebut diletakkan racun yang mematikan. Dan dia menulis di atasnya bahwa barangsiapa yang mengambil sesuatu dari lemari ini, ia akan memperoleh demikian dan demikian.

Syairawaih pun membaca tulisan tersebut dan mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Inilah yang menjadi penyebab kematian Syairawaih. Dan ia tidak dapat bertahan hidup lama setelah ayahnya meninggal kecuali enam bulan saja. Ketika Syairawaih meninggal, tidak ada seorang pun saudara laki-lakinya yang menggantikan kedudukan raja, karena ia telah membunuh semua saudara laki-lakinya tersebut atas dasar ketamakan untuk menguasai tahta kerajaan Persia. Sehingga tidak ada seorang laki-laki pun yang menjadi pewaris kerajaan. Mereka juga tidak menginginkan tahta kekuasaan kerajaan jatuh kepada pihak lain, sehingga mereka mengangkat seorang wanita yang bernama Buran, anak Syairawaih, atau cucu Kisra.

كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ

“Hampir-hampir aku bergabung dengan Ashabul Jamal (yaitu Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) dan berperang bersama mereka.”

Awal kejadiannya adalah ketika ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibaiat menjadi khalifah. Keluarlah Thalhah dan Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma menuju Makkah. Keduanya mendapati ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang baru saja menunaikan ibadah haji. Terjadilah kesepahaman di antara mereka untuk bergerak menuju Bashrah dan meminta bantuan manusia untuk menuntut atas kematian ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sampailah berita itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan beliau pun keluar menyambut mereka dan terjadilah Perang Jamal, akibat upaya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dinisbahkan kepada Jamal (yaitu unta yang dijadikan tunggangan Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan beliau berada dalam sekedup (semacam tandu di atas punggung unta) sambil mengajak manusia kepada ishlah (perbaikan).

قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى

“Dia berkata: ‘Ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka’.”

Yang berkata di sini adalah Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Perkataan ini sebagai penjelasan (tafsir) lafadz “kalimat” pada ucapan beliau: “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat.” Di sini terdapat faedah tentang digunakannya istilah kalimat (kata) untuk mengungkapkan kalam (kalimat) yang banyak.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dalam riwayat ini kalimat امْرَأَةً dengan berharakat fathah atau manshub karena berkedudukan sebagai maf’ul (obyek). Pada riwayat Humaid terdapat lafadz:

وَلَى أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ

dengan kalimat امْرَأةٌُ berharakat dhammah atau marfu’ karena berkedudukan sebagai fa’il (subyek).

Dalam riwayat Al-Isma’ili dari jalan An-Nadhr bin Syumail, dari ‘Auf, di akhir riwayat terdapat tambahan: Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dan saya mengetahui bahwa Ashabul Jamal tidak akan berhasil.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Ibnu Baththal menukil dari Al-Muhallab, yang nampak dari hadits adalah bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu terkesan menuduh dan merendahkan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha atas apa yang telah beliau perbuat. Namun tidaklah demikian perkaranya. Karena telah diketahui bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu sependapat dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hal menuntut ishlah di antara manusia dan bukanlah tujuan mereka untuk berperang. Ketika perang berkecamuk, tidaklah orang yang bersamanya menjadi bagian dari perang tersebut. Dan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabut kembali pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, namun beliau berfirasat bahwa mereka tidak akan menang ketika melihat orang-orang bersama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bawah perintahnya. Hal itu berdasarkan apa yang telah beliau dengarkan (yaitu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita”).”

Kemudian Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Dan yang lebih memperjelas perkara ini bahwa tidak seorang pun yang menukilkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya menentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tidak pula mereka menyeru agar salah seorang di antara mereka untuk dipilih menjadi khalifah.

Yang diingkari oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah larangan beliau radhiyallahu ‘anhu membunuh orang-orang yang membunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan meninggalkan qishash. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menunggu keluarga ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berhukum kepadanya dalam perkara tersebut. Dan apabila telah terbukti pada seseorang bahwa dialah pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu barulah ditegakkan qishash terhadapnya. Maka berselisihlah mereka karena sebab itu. Ketika orang-orang yang dinisbahkan perang kepadanya merasa khawatir bahwa mereka (pihak ‘Ali dan ‘Aisyah) akan berdamai, maka mereka pun mengobarkan peperangan, dan terjadilah apa yang terjadi. Ketika pihak ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menang, Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu pun memuji pendapatnya untuk tidak ikut serta perang bersama Ashabul Jamal meskipun pendapat beliau sama dengan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha, yaitu menuntut balas atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu At-Tin rahimahullahu berkata: ‘Sebagian ulama berdalil dengan hadits Abu Bakrah ini tentang tidak bolehnya seorang wanita menjadi pemutus perkara. Dan ini pendapat jumhur ulama. Sebaliknya Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berpendapat boleh bagi seorang wanita memutuskan perkara dalam hal yang persaksiannya diterima. Demikian pula sebagian pengikut Malikiyah membolehkan secara mutlak’.” (Fathul Bari, 13/69, 8/159-160)

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak boleh mengurusi pemerintahan dan putusan pengadilan. Tidak boleh pula baginya menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wali nikah bagi orang lain.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata setelah menyebutkan ayat:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu takutkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.”

Ayat ini menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas wanita, yaitu dia sebagai pemimpin, pembesar dan penguasa serta pendidik bagi mereka, ketika terjadi kebengkokan pada wanita itu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan lebih baik. Karena itulah kenabian dikhususkan kepada kaum laki-laki. Demikian pula kekuasaan yang agung berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)

Demikian pula dalam urusan hakim dan sebagainya. “Mereka dimuliakan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka” yaitu berupa mahar, nafkah, dan beban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atasnya untuk wanita sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Maka pada diri kaum lelaki terdapat keutamaan di atas kaum wanita. mereka memiliki keutamaan atas wanita dan pengutamaan, sehingga sangatlah selaras keberadaan (laki-laki) menjadi pemimpin atas wanita. “Dan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan.”

‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, maknanya adalah sebagai pemimpin-pemimpin atas para wanita, yaitu wanita menaatinya pada perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Dan bentuk ketaatan itu diwujudkan dengan cara seorang istri berbuat baik kepada suami serta menjaga hartanya. Demikian pula pendapat Muqatil, As-Suddi dan Adh-Dhahhak.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan bahwa suaminya telah menamparnya. Rasulullah pun menanggapi dengan mengatakan al-qishash (dibalas). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,” yaitu tanpa adanya qishash. (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/465)

Telah cukup jelas bahwa kepemimpinan dan kekuasaan tidak akan mungkin berakhir dengan keberuntungan jika yang memimpin atau yang berkuasa adalah seorang wanita. Tidak ada ruang bagi wanita untuk iri hati terhadap karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala lebihkan pada kaum laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa`: 32)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, ia berkata: Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki dapat berperang dan kita kaum wanita tidak. Bagi kita separuh bagian dari warisan kaum lelaki.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)

Wallahu a’lam bish-shawab


Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=615
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)

Posted on 25 Februari 2011. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu ‘anhuma)

Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.

Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :

Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.
Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.
Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.
Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.

Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.

Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.

Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)

Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif

Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”

Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)

Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.

Dalam Al Muhith halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.

Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)

Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)

Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’

Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :

Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.

Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)

Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.
Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.
Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Dan yang lain, misalnya :

Jika Rabbku berkata padaku.
Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.
Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.
Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.

Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)

Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)

Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.

Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)

Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan

Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Ta’ala :
“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :
“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :

“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”

Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.

Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)

2. Firman Allah ta’ala :
“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)

Mujahid –dalam kitab yang sama– menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.

3. Firman Allah ta’ala :
“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)

Kata ‘Ikrimah –dari Ibnu Abbas–, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)

Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

1. Dari Abi ‘Amir –Abu Malik– Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)

2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)

3. Dari Anas bin Malik berkata :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)

4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)

5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku –atau mengharamkan– khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :

“Kulihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”

Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”

Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.

Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”

(Bersambung ke Nyanyian Dan Musik Dalam Islam II)

__________________________________________________________________________________

(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi 30/tahun 1999 hal 16-22, karya Ustadz Idral Harits, judul asli “Nyanyian dan musik dalam Islam”.)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=25
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Astrologi Dalam Pandangan Islam

Posted on 23 Februari 2011. Filed under: Akidah, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

“Motivasi yang menggebu-gebu untuk mengejar tujuan sangat membantu karier atau studi. Kali ini adalah peluang baik untuk memulai obsesi yang terpendam selama ini. Buatlah kesempatan.”

Tunggu dulu! Jangan terburu-buru saudara menyangka saya mengetahui masa depan dan aktivitas saudara terutama bagi saudara yang terlahir pada tanggal 23 Oktober – 21 November atau seringnya orang menyebut saudara berbintang Scorpio. Akan tetapi kalimat di atas adalah secuplik kalimat ramalan astrolog yang kami ambil dari sebuah koran ternama di kota pelajar dalam rubrik perbintangan.

Dilihat dari nama rubriknya, dapat diketahui bahwa dasar pemikiran para astrolog atau yang sejalan pemikirannya dengan mereka adalah letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Misalnya, bila letak gugusan bintang Bima Sakti di arah A lalu kebetulan ada seorang bayi lahir tepat pada malam ketika bintang itu terbit maka diramalkan bayi itu akan menjadi orang terkenal setelah besar nanti.

Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah-olah mengetahui hal-hal ghaib. Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah dan melarang pasiennya untuk berbuat sesuatu. Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata-kata manis. Bagi orang yang senang akan rubrik seperti tersebut di atas atau yang suka membaca buku-buku astrologi (ramalan-ramalan bohong) terkadang ramalan itu cocok dengan keadaan yang di alami. Namun yang menjadi permasalahan, darimana pikiran peramal itu mencuat? Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?

Sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Dan ini adalah hak prerogatif Allah semata, selain makhluk yang Dia beritahukan tentangnya, seperti sebagian Malaikat dan para Rasul sebagai mukjizat. Dalam hal ini, Allah berfirman :

“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.” (QS. Al Jin : 26-27)

Barangsiapa mengaku mengetahui perkara atau ilmu ghaib selain orang yang dikecualikan sebagaimana ayat di atas, maka ia telah kafir. Baik mengetahuinya dengan perantaraan membaca garis-garis tangan, di dalam gelas, perdukunan, sihir, dan ilmu perbintangan atau selain itu. Yang terakhir ini yang biasa dilakukan oleh paranormal. Bila ada orang sakit bertanya kepadanya tentang sebab sakitnya maka akan dijawab : “Saudara sakit karena perbuatan orang yang tidak suka kepada saudara.” Darimana dia tahu bahwa penyebab sakitnya adalah dari perbuatan seseorang, sementara tidak ada bukti-bukti yang kuat sebagai dasar tuduhannya? Sebenarnya hal ini tidak lain adalah karena bantuan jin dan para syaithan. Mereka menampakkan kepada khalayak dengan cara-cara di atas (melihat letak bintang, misalnya) hanyalah tipuan belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit. Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan. Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … . Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Sungguh benar kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai syaithan yang mencuri berita dari langit. Diceritakan dalam sebuah hadits :

Tatkala Allah memutuskan perkara di langit, para Malaikat mengepakkan sayap, mereka merasa tunduk dengan firman-Nya, seolah-olah kepakan sayap itu bunyi gemerincing rantai di atas batu besar. Ketika telah hilang rasa takut, mereka saling bertanya : “Apakah yang dikatakan Rabbmu?” “Dia berkata tentang kebenaran dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu firman Allah itu didengar oleh pencuri berita langit. Para pencuri berita itu saling memanggul (untuk sampai di langit), lalu melemparkan hasil curiannya itu kepada teman di bawahnya. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan itu dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)

Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)

Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)

Tujuan Penciptaan Bintang-Bintang

Alam dan segala isinya diciptakan dengan hikmah karena diciptakan oleh Dzat yang memiliki sifat Maha Memberi Hikmah dan Maha Mengetahui. Dia Maha Mengetahui apa yang di depan dan di balik ciptaan-Nya. Sehingga mustahil Allah mencipta makhluk dengan main-main. Sebab itu, kewajiban atas makhluk-Nya ialah tunduk dan menerima berita, perintah, dan larangan-Nya. Sebagai contoh, yang berhubungan dengan pembahasan kali ini ialah penciptaan bintang-bintang di langit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa penciptaan bintang-bintang itu ialah untuk penerang, hiasan langit, penunjuk jalan, dan pelempar setan yang mencuri wahyu yang sedang diucapkan di hadapan para malaikat. Sebagaimana Dia firmankan :

“Dan sungguh, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” (QS. Al Mulk : 5)

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang itu untuk tujuan sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan rambu-rambu jalan. Maka barangsiapa mempergunakannya untuk selain tujuan itu, sungguh terjerumus ke dalam kesalahan, kehilangan bagian akhiratnya, dan terbebani dengan satu hal yang tak diketahuinya. (Perkataan dalam kitab Shahih Bukhari di atas adalah ucapan Qatadah rahimahullah)

Hukum Mempelajari Ilmu Falak

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari ilmu perbintangan atau ilmu falak (astrologi). Qatadah rahimahullah (seorang tabi’in) dan Sufyan bin Uyainah (seorang ulama hadits, wafat pada tahun 198 H) mengharamkan secara mutlak mempelajari ilmu falak. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah memperbolehkan dengan syarat tertentu. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz As Sulaiman Al Qarawi –yang berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat para ulama di atas– bahwa mempelajarinya adalah :

Pertama, kafir bila meyakini bintang-bintang itu sendiri yang mempengaruhi segala aktivitas makhluk di bumi. Ini yang pertama.

Kedua, mempelajarinya untuk menentukan kejadian-kejadian yang ada, akan tetapi semua itu diyakini karena takdir dan kehendak-Nya. Maka yang kedua ini hukumnya haram.

Ketiga, mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, penunjuk jalan, waktu, menurut jumhur ulama hal ini diperbolehkan (jaiz).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengaku mengetahui ilmu ghaib menyebabkan pelakunya kafir. Sedangkan mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, hukumnya haram, baik ia membenarkan atau tidak. Dan yang disebut dukun sekarang ini banyak julukannya. Kadang ia disebut orang pintar atau paranormal, astrolog, fortuneteller, atau yang lainnya. Walaupun begitu, hakikatnya sama saja. Penggunaan julukan yang berbeda-beda hanyalah sebagai pelaris dagangan saja (atau agar terkesan tidak ketinggalan jaman). Hal ini karena mempelajari ilmu falak yang ditujukan untuk meramal nasib atau mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan tindakan kekufuran. Tujuan penciptaan bintang adalah sebagaimana yang telah diterangkan Allah dan para ulama, bukan untuk mengetahui perkara ghaib seperti yang diyakini oleh sebagian besar astrolog. Ayat yang mengatakan :

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka (mendapat petunjuk).” (QS. An Nahl : 16)

Maksudnya, agar manusia mengetahui arah jalan dengan mengetahui letak bintang-bintang, bukan untuk mengetahui perkara ghaib. Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mengharamkan dan melarang mempelajari ilmu nujum (perbintangan) dengan tujuan yang dilarang syariat, seperti hadits :

“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari cabang ilmu nujum (perbintangan) sungguh ia telah mempelajari satu cabang ilmu sihir … .” (HR. Ahmad[1], Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Sementara Islam mengharamkan orang yang menyihir atau meminta sihir. Dan mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan perkara yang membatalkan atau menggugurkan tauhid dan keimanan orang karena menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat Rububiyah. (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Wallahul Musta’an.

.
______________________________________________________________________
[1] Hadits hasan, dihasankan oleh Syaikh Ibnu Alis Sinan dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ nomor 5950 dan dalam Ash Shahihah nomor 793.

(Dinukil dari SALAFY XIX/1418/1997/AQIDAH, ditulis oleh Ustadz Ahmad Hamdani)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=193

.

.

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh: Asy Syaikh Soleh Al Fauzan hafidzahullah

Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.

Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

Hari Raya Orang-orang Kafir Identik Dengan Agama Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

Setiap Umat Beragama Memiliki Hari Raya

Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48).

Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:

فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْداً وَإِنَّ هَذَا لَعِيْدُناَ

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ اْلأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:

1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)

Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)

Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:

وَلاَ تَدْخُلُوْا عَلىَ الْمُشْرِكيْنَ فِيْ كَناَئِسِهِمْ وَمَعاَبِدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَنْـزِلُ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)

2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya

Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)

Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)

3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka

Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)

4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)

5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka

Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Dosakah Bila Melakukan Hal Itu Dalam Rangka Mudahanah (basa-basi)?

Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)

Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya):

“Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

Orang-orang Kafir Bergembira Bila Kaum Muslimin Ikut Berpartisipasi Dalam Hari Raya Mereka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

Bolehkah Seorang Muslim Ikut Merayakan Tahun Baru dan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)

Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.

Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257).

Wallahu A’lam.

___________________________________________________________

sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=89


Perayaan Valentine’s Day Dalam IslamAqidah > Apa dosa yang paling besar di sisi Allah?

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Perayaan Valentine’s Day Dalam Islam

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Cinta adalah sebuah kata yang indah dan mempesona yang hingga sekarang belum ada yang bisa mendefinisikan kata cinta itu sendiri. Meskipun demikian setiap insan yang memiliki hati dan pikiran yang normal tahu apa itu cinta dan bagaimana rasanya. Maha suci Dzat Yang telah menciptakan cinta.

Jika kita berbicara tentang cinta, maka secara hakikat kita akan berbicara tentang kasih sayang; jika kita berbicara tentang kasih sayang, maka akan terbetik dalam benak kita akan suatu hari yang setiap tahunnya dirayakan, hari yang selalu dinanti-nantikan oleh orang-orang yang dimabuk cinta, dan hari yang merupakan momen terpenting bagipara pemuja nafsu.

Sejenak membuka lembaran sejarah kehidupan manusia, maka disana ada suatu kisah yang konon kabarnya adalah tonggak sejarah asal mula diadakannya hari yang dinanti-nantikan itu. Tentunya para pembaca sudah bisa menebak hari yang kami maksud. Hari itu tak lain dan tak bukan adalah “Valentine Days” (Hari Kasih Sayang?).

Definisi Valentine’s Day

Para Pembaca yang budiman, mari kita sejenak menelusuri defenisi Valentine’s Day dari referensi mereka sendiri! Kalau kita membuka beberapa ensiklopedia, maka kita akan menemukan defenesi Valentine di tiga tempat :

Ensiklopedia Amerika (volume XIII/hal. 464) menyatakan, “Tanggal 14 Februari adalah hari perayaan modern yang berasal dari dihukum matinya seorang pahlawan kristen yaitu Santo Valentine pada tanggal 14 Februari 270 M”.

Ensiklopedia Amerika (volume XXVII/hal. 860) menyebutkan, “Yaitu sebuah hari dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta secara tradisional saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah. Yaitu hari dimana Santo Valentine mengalami martir (seorang yang mati sebagai pahlawan karena mempertahankan kepercayaan/keyakinan)”.

Ensiklopedia Britania (volume XIII/hal. 949), “Valentine yang disebutkan itu adalah seorang utusan dari Rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama”.


Sejarah Singkat Valentine Days

Konon kabarnya, sejak abad ke-4 SM, telah ada perayaan hari kasih sayang. Namun perayaan tersebut tidak dinamakan hari Valentine. Perayaan itu tidak memiliki hubungan sama sekali dangan hari Valentine, akan tetapi untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus. Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja. Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.

Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggalah seorang pendeta kristen yang bernama Valentine. Semasa hidupnya, selain sebagai pendeta ia juga dikenal sebagai tabib (dokter) yang dermawan, baik hati dan memiliki jiwa patriotisme yang mampu membangkitkan semangat berjuang. Dengan sifat-sifatnya tersebut, nampaknya mampu membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penderitaan yang mereka rasakan, karena kezhaliman sang Kaisar. Kaisar ini sangat membenci orang-orang Nashrani dan mengejar pengikut ajaran nabi Isa. Pendeta Valentine ini dibunuh karena melanggar peraturan yang dibuat oleh sang Kaisar, yaitu melarang para pemuda untuk menikah, karena pemuda lajang dapat dijadikan tentara yang lebih baik daripada tentara yang telah menikah. Valentine sebagai pendeta, sedih melihat pemuda yang mabuk asmara. Akhirnya dengan penuh keberanian, ia melanggar perintah sang Kaisar. Dengan diam-diam ia menikahkan sepasang anak muda. Pendeta Valentine berusaha menolong pasangan yang sedang jatuh cinta dan ingin membentuk keluarga. Pasangan yang ingin menikah lalu diberkati di tempat yang tersembunyi. Namun rupanya, sang Kaisar mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh pendeta tersebut, dan kaisar sangat tersinggung hingga sang Pendeta diberi hukuman penggal oleh Kaisar Romawi yang bergelar Cladius II. Sejak kematian Valentine, kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya sampai pada tingkat pengkultusan !!

Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.

Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan “Valentine Days”

Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Biar tidak kelihatan formal, mereka membungkusnya dengan hiburan atau pesta-pesta.

Hukum Islam tentang Perayaan Valentine’s Day

Dalam Islam memang disyari’atkan berkasih sayang kepada sesama muslim, namun semuanya berada dalam batas-batas dan ketentuan Allah -Ta’ala- . Betapa banyak kita dapatkan para pemuda dan pemudi dari kalangan kaum muslimin yang masih jahil (bodoh) tentang permasalahan ini. Lebih parah lagi, ada sebagian orang yang tidak mau peduli dan hanya menuruti hawa nafsunya. Padahal perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Days) haram dari beberapa segi berikut :

Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir

Hari raya –seperti, Valentine Days- merupakan ciri khas, dan manhaj (metode) orang-orang kafir yang harus dijauhi. Seorang muslim tak boleh menyerupai mereka dalam merayakan hari itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, “Tak ada bedanya antara mengikuti mereka dalam hari raya, dan mengikuti mereka dalam seluruh manhaj (metode beragama), karena mencocoki mereka dalam seluruh hari raya berarti mencocoki mereka dalam kekufuran. Mencocoki mereka dalam sebagaian hari raya berarti mencocoki mereka dalam sebagian cabang-cabang kekufuran. Bahkan hari raya adalah ciri khas yang paling khusus di antara syari’at-syari’at (agama-agama), dan syi’ar yang paling nampak baginya. Maka mencocoki mereka dalam hari raya berarti mencocoki mereka dalam syari’at kekufuran yang paling khusus, dan syi’ar yang paling nampak. Tak ragu lagi bahwa mencocoki mereka dalam hal ini terkadang berakhir kepada kekufuran secara global”. [Lihat Al-Iqtidho’ (hal.186)].

Ikut merayakan Valentine’s Day termasuk bentuk tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir. Rasululllah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut”. [HR. Abu Daud dalam Sunan-nya (4031) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5114, 5115, & 5667), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (19401 & 33016), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (1199), Ath-Thobroniy dalam Musnad Asy-Syamiyyin (216), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (390), dan Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (848). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr (24)].

Seorang Ulama Mesir, Syaikh Ali Mahfuzh-rahimahullah- berkata dalam mengungkapkan kesedihan dan pengingkarannya terhadap keadaan kaum muslimin di zamannya; “Diantara perkara yang menimpa kaum muslimin (baik orang awam, maupun orang khusus) adalah menyertai (menyamai) Ahlul Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi, dan Nashrani dalam kebanyakan perayaan-perayaan mereka, seperti halnya menganggap baik kebanyakan dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu membenci untuk menyamai Ahlul Kitab dalam segala urusan mereka…Perhatikan sikap Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- seperti ini dibandingkan sesuatu yang terjadi pada manusia di hari ini berupa adanya perhatian mereka terhadap perayaan-perayaan, dan adat kebiasaan orang kafir. Kalian akan melihat mereka rela meninggalkan pekerjaan mereka berupa industri, niaga, dan sibuk dengan ilmu di musim-musim perayaan itu, dan menjadikannya hari bahagia, dan hari libur; mereka bermurah hati kepada keluarganya, memakai pakaian yang terindah, dan menyemir rambut anak-anak mereka di hari itu dengan warna putih sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi, dan Nashrani. Perbuatan ini dan yang semisalnya merupakan bukti kebenaran sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits shohih, “Kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga andai mereka memasuki lubang biawak, maka kalian pun mengikuti mereka”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi, dan Nashrani”. Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka”. [HR. Al-Bukhoriy (3456) dari Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu ‘anhu-]”.[Lihat Al-Ibda’ fi Madhorril Ibtida’ (hal. 254-255)]

Namun disayangkan, Sebagian kaum muslimin berlomba-lomba dan berbangga dengan perayaan Valentine Days. Di hari itu, mereka saling berbagi hadiah mulai dari coklat, bunga hingga lebih dari itu kepada pasangannya masing-masing. Padahal perayaan seperti ini tak boleh dirayakan. Kita Cuma punya dua hari raya dalam Islam. Selain itu, terlarang !!.

Pengantar Menuju Maksiat dan Zina

Acara Valentine Days mengantarkan seseorang kepada bentuk maksiat dan yang paling besarnya adalah bentuk perzinaan. Bukankah momen seperti ini (ValentineDays) digunakan untuk meluapkan perasaan cinta kepada sang kekasih, baik dengan cara memberikan hadiah, menghabiskan waktu hanya berdua saja? Bahkan terkadang sampai kepada jenjang perzinaan.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman dalam melarang zina dan pengantarnya (seperti; pacaran, berduaan, berpegangan, berpandangan, dan lainnya),

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ : 32)

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لَايَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-sekali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (4935), dan Muslim dalam Shohih-nya (1241)] .

Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يِمَسَّ امْرَأَةً لَاتَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. [HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (486). Di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah (226)]

Menciptakan Hari Rari Raya

Merayakan Velentine Days berarti menjadikan hari itu sebagai hari raya. Padahal seseorang dalam menetapkan suatu hari sebagai hari raya, ia membutuhkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena menetapkan hari raya yang tidak ada dalilnya merupakan perkara baru yang tercela. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih -nya (2697)dan Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. [HR. Muslim dalam Shahih -nya (1718)]

Allah -Ta’ala- telah menyempurnakan agama Islam. Segala perkara telah diatur, dan disyari’atkan oleh Allah. Jadi, tak sesuatu yang yang baik, kecuali telah dijelaskan oleh Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula, tak ada sesuatu yang buruk, kecuali telah diterangkan dalam Islam. Inilah kesempurnaan Islam yang dinyatakan dalam firman-Nya,

“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS.Al-Maidah :3 ).

Di dalam agama kita yang sempurna ini, hanya tercatat dua hari raya, yaitu: Idul Fitri dan Idul Adha. Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari dua hari raya yang pernah dilakukan oleh orang-orang Madinah. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada para sahabat Anshor,

قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِيْ الجَاهِلِيَةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحَرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Saya datang kepada kalian, sedang kalian memiliki dua hari, kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyyah. Allah sungguh telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik darinya, yaitu: hari Nahr (baca: iedul Adh-ha), dan hari fithr (baca: iedul fitri)”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1134), An-Nasa`iy dalam Sunan-nya (3/179), Ahmad dalam Al-Musnad (3/103. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (1134)] .

Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim-hafizhahullah– berkata saat mengomentari hadits ini, “Jadi, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang mereka -dalam bentuk pengharaman- dari perayaan-perayaan jahiliyyah yang dikenal di sisi mereka sebelum datangnya Islam, dan beliau menetapkan bagi mereka dua hari raya yang sya’i, yaitu hari raya Idul Fithri, dan hari raya Idul Adh-ha. Beliau juga menjelaskan kepada mereka keutamaan dua hari raya ini dibandingkan peryaan-perayaan lain yang terdahulu “.[Lihat As-Sunan wa Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal.136), cet. Maktabah Ibad Ar-Rahman, 1425 H]

Sungguh perkara yang sangat menyedihkan, justru perayaan ini sudah menjadi hari yang dinanti-nanti oleh sebagian kaum muslimin terutama kawula muda. Parahnya lagi, perayaan Valentine Days ini adalah untuk memperingati kematian orang kafir (yaitu Santo Valentine). Perkara seperti ini tidak boleh, karena menjadi sebab seorang muslim mencintai orang kafir.

__________________________________________________________________________________________________

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 51 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menyorot-perayaan-valentine-days.html#more-231

 

Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s DayAqidah >  Sikap Seorang Muslim Terhadap Hari Raya Orang-orang Kafir

 

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Pertanyaan :

Bagaimana hukum merayakan hari Kasih Sayang / Valentine’s Day ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab :

“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam.

Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca;

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah:51)

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)

Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.

Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.

Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal Ibadah Kita. Amin.

 

_____________________________________________________________________________

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s DayAqidah >  Perayaan Valentine’s Day Dalam Islam

 

Artikel Terkait:


Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Beberapa versi sebab-musabab dirayakannya hari Kasih sayang ini, dalam The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day.

1. Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (lihat: The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada tahun 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (lihat: The World Book Encyclopedia 1998).

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” termaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. -Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan-. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dari pada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (lihat: The World Book Encyclopedia, 1998).

Kebiasaan mengirim kartu Valentine itu sendiri tidak ada kaitan langsung dengan St. Valentine. Pada 1415 M ketika the Duke of Orleans dipenjara di Tower of London, pada perayaan hari gereja mengenang St.Valentine 14 Februari, ia mengirim puisi kepada istrinya di Perancis. Kemudian Geoffrey Chaucer, penyair Inggris mengkaitkannya dengan musim kawin burung dalam puisinya (lihat: The Encyclopedia Britannica, Vol.12 hal.242 , The World Book Encyclopedia, 1998).

Lalu bagaimana dengan ucapan “Be My Valentine?” Ken Sweiger dalam artikel “Should Biblical Christians Observe It?” (www.korrnet.org) mengatakan kata “Valentine” berasal dari Latin yang berarti : “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Maka disadari atau tidak, -tulis Ken Sweiger- jika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, hal itu berarti melakukan perbuatan yang dimurkai Tuhan (karena memintanya menjadi “Sang Maha Kuasa”) dan menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Dalam Islam hal ini disebut Syirik, yang artinya menyekutukan Allah Subhannahu wa Ta’ala.

Adapun Cupid (berarti: the desire), si bayi bersayap dengan panah adalah putra Nimrod “the hunter” dewa Matahari. Disebut tuhan Cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri! .

Layaknya seorang muslim segera bertaubat mengucap istighfar, “Astaghfirullah“, wa naudzubillahi min dzalik.

 

___________________________________________________________________

(Dari berbagai sumber).

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Fatwa Ulama Tentang Merayakan Valentine’s DayAqidah >  Hukum Merayakan Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Fatwa Ulama Tentang Merayakan Valentine’s Day

Posted on 11 Februari 2011. Filed under: Akidah, Fatwa, Manhaj, Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Valentine’s Day sebenarnya, bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan pada pastor kuffar. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang”, lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine ? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Adat? Atau hanya ikut-ikutan semata tanpa tahu asal muasalnya?

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra’ : 36).

Sebelum kita terjerumus pada budaya yang dapat menyebabkan kita tergelincir kepada kemaksiatan maupun penyesalan, kita tahu bahwa acara itu jelas berasal dari kaum kafir yang akidahnya berbeda dengan ummat Islam, sedangkan Rasulullah bersabda: Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri Radiyallahu ‘anhu : Rasulullah bersabda:

“Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka“. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?” Rasulullah bersabda: “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Bukhari dan Muslim ).

Pertanyaan :

Sebagian orang merayakan Yaum Al-Hubb (Hari Kasih Sayang) pada tanggal 14 Februari [bulan kedua pada kalender Gregorian kristen / Masehi] setiap tahun, diantaranya dengan saling-menghadiahi bunga mawar merah. Mereka juga berdandan dengan pakaian merah (merah jambu,red), dan memberi ucapan selamat satu sama lain (berkaitan dengan hari tsb).

Beberapa toko-toko gula-gula pun memproduksi manisan khusus – berwarna merah- dan yang menggambarkan simbol hati/jantung ketika itu (simbol love/cinta, red). Toko-tokopun tersebut mengiklankan yang barang-barang mereka secara khusus dikaitkan dengan hari ini. Bagaimana pandangan syariah Islam mengenai hal berikut :

1. Merayakan hari valentine ini ?
2. Melakukan transaksi pembelian pada hari valentine ini?
3. Transaksi penjualan – sementara pemilik toko tidak merayakannya – dalam berbagai hal yang dapat digunakan sebagai hadiah bagi yang sedang merayakan?
Semoga Allah memberi Anda penghargaan dengan seluruh kebaikan !

Jawaban :

Bukti yang jelas terang dari Al Qur’an dan Sunnah – dan ini adalah yang disepakati oleh konsensus ( Ijma’) dari ummah generasi awal muslim – menunjukkan bahwa hanya ada dua macam Ied (hari Raya) dalam Islam : ‘ Ied Al-Fitr (setelah puasa Ramadhan) dan ‘ Ied Al-Adha (setelah hari ‘ Arafah untuk berziarah).

Maka seluruh Ied yang lainnya – apakah itu adalah buatan seseorang, kelompok, peristiwa atau even lain – yang diperkenalkan sebagai hari Raya / ‘Ied, tidaklah diperkenankan bagi muslimin untuk mengambil bagian didalamnya, termasuk mengadakan acara yang menunjukkan sukarianya pada even tersebut, atau membantu didalamnya – apapun bentuknya – sebab hal ini telah melampaui batas-batas syari’ah Allah:

وَتِلْكَ حُدُودُاللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ

“Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri”. [ At-Thalaq ayat: 1]

Jika kita menambah-nambah Ied yang telah ditetapkan, sementara faktanya bahwa hari raya ini merupakan hari raya orang kafir, maka yang demikian termasuk berdosa. Disebabkan perayaan Ied tersebut meniru-niru (tasyabbuh) dengan perilaku orang-orang kafir dan merupakan jenis Muwaalaat (Loyalitas) kepada mereka. Dan Allah telah melarang untuk meniru-niru perilaku orang kafir tersebut dan termasuk memiliki kecintaan, kesetiaan kepada mereka, yang termaktub dalam kitab Dzat yang Maha Perkasa (Al Qur’an). Ini juga ketetapan dari Nabi (Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) bahwa beliau bersabda :

“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”.

Ied al-Hubb (perayaan Valentine’s Day) datangnya dari kalangan apa yang telah disebutkan, termasuk salah satu hari besar / hari libur dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan untuk siapapun dari kalangan muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, adalah wajib untuknya menjauhi dari perayaan tersebut – sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allaah dan hukumanNya.

Lebih-lebih lagi, hal itu terlarang untuk seorang muslim untuk membantu atau menolong dalam perayaan ini, atau perayaan apapun juga yang termasuk terlarang, baik berupa makanan atau minuman, jual atau beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua hal ini dikaitkan sebagai bentuk tolong-menolong dalam dosa serta pelanggaran, juga sebagai bentuk pengingkaran atas Allah dan Rasulullah. Allah, Dzat yang Maha Agung dan Maha Tinggi, berfirman:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. [Surah al-Maa.idah, Ayat 2]

Demikian juga, termasuk kewajiban bagi tiap-tiap muslim untuk memegang teguh atas Al Qur’an dan Sunnah dalam seluruh kondisi – terutama saat terjadi rayuan dan godaan kejelekan. Maka semoga dia memahami dan sadar dari akibat turutnya dia dalam barisan sesat tersebut yang Allah murka padanya (Yahudi) dan atas mereka yang tersesat (Kristen), serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu diantara mereka, yang tidak punya rasa takut – maupun harapan dan pahala – dari Allah, dan atas siapa-siapa yang memberi perhatian sama sekali atas Islam.

Maka hal ini sangat penting bagi muslim untuk bersegera kembali ke jalan Allah, yang Maha Tinggi, mengharap dan memohon Hidayah-Nya (Bimbingan) dan Tsabbat (Keteguhan) atas jalanNya. Dan sungguh, tidak ada pemberi petunjuk kecuali Allaah, dan tak seorangpun yang dapat menganugrahkan keteguhan kecuali dariNya.

Dan kepada Allaah lah segala kesuksesan dan semgoa Allaah memberikan sholawat dan salam atas Nabi kita ( Shalallaahu ` Alaihi wa sallam) beserta keluarganya dan rekannya.

Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa
Ketua : Syaikh ‘ Abdul ‘ Aziz Al Asy-Syaikh;
Wakil Ketua : Syaikh Saalih ibn Fauzaan;
Anggota: Syaikh ‘ Abdullaah ibn Ghudayyaan;

Anggota: Syaikh Bakar Ibn ‘ Abdullaah Abu Zaid

(Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah Wal-Iftaa.- Fatwa Nomor 21203. Lembaga tetap pengkajian ilmiah dan riset fatwa Saudi Arabia)

 

____________________________________________________________________________________

Dinukil dari http://www.fatwa-online.com/fataawa/innovations/celebrations/cel003/0020123_1.htm.
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=443

 

Mengenal Pribadi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi WasallamAqidah >  Sejarah Hari Kasih Sayang / Valentine’s Day

 

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Menyikapi Aksi-aksi Terorisme di Indonesia

Posted on 10 Februari 2011. Filed under: Khawarij, Manhaj, Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Seperti kita ketahui bersama, dalam kurun enam tahun belakangan ini, negeri kita diguncang sejumlah aksi teroris. Yang paling akhir (semoga memang yang terakhir), adalah bom di Hotel JW Mariott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, disusul dengan peristiwa-peristiwa yang membuntutinya. Peristiwa-peristiwa itu menyisakan banyak efek negatif yang menyedihkan bagi kaum muslimin. Betapa tidak. Kaum muslimin yang merupakan umat yang cinta damai kemudian tercitrakan menjadi kaum yang suka melakukan kekerasan.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya narasumber-narasumber dadakan. Di antara mereka ada yang membenarkan “aksi heroik” para teroris ini. Sedangkan yang lain beranggapan bahwa semua orang yang berpenampilan mengikuti sunnah sebagai orang yang sekomplotan dengan para teroris tersebut. Tak ayal, sebagian orang yang bercelana di atas mata kaki pun jadi sasaran kecurigaan, ditambah dengan cambangnya yang lebat dan istrinya yang bercadar. Padahal, bisa jadi hati kecil orang yang berpenampilan mengikuti sunnah tersebut mengutuk perbuatan para teroris yang biadab itu dengan dasar dalil-dalil yang telah sahih dalam syariat.

Oleh karena itu, kami terpanggil untuk sedikit memberikan penjelasan seputar masalah ini, mengingat betapa jeleknya akibat dari aksi-aksi teror tersebut. Di mana aksi-aksi tersebut telah memakan banyak korban, baik jiwa maupun harta benda, sesuatu yang tak tersamarkan bagi kita semua.

Nah, darimanakah teror fisik ini muncul, sehingga berakibat sesuatu yang begitu kejam dan selalu mengancam? Tak lain teror fisik ini hanyalah buah dari sebuah teror pemikiran yang senantiasa bercokol pada otak para aktor teror tersebut, yang akan terus membuahkan kegiatan selama teror pemikiran tersebut belum hilang.

Apa yang dimaksud dengan teror pemikiran? Tidak lain, keyakinan bahwa sebagian kaum muslimin telah murtad dan menjadi kafir, khususnya para penguasa. Bahkan di antara penganut keyakinan ini ada yang memperluas radius pengkafiran itu tidak semata pada para penguasa, baik pengkafiran itu dengan alasan ‘tidak berhukum dengan hukum Allah‘ atau dengan alasan ‘telah berloyal kepada orang kafir‘, atau dalih yang lain. Demikian mengerikan pemikiran dan keyakinan ini sehingga pantaslah disebut sebagai teror pemikiran. Keyakinan semacam ini di masa lalu dijunjung tinggi oleh kelompok sempalan yang disebut dengan Khawarij.

Dengan demikian, teror pemikiran inilah yang banyak memakan korban. Dan ketahuilah, korban pertama sebelum orang lain adalah justru para pelaku bom bunuh diri tersebut. Mereka terjerat paham yang jahat dan berbahaya ini, sehingga mereka menjadi martir yang siap menerima perintah dari komandannya dalam rangka memerangi “musuh” (versi mereka). Lebih parah lagi, mereka menganggapnya sebagai jihad yang menjanjikan sambutan bidadari sejak saat kematiannya. Keyakinan semacam inilah yang memompa mereka untuk siap menanggung segala risiko dengan penuh sukacita. Sehingga berangkatlah mereka, dan terjadilah apa yang terjadi…

Benarkah mereka disambut bidadari setelah meledaknya tubuh mereka hancur berkeping-keping dengan operasi bom bunuh diri tersebut? Jauh panggang dari api! Bagaimana dikatakan syahid, sementara ia melakukan suatu dosa besar yaitu bunuh diri! Kita tidak mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita hanya menghukuminya secara zhahir (lahir) berdasarkan kaidah hukum, tidak boleh bagi kita memastikan bahwa seseorang itu syahid dengan segala konsekuensinya. Bahkan berbagai hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mencela Khawarij dan mengecam bunuh diri lebih tepat diterapkan kepada mereka. Oleh karena itulah, saya katakan: Mereka adalah korban pertama kejahatan paham Khawarij sebelum orang lain.

Tolong hal ini direnungi dan dipahami. Terutama bagi mereka yang ternodai oleh paham ini. Selamatkan diri kalian. Kasihanilah diri kalian, keluarga kalian, dan umat ini. Kalian telah salah jalan. Bukan itu jalan jihad yang sebenarnya. Segeralah kembali sebelum ajal menjemput. Sebelum kalian menjadi korban berikutnya. Teman-teman seperjuangan dan juga ustadz kalian tidak akan dapat menolong kalian dari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masing-masing akan mempertanggungjawabkan amalnya sendiri:

وَكُلُّهُمْ آَتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا

“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.“ (Maryam: 95)

Sekadar itikad baik tidaklah cukup. Itikad baik haruslah berjalan seiring dengan cara yang baik.

Kami goreskan tinta dalam lembar-lembar yang singkat ini, dengan tujuan agar semua pihak mendapatkan hidayah. Barangkali masih ada orang yang sudi membaca dan merenungkannya dengan penuh kesadaran. Juga agar semua pihak dapat bersikap dengan benar dan baik. Sekaligus ini sebagai pernyataan sikap kami, karena kami pun menuai getah dari aksi teror tersebut.

Taat kepada pemerintah dalam hal yang baik

Kaum muslimin harus meyakini tentang wajibnya taat kepada pemerintah dalam perkara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (An-Nisa: 59)

Ulil Amri adalah para ulama dan para umara’ (para penguasa), sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsirnya. (Tafsir Al-Qur‘anil ‘Azhim, 1/530)

Seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bernama Al-Irbadh Radhiyallah ‘anhu mengatakan:

ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ، كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟ فَقَالَ: أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat mengimami kami, lalu beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat mengena. Air mata berderai dan qalbu pun bergoncang karenanya. Maka seseorang mengatakan: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat perpisahan. Lalu apa wasiat anda kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendengar dan taat (kepada penguasa) sekalipun dia seorang budak sahaya dari Habasyah (sekarang Ethiopia, red.). Karena siapa saja yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka tetaplah kalian pada sunnahku dan sunnah (tuntunan) para khulafa‘ur-rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian, serta jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam Islam), karena segala yang baru tersebut adalah bid‘ah dan segala yang bid‘ah adalah kesesatan.“ (Shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lain)

Untuk lebih lengkapnya, lihat pembahasan pada majalah Asy Syariah Vol. I/05.

Berlepas diri dari aksi teror

Kaum muslimin harus berlepas diri dari aksi-aksi teroris, karena aksi-aksi tersebut bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Nabi-Nya sebagai rahmat bagi alam semesta sebagaimana dalam firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.“ (Al-Anbiya: 107)

Beliau adalah seorang nabi yang sangat memiliki kasih sayang dan kelembutan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.“ (At-Taubah: 128)

Dalam sebuah riwayat dari Atha’ bin Yasar, ia berkata: Aku berjumpa dengan Abdullah bin Amr bin Al-Ash Radhiyallah ‘anhuma maka aku pun mengatakan:

أَخْبِرْنِي عَنْ صِفَةِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي التَّوْرَاةِ. فَقَالَ: أَجَلْ، وَاللهِ إِنَّهُ لَمَوْصُوفٌ فِي التَّوْرَاةِ بِصِفَتِهِ فِي الْقُرْآنِ: يا أَيُّهَا النبي إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً وَحِرْزاً لِلْأُمِّيِّينَ وَأَنْتَ عَبْدِي وَرَسُوْلِي سَمَّيْتُكَ الْمُتَوَكِّلَ لَسْتَ بِفَظٍّ وَلاَ غَلِيظٍ وَلاَ سَخَّابٍ بِالْأَسْوَاقِ. قَالَ يُونُسُ: وَلاَ صَخَّابٍ فِي الْأَسْوَاقِ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَةَ بِالسَّيِّئَةِ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَغْفِرُ وَلَنْ يَقْبِضَهُ حَتَّى يُقِيمَ بِهِ الْمِلَّةَ الْعَوْجَاءَ بِأَنْ يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَيَفْتَحُ بِهَا أَعْيُناً عُمْياً وَآذَاناً صُمًّا وَقُلُوباً غُلْفاً

“Kabarkan kepadaku tentang sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam kitab Taurat.” Beliau menjawab: “Ya, demi Allah, beliau disifati dalam kitab Taurat seperti beliau disifati dalam Al-Qur’an: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, sebagai pembawa berita gembira, sebagai pemberi peringatan, sebagai pelindung bagi kaum yang ummi. Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Aku menamaimu Al-Mutawakkil (orang yang bertawakkal). Engkau bukanlah orang yang kasar tutur katamu, bukan pula kaku tingkah lakumu, bukan orang yang suka berteriak-teriak di pasar, bukan pula orang yang membalas kejelekan dengan kejelekan, akan tetapi justru memaafkan dan mengampuni kesalahan. Allah tidak akan mewafatkannya hingga Allah meluruskan dengannya agama yang bengkok, dengan orang-orang mengucapkan La Ilaha illallah. Dengan kalimat itu ia membuka mata yang buta, telinga yang tuli, dan qalbu yang tertutup.“ (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2018, Ahmad dalam kitab Musnad, dan yang lain)

Bahkan dalam kondisi perang melawan orang kafir sekalipun, masih nampak sifat kasih sayang beliau. Sebagaimana pesan beliau kepada para komandan pasukan perang yang diriwayatkan oleh Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعْهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ، في سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ -أَوْ خِلَالٍ- فَأَيَّتُهُنَّ مَا أََجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bila menetapkan seorang komandan sebuah pasukan perang yang besar atau kecil, beliau berpesan kepadanya secara khusus untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang bersamanya, lalu beliau mengatakan: “Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir terhadap Allah. Berperanglah, jangan kalian melakukan ghulul (mencuri rampasan perang), jangan berkhianat, jangan mencincang mayat, dan jangan pula membunuh anak-anak. Bila kamu berjumpa dengan musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah kepada tiga perkara. Mana yang mereka terima, maka terimalah dari mereka dan jangan perangi mereka. Ajaklah mereka kepada Islam, kalau mereka terima maka terimalah dan jangan perangi mereka…” (Shahih, HR. Muslim)

Dalam riwayat Ath-Thabarani (Al-Mu‘jam Ash-Shaghir no. hadits 340):

وَلاَ تَجْبُنُوْا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيْدًا، وَلاَ امْرَأةً، وَلاَ شَيْخًا كَبِيْرًا

“Jangan kalian takut, jangan kalian membunuh anak-anak, jangan pula wanita, dan jangan pula orang tua.“

Islam bahkan tidak membolehkan membunuh orang kafir kecuali dalam satu keadaan, yaitu manakala dia sebagai seorang kafir harbi (yang memerangi muslimin). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (Al-Mumtahanah: 8-9)

Adapun jenis kafir yang lain, semacam kafir dzimmi yaitu orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan dan jaminan penguasa muslim, atau kafir mu‘ahad yaitu seorang kafir yang memiliki perjanjian keamanan dengan pihak muslim, atau kafir musta‘min yaitu yang meminta perlindungan keamanan kepada seorang muslim, atau sebagai duta pihak kafir kepada pihak muslim, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang membunuh mereka. Bahkan mereka dalam jaminan keamanan dari pihak pemerintah muslimin.

Kaum muslimin berlepas diri dari aksi-aksi teror tersebut, karena aksi-aksi tersebut mengandung pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran agama Islam yang mulia. Di antaranya:

1. Membunuh manusia tanpa alasan dan cara yang benar

2. Menumbuhkan rasa ketakutan di tengah masyarakat

3. Merupakan sikap memberontak kepada penguasa muslim yang sah

4. Menyelewengkan makna jihad fi sabilillah yang sebenarnya

5. Membuat kerusakan di muka bumi

6. Merusak harta benda

7. Terorisme Khawarij adalah bid’ah, alias perkara baru yang diada-adakan dalam agama, sehingga merupakan kesesatan.

Dan berbagai pelanggaran agama yang lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا . وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.“ (An-Nisa: 29-30)

Janganlah membunuh diri kalian, yakni janganlah sebagian kalian membunuh yang lain. Karena sesama kaum muslimin itu bagaikan satu jiwa. (Lihat Tafsir As-Sa‘di)

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat tinggalnya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.“ (Al-Maidah: 33)

Makna memerangi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah menentang dan menyelisihi. Kata ini tepat diberikan pada perkara kekafiran, merampok di jalan, dan membuat ketakutan pada perjalanan manusia. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/50)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan mereka melaknati kalian.“ Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang (senjata)?“ Beliau mengatakan: “Jangan, selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah perbuatannya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.“ (Shahih, HR. Muslim)

Dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata:

حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberitahukan kepada kami bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim yang lain.“ (Shahih, HR. Abu Dawud)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

كَانَ يَنْهَى عَنْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Adalah Rasulullah melarang dari ‘katanya dan katanya‘, banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan menyia-nyiakan harta.“ (Shahih, HR. Al-Bukhari dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallah ‘anhu )

Ideologi Teroris Khawarij

Mengapa kami memberi embel-embel kata teroris dengan kata Khawarij? Karena, kata teroris secara mutlak memiliki makna yang luas. Aksi teror telah dilakukan oleh banyak kalangan, baik yang mengatasnamakan Islam ataupun non-Islam, semacam yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap bangsa Palestina pada masa kini, dan semacam yang dilakukan oleh Sekutu terhadap bangsa Jepang dalam peristiwa pengeboman Nagasaki dan Hiroshima di masa lalu. Sehingga dengan penambahan kata “Khawarij” di belakang kata teroris, akan mempersempit pembahasan kita. Pembahasan kita hanya tentang orang-orang yang melakukan aksi-aksi teror di negeri kita akhir-akhir ini yang mengatasnamakan Islam atau mengatasnamakan jihad. Adapun Khawarij, merupakan sebuah kelompok sempalan yang menyempal dari Ash-Shirathul Mustaqim (jalan yang lurus) dengan beberapa ciri khas ideologi mereka.

Mengapa kami menyebutnya ideologi? Karena mereka memiliki sebuah keyakinan yang hakikatnya bersumber dari sebuah ide. Maksud kami, sebuah penafsiran akal pikiran yang keliru terhadap nash (teks) Al-Qur’an atau Al-Hadits. Dari sinilah kemudian mereka menyempal. Sekali lagi, hal ini terjadi akibat penafsiran yang salah terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan akibat penafsiran yang apa adanya, yang menurut sebagian orang kaku atau “saklek“, dan tidak pantas dikatakan sebagai salah satu bentuk ijtihad dalam penafsiran Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sehingga, ideologi mereka sama sekali tidak bisa disandarkan kepada Islam yang benar. Demikian pula aksi-aksi teror mereka sama sekali tidak bisa dikaitkan dengan ajaran Islam yang mulia nan indah ini. Bahkan Islam berlepas diri dari mereka. Lebih dari itu, Islam justru sangat mengecam mereka, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebut mereka sebagai anjing-anjing penghuni neraka seperti dalam hadits berikut ini:

كِلاَبُ أَهْلِ النَّارِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوْهُ

“(Mereka) adalah anjing-anjing penghuni neraka. Sebaik-baik korban adalah orang yang mereka bunuh.“ (Shahih, HR. Ahmad dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Lihat Shahih Al-Jami‘ no. 3347)

Para teroris Khawarij yang ada sekarang ini adalah salah satu mata rantai dari kaum Khawarij yang muncul sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam . Ketika itu, para sahabat masih hidup. Merekalah orang-orang yang memberontak kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan Radhiyallah ‘anhu dan membunuhnya. Mereka jugalah yang membunuh Khalifah Ali bin Abu Thalib Radhiyallah ‘anhu. Sekte ini terus berlanjut, turun-temurun diwarisi oleh anak cucu penyandang ideologi Khawarij sampai pada masa ini, yang ditokohi oleh Usamah bin Laden (yang telah diusir dari Kerajaan Saudi Arabia karena pemikirannya yang berbahaya), Al-Mis’ari, Sa’ad Al-Faqih, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka bersama Al-Qaedahnya telah melakukan aksi-aksi teror di Saudi Arabia, bahkan di wilayah Makkah dan Madinah, sehingga menyebabkan kematian banyak orang, baik dari kalangan sipil maupun militer. Karenanya, pemerintah Saudi Arabia beserta para ulamanya (yaitu) anak cucu murid-murid Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberantas mereka. Sehingga para teroris Khawarij tersebut -termasuk yang ada di negeri ini- sangat benci kepada pemerintah kerajaan Saudi Arabia, dan ini menjadi salah satu ciri mereka.

Coba perhatikan, siapakah korban aksi teror mereka? Bukankah kaum muslimin? Perhatikanlah bahwa kaum muslimin juga menjadi target operasi mereka. Ya, walau awalnya mereka berdalih memerangi orang kafir, tapi pada akhirnya musliminlah yang menjadi sasaran mereka dan justru mereka akan lebih sibuk memerangi kaum muslimin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ

“Mereka membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala.“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sehingga kami memohon kepada segenap kaum muslimin agar tidak mengaitkan aksi teror mereka dengan ajaran Islam yang mulia, yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pembawa rahmat. Mereka sangat jauh dari Islam, Islam pun berlepas diri dari mereka. Jangan termakan oleh opini yang sangat dipaksakan untuk mengaitkan aksi-aksi itu dengan Islam. Opini semacam ini hanyalah muncul dari seseorang yang tidak paham terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya dan tidak paham jati diri para teroris Khawarij tersebut, atau muncul dari orang-orang kafir ataupun muslim yang “mengail di air keruh“, yang sengaja menggunakan momentum ini untuk menyudutkan Islam dan muslimin, semacam yang dilakukan pelukis karikatur terlaknat dari Denmark beberapa tahun silam.

Mungkin muncul pertanyaan, “Mengapa teroris Khawarij memerangi muslimin?” Jawabannya, bermula dari penyelewengan makna terhadap ayat:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.“ (Al-Maidah: 44)

Kemudian, vonis brutal kepada banyak pihak sebagai kafir. Berikutnya, serampangan dalam memahami dan menerapkan dalil-dalil tentang larangan terhadap seorang muslim berloyal kepada orang kafir, sehingga beranggapan bahwa banyak muslimin sekarang, baik pemerintah secara khusus maupun rakyat sipil secara umum, telah berloyal kepada orang-orang kafir. Konsekuensinya, mereka tidak segan-segan menganggap banyak muslimin sebagai orang kafir. Semua itu berujung kepada tindakan teror yang mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah.

Sebuah pemahaman yang sangat dangkal. Tidak sesederhana itu menghukumi seorang muslim sebagai kafir, disebabkan si muslim tersebut tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak sesederhana itu menghukumi seorang muslim sebagai kafir, disebabkan si muslim tersebut loyal kepada orang kafir. Karena loyal itu bertingkat-tingkat, dan sebabnya pun bermacam-macam. Loyal yang jelas membuat seseorang menjadi kafir adalah bila loyalnya karena cinta atau ridha kepada agama si kafir tersebut. Untuk lebih lengkapnya, lihat pembahasan masalah takfir ini pada Asy Syariah Vol.I/08/1425 H/ 2004.

Mengidentifikasi teroris Khawarij

Kami merasa perlu untuk membahas secara singkat tentang ciri-ciri teroris Khawarij, karena kami melihat telah terjadi salah kaprah dalam hal ini. Kami memandang bahwa tidak tepat bila seseorang menilai orang lain sebagai teroris atau sebagai orang yang terkait dengan jaringan teroris, ataupun mencurigainya hanya berdasarkan dengan penampilan lahiriah (luar) semata.

Pada kenyataannya, para pelaku teror tersebut selalu berganti-ganti penampilan. Bahkan terkadang mereka cenderung memiliki penampilan yang akrab dengan masyarakat pada umumnya untuk menghilangkan jejak mereka. Lihatlah gambar-gambar Imam Samudra cs sebelum ditangkap. Sehingga, penampilan lahiriah -baik penampilan ala masyarakat pada umumnya atau penampilan agamis- akan selalu ada yang menyerupai mereka. Berdasarkan hal ini, penampilan lahiriah semata tidak bisa menjadi tolok ukur. Tatkala para teroris tersebut memakai topi pet, celana panjang, kaos serta mencukur jenggot, kita tidak bisa menjadikan hal-hal ini sebagai ciri teroris. Tidak boleh bagi kita untuk menilai orang yang serupa dengan mereka dalam cara berpakaian ini sebagai anggota mereka.

Demikian pula sebaliknya. Ketika para teroris itu berpenampilan Islami dengan memelihara jenggot, memakai celana di atas mata kaki, memakai gamis, dan istrinya bercadar, kita juga tidak bisa menjadikan penampilan ini sebagai ciri teroris. [1] Tidak boleh pula bagi kita untuk menilai orang yang berpakaian seperti mereka ini sebagai anggota jaringan mereka. Faktor pendorong orang-orang untuk berpenampilan agamis adalah karena hal itu merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam -terlepas dari perbedaan pendapat para ulama dalam hal cadar, apakah itu wajib atau sunnah-. Semua itu tak ubahnya ajaran agama Islam yang lain semacam shalat, puasa, dan lain sebagainya. Mereka para teroris Khawarij juga shalat dan berpuasa bahkan mungkin melakukannya dengan rajin dan penuh semangat. Lalu apakah kita akan menilai shalat dan puasa sebagai ciri teroris? Sehingga kita akan menuduh orang yang shalat dan puasa sebagai anggota jaringan teroris? Tentu tidak. Begitu pula jenggot dan cadar. Hal yang seperti ini hendaknya direnungkan.

Maka kami mengingatkan diri kami dan semua pihak dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.“ (Al-Ahzab: 58)

Akan tetapi, di antara cara mengidentifikasi teroris Khawarij bisa dilakukan dengan hal-hal berikut ini:

1. Mereka memiliki pertemuan-pertemuan rahasia, yang tidak dihadiri kecuali oleh orang-orang khusus.

2. Mereka akan menampakkan kebencian terhadap penguasa muslim. Dalam pertemuan-pertemuan khusus, mereka tak segan-segan menganggap para penguasa muslim tersebut sebagai orang kafir.

3. Mereka akan menampakkan pujian-pujian terhadap para tokoh-tokoh Khawarij masa kini, semacam Usamah bin Laden dan yang sejalan dengannya.

4. Mereka gandrung terhadap buku-buku hasil karya tokoh-tokoh tersebut, juga buku-buku tokoh pergerakan semacam Sayyid Quthub, Salman Al-‘Audah, Fathi Yakan, Hasan Al-Banna, Said Hawwa, dan yang sejalan dengan mereka.

Ini semua sebatas indikasi yang mengarah kepada terorisme. Untuk memastikannya, tentu perlu kajian lebih lanjut terhadap yang bersangkutan.

Tidak boleh melindungi teroris Khawarij

Kami meyakini bahwa melindungi teroris Khawarij atau para pelaku kejahatan yang lain merupakan salah satu dosa besar yang bisa menyebabkan seseorang menuai laknat. Sebagaimana diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallah ‘anhu, beliau berkata:

مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ إِلَّا كِتَابُ اللهِ وَهَذِهِ الصَّحِيفَةُ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : الْمَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عَائِرٍ إِلَى كَذَا، مَنْ أَحْدَثَ فِيْهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ

Kami tidak memiliki sesuatu kecuali kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lembaran ini yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Madinah adalah tanah suci antara gunung ‘A-ir sampai tempat ini; Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yang baru (dalam agama) atau melindungi orang yang jahat, maka laknat Allah atasnya, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya, tidak diterima darinya tebusan maupun taubat.“ (Shahih, HR. Al-Bukhari)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ الله مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ الله مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang melindungi penjahat, Allah melaknat orang yang mencaci kedua orangtuanya, dan Allah melaknat orang yang mengubah batas tanah.“ (Shahih, HR. Muslim)

Membenarkan upaya pemberantasan terorisme

Kaum muslimin juga membenarkan secara global upaya pemberantasan terorisme, karena aksi teror adalah perbuatan yang mungkar. Sementara, di antara prinsip agama Islam yang mulia ini adalah amar ma‘ruf dan nahi munkar, yaitu memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar. Sehingga, masyarakat secara umum terbebani kewajiban ini sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Untuk itu, sudah semestinya seluruh elemen masyarakat bahu-membahu memberantas terorisme ini dengan cara yang benar, sesuai dengan bimbingan Islam.

Di antara salah satu upayanya adalah memberikan penjelasan yang benar tentang ajaran agama Islam, jauh dari pemahaman yang melampaui batas dan juga tidak menggampang-gampangkan sehingga lebih dekat kepada pemahaman liberalisme dalam agama. Akan tetapi tepat dan benar, sesuai yang dipahami para sahabat di antaranya adalah sahabat ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallah ‘anhu (yang menjadi korban paham Khawarij yang menyimpang dari pemahaman para sahabat). Karena para sahabat adalah orang yang paling memahami ajaran agama ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Lebih khusus pemahaman tentang jihad, dengan pemahaman yang tidak ekstrem sebagaimana kelompok Khawarij dan tidak pula menyepelekan sebagaimana kelompok Liberal. Namun dengan pemahaman yang mengacu kepada jihad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya serta bimbingan para ulama yang mengikuti jejak mereka.

Demikian pula tentang kewajiban rakyat terhadap pemerintah, baik ketika pemerintah itu adil atau ketika tidak adil. Tetap taat kepadanya dalam perkara yang baik dan bersabar atas kekejamannya.

Juga bagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menasihati penguasa ketika penguasa itu salah, zalim, dan tidak adil, yaitu menyampaikan nasihat dengan cara yang tepat tanpa mengandung unsur provokasi yang membuat rakyat semakin benci terhadap pemerintahnya. (lihat majalah Asy Syariah Vol. I/05/1424 H/2004)

Kemudian memahami klasifikasi orang kafir, serta hukum terhadap masing-masing jenis. Karena, tidak bisa pukul rata (Jawa: gebyah uyah, red.) bahwa semua jenis orang kafir boleh atau harus dibunuh.

Juga memahami betapa besarnya nilai jiwa seorang muslim di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga tidak bermudah-mudah dalam melakukan perbuatan yang menjadi sebab melayangnya nyawa seorang muslim.

Memahami pula kapan seseorang dihukumi tetap sebagai muslim dan kapan dihukumi sebagai orang kafir; dengan pemahaman yang benar, tanpa berlebihan atau menyepelekan, serta memahami betapa bahayanya memvonis seorang muslim sebagai orang kafir.

Selanjutnya memahami betapa jeleknya seorang Khawarij sebagaimana tertera dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Dan terakhir, memahami pula bahwa bom bunuh diri hukumnya haram dan merupakan dosa besar, walaupun sebagian orang berusaha menamainya dengan bom syahid untuk melegitimasi operasi tak berperikemanusiaan tersebut.

Tentunya, rincian masalah ini menuntut pembahasan yang cukup panjang. Bukan pada lembaran-lembaran yang ringkas ini. Namun apa yang disebutkan cukup menjadi isyarat kepada yang lebih rinci.

Penutup

Kami ingatkan semua pihak, bahwa munculnya aksi teroris Khawarij ini merupakan ujian bagi banyak pihak. Di antaranya:

Pihak pertama, orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi baik dan mulai menapaki jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menyadari pentingnya berpegang teguh dengan ajaran-ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mulia nan indah. Mereka menyadari betapa bahayanya arus globalisasi yang tak terkendali terhadap ajaran Islam yang benar. Mereka berusaha mengamalkan ajaran Islam pada diri dan keluarga mereka untuk melindungi diri mereka sehingga tidak terkontaminasi oleh berbagai kerusakan moral bahkan aqidah, sekaligus melindungi diri dan keluarga mereka dari api neraka di hari akhirat, dalam rangka mengamalkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.“ (At-Tahrim: 6)

Pihak ini menjadi korban aksi teroris. Karena para teroris dengan aksi mereka, telah mencoreng Islam di mata masyarakat yang luas, sehingga pihak ini menuai getah dari aksi para teroris tersebut. Pihak ini akhirnya dicurigai oleh masyarakat sebagai bagian dari jaringan teroris hanya karena sebagian kemiripan pada penampilan luar, padahal aqidah dan keyakinan mereka sangat jauh dan bertentangan. Sehingga celaan, cercaan, sikap dingin, diskriminasi bahkan terkadang intimidasi (ancaman) dari masyarakat kepada mereka pun tak terelakkan. Maka kami nasihatkan kepada pihak ini untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala kesulitan yang mereka dapatkan. Janganlah melemah, tetaplah istiqamah. Jadikan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai tujuan. Ingatlah pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ

“Katakan: ‘Aku beriman kepada Allah‘ lalu istiqamahlah.“ (Shahih, HR. Muslim dari sahabat Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi Radhiyallah ‘anhu)

Pihak kedua, adalah orang awam pada umumnya. Tak sedikit dari mereka ber-su‘uzhan (buruk sangka) kepada pihak pertama karena adanya aksi-aksi teror tersebut. Mereka memukul rata tanpa membedakan. Bahkan lebih parah dari itu, aksi teror tersebut memunculkan fobi terhadap Islam pada sebagian mereka, kecurigaan kepada setiap orang yang mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan keislaman. Bahkan mungkin sebagian orang curiga terhadap Islam itu sendiri. Ya Allah, hanya kepada Engkaulah kami mengadu. Betapa bahayanya kalau kecurigaan itu sudah sampai pada agama Islam itu sendiri, sementara Islam berlepas diri dari kejahatan ini. Tak pelak, tentu hal ini akan menumbuhkan rasa takut dan khawatir untuk mendalami ajaran Islam dan untuk lebih mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai amalan ibadah.

Nasihat kami kepada pihak ini, janganlah salah dalam menyikapi masalah ini, sehingga menghalanginya untuk lebih mendalami Islam dan lebih mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pelajarilah Islam dengan benar, ikuti jejak para As-Salafush Shalih, para sahabat, serta menjauhi pemahaman ekstrem Khawarij dan menjauhi paham liberalisme serta inklusivisme yang bermuara pada kebebasan yang luas dalam memahami ajaran agama. Dengan cara ini, insya Allah mereka akan dapat menilai mana yang benar dan mana yang salah. Jalan pun menjadi terang baginya sehingga dia tidak akan salah dalam menentukan sikap dan tidak terbawa oleh arus.

Pihak ketiga, anak-anak muda yang punya antusias terhadap agama. Aksi teroris, penangkapan para teroris, dan berbagai berita yang bergulir dan tak terkendali, juga merupakan ujian buat mereka. Berbagai macam sikap tentu muncul darinya, antara pro dan kontra. Kami nasihatkan kepada mereka agar bisa bersikap adil dalam menilai. Jangan berlebihan dalam bersikap. Jangan menilai sesuatu kecuali berdasarkan ilmu, baik ilmu agama yang benar yang menjadi barometer dalam menilai segala sesuatu, maupun ilmu (baca: pengetahuan) terhadap hakikat segala yang terjadi. Lalu terapkanlah barometer tersebut pada hakikat realita yang terjadi. Jangan terbawa emosi karena larut dalam perasaan yang dalam.

Sebagaimana kami nasihatkan kepada anak-anak muda yang bersemangat dalam menjunjung nilai-nilai Islam, agar mereka tidak salah memilih jalan mereka. Ada 73 jalan yang berlabel Islam di hadapan anda. Masing-masing jalan akan mempersunting anda untuk menjadi anggota keluarganya. Bila tidak berhati-hati, anda akan menjadi anggota keluarga penghuni neraka. Karenanya, ikutilah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam menentukan jalan di tengah-tengah perselisihan yang banyak. Ikuti Sunnah Nabi dan para Khulafa’ur-rasyidin. Jauhilah bid’ah. Ingatlah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang lalu di awal pembahasan ini.

Demikian apa yang bisa kami sumbangkan kepada Islam dan muslimin serta umat secara umum terkait masalah ini. Kami memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amal kami. Ampunan-Nya senantiasa kami mohon, sampai kami berjumpa dengan-Nya pada hari yang harta dan anak sudah tidak lagi bermanfaat padanya, kecuali mereka yang datang kepada-Nya dengan qalbu yang bersih.

Amin…

Penulis:  Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
____________________________________________________________________________________________
[1] Perlu diketahui bahwa penampilan seperti itu sebenarnya merupakan cara penampilan yang dituntunkan dalam syariat dan dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad n, serta diamalkan oleh para sahabat dan para salafush shalih, serta para ulama Ahlus Sunnah yang mulia. Jadi, sebenarnya itu merupakan ciri-ciri seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya. Sepantasnya seorang muslim berpenampilan dengan penampilan seperti itu. Namun para teroris Khawarij tersebut telah menodai ciri-ciri yang mulia ini, dengan mereka terkadang berpenampilan dengan penampilan tersebut. Sehingga sampai-sampai kaum muslimin sendiri tidak mau berpenampilan dengan penampilan Islami seperti di atas, karena beranggapan bahwa penampilan tersebut adalah penampilan teroris. Nyata-nyata para teroris Khawarij tersebut telah membuat jelek Islam dari segala sisi!

 

sumber: http://www.merekaadalahteroris.com/mat/?p=64#more-64

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Musuh-musuh Dakwah Tauhid

Posted on 4 Januari 2011. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sebagaimana dialami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dakwah yang mengajak kepada tauhid niscaya akan menghadapi musuh-musuh yang tiada henti-hentinya untuk memadamkan cahaya tauhid di muka bumi ini. Daulah Utsmani, yang merupakan representasi kelompok Sufi, yang juga diagungkan banyak kelompok pergerakan Islam, adalah salah satunya. Bagaimana kisah selengkapnya, simak kajian berikut!

Telah menjadi sunnatullah, Allah telah menetapkan adanya musuh-musuh yang senantiasa menghalangi dakwah menuju tauhid dan upaya-upaya untuk menegakkan syariat Islam. Mereka bisa datang dari kaum kafir ataupun dari kalangan kaum munafiqin yang memakai baju Islam yang merasa terusik kepentingannya dan khawatir terbongkar kedok dan syubhat-syubhatnya. Hal ini sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lainnya perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِيْنَ، وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيْرًا

“Dan demikianlah, kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh dari kalangan orang-orang yang berdosa. Dan cukuplah Rabb mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqan: 31)

Begitu pula dakwah yang dilakukan para ulama pewaris nabi, yang selalu berdakwah untuk memurnikan tauhid serta menegakkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang telah berupaya memurnikan tauhid umat serta mengajak mereka untuk menegakkan syariat Islam. Namun musuh-musuh dakwah beliau tidak rela terhadap apa yang beliau lakukan.

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu menyimpulkan musuh yang menghalangi dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam tiga jenis:

1. Para ulama suu` yang memandang Al-Haq sebagai suatu kebatilan dan memandang kebatilan sebagai Al-Haq, dan berkeyakinan bahwa pembangunan (kubah-kubah) di atas kubur serta mendirikan masjid di atas kubur-kubur tersebut, kemudian berdoa, ber-istighatsah kepadanya serta amalan yang serupa dengan itu, adalah bagian dari agama dan petunjuk (yang benar, pent). Dan mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa mengingkari hal itu berarti dia telah membenci orang-orang shalih, serta membenci para wali.

Jenis yang pertama ini adalah musuh yang harus diperangi.

2. Jenis yang kedua adalah orang-orang yang dikenal sebagai ulama, namun mereka tidak mengerti tentang hakekat Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang sebenarnya. Mereka tidak mengetahui pula tentang kebenaran dakwah beliau bahkan cenderung bertaqlid kepada yang lain, serta membenarkan setiap isu negatif yang dihembuskan ahli khurafat dan para penyesat.

Sehingga mereka menyangka berada di atas kebenaran atas isu-isu negatif yang dituduhkan kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, bahwasanya beliau membenci para wali dan para nabi, serta memusuhi mereka dan mengingkari kekeramatannya. Sehingga mereka memusuhi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan mencela dakwahnya serta membuat orang antipati terhadap beliau.

3. Orang-orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya. Mereka memusuhi beliau agar kekuatan para pengikut dakwah Islamiyyah tersebut tidak sampai menyentuh mereka, yang akan menurunkan mereka dari posisinya serta menguasai negeri-negeri mereka.-sekian dari Asy-Syaikh Ibnu Baz.1

Faktanya, musuh-musuh dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu banyak diperankan oleh:

1. Kaum kafir Eropa

Inggris, Prancis, dan lainnya, yang tengah berkuasa dan menjajah negeri-negeri Islam pada waktu itu. Mereka menganggap bahwa dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu yang bertujuan memurnikan tauhid dan menegakkan syariat, merupakan suatu kekuatan besar yang dapat mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri jajahannya.

Karena dakwah beliau ini telah berhasil menyatukan umat dalam naungan aqidah tauhid di sejumlah negeri. Selain di daerah Najd, ternyata dakwah beliau telah berhasil menyentuh muslimin di negeri lainnya seperti di Afrika Utara yang mayoritasnya adalah negeri-negeri jajahan Inggris dan Prancis, India sebagai jajahan Inggris, dan tak luput pula Indonesia sebagai jajahan Belanda.

Hal ini membuat para penjajah kafir itu geram dan mengkhawatirkan bangkitnya muslimin di negeri jajahannya. Sehingga mereka pun berupaya untuk menjauhkan kaum muslimin dan membuat mereka antipati terhadap dakwah tauhid yang dilancarkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab2.

Hal ini mereka lakukan dengan cara:

a. Menebarkan isu-isu negatif dan dusta tentang dakwah tauhid di tengah-tengah muslimin melalui para misionaris mereka, baik secara lisan maupun tulisan.

b. Memprovokasi dan mempengaruhi pemerintahan Dinasti ‘Utsmani untuk membenci dan memerangi dakwah tauhid, dan dikesankan kepada mereka bahwa dakwah mulia tersebut sebagai ancaman besar bagi eksistensi Daulah ‘Utsmaniyyah3.

c. Pemberian bantuan pasukan dari pemerintahan penjajah Inggris maupun Prancis kepada Dinasti ‘Utsmani dalam upayanya menyerang dakwah tauhid.4

Di antara bukti yang menunjukkan provokasi mereka terhadap Dinasti ‘Utsmani untuk memusuhi dan menyerang dakwah tauhid adalah adanya penyerangan tentara Dinasti ‘Utsmani terhadap kota Ad-Dir’iyyah sebagai pusat dakwah tauhid di bawah pimpinan Ibrahim Basya pada tahun 1816 M atas perintah ayahnya Muhammad Ali Basya, Gubernur Mesir ketika itu, yang bersekongkol dengan penjajah Prancis.

Karena keberhasilannya atas penyerangan ke negeri Ad-Dir’iyyah itu, Pemerintah Inggris mengirimkan utusannya, yaitu Kapten George Forster Sadleer, untuk menyampaikan ucapan selamat secara khusus dari Pemerintahan Inggris atas keberhasilan Dinasti ‘Utsmani menghancurkan Ad-Dir’iyyah5.

2. Daulah ‘Utsmaniyyah

Yang tak kalah gencar pula adalah permusuhan pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang telah terprovokasi kaum kafir penjajah. Keadaan ini diperburuk oleh para mufti pemerintahan Dinasti ‘Utsmani yang notabene beraqidah tashawwuf. Siang dan malam mereka memprovokasi pemerintah untuk memerangi dakwah tauhid di Najd, baik di masa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu masih hidup, ataupun permusuhan mereka terhadap dakwah tauhid sepeninggal beliau.

Tercatat dalam sejarah, beberapa kali ada upaya penyerangan yang dilakukan Dinasti ‘Utsmani terhadap Negeri Najd dan kota-kota yang ada di dalamnya yang terkenal sebagai pusat dakwah tauhid.

Di antaranya apa yang terjadi di masa Sultan Mahmud II, ketika memerintahkan Muhammad ‘Ali Basya untuk menyerang kekuatan dakwah tauhid di Najd. Tentara Muhammad ‘Ali Basya dipimpin oleh anaknya Ibrahim Basya dalam sebuah pasukan besar dengan bantuan militer dari negara-negara kafir Eropa. Pada akhir tahun 1232 H, mereka menyerang kota ‘Unaizah dan Al-Khubra` serta berhasil menguasai Kota Buraidah. Sebelumnya, pada bulan Muharram 1232 H, tepatnya tanggal 23 Oktober 1818 M, mereka berhasil menduduki daerah Syaqra’ dalam sebuah pertempuran sengit dengan strategi tempur penuh kelicikan yang diatur oleh seorang ahli perang Prancis bernama Vaissiere.

Bahkan dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani yang menyerang Najd pada waktu itu didapati 4 orang dokter ahli berkebangsaan Itali. Nama-nama mereka adalah Socio, Todeschini, Gentill, Scots. Nama terakhir ini adalah dokter pribadi Ibrahim Basya. Demikian juga didapati perwira-perwira tinggi Eropa yang bergabung dalam pasukan Dinasti ‘Utsmani dalam penyerangan tersebut.6

Hal ini menunjukkan bahwa Dinasti ‘Utsmani telah bersekongkol dengan negara-negara kafir Eropa di dalam memerangi dakwah tauhid, yang tentunya hal ini mengundang amarah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadi sebab terbesar hancurnya Daulah ‘Utsmaniyyah.

Belum lagi kondisi tentara dan pasukan tempur Dinasti ‘Utsmani yang benar-benar telah jauh dari bimbingan Islam. Hal ini sebagaimana disebutkan sejarawan berkebangsaan Mesir yang sangat terkenal, yaitu Abdurrahman Al-Jabrati. Ketika menyampaikan kisah tentang kondisi pasukan Dinasti ‘Utsmani dan membandingkannya dengan pasukan tauhid di Najd, yang beliau nukil dari penjelasan salah seorang perwira tinggi militer Mesir yang menceritakan tentang kondisi pertempuran yang terjadi pada tahun 1227 H yang dipimpin Ahmad Thusun, putra Muhammad ‘Ali Basya, beliau menyatakan:

“…dan beberapa perwira tinggi mereka (tentara Mesir, pent.) yang menyeru kepada kebaikan dan sikap wara’ telah menyampaikan kepadaku bahwa mana mungkin kita akan memperoleh kemenangan, sementara mayoritas tentara kita tidak berpegang dengan agama ini. Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak beragama dengan agama apapun dan tidak bermadzhab dengan sebuah madzhab pun. Dan berkrat-krat minuman keras telah menemani kita. Di tengah-tengah kita tidak pernah terdengar suara adzan, tidak pula ditegakkan shalat wajib. Bahkan syi’ar-syi’ar agama Islam tidak terbetik di benak mereka.

Sementara mereka (tentara Najd, pent), jika telah masuk waktu shalat, para muadzin mengumandangkan adzan dan pasukan pun segera menata barisan shaf di belakang imam yang satu dengan penuh kekhusyu’an dan kerendahan diri. Jika telah masuk waktu shalat, sementara peperangan sedang berkecamuk, para muadzin pun segera mengumandangkan adzan. Lalu seluruh pasukan melakukan shalat khauf, dengan cara sekelompok pasukan maju terus bertempur sementara sekelompok yang lainnya bergerak mundur untuk melakukan shalat.

Sedangkan tentara kita terheran-heran melihat pemandangan tersebut. Karena memang mereka sama sekali belum pernah mendengar hal yang seperti itu, apalagi melihatnya.” –sekian

Kalau kisah tersebut disampaikan salah seorang perwira tinggi militer Mesir, maka Abdurrahman Al-Jabrati sendiri juga menceritakan tentang pertempuran yang terjadi pada tahun 1233 H yang dipimpin Ibrahim Basya dalam menghancurkan Ad-Dir’iyyah, yang tidak jauh berbeda dari kisah yang disampaikan sang perwira tinggi tersebut di atas. Lihat penjelasan tersebut dalam kitab Al-Jabrati, IV/140.8

Dinasti ‘Utsmani melengkapi kekejaman dan permusuhannya terhadap dakwah tauhid dengan menawan Al-Amir Abdullah bin Su’ud, sebagai salah satu penerus dan pembela dakwah tauhid yang telah menginfakkan jiwa dan hartanya dalam menegakkan kalimat tauhid serta syariat Islam. Beliau dikirim ke Mesir dan selanjutnya dikirim ke Istambul lalu dihukum pancung di sana setelah sebelumnya diarak di jalan-jalan Istanbul, dijadikan sebagai lelucon dan olok-olok selama tiga hari. Peristiwa ini terjadi pada 18 Shafar 1234 H/ 17 Desember 1818 M.9

3. Permusuhan kaum sufiyyah

Musuh berikutnya yang dengan gencar memusuhi dakwah tauhid yang dilakukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang-orang dari aliran tashawwuf/Sufi yang merasa kehilangan pamor di hadapan para pengikutnya. Dengan dakwah tauhid, banyak syubhat dan kerancuan kaum Sufi yang terbongkar dan terbantah dengan hujjah-hujjah yang terang dan jelas, yang disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, murid-murid, serta para pendukungnya.

Berbagai macam bid’ah dan amalan-amalan yang menyelisihi sunnah Rasul serta amalan-amalan yang tercampur dengan berbagai praktek kesyirikan yang selama ini mereka tebarkan di daerah Najd ataupun Hijaz (Makkah dan Madinah), mulai tersingkir dan dijauhi umat. Demikian juga praktek amalan ibadah haji yang selama ini telah mereka penuhi dengan bid’ah dan amalan yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berbagai upaya untuk memakan harta umat dengan cara batil, juga terhalangi dengan adanya dakwah tauhid tersebut.

Ini semua membuat mereka geram dan marah terhadap dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan murid-muridnya. Itu semua mendorong mereka untuk berupaya menjauhkan umat dari dakwah beliau. Mereka sebarkan berbagai macam kedustaan tentang beliau dan dakwah tauhid yang disampaikannya.

Kaum Sufi bersama orang-orang kesultanan Turki dan Mesir serta kaum kafir Eropa menciptakan sebuah julukan terhadap dakwah beliau dengan Gerakan Dakwah Al-Wahhabiyyah serta melukiskannya sebagai madzhab baru di luar Islam. Nama Al-Wahhabiyyah adalah sebuah nama yang dinisbahkan kepada ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab.

Padahal jika mereka mau jujur, semestinya mereka menjulukinya dengan Muhammadiyyun, yaitu nisbah kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu secara langsung. Namun hal itu sengaja mereka lakukan dalam rangka memberikan kesan lebih negatif terhadap dakwah beliau. Karena jika memakai julukan Muhammadiyyun akan terkesan di banyak kalangan bahwa ini adalah sebuah madzhab yang baik.

Bahkan mereka tak segan-segan mengucapkan kata-kata kotor untuk memuluskan tujuannya, yang sebenarnya kita sendiri malu untuk mendengar dan menukilkan kalimat tersebut. Namun dengan sangat terpaksa kami nukilkan salah satu contoh kata-kata kotor dan menjijikkan yang diucapkan tokoh-tokoh Sufi.

Di antaranya adalah yang diucapkan salah satu tokoh mereka yang dikenal dengan nama Muhammad bin Fairuz Al-Hanbali (meninggal 1216 H) dalam rekomendasinya terhadap kitab Ash-Shawa’iq war Ru’ud, sebuah kitab yang penuh dengan tuduhan dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu, karya seorang tokoh Sufi yang bernama Abdullah bin Dawud Az-Zubairi (meninggal 1225 H). Dalam rekomendasinya itu, Ibnu Fairuz berkata:

“…Bahkan mungkin saja Asy-Syaikh (yakni ayah Asy-Syaikh Muhammad yang bernama Abdul Wahhab, pent.) pernah lalai untuk menggauli ibunya (yakni ibu Muhammad bin Abdul Wahhab, pent.) sehingga dia didahului oleh setan untuk menggauli isterinya. Jadi pada hakekatnya setanlah ayah dari anak yang durhaka ini.”10

Sebuah ucapan kotor yang penuh kekejian dan kedustaan terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu bahkan terhadap ayah dan ibunya.

Mereka juga menuduh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan berbagai tuduhan dusta, di antaranya:

 Tuduhan bahwasanya beliau mengklaim An-Nubuwwah (yakni mengaku sebagai nabi), sebagaimana disebutkan dalam kitab Mishbahul Anam karya Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba’alawi (hal. 5-6). Dan dinyatakan pula oleh Ahmad Zaini Dahlan (meninggal 1304 H) dalam sebuah makalah kecilnya yang berjudul Ad-Durar As-Saniyyah fir Raddi ‘alal Wahhabiyyah (hal. 46): “…yang nampak dari kondisi Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya dia adalah seorang yang mengklaim An-Nubuwwah. Hanya saja dia tidak mampu untuk menampakkan klaimnya tersebut secara terang-terangan.”

Pernyataan semacam ini dia tegaskan juga dalam kitabnya yang lain yang berjudul Khulashatul Kalam, hal. 228-261.

Buku-buku Ahmad Zaini Dahlan ini, adalah buku-buku yang sarat dengan kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap dakwah dan pribadi Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Buku-buku itu, dalam kurun 60 tahun terakhir ini, sering menjadi referensi kaum Sufi di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia, dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah tauhid yang mulia itu. Bahkan sebagian buku-buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Lebih parah lagi, buku-buku karya kaum Sufi ini dimanfaatkan kaum kafir dan para orientalis sebagai referensi bagi mereka dalam menebarkan kedustaan terhadap dakwah mulia tersebut dan menjauhkan umat Islam darinya. Di antara mereka adalah seorang orientalis berkebangsaan Denmark bernama Caresten Nie Bury dalam bukunya (Travel Through Arabia and Other Countries In The East) namun dia tidak berhasil memasuki Najd. Sehingga ketika menulis tentang sejarah Najd, dia banyak menukil dan menyandarkan karyanya pada berita-berita yang beredar di Jazirah Arabia yang telah dipenuhi banyak kedustaan oleh para tokoh Sufi di sana11.

Begitu juga salah seorang tokoh kafir yang lainnya menulis sebuah buku yang berjudul (Memorandum, by T.E. Ravenshaw)12. Buku ini pun dipenuhi berbagai macam kedustaan dan tuduhan-tuduhan batil terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.

Kemudian diikuti pula oleh seorang orientalis lainnya yang bernama William W. Hunter dalam bukunya Al-Muslimun fil Hind (The Indian Musalmans, dicetak pada tahun 1871 M, kemudian dicetak kedua kalinya pada tahun 1945 M) yang telah banyak menukil dari seniornya, yaitu T.E. Ravenshaw.13

 Beliau juga dituduh sebagai penganut inkarul hadits (aliran yang mengingkari hadits); sebagaimana dituduhkan Ahmad Abdullah Al-Haddad Ba‘alawi di dalam kitabnya Mishbahul Anam. Tentunya tuduhan tersebut sangatlah aneh. Karena Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu selalu berhujjah dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam banyak karya beliau, yang telah banyak diketahui oleh umat Islam. Namun begitulah kaum Sufi, tidak malu dan segan untuk berdusta untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid.

 Tuduhan kepada Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud -salah satu pembela dan pembawa bendera dakwah tauhid yang menghabiskan waktu, tenaga, pikiran, dan segala yang dimilikinya dalam membela dakwah yang mulia tersebut – bahwasanya beliau telah menghancurkan kubah yang dibangun di atas kuburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal itu sama sekali tidak pernah terjadi.

Memang benar beliau dan para pendukungnya telah menghancurkan beberapa kubah yang berada di Najd dan sekitarnya, namun sedikitpun mereka belum pernah menyentuh bangunan kubah di atas kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun mereka semua yakin bahwa bangunan kubah tersebut tidak diridhai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertentangan dengan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ القَبْرُ وَأِنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dilaburnya sebuah makam, dan diduduki, serta dibangun di atasnya.” (HR. Muslim 970)

Hal ini dipertegas pula dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, ketika beliau mengutus Abul Hayyaj, “Maukah engkau aku utus dengan sebuah misi yang dengan misi tersebut pula aku diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Yaitu:

أَلاَّ تَدَعَ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا، وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Jangan kau biarkan satu gambarpun kecuali kau musnahkan, dan jangan kau biarkan ada satu kuburan pun yang menonjol kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 969)

Namun demikianlah musuh-musuh dakwah tauhid memutarbalikkan fakta, sehingga beberapa sejarawan orientalis senang dengan disebutkannya beberapa kisah dusta tersebut. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa buku sejarah karya mereka, di antaranya tulisan yang berjudul Hadhir Al-‘Alam Al-Islami (The New World of Islam) karya L. Stoddard (1/64), Dictionary of Islam “Wahhabiyah” karya Thomas P. Hughes (hal. 660), Mustaqbal Al-Islam (Future of Islam) karya Lady Anne Blunt (hal. 45). Dan masih banyak sejarawan orientalis lainnya yang memanfaatkan kedustaan serta tuduhan batil kaum Sufi terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk semakin mencemarkan dakwah tauhid yang beliau dakwahkan.14

 Dan masih banyak tuduhan-tuduhan dusta yang lainnya.

Namun kami simpulkan kedustaan-kedustaan tersebut dengan menukilkan sebuah surat yang ditulis oleh putra beliau yang bernama Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab, yang ditujukan kepada penduduk Makkah pada tahun 1218 H / 1803 M. Beliau berkata:

“…Adapun sekian perkara dusta atas nama kami dalam rangka untuk menutupi al-haq, di antaranya tuduhan bahwa kami menafsirkan Al-Qur`an dengan logika kami serta mengambil hadits-hadits yang sesuai dengan pemahaman kami… Dan bahwasanya kami merendahkan kedudukan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pernyataan kami bahwasanya Nabi telah menjadi debu di kuburnya dan tongkat salah seorang kami lebih bermanfaat dari beliau, dan bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki syafaat, serta berziarah kepadanya tidak disunnahkan…, dan bahwasanya kami adalah beraliran mujassimah15, serta mengkafirkan manusia secara mutlak (tanpa batas, pent)… Maka ketahuilah bahwa seluruh kisah khurafat tersebut di atas dan yang semisalnya… Jawaban kami terhadap setiap permasalahan tersebut di atas adalah dengan ucapan:

سُبْحَانَكَ هَذا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ

“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami) sesungguhnya ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (An-Nur: 16)

—sekian dari kitab Al-Hadiyyatus Sunniyyah, hal. 46 16

4. Syi’ah Rafidhah

Tak kalah dahsyat dari permusuhan kaum Sufi terhadap dakwah tauhid, adalah permusuhan kaum Syi’ah Rafidhah, yang juga merasa terusik dengan adanya dakwah tauhid. Aqidah mereka yang sesat dan penuh dengan kekufuran, yang mereka tebarkan di tengah-tengah umat dengan penuh pembodohan dan penipuan, terbongkar dengan tersebarnya dakwah tauhid tersebut. Umat menjadi mengerti bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang meyakini bahwa:

 ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu adalah seorang imam yang ma’shum, dan seluruh shahabat yang menyelisihinya adalah kafir.

 Para imam Syi’ah Rafidhah yang 12 mengetahui perkara-perkara ghaib, bahkan punya andil di dalam mengatur alam semesta.

 Keyakinan mereka dengan aqidah Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib dan imam-imam mereka yang 12 akan kembali hidup di akhir zaman

 dan lain-lain,

adalah aqidah sesat yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekufuran.

Ini semua membuat mereka marah dan memusuhi dakwah tauhid hingga hari ini. Belum lagi kemarahan mereka karena pasukan tauhid telah menghancurkan bangunan kubah di atas kuburan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib di Karbala. Itu semua mendorong mereka untuk memusuhi dakwah tauhid tersebut dan menebarkan kedustaan-kedustaan tentangnya.

Tak cukup sampai di situ. Mereka bahkan melampiaskan kebencian dan permusuhannya itu dalam bentuk tindakan fisik. Di antaranya adalah pembunuhan atas Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud pada tanggal 18 Rajab 1218 H/4 November 1803 M, yang dilakukan seorang Syi’ah Rafidhah berkebangsaan Iran. Beliau dibunuh oleh penjahat ini ketika beliau sedang menunaikan shalat Ashar. Tepatnya ketika beliau bersujud, tiba-tiba datanglah orang Syi’ah tersebut dengan membawa sebilah belati kemudian menghunjamkannya ke tubuh Al-Amir Abdul Aziz rahimahullahu.

Permusuhan ini terus berlanjut hingga masa kini. Baik dalam bentuk permusuhan fikri ataupun fisik. Sebagai contoh adalah sejumlah upaya penyerangan yang dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah pengikut Khumaini (Khomeini, red.) di Kota Makkah, pada musim haji tepatnya pada hari Jum’at 6 Dzulhijjah 1407 H. Didahului penyebaran selebaran-selebaran yang berisi kedustaan dan provokasi, sebuah penyerangan sporadis dan penuh kezhaliman itu menelan 402 korban jiwa dari jamaah haji dan pihak keamanan Negeri Tauhid.

Tak cukup sampai di sana, pada tahun 1409 H, kembali para pengikut Khumaini dari kalangan Syi’ah Rafidhah yang kejam dan tidak berperikemanusiaan itu melakukan peledakan bom di Masjidil Haram, yang juga menelan korban jiwa serta korban luka dari para jamaah haji, tamu-tamu Allah.17

5. Hizbiyyun dan pergerakan-pergerakan Islam

Zaman berganti zaman, generasi pun telah berganti. Namun permusuhan terhadap dakwah tauhid tak kunjung usai, dan memang akan terus berlanjut. Dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum hizbiyyun menampilkan diri sebagai musuh dakwah tauhid dan sunnah yang ditegakkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dan para penerusnya. Di antara kaum hizbiyyun itu pada masa ini adalah:

 Al-Ikhwanul Muslimun (IM)

Gerakan yang didirikan di atas upaya merangkul berbagai macam kelompok dan pemikiran bid’ah —sebagaimana telah dijelaskan dalam majalah Asy Syari’ah edisi 20, Sejarah Hitam IM— telah mempraktekkan berbagai macam bentuk permusuhan terhadap dakwah tauhid dan sunnah serta negara tauhid Saudi Arabia. Baik melalui statemen dan karya-karya tulis para tokohnya, maupun dalam bentuk tindakan fisik nyata di lapangan.

Di antara penulis dan tokoh besar IM adalah Muhammad Al-Ghazali, yang melarikan diri dari ancaman Anwar Sadat – Presiden Mesir kala itu – dan tinggal di negeri Saudi Arabia.

Dengan segala fasilitas yang dia terima dari negeri tauhid ini, dia justru menikam dari belakang dan membalas kebaikan itu dengan caci maki terhadap para ulama tauhid dan sunnah, penerus dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal ini sebagaimana didapati dalam beberapa karyanya yang penuh dengan kesesatan. Di antaranya adalah apa yang dia tulis dalam kitabnya Kaifa Nata’amalu ma’al Qur`an dan kitab As-Sunnah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits.

Namun Alhamdulillah, para ulama tauhid telah membantah dan menghancurkan syubhat-syubhatnya. Di antaranya adalah bantahan yang ditulis Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahumallah.

Kemudian permusuhan Muhammad Al-Ghazali terhadap dakwah tauhid dan sunnah ini diikuti pula oleh tokoh dan pemikir besar IM lainnya, yaitu Yusuf Al-Qaradhawi. Dia adalah murid dari Muhammad Al-Ghazali sekaligus temannya. Namun cara Al-Qaradhawi di dalam menunjukkan permusuhannya lebih halus dan terselubung dibandingkan gurunya. Hal ini nampak sekali dalam karya-karyanya, seperti kitab Kaifa Yata’amalu Ma’as Sunnah dan Awwaliyatul Harakatil Islamiyyah, serta beberapa kitabnya yang lain.18

Kemudian pada generasi berikutnya IM melahirkan tokoh-tokoh semacam Muhammad Surur bin Naif Zainal ‘Abidin, yang nampak lebih arogan dalam memusuhi negeri tauhid dan dakwah tauhid itu sendiri. Begitu besar kebencian dan permusuhannya, sehingga dia merasa sesak nafasnya dan sempit dadanya untuk tinggal bersama kaum muslimin di negeri tauhid. Dia justru memilih tinggal bersama kaum kafir di Inggris dengan merendahkan dirinya di bawah perlindungan hukum-hukum kufur di negeri kafir yang sangat memusuhi Islam itu. Sementara itu, dia mengkafirkan pemerintah-pemerintah muslimin dengan alasan mereka tidak berhukum dengan hukum-hukum Allah.

Dengan penuh kebencian dan tanpa malu, dia keluarkan sejumlah pernyataan pedas dan dusta tentang ulama-ulama tauhid dan sunnah di negeri tauhid Saudi Arabia khususnya. Lihat sebagian pernyataan-pernyataannya yang pernah dimuat dalam majalah Asy Syari’ah Vol. I/No. 12/1425 H/2005. Lihat pula kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-57; Al-Irhab karya Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali, hal. 67-77.

Kelompok ini pun tak segan-segan melakukan tindakan fisik untuk mewujudkan permusuhannya terhadap dakwah Tauhid dan para da’inya, sebagaimana telah terjadi di beberapa tempat. Di antaranya adalah yang terjadi di negeri Yaman berupa penembakan brutal dan sporadis terhadap sejumlah Ahlus Sunnah di sebuah masjid, yang menyebabkan sebagian mereka terbunuh.

Bahkan salah satu tokoh IM di negeri Yaman mengancam Ahlus Sunnah dengan pernyataannya: “Jika seandainya kami memiliki kekuatan, niscaya kami akan memerangi Wahhabiyyin sebelum kami memerangi kaum komunis.” Hal ini sebagaimana dikisahkan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam beberapa kali ceramah beliau.

Lebih dari itu semua, apa yang telah terjadi di Afghanistan dengan terbunuhnya seorang mujahid Ahlus Sunnah, yaitu Asy-Syaikh Jamilurrahman rahimahullahu. Pembunuhnya adalah salah seorang dari kelompok IM yang dikenal dengan Abu ‘Abdillah Ar-Rumi. Dia datang ke Afghanistan membawa kebencian yang sangat besar terhadap Ahlus Sunnah dan menjulukinya dengan Wahhabiyyah. Pembunuhan sadis ini terjadi pada hari Jum’at 20 Shafar 1412 H/ 30 Agustus 1991 M sebelum Asy-Syaikh Jamilurrahman berangkat menuju shalat Jum’at. Pembunuh kejam itu mendatangi beliau sebagai tamu yang hendak memeluknya. Tanpa disangka ternyata orang ini melepaskan tembakan ke arah Asy-Syaikh dan tepat mengenai wajah dan kepala beliau!

Inilah sekelumit contoh permusuhan dan kebencian tokoh-tokoh besar IM terhadap para ulama tauhid dan sunnah serta negeri tauhid Saudi Arabia.

 Hizbut Tahrir

Kelompok Hizbut Tahrir (HT) adalah sebuah kelompok sempalan yang didirikan Taqiyyuddin An-Nabhani di negeri Yordania pada tahun 1372 H/1953 M. Selengkapnya bisa pembaca dapati pada majalah Asy Syari’ah Vol. II/No. 16/1426 H/2005.

Namun yang hendak kita tampilkan di sini adalah bentuk kebencian dan permusuhan HT terhadap Daulah Tauhid dan para ulamanya.

Permusuhan itu diwujudkan dalam statemen-statemen mereka dan karya-karya tulisnya. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam buku berbahasa Inggris How The Khilafah Destroyed (Kaifa Hudimat Al-Khilafah) karya Abdul Qadim Zallum yang diterbitkan Khilafah Publication London England. Buku ini adalah salah satu buku refensi utama dalam perjalanan HT.

Dalam buku ini, penulisnya telah menuduh Daulah Tauhid sebagai suatu bentuk konspirasi Barat dalam meruntuhkan Khilafah ‘Utsmaniyyah, dengan mengkambinghitamkan Al-Amir Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud rahimahullahu dan menyatakan beliau sebagai agen Inggris. Padahal justru beliau adalah seorang yang telah menyerahkan waktu, tenaga, pikiran, dan hidupnya untuk membela dan menegakkan tauhid sebagaimana telah kami sebutkan di atas.

Tuduhan HT ini sama sekali tidak disertai dengan bukti dan fakta ilmiah. Tapi yang ada hanya sebatas analisa dan klaim semata. Sebaliknya telah kami paparkan di atas dengan bukti-bukti ilmiah bahwa ternyata Dinasti ‘Utsmanilah yang sebenarnya bersekongkol dan diperdaya oleh negara-negara kafir Eropa dalam memerangi dakwah tauhid dan sunnah.

Kemudian mereka juga menuduh gerakan Dakwah Tauhid sebagai gerakan pemberontakan terhadap Dinasti ‘Utsmani. Tuduhan ini pun adalah tuduhan yang batil dan dusta, sebagaimana telah kami bahas di atas.

Masih dalam buku tersebut di atas, penulis HT ini menuduh bahwa Al-Amir Su’ud bin Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Su’ud telah menghancurkan bangunan kubah di atas makam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mempereteli batu perhiasan dan ornamen-ornamennya yang sangat berharga. Namun itu semua adalah dusta. Bahkan dengan itu, penulis HT ini telah mengikuti jejak para orientalis Eropa belaka, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Tak kalah serunya adalah salah satu tokoh HT yang bernama Muhammad Al-Mis’ari ikut meramaikan permusuhan kelompok ini terhadap dakwah dan negara tauhid dalam beberapa statemennya.

Di antaranya adalah pernyataan dia yang dimuat oleh surat kabar Asy-Syarqul Ausath edisi 6270, terbit pada hari Jum’at 8 Ramadhan 1416 H:

“Sesungguhnya kondisi saat ini di negeri Saudi Arabia yang tidak mengizinkan bagi kaum Masehi (Nashara, pent.) dan Yahudi untuk mempraktekkan syi’ar-syi’ar ibadah secara terang-terangan akan berubah dengan tampilnya Komisi ini19 di medan hukum. Bahwasanya pemberian hak kepada kaum minoritas adalah wajib, dalam bentuk hak untuk melaksanakan syi’ar-syi’ar agama mereka di gereja-gereja mereka, serta hak untuk mendapatkan pengakuan resmi atas pelaksanaan akad pernikahan sesuai dengan aturan agama mereka secara khusus serta hak-hak lainnya, sebagai bentuk penyempurnaan terhadap kebebasan kehidupan keagamaan dan kehidupan pribadi mereka secara sempurna. Baik mereka itu dari kaum Yahudi, Masehi, ataupun kaum Hindu!!”

Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya pembangunan gereja-gereja adalah perkara yang mubah dalam syariat Islam.”20

Dia pun dengan lancang mencaci maki Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab —sang Mujaddid yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat ini dan menjauhkan mereka dari kesyirikan dan bid’ah— dengan statemennya yang dia ucapkan dalam sebuah selebaran resmi yang dikeluarkan CDLR dari London pada hari Kamis 22 Syawwal 1415 H / 23 Maret 1995 M:

“Kedua: Saya tidak akan membahas tentang aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu. Namun saya hanyalah menyebutkan tentang sebuah realita, yaitu bahwasanya dia (Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pent) adalah seorang yang berpemikiran nyleneh dan bukanlah seorang yang alim. Dia adalah seorang yang diliputi dengan berbagai masalah dan cara bersikap nyleneh yang memang sesuai dengan ke-nyleneh-an kaum di Najd pada masa itu…”

Nampak sekali kebencian tokoh besar HT yang satu ini terhadap dakwah tauhid sekaligus menunjukkan kebodohannya tentang tauhid itu sendiri. Namun yang sangat aneh dari orang ini, ketika dia mencaci maki Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, pada saat yang sama dia memuji tokoh besar Syi’ah Rafidhah, Al-Khumaini, dengan pernyataannya:

“Sesungguhnya dia (Al-Khumaini, pent) adalah seorang pemimpin bersejarah yang agung dan jenius…”

Dalam selebaran yang sama pula, dengan penuh arogansi dia mencaci maki salah satu imam dakwah ini, yaitu Al-Imam Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu dengan pernyataannya:

“Pertama: Saya tidak menuduh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dengan kekufuran. Namun saya menyatakan dengan satu kata bahwa mayoritas ulama dan masyayikh berpandangan bahwasanya dia (Ibnu Baz) setelah (mengeluarkan) fatwanya tentang bolehnya upaya perjanjian damai dengan Israil telah sampai ke sebuah tahapan yang mendekati kepada kekufuran. Saya hanya menukilkan pendapat para ulama dan masyayikh tersebut. Adapun pendapat saya pribadi adalah beliau (Asy-Syaikh Ibnu Baz, pent) telah sampai pada derajat pikun, bodoh, dan kelemahan yang sangat rendah.”21

Bantahan tuntas atas ucapan keji ini para pembaca bisa mendapatinya dalam buku kami Mereka Adalah Teroris (Bantahan Aku Melawan Teroris) hal. 325-326 footnote no. 215. Begitu pula tentang jawaban hukum perdamaian dengan kaum kafir, lihat hal. 203-219 (cet. II/Edisi Revisi)

Subhanallah… Betapa kejinya ucapan tersebut! Seseorang yang berdakwah untuk memurnikan tauhid umat serta menjauhkan dari kesyirikan dibenci, dicaci maki, dan dituduh dengan tuduhan-tuduhan dusta. Sementara seorang Syi’ah Rafidhah, semacam Khumaini, yang menyeru kepada kesesatan dan kekufuran disanjung dan dipuji. Inikah sebuah Hizb dan tokohnya yang konon menginginkan tegaknya khilafah??!

Sayang sekali Al-Mis’ari yang telah mengumumkan kebenciannya terhadap daulah tauhid serta ulamanya dan merasa gerah hidup di tengah-tengah muslimin, justru rela dan merasa tentram tinggal di negeri kufur dengan perlindungan hukum dari mereka.

 Al-Qa’idah (Al-Qaeda, red.)

Jaringan Al-Qa’idah, yang merupakan jaringan khawarij terbesar masa kini, juga tak kalah besar kebencian dan permusuhannya terhadap daulah tauhid dan sunnah serta para ulamanya. Kebencian tersebut tidak hanya dituangkan dalam bentuk statemen-statemen para tokohnya, bahkan juga dalam bentuk serangan fisik dan teror.

Usamah bin Laden mencaci maki salah seorang imam besar Ahlus Sunnah pada masa ini, yaitu Al-Imam Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu, di antaranya dalam suratnya yang ditujukan kepada Al-Imam Ibnu Baz tanggal 27/7/1415 H yang dikeluarkan Hai`ah An-Nashihah (Lembaga Nasehat) di negeri London, Usamah berkata:

“Dan kami mengingatkan engkau —wahai syaikh yang mulia— atas beberapa fatwa dan sikap-sikap yang mungkin Anda tidak mempedulikannya, padahal fatwa-fatwa tersebut telah menjerumuskan umat ini ke dalam jurang kesesatan (yang dalamnya) sejauh (perjalanan) 70 (tujuh puluh) tahun.”

Dengan tegas dan lugas, Usamah bin Laden menghukumi daulah tauhid Saudi Arabia sebagai negara kafir. Hal ini sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yul ‘Am Al-Kuwaity edisi 11-11-2001 M, dalam sebuah wawancara dengan Usamah bin Laden, ia menjawab:

“Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai Negara Islam….”

Usamah juga memvonis kafir Putra Mahkota Abdullah bin Abdul ‘Aziz –waktu itu dan kini sebagai Raja Negara Saudi Arabia—, yaitu dalam ucapannya yang terakhir untuk rakyat Iraq pada bulan Dzulhijjah 1423 H:

“…… Maka para penguasa tersebut telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan sekaligus MEREKA TELAH KELUAR DARI AGAMA (ISLAM) INI dan berarti mereka juga telah mengkhianati umat.”

Dengan bangga Usamah menyanjung para teroris yang melakukan aksi peledakan di negeri tauhid tersebut:

“Aku (Usamah) memandang dengan penuh pemuliaan dan penghormatan kepada para pemuda yang mulia, yang telah menghilangkan kehinaan dari umat ini, baik mereka yang telah meledakkan (bom) di kota Riyadh, atau peledakan di kota Khubar, ataupun peledakan-peledakan di Afrika Timur dan yang semisalnya.”

Dalam dua peledakan ini, terkhusus di Kota Khubar, memakan 18 korban jiwa yang mayoritasnya adalah muslimin, serta 350 lebih luka-luka dan sebagiannya lagi menderita cacat seumur hidup. Tidak cukup itu, bahkan Usamah “membumbui” kebenciannya terhadap daulah tauhid dengan kedustaan. Di antara kedustaannya adalah pernyataan dia bahwa kaum Salibis telah menduduki Masjidil Haram.

Wallahu a’lam.

_________________________________________________________________________________________________

1 Lihat kitab Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Da’watuhu wa Siratuhu, karya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, hal. 23; lihat pula kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, cet. III hal. 91.

2 Lihat kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’d Asy-Syuwai’ir, hal. 63-67 (cet III/1419 H).

3 Ibid, hal. 77-78.

4 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139.

5 Lihat kitab Imam wa Amir wa Dakwah likulli Al-‘Ushur karya Ahmad bin Abdul ‘Aziz Al-Hushain, penerbit Daruth Tharafain cet. I th. 1993, hal. 191, dan penulis mengisyaratkan pada kitab Jaulah fi Biladil ‘Arab hal. 104-111

6 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 139

7 Shalat Khauf yaitu shalat fardhu yang ditegakkan ketika sedang berkecamuk perang, dengan beberapa tata cara tertentu yang telah diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat fardhu di luar waktu pertempuran.

8 Dinukil dari kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 152-153.

9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.

10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.

9 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 141.

10 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An Nadwi, hal. 199.

12 Ibid, hal. 236.

13 Ibid, hal. 237.

14 Ibid, hal. 214

15 Yaitu sebuah aliran yang menetapkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jasmani seperti layaknya makhluk. Ini adalah aliran sesat yang keluar dari prinsip manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah.

16 Lihat kitab Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Mushlihun Mazhlumun wa Muftara ‘alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi, hal. 213

17 Revolusi Iran Khumaini telah banyak mempengaruhi pemikiran para aktivis dan pergerakan Islam di mancanegara untuk melakukan tindakan-tindakan teror dan pembunuhan-pembunuhan serta menebarkan pemikiran bernuansa terorisme pada kaum muda Islam. Bahkan secara terbuka kelompok Al-Ikhwanul Muslimun menyatakan dukungannya terhadap Revolusi Iran ini.

18 Lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 175-203. Untuk mengetahui lebih banyak tentang kesesatan aqidah dan pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, lihat buku Membongkar Kedok Yusuf Al-Qaradhawi cet. Pustaka Salafiyah, Depok

19 Komisi yang dimaksud adalah Lajnah Ad-Difa’ ‘anil Huquqisy Syar’iyyah (Komisi Pembelaan Hak-hak Syari’ah) [C.D.L.R] yang berpusat di London, di mana Muhammad Al-Mis’ari ini sebagai Juru Bicara Resminya. Komisi ini banyak mengeluarkan statemen dan tindakan-tindakan yang berisi provokasi untuk membenci dan melawan pemerintah Saudi Arabia. Selengkapnya tentang Komisi ini dan fatwa para ulama sunnah tentangnya bisa dibaca pada buku Mereka Adalah Teroris hal. 370-374 (edisi revisi).

20 Lihat kitab Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 38-39 (cet. II) Percetakan Darus Salaf.

21 Lihat kitab Al-Quthbiyyah hiyal fitnah Fa’rifuha Abu Ibrahim bin Sulthan, hal. 115.

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh

http://www.majalahsyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=303
Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Kesesatan Qardhawi – Menyeru cinta pada Yahudi & Nasrani

Posted on 28 Desember 2010. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , |

Menyerukan Untuk Mencintai Yahudi Dan Nashrani

Dakwah untuk mencintai ahli kitab bukan hanya dilakukan oleh Qaradhawi saja tapi juga dipropagandakan oleh para dai ikhwanul muslimin lainnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Para pendahulu yang telah melakukan propaganda ini antara lain Hasan Al Banna, Muhammad Al Ghazali, Al Hudhaibi, dan lain-lainnya. Di antara mereka semua yang paling sering menyerukan adalah Qaradhawi, sebagaimana pengakuan yang dituangkan dalam berbagai buku, wawancara, dan ceramahnya secara terang-terangan.

Untuk menggiring simpati kaum awam yang jahil dan taklid buta, Qaradhawi memoles dakwah yang bathil ini dengan berbagai syubhat :

Syubhat Pertama :

Qaradhawi berdalil dengan firman Allah :

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)

Di sini Qaradhawi telah berpaling dan pura-pura tidak tahu terhadap penjelasan Ahli Tafsir tentang makna ayat ini. Untuk menyanggah istidlal (pengambilan dalil) yang keliru ini, penulis mempunyai beberapa bantahan.

Pertama, dalam ayat ini terdapat petunjuk untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang yang tersirat di dalamnya. Ada perbedaan antara al birr (kebaikan) dengan al mawaddah (kecintaan) yang diserukan oleh Qaradhawi. Al Mawaddah adalah al hubb (rasa cinta) sebagaimana yang tertera dalam Lisaanul ‘Arab (I:247) dan Al Qaamuus serta buku-buku bahasa Arab lainnya. Sedangkan al birr bermakna ash shillah (penghubung), tidak durhaka serta berbuat ihsan (kebajikan) sebagaimana yang termaktub dalam Lisaanul ‘Arab (I:371) dan Al Qaamuus.

Berbuat kebaikan kepada orang-orang non Muslim yang tidak memerangi Islam dan dalam rangka mendakwahi mereka ke dalam Islam adalah perkara yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Namun, berbuat kebaikan dan kebajikan kepada non Muslim tidak menuntut adanya rasa kecintaan dan kasih sayang kepada mereka. Inilah yang dipahami oleh para ulama Salafus Shalih terdahulu dan kemudian, antara lain :

1. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Beliau berkata : “Sesungguhnya al birr (berbuat kebaikan), ash shillah (menghubungkan), dan al ihsan (berbuat kebajikan) tidak menuntut adanya sikap saling mencintai dan saling menyayangi karena hal ini terlarang dalam Al Qur’an :

‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum baik untuk semua yang memerangi maupun yang tidak memerangi. Wallahu A’lam.” [Al Fath 5:276 pada hadits nomor 2620]

2. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.

Beliau telah menjelaskan : “Sesungguhnya di awal surat ini –yakni surat Al Mumtahanah– Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih. Allah telah memutuskan cinta kasih antara Muslim dan kafir. Sebagian kaum Muslimin merasa bingung dan menganggap bahwa berbuat baik kepada orang kafir termasuk bagian dari loyalitas dan kecintaan kepada mereka. Maka Allah menjelaskan bahwa hal itu tidak termasuk loyalitas yang terlarang karena Allah tidak melarang berbuat baik kepada mereka. Bahkan Allah telah menuliskan kebaikan ada pada setiap sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Adapun yang terlarang adalah ber-wala’ (setia) kepada orang kafir dan mencintai mereka.” (Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I:301 bab Hukmu Awqafihim wa Waqful Muslim ‘Alaihim)

3. Imam Syaukani rahimahullah.

Beliau menyatakan tentang bolehnya menerima hadiah dari orang kafir dan bolehnya memberikan hadiah kepada mereka. Kemudian beliau mengatakan : “Hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‘Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.’ (QS. Al Mujadilah : 22)

Sesungguhnya ayat ini berlaku umum kepada orang yang memerangi ataupun yang tidak memerangi. Sedangkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya adalah khusus bagi yang memerangi saja. Perbuatan baik dan bijak tidak mengharuskan adanya rasa saling mencintai dan mengasihi yang terlarang.” [Nailul Authaar VI:4]

4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.

Dalam Kitab Al Qaumiyah, setelah menyebutkan hadits Asma’ bin Abu Bakar dan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepadanya untuk berbakti kepada ibunya, Syaikh bin Baz berkata : “Kebaikan semacam ini dan berbagai kebaikan lain yang semisalnya bisa menyebabkan seseorang masuk Islam dengan senang hati. Di dalamnya terdapat unsur silaturrahim dan kedermawaman terhadap orang yang membutuhkan. Hal ini sangat bermanfaat bagi kaum Muslimin, tidak membahayakan, dan sama sekali bukan termasuk loyalitas terhadap orang-orang kafir. Ini sangat jelas bagi yang berakal dan berfikir.” [Al I’laam bi Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 15]

5. Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullahu ta’ala.

Beliau berkata : “Ada perbedaan yang sangat mencolok antara ihsan dalam interaksi, dengan mawaddah (kecintaan dalam hati). Makanya dalam surat AL Mumtahanah ayat 8 Allah berfirman :

Hendaknya kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka.’

Dalam ayat tersebut Allah tidak berfirman dengan mengatakan :

‘Hendaknya kalian mencintai mereka.’ [Al I’laam bin Naqdil Kitaab Al Halaal wal Haraam catatan kaki halaman 12]

Para pembaca yang budiman, demikianlah sebagian pendapat ulama dalam memahami arti al birr dan al ihsan terhadap ahli kitab, sesuai dengan yang termaktub dalam ayat.

Mereka membedakan arti berbuat kebajikan dan mencintai. Saya tidak mendapati seorang pun dari para ulama dan Ahli Tafsir yang berpendapat seperti pendapatnya Yusuf Al Qaradhawi kecuali orang-orang yang semanhaj dengannya.

Di antara yang memperjelas perbedaan yang sangat jauh antara berbuat kebajikan dengan kecintaan yang menumbuhkan loyalitas yaitu Allah melarang kaum Muslimin untuk mencintai dan berkasih sayang antara ayah dengan anak-anaknya jika memang mereka itu lebih mencintai kekufuran daripada keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Kendati demikian, Allah tetap memerintahkan untuk berbuat kebajikan kepada mereka dengan berfirman :

“Maka bergaul-lah dengan keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman : 15)

Ayat ini menunjukkan bahwa berbuat kebajikan tidak menuntut adanya kecintaan dalam hati.

Kedua, perhatikanlah apa yang dikatakan oleh para Ahli Tafsir mengenai ayat tadi. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata : “Para Ahli Tafsir menjelaskan ayat ini adalah rukhshah dari Allah bagi orang-orang yang tidak memerangi kaum Muslimin dan juga diperbolehkan berbuat kebajikan kepada mereka walaupun loyalitas sudah terputus di antara mereka.” (Kitab Zaadul Masiir)

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian karena agama dan juga tidak bekerjasama untuk mengusirmu seperti para wanita dan orang-orang yang lemah dari mereka.” (Tafsiir Ibnu Katsiir III:349)

Muhammad bin Jamaluddin Al Qasimi rahimahullah berkata : “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang kafir dari penduduk Mekkah yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Itulah keadilan. Inilah batasan loyalitas yang tidak dilarang bahkan itu diperintahkan sebagai hak mereka.” (Mahaasinut Ta’wiil 16:128)

Ketiga, sudah menjadi hal yang diketahui khalayak yang mempunyai ilmu walaupun minim bahwa ayat-ayat yang melarang ber-wala’ (loyal) kepada orang-orang kafir adalah larangan yang bersifat umum tanpa ada pengecualian dari suatu kelompok tertentu. Dan tidak ada seorang Muslim pun yang keluar dari larangan ini kecuali orang yang dipaksa melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang menyelisihi syariat dengan syarat tidak dilakukan dengan hati. Dari sinilah diketahui bahwa mencintai orang-orang kafir adalah haram selama-lamanya.

Para pembaca yang budiman, dari pembahasan di atas kita bisa mengetahui bahwa Qaradhawi tidak merujuk kepada pemahaman Salaf dan tidak meniti manhaj mereka dalam memahami Al Qur’an.

Syubhat Kedua :

Syubhat lain yang dijadikan dalih bagi Qaradhawi untuk membolehkan mencintai Ahli Kitab adalah ucapannya :

“Sesungguhnya Ahli Kitab bila mereka membaca Al Qur’an, mereka mendapati pujian di dalam Al Qur’an terhadap Kitab-Kitab mereka dan Rasul-Rasul serta Nabi-Nabi mereka.” (Al Halaal wal Haraam halaman 128)

Untuk membantah syubhat kedua ini, penulis sampaikan beberapa sanggahan kepadanya.

Pertama, memang Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul yang telah diutus-Nya. Tak ada seorang Muslim pun yang menyangkal bahwa beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada mereka seperti Taurat, Zabur, dan Injil serta beriman kepada para Rasul-Nya termasuk bagian dari rukun iman. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an dan yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari Rasul-Rasul-Nya’. Dan mereka mengatakan : ‘Kami dengar dan kami taat’. (Mereka berdoa) : ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’.” (QS. Al Baqarah : 285)

Juga seperti yang tercantum dalam hadits Jibril yang panjang ketika ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang iman. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab :

“Iman adalah kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya … .” (HR. Muslim dari Umar radliyallahu ‘anhu)

Kedua, pujian Allah kepada kitab suci dan rasul-rasul dari kalangan ahli kitab tidak mewajibkan agar kita mencintai mereka karena Allah memuji firman-Nya sendiri yang diturunkan dalam Taurat, Zabur, dan Injil beserta para Rasul-Nya yang terpilih. Tapi Allah tidak memuji kepada ahli kitab yang merupakan saudaranya kera dan babi, yang telah mendustakan Allah, merubah firman-Nya, membunuh para Rasul-Nya, dan menyakiti hamba-hamba-Nya dari zaman dahulu kala sampai sekarang.

Ketiga, sesungguhnya Allah telah mensifati mereka dengan beberapa sifat buruk, melaknat mereka, mengabarkan bahwa mereka senantiasa mencampur-adukkan kebenaran dengan kebathilan, dan menyembunyikan kebenaran walaupun mereka mengetahuinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al Maidah : 78-79)

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang dhalim.” (QS. Al Jumu’ah : 5)

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan : ‘Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’. Padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran : 78)

Allah juga telah menerangkan sifat mereka yang menentang wahyu-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada Kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka, kemudian sebagian dari mereka berpaling dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. Ali Imran : 23)

“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (QS. An Nisa’ : 44)

Dalam menjelaskan keadaan ahli kitab, banyak sekali ayat Al Qur’an yang mencela mereka. Akan tetapi Qaradhawi membutakan diri dan mengabaikan ayat-ayat tersebut lalu berkelana mencari-cari dalih yang bisa dipakai untuk mengelabui kaum Muslimin yang awam. Memang dalam Al Qur’an ada ayat yang memuji ahli kitab namun pujian itu tertuju kepada ahli kitab yang telah masuk Islam atau yang konsisten di atas agama Nabinya karena mereka tidak berjumpa dengan masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114)

Hanya orang bingung saja yang mengira bahwa ayat ini adalah pujian Allah terhadap ahli kitab walaupun mereka tetap berada di atas agama mereka. Padahal ayat ini turun kepada segolongan ahli kitab yang telah masuk Islam dan setelah masuk Islam mereka dicela oleh oleh orang-orang kafir.

Asbabunnuzul ayat tersebut dijelaskan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Kitab Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul sebagai berikut :

Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu berkata : “Setelah Abdullah bin Salam dan Tsa’labah bin Sya’ah serta Asad bin Ubaid dari kalangan masuk Islam, mereka beriman, bersedekah, dan mencintai Islam. Maka pendeta-pendeta yahudi yang masih kafir mengatakan :

‘Tidak ada yang beriman kepada Muhammad dan mengikutinya melainkan dia adalah orang-orang kita yang paling jelek. Seandainya mereka termasuk dari orang-orang pilihan kami maka mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang.’

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat mengenai hal itu :

“Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan, mereka itu termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Ali Imran : 113-114) [HR. Ath Thabrani]

Sedangkan azbabunnuzul versi yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu. Dia berakata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengakhirkan shalat Isya kemudian keluar menuju ke masjid dan manusia sudah menunggu-nunggu untuk shalat. Beliau bersabda :

“Tiada seorang pun pemeluk agama yang berdzikir kepada Allah pada waktu seperti ini selain kalian.”

Ibnu Mas’ud berkata : “Lalu turunlah ayat tentang mereka :

‘Mereka itu tidak sama, di antara ahli kitab … .’

Sampai ayat :

‘… Dan apa saja yang kebajikan yang mereka kerjakan maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala)nya dan Allah Maha Mengtahui orang-orang yang bertakwa’.” [HR. Ahmad dalam Kitab Shahiihul Musnad Asbaabin Nuzuul]

Atas dasar inilah maka pujian kepada ahli kitab hanya berlaku khusus bagi yang mempunyai sifat-sifat yang tertera dalam ayat saja.

Syubhat Ketiga :

Qaradhawi berkata : “Al Qur’an tidak memanggil mereka kecuali dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) dan yaa ayyuhal ladziina uutul kitaaba (wahai orang-orang yang diberi Al Kitab). Dengan lafadh ini Al Qur’an menunjukkan bahwa pada dasarnya agama mereka adalah agama samawi. Maka antara ahli kitab dan kaum Muslimin dijembatani oleh kasih sayang dan kekerabatan. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok agama yang satu, semua Nabinya telah diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al Halaalu wal Haraam halaman 327)

Para pembaca yang budiman, lihatlah! Betapa tajamnya pengaburan dan betapa lemahnya istidlal yang ditempuh oleh Qaradhawi. Untuk meluruskannya, saya memiliki beberapa bantahan.

Pertama, sesungguhnya panggilan Allah dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), sama sekali tidak menuntut adanya kecintaan dan kasih sayang kepada mereka.

Kedua, sesungguhnya hubungan dan kekerabatan yang disebutkan oleh Qaradhawi telah diputuskan oleh Allah dengan diutusnya Rasulullah dan diwahyukannya Al Qur’an yang me-nasakh (menghapus) seluruh syariat dan agama sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran : 85)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al Maidah : 48)

Imam Asy Syaukani menjelaskan ayat tersebut dalam Kitab Fathul Qadiir :

“Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan … .’

Maksudnya adalah dengan apa yang diturunkan kepadamu dalam Al Qur’an karena Al Qur’an mencakup semua syariat Allah dalam kitab-kitab terdahulu. Sedangkan makna kalimat :

Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.’

Adalah hawa nafsu pemeluk agama-agama yang telah lalu.

Allah telah menghapus semua agama dengan datangnya Islam. Walaupun seandainya ahli kitab tidak mengubah agama mereka dan mereka tetap berpegang teguh dengan agama lama mereka tapi dengan datangnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan turunnya Al Qur’an serta dihapusnya semua syariat yang lain maka ahli kitab tidak boleh lagi memeluk agama lama mereka.

Terlebih lagi jika mereka telah merubah kitab suci dan meninggalkan agama mereka sendiri. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang pun yang mendengarku dari umat ini, baik yahudi maupun nashrani kemudian mati dan dia tidak beriman dengan risalah yang dibawa olehku melainkan dia termasuk dari penghuni neraka.” (HR. Muslim 2:186)

Ketiga, bahwa panggilan kepada mereka dengan lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab) telah warid (tercantum) dalam Al Qur’an dalam konteks celaan terhadap mereka. Konteks celaan terhadap ahli kitab yang memakai lafadh yaa ahlal kitaabi (wahai ahli kitab), misalnya :

“Hai ahli kitab, mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” (QS. Ali Imran : 70)

“Hai ahli kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan menyembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahui?” (QS. Ali Imran : 71)

Keempat, apakah pemahaman Qaradhawi bahwa mencintai ahli kitab atas dasar panggilan Allah wahai ahli kitab ini sesuai dengan pemahaman para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka (para shahabat)? Ternyata tidak! Kalau begitu, di manakah posisi Qaradhawi dari kitab-kitab ulama?

“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al Baqarah : 111)

“Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami.” (QS. Al An’am : 148)

Katakanlah : “Tuhanku hanya mengaharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)

Syubhat Keempat :

Qaradhawi berkata dalam kitabnya Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68 :

“Sesungguhnya Islam membolehkan setiap umatnya untuk menikah dengan ahli kitab (yahudi dan nashrani). Kehidupan suami istri harus dibangun di atas sakinah, mawaddah, dan rahmah (ketenangan jiwa, rasa cinta, dan menyayangi), sebagaimana yang ditunjukkan oleh Al Qur’an :

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.” (QS. Ar Rum : 21)

Ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa)”

( Lihatlah, wahai saudaraku! Dalam ungkapan ini secara terang-terangan Qaradhawi berdakwah (menyeru) agar seorang Muslim mencintai orang kafir.) . Bagaimana mungkin seorang suami tidak mencintai seorang istrinya yang dari ahli kitab? Bagaimana mungkin seorang anak tidak mencintai kakek dan nenek serta bibinya bila ibunya seorang kafir dzimmi?

Istidlal (pengambilan dalil) yang dilakukan oleh Qaradhawi ini jelas sangat bathil dengan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, bahwa para Salaf ridlwanullah ‘alaihim tidak ada yang menjadikan bolehnya seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab sebagai dalil untuk mencintai dan menyayangi ahli kitab. Mereka (Salaf) adalah umat yang paling mengetahui istidlal Al Qur’an setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bahkan tidak ada Imam dan Ahli Fikih yang perkataannya sependapat Qaradhawi ini.

Kedua, bahwa cinta ada dua macam (cinta tabiat dan cinta syar’i). Cinta tabiat adalah rasa cinta yang sudah menjadi tabiat manusia, seperti cinta kepada ayah, anak, saudara, istri, kakek, dan seterusnya. Cinta semacam ini ada pada setiap manusia, baik Mukmin ataupun kafir yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Cinta tabiat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an karena hal itu dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada pamannya :

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Qashash : 56)

Kecintaan Rasulullah kepada pamannya ini tidak disyariatkan tapi tabiat asli manusia.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan :

“Dhahir ayat ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi’ ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencintai Abu Thalib, pamannya. Bagaimana menafsirkan ayat ini? Jawabannya ada beberapa kemungkinan :

Pertama, beliau mencintai Abu Thalib yakni menginginkan hidayahnya. Kedua, cinta beliau kepada pamannya itu adalah cinta thabi’i (tabiat manusiawi), seperti cinta anak kepada bapaknya walaupun dia kafir. Ketiga, cinta Nabi kepada pamannya yang kafir itu terjadi sebelum turunnya larangan mencintai orang kafir.

Dari ketiga penafsiran tersebut yang paling mendekati kebenaran adalah yang pertama, yaitu mencintai hidayahnya bukan perasaannya. Hal ini berlaku umum bagi Abu Thalib dan lainnya dan bisa jadi kecintaan di sini cinta tabiat dan yang demikian tidak bertentangan dengan cinta yang syar’i”. (Al Qaulul Mufiid Syarh Kitaabit Tauhid 1:349)

Pembagian rasa cinta menjadi cinta tabiat dan cinta syar’i ini diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim pada hadits Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak beriman (dengan sempurna) salah seorang dari kalian hingga saya menjadi orang yang lebih dicintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”

Imam Nawawi berkata :

Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi berkata : “Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak menghendaki rasa cinta yang bersifat tabiat namun beliau menghendaki rasa cinta yang bisa memilih. Karena seseorang mencintai dirinya adalah cinta tabiat dan hal itu tidak ada jalan untuk menolaknya.”

Ibnu Baththal, Qadhi `Iyadh, dan ulama lainnya menjelaskan : “Rasa cinta ada tiga macam, yaitu cinta penghormatan dan pengagungan, seperti cintanya seorang anak kepada ayahnya, cinta karena kasih sayang, seperti mencintai anak, dan cinta karena kecocokan dan kesenangan, seperti cintanya kepada seluruh manusia. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengumpulkan berbagai macam cinta dalam dirinya.” (Syarah Muslim halaman 15 hadits 18/19. Lihat Fathul Baari I hadits 14/15 bab VIII)

Para ulama banyak yang membahas masalah cinta daan macam-macamnya dalam kitab-kitab mereka. Untuk menambah ilmu bacalah kitab-kitab mereka.

Ketiga, ulama yang membolehkan pernikahan seorang Muslim dengan wanita ahli kitab tetap mengharamkan mencintai orang-orang non Muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah : 22)

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ini banyak sekali dan sebagian telah penulis sebutkan. Akan tetapi hawa nafsu telah memalingkan Qaradhawi dari ayat-ayat ini. Dia lebih tertarik dengan syubhat-syubhat yang lemah, bahkan lebih lemah dari sarang laba-laba.

Keempat, kalaulah kita terima pendapat Qaradhawi bahwa rasa cinta yang ada di antara seorang Muslim dengan istrinya dari ahli kitab adalah cinta yang syar’i maka dalil dari ayat tersebut menjadi khusus bagi seorang Muslim bersama istrinya saja. Ini hanya sekedar pengandaian saja. Akan tetapi dalil tersebut bersifat umum yang menuntut haramnya rasa cinta syar’i kepada orang-orang kafir semuanya.

Kelima, Allah membolehkan seorang Muslim menikah dengan wanita ahli kitab tujuannya agar pernikahan itu bisa menyebabkan pihak wanita mendapat hidayah karena berbagai kelebihan yang Allah berikan kepada lelaki dibandingkan wanitanya, seperti kesempurnaan akal dan kemampuan untuk mempengaruhi dan lain sebagainya.

Islam mengharamkan pernikahan wanita Muslimah dengan pria ahli kitab supaya hal itu tidak menyebabkan kepatuhan kepada pria non Muslim dan kemudian meninggalkan agamanya.

Selanjutnya, jika pembaca mengkritisi ucapan Qaradhawi lebih teliti lagi maka akan pembaca ketahui bahwa dia tidak membatasi kecintaan hanya kepada ahli kitab saja. Bahkan dia mengglobalkan kecintaannya kepada semua orang kafir. Inilah kutipan ucapannya :

Hal ini menunjukkan bahwa mahabbah (rasa cinta) seorang Muslim terhadap non Muslim itu tidak apa-apa (tidak berdosa). (Ghairul Muslimiin fil ‘Aalamil Islami halaman 68)

Perhatikan wahai saudaraku, ungkapan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Qaradhawi membawa pemikiran yang busuk dan bathil untuk mengkaburkan Al Wala’ wal Bara’ yang itu merupakan salah satu pokok aqidah Islam.

Syubhat Kelima :

Dalam kitab Al Halaal wal Haraam pada halaman 327, Qaradhawi mengatakan :

Jika seorang Muslim berdebat dengan ahli kitab maka hindarilah perdebatan yang bisa menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Allah berfirman : “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik.” (QS. Al Ankabut : 46)

Istidlal (pengambilan dalil) ini pun jauh dari kebenaran karena mengikuti hawa nafsu dalam menghukumi firman Allah ini. Sebagai bantahannya kami kemukakan beberapa poin :

Pertama, para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat tersebut. Tapi, tak satu pun mufassir yang mendukung pendapat Qaradhawi. Di antara pendapat tersebut adalah :

1. Bahwa ayat tersebut sudah mansukh (dihapus) dengan ayat saif (perintah perang). Ini adalah pendapat Mujahid (Seperti yang tercantum dalam Tafsir Al Qurthubi, Ath Thabari, serta yang lainnya)dan Ibnu ‘Athiyah Al Andalusi (Al Muharrir Al Wajiiz Fi Tafsiiril Kitaabil Aziiz, XII:229.) . Pendapat para mufassir ini menutup hujjah bagi Qaradhawi untuk membela diri.

2. Makna berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik adalah mendoakan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla (agar mereka mendapat hidayah) dan menyampaikan argumen, ayat-ayat, dan bukti-bukti dengan harapan mereka mau menyambut Islam dan hijrah ke dalamnya. Berinteraksi kepada mereka harus dengan cara dan ucapan yang lembut saat mengajaknya kepada kebenaran serta menolak kebathilan dengan cara yang paling mudah untuk sampai kepada hal itu.

3. Ada yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah janganlah kalian mendebat orang-orang yang beriman kepada Muhammad dari kalangan ahli kitab, seperti Abdullah bin Salam dan semua yang beriman kepadanya, kecuali dengan cara yang terbaik. Menurut pendapat yang kedua, ayat tersebut termasuk muhkamat (ayat-ayat yang jelas). Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir rahimahullah.

Walaupun ayat tersebut muhkamat namun tidak ada kaitannya dengan pendapat Qaradhawi karena dia menjadikan ayat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) sebagai dalil untuk menghindari hal yang menyinggung perasaan dan menimbulkan permusuhan. Bahkan dari ayat inilah Qaradhawi mensyariatkan perintah untuk mencintai yahudi dan nashrani. Mungkin dia pura-pura tidak tahu tentang maksud ayat billatii hiya ahsan, yakni jalan yang dibangun di atas ilmu dan argumen serta burhan (bukti) yang jelas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125)

Berdebat dengan ahli kitab atau dengan para pelaku kebathilan dengan tujuan agar mereka mau menerima petunjuk kebenaran dan mengembalikan mereka dari kebathilan tidak menuntut adanya rasa cinta kepada pelaku kebathilan dan kesesatan. Jika tidak dipahami demikian maka harus dikatakan bahwa Musa dan Harun diperintah untuk mencintai Fir’aun ketika Allah berfirman kepada keduanya :

“Maka ucapkanlah kepadanya ucapan yang lembut.” (QS. Thaha : 44)

Karena ucapan yang lemah lembut adalah ucapan baik yang didasari dengan ilmu, argumen, dan hikmah.

Kalimat billatii hiya ahsan (dengan cara yang paling baik) mempunyai beberapa makna, di antaranya :

1. Tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu.

2. Menahan diri dari (memerangi) mereka setelah mereka memberikan jizyah (pajak). Pengertian ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Zaadul Masiir.

3. Cara yang terbaik adalah dengan Al Qur’an.

Kedua, sesungguhnya berdebat dengan ahli kitab melalui cara terbaik merupakan sebab agar mereka mau menerima Islam. Hal ini jauh dari sikap keras terhadap mereka yang bisa menyebabkan mereka mencela Islam dan orang yang membawanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am : 108)

Saudara pembaca yang budiman, setelah mengetahui pendapat para mufassir tentang ayat yang dikaburkan oleh Qaradhawi, jelaslah bagi kita bahwa tak seorang pun dari kalangan Salafusshalih dan pengikut baik mereka yang sejalan dengan pemikiran Qaradhawi.

Setelah memaparkan berbagai syubhat dan talbis (pemutarbalikan) kebenaran kepada kaum Muslimin, Qaradhawi berusaha mendekatkan kaum Muslimin dengan umat Nashrani. Ia berkata :

Hal ini berlaku untuk ahli kitab secara umum. Sedangkan untuk orang nashara, secara khusus dalam Al Qur’an Allah telah menempatkan mereka pada suatu posisi yang dekat dengan kaum Muslimin. Allah berfirman : “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya kami ini orang nashrani’. Yang demikian ini disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang nashrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.” (QS. Al Maidah : 82) [Al Halaal wal Haraam halaman 328]

Syubhat Qaradhawi tersebut bisa penulis luruskan dengan beberapa bantahan berikut :

Pertama, ayat yang dikutip Qaradhawi itu mengabarkan bahwa nashara adalah orang-orang yang mencintai kaum Muslimin karena mereka mengetahui bahwa apa yang ada pada kaum Muslimin adalah kebenaran. Apakah hal ini mengharuskan seorang Muslim untuk mencintai mereka yang telah mengkultuskan salib, mempertuhankan Nabi Isa, meyakini doktrin bahwa Al Masih adalah anak Allah, serta kesyirikan dan kekufuran besar lainnya. Subhanallah! Ini adalah kedustaan yang besar.

Kedua, ayat tersebut turun kepada Najasyi yang masuk Islam bersama para shahabatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar Razi (Shahiihul Musnad Min Asbaabin Nuzuul halaman 99)

Ketiga, ayat ini mengisyaratkan kepada keimanan dan keislaman orang yang disebutkan dalam ayat berikutnya :

“Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam).”

Keempat, berbagai kemenangan yang diraih umat Islam di berbagai belahan negeri nashara tidak menunjukkan kedekatan hati antara umat nashara dan kaum Muslimin. Justru hal itu menunjukkan adanya kebencian dan permusuhan yang luar biasa kepada mereka.

Para pembaca yang budiman, jelaslah bagi kita bagaimana sikap pembelaan Yusuf Al Qaradhawi terhadap musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.

(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net)

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=633
Read Full Post | Make a Comment ( 3 so far )

Sambutan para Ulama’ tentang buku kesesatan Qaradhawi

Posted on 28 Desember 2010. Filed under: Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sambutan Syaikh Al ‘Allamah Muhaddits Ad Diyar Al Yamaniah Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah

Segala puji bagi Allah. Kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan, ampunan, dan perlindungan dari kejelekan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Amma Ba’du.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib nashrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. At Taubah : 34)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengingatkan bahayanya ulama su’ :

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini dan berkata : ‘Kami akan diberi ampun.’ Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (QS. Al A’raf : 169)

Dalam satu riwayat yang shahih, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Yang paling aku khawatirkan dari hal-hal yang sangat aku khawatirkan kepada umatku adalah orang munafik yang pandai bersilat lidah.”

Dalam Sunan Abu Daud diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radliyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Pada hari kiamat ada seorang lelaki yang dihadapkan lalu dilemparkan ke dalam neraka sampai terburai isi perutnya. Lalu ia berputar-putar laksana keledai yang berputar-puter mengelilingi penggiling gandum. Maka para penghuni neraka berkerumun kepadanya dan bertanya : ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk di sini, bukankah kamu dulu orang yang memerintahkan kami kepada kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Ia menjawab : ‘Dulu saya memang memerintahkan kalian kepada kebaikan namun saya tidak menjalankannya dan saya melarang kalian dari kemungkaran namun saya melakukannya.’”

Alhamdulillah. Tiada seorang pun dai penyeru kepada kesesatan dari kalangan ulama jahat melainkan ada panah Ahlus Sunnah yang membidiknya sampai dia tersungkur dan tersingkap kebobrokannya. Para dai Ahlus Sunnah senantiasa memperingatkan kaum Muslimin dari kebathilan dan kesesatan ulama jahat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap.” (QS. Al Anbiya’ : 18)

Di antara sekian banyak dai dhalalah yang menyeru kepada kesesatan pada jaman sekarang ini adalah Yusuf Al Qaradhawi, mufti Qatar. Sungguh dia telah menjadi amunisi baru bagi musuh-musuh Islam. Dia telah mencurahkan pena dan lisannya guna menyerang agama Islam.

Da’i Ahlus Sunnah tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan mengarahkan anak panah kepadanya dan menghabisi argumennya sebagaimana mereka telah menghabisi da’i-da’i sesat lainnya. Di antara da’i Ahlus Sunnah yang melakukan demikian adalah Syaikh Al Fadhil Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Dia telah banyak meneliti sepak-terjang kesesatan Qaradhawi. Pokok-pokok kesesatan Qaradhawi itu dipatahkannya berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

Jazahullah Khairan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan ganjaran yang lebih baik dan memberkahi ilmunya. Semoga Allah menjaganya supaya dia bisa menjaga dien (agama) ini agar bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin. Amiin.

Abu Abdurrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i

Sambutan Syaikh Al Muhaddits Al Faqih Ahmad bin Yahya An Najmi hafidhahullah

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini Al Yamani hafidhahullah menyodorkan kepadaku sebuah kitab berjudul Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalafatil Qaradhaawii Li Syarii’atil Islam yang ditulisnya. Setelah menelaahnya, ternyata berisi bantahan terhadap berbagai kesesatan dan penyimpangan Qaradhawi yang tersebar dalam berbagai kitab, wawancara, dan fatwa yang banyak bertebaran di berbagai koran dan majalah. Sejumlah kebathilan Qaradhawi yang dibantah antara lain :

1. Seruannya untuk mencintai yahudi dan nashrani.

2. Propaganda terhadap gerakan pendekatan (penyatuan) berbagai agama dan sering menghadiri muktamar gerakan tersebut.

3. Pendapat bahwa jihad hanya disyariatkan untuk bertahan saja, bukan untuk memerangi orang-orang kafir.

4. Pendapat bahwa demokrasi adalah syura dan telah dibahas secara luas dalam fiqih Islam.

5. Membolehkan wanita untuk bergabung bersama laki-laki di parlemen bahkan memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

6. Membolehkan banyaknya hizb (golongan) dan firqah (kelompok) dengan beragam pemikiran dan manhaj yang berbeda, sama halnya dengan banyaknya madzhab dalam bidang fiqih. Karena banyaknya kelompok dan golongan adalah solusi damai bagi umat.

7. Berusaha mencampuradukkan sufi dengan Salafi serta upayanya dalam mensufikan Salafiyah dan mensalafikan sufi dan masih banyak lagi kejahilan dan kesesatan Yusuf Al Qaradhawi yang menghancurkan agama dari dasarnya, bagaikan meruntuhkan bangunan dari pondasinya.

Jazahullah Khairan. Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al’Udaini telah membantahnya dengan menggunakan nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah serta atsar dari Salaful Ummah (umat shalih yang terdahulu) dengan bantahan yang membungkamkan lawan. Jazahullah Khairan wa Baaraka fiih. Semoga Allah membalas dan memberkahinya.

Saya sangat menganjurkan kepada para thalabul ‘ilmi (penuntut ilmu) untuk membaca kitab ini. Dalam kitab ini telah dijelaskan secara detail penyakit Islam beserta penawarnya.

Semoga kita mendapatkan pertolongan dan taufik-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam beserta keluarga dan shahabatnya.

Jaizan, Shamithah ~ Yaman, 17 Jumadil Tsani 1420 H.

Ahmad bin Yahya An Najmi

Sambutan Syaikh Al Muhaddits Al Fadhil Abu Ibrahim Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi hafidhahullah

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi pamungkas yang tidak ada Nabi sesudahnya, beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Saya telah menelaah Kitab Raf’ul Litsaam min Makril Qaradhaawii bi Diinil Islam karya Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Kitab ini adalah sebuah risalah yang baik dan bermanfaat bagi orang yang Allah kehendaki untuk mendapat kebaikan dan hidayah.

Jazahullah Khairan Jazaa. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan ganjaran yang sangat baik atas pengorbanan yang telah dicurahkan untuk menasihati Yusuf Al Qaradhawi dan juga umat Islam umumnya. Wajib hukumnya bagi kaum Muslimin untuk menerima kebenaran yang datang kepadanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus : 32)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al Mukminun : 71)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan kita semua kepada jalan yang dicintai dan diridhai-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan shahabatnya. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Yaman, 12 Rajab 1420 H.

Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washabi Al ‘Abdali

Sambutan Syaikh Al Fadhil Ad Da’iyah Abu An Nashr Muhammad bin Abdullah Al Imam hafidhahullah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Saya sudah menelaah Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalafatil Qaradhaawii Li Syarii’atil Islam karya Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Di dalamnya disingkap tirai kebobrokan Yusuf Al Qaradhawi. Barangsiapa yang tidak menututp aib dirinya dengan adanya malam maka aibnya tidak akan tertutup sama sekali pada siang harinya.

Dalam buku ini, penulis juga mengungkap sekilas tentang khurafat Qaradhawi. Bagi orang yang mengutamakan kebenaran, dengan mengetahui perilaku khurafat Qaradhawi ini saja sudah cukup baginya untuk menilai jati diri Qaradhawi yang sebenarnya.

Sebelumnya para ulama telah membabat habis pemikiran Muhammad Al Ghazali ketika ia terperosok ke dalam berbagai penyimpangan yang sangat besar. Kini Yusuf Al Qaradhawi menjadi penerusnya. Al Qaradhawi adalah Al Ghazali kedua pada jamannya.

Ikutilah kelana yang diberkahi ini dan reguklah ilmunya untuk membasahi dahaga dan menghilangkan penyakit. Bagi orang yang adil, tak ada yang patut dilakukan selain bersyukur kepada Allah yang telah menjadikan para pembela agama ini. Adapun orang yang sombong, walaupun pegunungan dilebur dalam kedua tangannya, dia tetap tak mau mengakui kebenaran.

Semoga kitab ini bisa diterima dan bermanfaat serta mengembalikan Yusuf Al Qaradhawi kepada kebenaran. Amiin.

Muhammad bin Abdullah Al Imam

Sambutan Syaikh Ad Da’iyah Al Muhannik Abu Dzar Abdul Aziz bin Yahya Al Bura’i rahimahullah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan shahabatnya. Amma Ba’du.

Saya telah membaca Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalafatil Qaradhaawii Li Syarii’atil Islam karya Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini. Kitab ini sangat berharga dan bermanfaat. Penulisnya membongkar berbagai perkara yang sebelumnya saya tidak mengira kalau perkara sebathil itu disampaikan oleh Yusuf Al Qaradhawi.

Penulis buku ini telah mencurahkan perhatian yang sangat besar bagi para thalabul ilmi yang lain. Datanya akurat, karena dia mengumpulkan referensi dari berbagai kitab, tulisan, dan risalah Qaradhawi, dilengkapi dengan kliping dari berbagai koran dan majalah.

Kita memuji Allah yang telah menakdirkan salah seorang thalabul ilmi menjadi benteng sunnah dan membantah kebathilan pelakunya. Upaya yang dilakukan oleh penulis buku ini sesuai dengan manhaj Ahlus Sunnah di setiap masa. Kitab-kitab Al Jarh wat Ta’diil (kitab-kitab yang berisi celaan dan pujian terhadap rawi) dan kitab-kitab aqidah senantiasa mengungkap para pelaku kebathilan, kedustaan, dan hawa nafsu.

Sebagian kitab fiqih juga ditulis dengan metode bantahan dan analisa menurut gaya bahasa pengarang yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang keras, tapi ada pula yang sopan-santun dan lemah-lembut.

Tentang Qaradhawi, manhaj ikhwanul muslimin telah mendarah daging dalam dirinya. Sudah pernah saya katakan dan akan selalu saya katakan bahwa ikhwanul muslimin tidak mempunyai seorang alim pun yang layak menjadi referensi dalam ilmu syariah. Jika memang ada seorang alim dalam bidang syariah maka pasti dia telah mendapatkan ilmunya dari luar jamaah ikhwanul muslimin. Sedangkan yang mendapat ilmu dari sesama anggota ikhwanul muslimin lalu menjadi ulama pasti akan melahirkan berbagai penyimpangan. Contoh yang nyata adalah Yusuf Al Qaradhawi dan Muhammad Al Ghazali.

Propaganda penyatuan agama yang dilakukan oleh Al Qaradhawi sebelumnya telah dipelopori oleh Az Zindani dan Hasan At Turabi. Seluruh ikhwanul muslimin mengakui keduanya bahkan keduanya mewakili mereka dalam muktamar Wihdatul Adyan (penyatuan agama) di Sudan.

Propaganda untuk mencintai orang-orang yahudi dan nashrani tidak dilakukan oleh Qaradhawi sendiri tapi dilakukan juga oleh Makmun Al Hudhaibi, tokoh ikhwanul muslimin lainnya. Dalam wawancara di koran Al Muharrir edisi 267, Senin 29 Agustus 1994, Makmun Al Hudhaibi mengatakan :

Bila ada orang Qibthi (nashrani) yang menerima prinsip-prinsip kami maka kami akan segera mencalonkannya untuk menjadi pemimpin-pemimpin kami dan kami tidak akan menuntutnya menjadi seorang Muslim … .

Lalu sang wartawan menimpali : “Kalau begitu kalian tidak mempunyai larangan untuk mencalonkan orang-orang Qibthi –nama suku di Mesir yang mayoritas nashrani– menjadi pemimpin-pemimpin kalian secara langsung?” Al Hudhaibi menjawab :

Bukan hanya itu saja, bahkan kami tidak mempunyai larangan bagi orang Qibthi untuk menjadi anggota ikhwanul muslimin … .

Dalam masalah emansipasi wanita. Di koran yang sama, Al Hudhaibi juga membolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin di selatan Mesir selain negeri As Sha’id. Hal itu tidak haram bagi penduduk As Sha’id hanya saja masyarakat tidak mau menerimanya. Ia juga membolehkan perempuan menjadi qadhi (hakim) di beberapa bidang.

Demikian pula Az Zindani. Secara terang-terangan dia mengajukan usulan untuk membuat majelis khusus bagi syaikhah (syaikh wanita/wanita alim) Yaman. Padahal seluruh masyarakat Yaman tidak satu kaum pun yang menjuluki wanita dengan sebutan syaikhah. Untuk menyukseskan idenya, dia menulis buku berjudul Al Mar’atu wa Huquuquhas Siyaasah fil Islaam (perempuan dan hak-hak politiknya dalam Islam).

Hal ini saya jelaskan secara detail agar pembaca mengetahui bahwa Qaradhawi bermanhaj ikhwanul muslimin.

Oleh karena itu, saya sarankan kepada para thalabul ilmi yang sudah mumpuni untuk mengkaji kehidupan Hasan Al Banna secara obyektif, baik sebelum maupun pasca mendirikan ikhwanul muslimin sampai dia meninggal dunia. Bacalah buku-buku tulisan Hasan Al Banna, buku-buku biografi dan perjalanan dakwah yang ditulis oleh para pengagumnya. Perhatikanlah orang-orang yang berpengaruh pada diri Hasan Al Banna dan amati keterkaitannya dengan Madrasah Aqliyah (rasional). Maka akan ditarik kesimpulan bahwa orang-orang ikhwanul muslimin adalah para aqlaniyun (rasionalis).

Jika ada orang datang kepada Hasan Al Banna dengan nash Al Qur’an dan As Sunnah yang sangat terang seperti terangnya matahari di siang bolong, ia akan berkilah, namun kenyataannya begini dan masyarakatnya bagini, juga kemaslahatannya begini, dan seterusnya.

Perhatikan pula hubungan antara tokoh-tokoh ikhwanul muslimin dengan mu’tazilah. Ternyata mereka serupa dalam mendahulukan akal daripada naql (dalil/wahyu). Pembaca juga akan menjumpai di antara mereka ada yang menolak hadits ahad. Mereka juga sepakat terhadap prinsip khuruj (keluar/memberontak) kepada pemerintah Muslim yang dhalim. Ini adalah salah satu prinsip dari prinsip mu’tazilah yang mereka katakan sebagai amar ma’ruf nahi munkar.

Setelah mengkajinya, pembaca akan memahami hakikat ikhwanul muslimin. Maka pembaca harus bersikap adil tanpa menyimpulkan suatu hukum dari nas (Al Qur’an dan As Sunnah) melebihi dari yang ditunjukkan oleh nash tersebut. Jangan berlebihan dan salah dalam menguraikannya lalu menguak hakikat sesuatu yang telah berlalu dalam ketersembunyiannya. Demi Allah, jika bisa melakukan hal ini dengan sempurna maka pembaca akan menjadi penulis yang sangat brilian dan memukau. Maka saat itu kita sudah tidak tersibukkan oleh perilaku ikhwanul muslimin lagi. Bukan berarti kita menunggu agar mereka ridha kepada kita karena kita dan mereka telah seperti yang dikatakan oleh penyair :

Allah mengetahui bahwa kami tidak mencintai kalian

Kami tak mencela jika kalian tidak mencintai kami

Mereka telah menghalalkan dari kami segala sesuatu yang haram bagi mereka, yakni menggunjing, mendustakan, dan lain-lainnya.

Sekadar contoh, di Shan’a, Yaman, ada seorang lelaki yang biasa dipanggil Abdullah Sha’tar (Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam salah satu acara taklim, Abdullah Sha’tar adalah seorang lelaki yang tidak punya ilmu agama sedikit pun. Dia manusia yang paling jahil terhadap Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.) Dia disyaikhkan oleh orang-orang ikhwanul muslimin dan jam’iyah al hikmah. Dia mengeluarkan kaset berjudul asbaabu tafawwuqil yahudi ‘alal muslimiin (sebab-sebab yahudi mengungguli kaum Muslimin).

Dalam kaset tersebut dia sangat melecehkan Ahlus Sunnah :

Sesungguhnya mereka (Ahlus Sunnah) dan orang-orang freemasonry itu bersaudara. Mereka semua adalah intel amerika, yang ini berjenggot dan yang itu tidak berjenggot namun semua menunaikan peranannya masing-masing.

Setelah itu, dia bersumpah atas ucapannya. Dan kaset tersebut masih aku simpan dengan baik. Sampul kaset tersebut bergambar parabola dan jam. Begitulah ia mengatakan. Semoga Allah memberikan sanksi yang seadil-adilnya kepada Abdullah Sha’tar.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga pernah dituduh oleh orang-orang musyrik sebagai intelnya orang-orang ‘ajam (orang-orang di luar Arab) seperti yang dilakukan oleh orang ini (terhadap dai Ahlus Sunnah, pent.).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ‘ajam sedang Al Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS. An Nahl : 103)

Alangkah serupanya dua keadaan ini. Benar, ia telah berbicara tanpa memakai perasaan karena telah terbuai oleh budaya barat. Dan orang yang butuh dikasihani ini lupa bahwa salah satu sebab orang kafir lebih unggul daripada kita adalah karena kita kagum terhadap apa yang ada pada mereka. Sedangkan Ahlus Sunnah sepakat bahwa mengajar manusia dengan perkara-perkara dien yang diawali dengan perbaikan aqidah adalah inti keunggulan kaum Muslimin terhadap orang-orang kafir.

Saya tidak sedang membantah Abdullah Sha’tar, namun ini sekedar informasi agar diketahui khalayak khususnya bagi orang-orang yang sudah terpengaruh oleh pemikirannya bahwa dia berseberangan dengan kebenaran. Juga tidak saya kutip ucapan para ulama supaya tidak menambah panjang, karena para ulama juga tidak dipercaya oleh Abdullah Sha’tar.

Perlu juga saya kutipkan di sini perkataan Sayyid Quthub (Sayyid Quthub adalah orang yang memiliki kesesatan yang besar. Dia telah mencela shahabat, antara lain Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Mu’awiyah radliyallahu ‘anhuma. Bahkan dia juga mencela Nabi Musa ‘Alaihis Salam. Dan ia memiliki kesesatan-kesesatan lainnya. Penyimpangan dan kekeliruan Sayyid Quthub telah dibongkar oleh Syaikh Al ‘Allamah Al Muhaddits Rabi’ bin Hadi Al Madkhali –pengibar panji ilmu Al Jarh wat Ta’diil jaman ini– dalam beberapa kitab beliau, antara lain Mathaa’in Sayyid Quthub Fii Ashhaabi Rasuulillah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (Celaan Sayyid Quthub Terhadap Para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), Adhwaa Islamiyah ‘Alaa ‘Aqiidati Sayyid Quthub (Pandangan Islam Terhadap Aqidah Sayyid Quthub), dan Al ‘Awaashim Mimmaa Fii Kutubi Sayyid Quthub Minal Qawaashim (Bantahan Keras Terhadap Penyimpangan Kitab-Kitab Sayyid Quthub). Penulis sarankan kepada para thalabul ilmi untuk membaca kitab-kitab tersebut.) , salah seorang tokoh ikhwanul muslimin dalam kitabnya Ma’aalim fii Ath Thariiq (penerbit Daarus Syuruuq, halaman 9) :

Sesungguhnya sekarang ini umat tidak memiliki –dan memang tidak diperlukan– kemampuan untuk bisa maju dan unggul dalam kehidupan manusia. Keunggulan dalam menciptakan inovasi teknologi yang bisa mengatur manusia dan mengendalikan dunia. Namun, sejak lama sekali kecanggihan Eropa telah jauh lebih unggul pada bidang ini dan sulit untuk bisa diungguli dalam beberapa abad sekarang ini. Maka dari itu harus ada keahlian lain yang telah hilang dari peradaban ini … .

Oleh karena itu, selain keahlian materi, harus ada keahlian lain untuk mengendalikan kemanusiaan namun bukan bersifat aqidah dan manhaj.

Wahai Abdullah Sha’tar dan para tokoh ikhwanul muslimin, sudah berapa banyak kedustaan dan talbis (pemutarbalikan) yang kalian tebarkan kepada umat? Sekarang ada orang yang mengungkapnya dan pada suatu hari akan nampaklah hakikatnya. Maka sungguh celakalah bagi para pendusta. Kaum Muslimin dan pemukanya, yakni para ulama dan para thalabul ilmi, baik yang masih hidup maupun yang belum dilahirkan (semuanya mendoakan kecelakaan bagi mereka). Suatu hari akan terungkaplah hakikat tipu dayanya dan tiada yang menanggung akibat makar jahat kecuali pelakunya sendiri.

Sesama ashhaabul baathil (pelaku kebathilan), mereka saling bahu membahu dalam menghadapi para penentangnya. Saya pernah menulis sebuah buku untuk mengomentari kaset ceramah Abdul Majid Az Zindani yang berjudul AL Hizbiyah. Lalu Muhammad Al Mahdi mengeluarkan kaset untuk membantah buku saya tersebut. Karena merasa belum puas maka dia menulis buku bantahan terhadap buku saya tersebut. Kemungkinan besar, bantahan itu dibantu oleh Az Zindani.

Saya sangat menyambut kritikan yang konstruktif dan nasihat yang baik. Hanya saja, konsep penulisan Muhammad Al Mahdi ini berlarut-larut. Apabila terus mengikuti tulisannya dengan bantahan maka akhirnya kita akan terseret keluar dari tataran akhlak yang mulia.

Demi Allah, sesungguhnya kami menyayangi Muhammad Al Mahdi. Dan betapa indahnya jika dia mau merenungi dan menyayangi dirinya dari penat yang mengantarkan kepada penyesalan akan ilmu, dakwah, dan politiknya.

Demi Allah, wahai saudaraku Al Mahdi. Seandainya aku mengetahui bahwa nasihat bisa membawa manfaat kepada mulutmu pasti akan aku sampaikan ke rumahmu. Namun aku melihat kamu menaiki kepalamu dan meniti jalan dengan serampangan. Semoga Allah memberi hidayah kepadamu.

Akhirnya aku memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia-Nya terhadap Ahlus Sunnah. Dakwah mereka adalah keberkahan yang dicintai oleh masyarakat Muslim seluruhnya. Ini adalah dakwah ilmiyah sedangkan dakwah-dakwah lainnya telah redup. Sekadar contoh, dakwah ikhwanul muslimin di Yaman telah redup. Demikian pula dengan para pendukung Abdurrahman Abdul Khaliq, pendukung Muhammad bin Surur, Jamaah Jihad, dan lain-lainnya. Mereka sudah tidak punya kenangan lagi. Memang masih tersisa sedikit pengikut Sururiyin, hal ini karena kemunculan mereka memang belakangan. Setiap yang baru memang mempunyai kelezatan tersendiri dan sebentar lagi akan terbongkarlah hakikat mereka.

Sehingga yang tinggal bagi umat hanyalah dakwah Ahlus Sunnah yang berumur panjang. Ahlus Sunnah telah menelan masa berabad-abad, tetapi tetap langgeng tidak binasa seperti bulan. Ada yang mengatakan :Telah lewat berabad-abad namun senantiasa nampak kepada kami dengan wajah muda belia.

Ini yang bisa aku sampaikan. Wallhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

16 Rajab 1420 H.

Abdul Aziz bin Yahya Al Bura’i

PO. Box. 94 Mafriq Jaisy, Yaman.

(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al ‘Udaini, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=630

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Menggugat Emansipasi Wanita

Posted on 6 Mei 2010. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , |

Musuh-musuh Islam dari abad ke abad telah berusaha merusak akhlaq ummat Islam, sebab jika mereka berhasil merusak akhlaq ummat, maka mereka akan mudah merusak aqidah ummat. Mereka selalu membuat opini dan gambaran bahwa mereka (walaupun durhaka & kafir) adalah orang-orang maju. Sedang kaum muslimin yang berpegang teguh dengan ajarannya adalah orang-orang terbelakang dan marginal (pinggiran)!!

Musuh-musuh Islam –utamanya Yahudi & Nasrani- selalu mencari jalan untuk menjauhkan ummat dari agamanya sampai akhirnya kafir alias murtad. Allah berfirman saat membongkar dan menampakkan isi hati mereka di dalam Al-Qur’an,

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah, itulah petunjuk (yang benar)”. Dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al-Baqoroh : 120)

Diantara obyek yang paling mereka perangi adalah kaum wanita. Mereka paham bahwa jika wanita rusak, maka kaum lelaki akan terpengaruh. Sebab wanita adalah fitnah (pengaruh) dahsyat dalam menyeret kaum lelaki dalam kemaksiatan dan penyimpangan. Inilah yang disinyalir oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau. Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai kholifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Lantaran itu, waspadailah dunia, dan waspadailah wanita, sebab awal fitnah (masalah) di kalangan Bani Isra’il adalah pada wanita”. [HR. Muslim dalam Adz-Dzikr wa As-Du’a’ (no.6883)]

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ

“Aku tidak meninggalkan fitnah (masalah) yang lebih besar atas kaum lelaki setelahku dibandingkan wanita”. [HR. Al-Bukhoriy dalam An-Nikah (no. 5096), dan Muslim dalam Adz-Dzikr wa Ad-Du’a’ (no. 7880 & 6881)]

Ahli Hadits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarofuriy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sebab yang menjadikan wanita sebagai fitnah (ujian) terbesar bagi kaum laki-laki, “Sebab tabiat manusia seringnya condong kepada wanita, dan manusia terjerumus ke dalam perkara yang haram gara-gara wanita. Manusia melakukan perang dan permusuhan karena wanita. Minimalnya wanita mendorong seseorang untuk cinta dunia. Nah, kerusakan apakah yang lebih berbahaya daripada ini (cinta dunia)?” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (7/89)]

Wanita adalah ujian terbesar bagi kaum lelaki sehingga telah tercatat dalam sejarah bahwa sebagian masalah yang timbul karena berawal dari wanita, seperti perang kabilah, perang antar negara, putusnya hubungan antara seorang dengan orang lain, karena wanita. Tersebarnya kebiasaan-kebiasaan keji (zina), karena pengaruh wanita. Fitnah wanita di zaman ini semakin merajalela dan menjadi-jadi dengan adanya emansipasi dalam segala lini dan sudut kehidupan. Para wanita telah keluar dari rumah kemuliaan dan kesuciannya dengan penuh gejolak keluar menuju jurang kehancuran dan kenistaan, sehingga kita tak akan menemukan sebuah kantor, kecuali diisi oleh wanita. Kita tak akan menemukan suatu lapangan pekerjaan, selain berderet di dalamnya wanita-wanita yang tak punya malu sampai kita akan tertawa dengan sinis diiringi oleh kesedihan ketika melihat para wanita kita menjadi pajangan untuk memuaskan syahwat terlaknat kaum lelaki; menjadi penarik etalase dan jualan; menjadi bulan-bulanan oleh para lelaki berhidung belang; menjadi pemain bola dan pesilat, bahkan jadi pegulat!!? Panti-panti pijat dan panti maksiat lainnya pun tak lepas dari wanita yang menjadi obyek. Sungguh memalukan nasib kaum wanita di zaman emansipasi ini.

Dahulu wanita menjadi manusia terhormat dan terjaga di dalam Islam, yakni di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in dan seterusnya. Lihatlah bagaimana Allah memuliakan para wanita dengan syari’at jilbab dan cadar dalam firman-Nya,

“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab : 59)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33)

Para wanita mukminah diperintahkan agar tetap di rumah; Wanita keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’. Demikianlah demi menjaga kesucian dan kehormatan seorang wanita, bukan sebagai kungkungan dan pemenjaraan sebagaimana yang digambarkan dan disebarkan oleh orang-orang munafiq di zaman ini. Wanita-wanita mukminah harus bersabar dalam melazimi rumahnya demi memelihara kesucian, dan sifat malunya. Mereka pun jika keluar karena ada hajat mendesak, maka mereka keluar dengan adab dan akhlaq Islam, yakni tetap menggunakan hijab dan jilbab syar’iy yang menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab ini sifatnya longgar (tidak ketat), dan tebal (tidak transrapan atau tipis), tidak mengundang perhatian kaum lelaki, dan tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir atau kaum laki-laki. Inilah tips yang harus dilakukan oleh para wanita muslimah untuk membentengi dirinya dari serangan dan permainan orang-orang kafir. Seorang wanita harus memakai jilbab seperti ini. Jika tidak, maka ia akan tergolong wanita yang ber-tabarruj (bersolek) ala jahiliah.

Perhatian: Sebagian wanita-wanita muslimah hari ini banyak memakai jilbab. Hanya disayangkan bahwa mereka tidak memakai jilbab syar’iy. Kebanyakan mereka memakai jilbab moderen yang pendek, lalu dipasangkan dengan pakaian ketat dan celana. Ini bukanlah jilbab syar’iy yang dianjurkan oleh agama, bahkan cara berpakaian seperti itu tercela. Inilah yang diistilahkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan “berpakaian, tapi telanjang”. JILBAB SYAR’IY ialah sejenis jilbab besar lagi panjang dan lapang, dapat menutup kepala, muka dan dada hingga terseret ke tanah. Lalu di bawahnya ada jilbab kecil, dan pakaian gamis panjang hingga menutupi kaki. Inilah jilbab syar’iy yang ditinggalkan oleh para wanita muslimah, kecuali yang dirahmati Allah -Azza wa Jalla-. Memang asing, tapi itulah yang syar’iy!!

Para pembaca yang budiman, Jika seorang wanita keluar dari peraduannya, lalu keluar mencari pekerjaan, padahal masih ada yang menanggung hidup dan hajatnya, maka disinilah setan akan memulai makar dan aksinya. Jabir -radhiyallahu anhu- berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melihat seorang wanita, lalu beliau mendatangi istrinya, Zainab sedang ia menyamak kulit miliknya. Beliau menyelesaikan hajatnya (berjimak), lalu keluar menuju para sahabatnya seraya bersabda,”Sesungguhnya wanita datang dalam rupa setan, dan pergi dalam rupa setan. Jika seorang diantara kalian melihat seorang wanita yang mengagumkan (tanpa sengaja, pent.), maka hendaknya ia mendatangi (berjimak dengan) istrinya, karena hal itu akan menolak sesuatu (berupa syahwat) yang terdapat pada dirinya”. [HR. Muslim (no.3393), Abu Dawud (no.2151), dan At-Tirmidziy (no.1158)]

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata menjelaskan dan meluruskan pemahaman tentang hadits ini, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyerupakan wanita dengan setan dalam sifat waswasah (memberikan bisikan), dan menggelincirkan orang, karena melihat wanita dari segala sisi adalah pengundang menuju kerusakan”. [Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (6/148-149), cet. Darul Fikr, 1415 H]

Seorang ulama’ Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ulama berkata, “Jadi, wanita itu serupa dengan setan dalam mengajak kepada kejelekan dengan bisikan dan penghias-hiasannya terhadap kejelekan. Diambil sebuah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi seorang wanita agar jangan keluar diantara kaum lelaki, kecuali ada hajat mendesak, dan bahwa seyogyanya kaum lelaki menundukkan pandangan dari melihat pakaiannya, dan memalingkan pandangan darinya secara mutlak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (9/181)]

Demikianlah para wanita di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Mereka dimuliakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Mereka menganjurkan para wanita agar tetap berada di rumahnya dalam beraktifitas demi menjaga kesucian dirinya. Beliau tidaklah memerintahkan para wanita keluar dan bekerja di luar rumah, kecuali ada hajat mendesak. Sebab keluarnya para wanita untuk bekerja di sekitar kaum lelaki akan menimbulkan berbagai macam problema sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Munculnya berbagai macam pelanggaran sosial berupa prostitusi, selingkuh, zina, pacaran, hubungan gelap, keretakan rumah tangga, pembunuhan, peperangan, permusuhan, dan sederet kemaksiatan. Seringnya dilatari karena problema yang berkaitan dengan wanita. Banyaknya pengangguran di kalangan kaum lelaki yang pada gilirannya menyebabkan banyaknya wanita-wanita menjadi perawan tua, dan lelaki dewasa yang melajang, karena lapangan pekerjaannya “direbut” oleh kaum wanita. Akibatnya kaum lelaki yang tipis agama memilih pintu belakang yang tidak syar’iy alias haram!! Sebaliknya kaum wanita hidup melajang, tanpa pelindung dan penghibur baginya. Ketika itulah wanita hanya bisa gigit jari dan melamun menunggu sang dambaan tak kunjung datang, karena kantong lagi kering alias miskin akibat sempitnya lapangan pekerjaan yang diisi oleh para wanita yang berseliweran bagaikan semut mengelilingi gula. Nas’alullahal afiyah was salamah min fitnatin nisaa’.

Dahulu para wanita kita berhias dengan sifat malu. Namun kini tinggal kenangan saja sejak mereka tertipu dengan propaganda emansipasi yang menghasung mereka untuk keluar dari rumah demi mencari kerja, demi menyaingi kaum lelaki yang selama ini menurut sangkaan mereka yang dusta bahwa kaum lelaki telah melakukan monopoli, menzhalimi hak kaum wanita, wanita dikerangkeng dan diborgol, dan berbagai macam propaganda dan panah kedustaan yang diarahkan kepada Islam yang seakan mengajari ummatnya untuk menzhalimi kaum wanita. Padahal tidaklah demikian, bahkan Islam menjunjung tinggi hak para wanita.

Derajat mereka amat tinggi dalam Islam. Kini sejak mereka meninggalkan petunjuk agamanya, para wanita muslimah turun ke derajat paling rendah. Kini dipermainkan kehormatannya, dan dijadikan barang murahan dengan iming-iming maya dan pujian semu lagi menipu. Kondisi paling jorok dan hina dalam sejarah kaum feminis, kaum wanita dijadikan “bintang” (baca: binatang) dalam TV, majalah, koran atau tabloid dengan penampilan buka-bukaan dan memancing birahi hewani. Mereka bangga dengan kehinaan dan kejorokan seperti ini. Maka maraklah kegiatan setan yang disebut dengan “PORNO AKSI” dan “PORNOGRAFI”. Lebih bejat lagi, ada sebagian orang yang berotak comberan berusaha melegitimasi dan mendukung program bejat itu dengan berbagai macam dalih dan wangsit setan ketika ada yang mengingkarinya. Na’udzu billah minasya syaithon wa junudih.

Itulah realita yang terjadi di negeri kita; ada sekelompok manusia mengusung dan memperjuangkan emansipasi zhalim tersebut demi merusak ummat Islam. Mereka mewahyukannya kepada teman-teman, dan bala tentara mereka untuk memusuhi petunjuk para nabi. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.(QS. Al-An’aam: 112)

Inilah sebuah unek-unek yang mengganjal hati seorang pencinta ummat. Semoga kalimat yang ringkas ini menjadi teguran, dan peringatan bagi semua pihak agar bisa mengentaskan ummat yang berada dalam keterpurukan akhlaq dan agama menuju pangkuan Islam yang penuh kesucian. Nas’alullahal afiyah was salamah wa anyahdiyanaa ilaa sawaa’is sabil.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 120 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/menggugat-emansipasi.html

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Amrozi cs & yang semisal dengan mereka BUKAN MATI SYAHID!

Posted on 28 November 2008. Filed under: Khawarij | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Eksekusi ‘Syahid’?

Pelaksanaan eksekusi pada hari Ahad dini hari tanggal 9 November 2008 M atas tiga aktor bom Bali I, Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas, mengundang perhatian banyak kalangan dari seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya nasional bahkan internasional. Hal inilah yang mengundang mereka berkomentar, baik atas pelaksanaan eksekusi tersebut maupun atas kematian mereka dengan eksekusi itu, kontroversipun terjadi, sebagian pihak menyanjung mereka, sebagian pihak membenarkan hukuman eksekusi tersebut, sementara yang lain menentangnya. Kontroversi semacam ini terjadi karena masing-masing menilai dari sudut pandang yang berbeda, sehingga wajar saja kalau mereka berselisih pendapat, karena dasar berpendapatnya saja berbeda.

Sayang, tak sedikit dari umat Islam dengan status sosial yang berbeda-beda, turut pula ramai-ramai ikut andil berkomentar dalam peristiwa ini. Mereka tidak memandangnya dari sudut pandang ajaran Islam yang murni, bahkan cenderung menggunakan perasaan, apakah dengan perasaan kasihan, atau sebaliknya semata-mata dengan perasaan benci dan marah, sehingga muncullah hasil yang berbeda karena berlandaskan perasaan yang berbeda. Sebagian lagi membubui penilaiannya dengan pengetahuan tentang ajaran Islam yang minim dan yang sudah tercampur dengan gaya berpikirnya para korban eksekusi, sehingga tak segan-segan memastikan mereka sebagai syahid, pahlawan, pasti senang di surga, di sorga dibawa oleh burung hijau, disambut para bidadari dan pujian-pujian semacam itu.

Tak pelak lagi, kejadian-kejadian paska pelaksanaan sampai pada penguburan-pun dikait-kaitan dengan vonis ‘kebahagiaan’ di atas, ada yang bilang bahwa jenazahnya wangi, mukanya tersenyum, cuaca mendadak menjadi mendung, disambut burung belibis hitam – yang diartikan bidadari menjelang penguburan pertanda jenazah mereka diterima Allah – dan hal-hal semacam itu. Bahkan lebih parah, sebelum pelaksanaan eksekusi pun sudah dikomentari bahwa mereka bakal dapat bidadari. Subhanallah…

Sekilas saya membaca komentar-komentar semacam itu, membuat saya terpanggil untuk menulis makalah ini, tak lain tujuannya adalah untuk berupaya meluruskan cara berpikir kaum muslimin sehingga tidak bermudah-mudahan untuk mengeluarkan vonis positif atau negatif, terlebih dalam urusan semacam ini yang lebih sarat dengan urusan ghaib, urusan akhirat yang hanya di sisi Allah Ta’ala sajalah pengetahuannya.

Ya, tak sedikit mereka yang telah menjadi korban ‘komentar tanpa ilmu’, sehingga jangan dianggap angin lalu. Semua ucapan yang kita ucapkan dicatat oleh para malaikat dan menjadi dokumen pribadi kita, untuk kemudian akan kita pertanggung jawabkan di sisi Allah Ta’ala kelak.
مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir [Qoof:18]

Perlu dicamkan, bahwa urusan nasib seseorang di akhirat itu bukan urusan kita, bahkan itu urusan ghaib yang hanya Allah Yang Maha Tahu yang memiliki pengetahuan tentangnya. Sehingga seseorang yang mengatakan bahwa mereka itu syahid, berarti ia – tanpa ilmu – telah menvonisnya pasti masuk ke dalam surga, ya, pasti tanpa ilmu, karena hanya Allah Ta’ala sajalah yang mengetahui nasib mereka dia akhirat kelak.

Wahai kaum muslimin, kita mesti mengingat firman Allah Ta’ala:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [Al-Isra’:36]

Janganlah karena dorongan emosional, lalu kita berbicara tanpa ilmu yang berakibat mencelakakan kita sendiri.

Dahulu di zaman Nabi sempat muncul beberapa kejadian yang membuat sebagian sahabat mengeluarkan vonis kebahagiaan di akhirat kepada beberapa sahabat yang lain, namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menampik persaksian mereka itu, karena hal semacam ini tidak ada yang tahu termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalaulah tanpa berita wahyu dari langit Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengetahui.

Suatu ketika seorang sahabat mulia Utsman bin Madz’un meninggal dunia, segeralah seorang wanita mempersaksikan baginya kemuliaan di Akhirat, namun dengan segera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menukas persaksiannya. Kisah berharga tersebut termaktub dalam kitab Shahih Al-Bukhari, bahwa seorang wanita bernama Umul ‘Ala, wanita Anshor yang pernah berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkisah bahwa saat itu dibagikan undian orang-orang muhajirin, maka kami mendapatkan bagian Utsman bin Madz’un sehingga kami menempatkannya di rumah kami, tapi ia dirundung sakitnya yang menyebabkan kematiannya, maka ketika beliau wafat dan dimandikan lalu dikafani dengan kain kafannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, aku-pun mengatakan,
رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لقد أَكْرَمَكَ الله
“Rahmat Allah atas dirimu wahai Abu Saib (Utsman bin Madz’un), persaksianku terhadap dirimu bahwa Allah telah memuliakan dirimu”, maka serta merta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وما يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ أَكْرَمَهُ فقلت بِأَبِي أنت يا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ الله فقال أَمَّا هو فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ والله إني لَأَرْجُو له الْخَيْرَ والله ما أَدْرِي وأنا رسول اللَّهِ ما يُفْعَلُ بِي قالت فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“Darimana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya”. Akupun mengatakan, ”Ayahku sebagai tebusanmu Wahai Rasulullah, lalu siapa yang Allah muliakan?” Rasulullah menjawab: ”Adapun dia maka telah datang kematiannya, demi Allah aku benar-benar berharap untuknya kebaikan, demi Allah saya sendiri tidak tahu -padahal aku ini adalah utusan Allah- apa yang nantinya akan diperlakukan terhadap diriku”. Umul ‘Ala mengatakan: Demi Allah aku tidak lagi memberikan tazkiyah (persaksian baik) setelah itu selama-lamanya.

Coba renungi kisah ini, siapakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, siapakah Utsman bin Madz’un dan siapakah Umul ‘Ala.

Adapun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sudah jelas bagi kita siapakah beliau, adapun Utsman bin Madz’un maka beliau termasuk orang–orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqunal awwalun) Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang ke 14 dalam masuk Islam, beliau ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama anaknya, beliau termasuk pasukan perang Badar. Demikian biografinya sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam kitab al-Ishabah. Ummu ‘Ala sendiri adalah Shahabiyyah (sahabat wanita) yang mulia periwayat hadits Nabi, dan salah seorang wanita yang berbai’at kepada Nabi, siap untuk tunduk patuh kepada titahnya.

Marilah kita renungkan, seorang wanita mulia bersaksi atas kebahagiaan seorang lelaki yang hidupnya penuh dengan perjuangan besar, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan persaksiannya, lebih daripada itu, beliau tegaskan bahwa beliau sendiri sebagai seorang Rasul tidak mengetahui nasib dirinya.
Sementara di waktu lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga pernah bersaksi atas kebahagiaan di akhirat untuk seorang anak kecil yang meninggal dunia. Diriwayatkan sbb :
عن عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قالت دُعِيَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إلى جَنَازَةِ صَبِيٍّ من الْأَنْصَارِ فقلت يا رَسُولَ اللَّهِ طُوبَى لِهَذَا عُصْفُورٌ من عَصَافِيرِ الْجَنَّةِ لم يَعْمَلْ السُّوءَ ولم يُدْرِكْهُ قال أَوَ غير ذلك يا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ لِلْجَنَّةِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لها وَهُمْ في أَصْلَابِ آبَائِهِمْ وَخَلَقَ لِلنَّارِ أَهْلًا خَلَقَهُمْ لها وَهُمْ في أَصْلَابِ آبَائِهِمْ
Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata bahwa Rasulullah pernah diminta untuk menyolati jenazah seorang anak dari Al-Anshor, maka aku katakan: ”Wahai Rasulullah beruntung anak ini, (ia menjadi seekor) burung ushfur dari burung-burung ushfur di dalam Surga, ia belum berbuat kejelekan sama sekali dan belum menjumpainya. ” Nabi menjawab: ”Atau (bahkan) selain itu, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menciptakan untuk surga penghuninya, Allah ciptakan mereka untuk surga sejak mereka berada pada tulang sulbi ayah-ayah mereka, dan Allah menciptakan untuk neraka penghuninya Allah menciptakan mereka sejak mereka dalam tulang sulbi ayah-ayah mereka. ” [Shahih HR Muslim]

Ya, seorang bocah yang masih suci belum melakukan kejelekan dan belum menjumpainya sebagaimana tutur Aisyah, dan ia adalah seorang anak sahabat Anshor sehingga ‘Aisyah-pun bersaksi atas kebahagiaannya. Ternyata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menegur ‘Aisyah atas persaksiannya, mengapa? Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri waktu itu belum tahu tentang nasib anak-anak muslim itu. Ulama yang lain mengatakan –atas dasar bahwa anak muslim nantinya bakal di surga dan itu telah disepakati ulama– bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melarang ‘Aisyah untuk terburu-buru memastikan sesuatu tanpa ada dalil yang pasti. Hal itu karena ini adalah urusan ghaib, urusan akhirat yang hanya di Tangan Allah dan manusia tidak tahu-menahu tentangnya.

Bahkan dalam kejadian lain, di sebuah perjalanan peperangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa sahabat sempat memvonis surga bagi seseorang yang mati di sela-sela perjalanan itu, diriwayatkan,
عن أبي هُرَيْرَةَ قال خَرَجْنَا مع النبي صلى الله عليه وسلم إلى خَيْبَرَ فَفَتَحَ الله عَلَيْنَا فلم نَغْنَمْ ذَهَبًا ولا وَرِقًا غَنِمْنَا الْمَتَاعَ وَالطَّعَامَ وَالثِّيَابَ ثُمَّ انْطَلَقْنَا إلى الْوَادِي وَمَعَ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَبْدٌ له وَهَبَهُ له رَجُلٌ من جُذَامَ يُدْعَى رِفَاعَةَ بن زَيْدٍ من بَنِي الضُّبَيْبِ فلما نَزَلْنَا الْوَادِي قام عبد رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَحُلُّ رَحْلَهُ فَرُمِيَ بِسَهْمٍ فَكَانَ فيه حَتْفُهُ فَقُلْنَا هَنِيئًا له الشَّهَادَةُ يا رَسُولَ اللَّهِ قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَلَّا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيده إِنَّ الشَّمْلَةَ لَتَلْتَهِبُ عليه نَارًا أَخَذَهَا من الْغَنَائِمِ يوم خَيْبَرَ لم تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ قال فَفَزِعَ الناس فَجَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أو شِرَاكَيْنِ فقال يا رَسُولَ اللَّهِ أَصَبْتُ يوم خَيْبَرَ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شِرَاكٌ من نَارٍ أو شِرَاكَانِ من نَارٍ
Dari Abu Hurairah ia berkata: Kami keluar bersama Nabi menuju ke Khaibar, maka Allah memenangkan kami, dan kami tidak mendapat rampasan perang berupa emas, ataupun perak, tapi kami mendapatkan rampasan berupa barang-barang, makanan dan pakaian. Lalu kami beranjak ke sebuah lembah, dan bersama Rasulullah seorang budak, beliau diberi oleh seorang dari bani Judzam, panggilannya Rifa’ah bin Zaid dari bani Dhobib, maka ketika kami singgah di lembah itu budak tersebut bangkit untuk melepaskan bawaan tunggangannya, ternyata dia dilempar panah sehingga itu menjadi sebab kematiannya, kamipun mengatakan: “Berbahagialah dia dengan pahala syahid, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan: “Sekali-kali tidak, demi yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya kainnya akan menyalakan api padanya, ia mengambilnya dari rampasan perang pada perang Khaibar dan belum dibagi.” Abu Hurairah berkata: ”Maka orang-orang sangat takut sehingga ada seorang yang menyerahkan satu tali sandal atau dua tali sandal dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami mendapatkannya pada perang Khaibar,” maka Rasulullah bersabda: “Satu atau dua tali sandal dari neraka.”. ”
Para sahabat mempersaksikan kesyahidan untuk budak tersebut, budak yang membantu Nabi, berjuang bersama beliau, meninggal dalam perjalanan perang yang tentu semuanya itu sebenarnya adalah jihad fi sabilillah. Namun dengan tegas Nabi membantah persaksian mereka, bahkan diiringi dengan sumpah dengan nama Allah, dan bahwa pelanggarannya berupa mencuri selembar kain sebelum dibagi-bagikan menghalanginya untuk mendapatkan kemuliaan syahid, ya, hanya karena selembar kain yang dia curi…
Yang lebih membuat tercengang para sahabat adalah peristiwa lain dimana Nabi bersaksi neraka terhadap seseorang yang berjuang keras dalam berjihad. Imam Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْتَقَى هُوَ وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا ، فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِلَى عَسْكَرِهِ ، وَمَالَ الآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ ، وَفِى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلٌ لاَ يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً وَلاَ فَاذَّةً إِلاَّ اتَّبَعَهَا يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ ، فَقَالَ مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا أَجْزَأَ فُلاَنٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ » (( وفي رواية فقالوا أينا من أهل الجنة إن كان هذا من أهل النار )) فقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ . قَالَ فَخَرَجَ مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ قَالَ فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ بِالأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى سَيْفِهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ . قَالَ « وَمَا ذَاكَ » . قَالَ الرَّجُلُ الَّذِى ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ . فَقُلْتُ أَنَا لَكُمْ بِهِ . فَخَرَجْتُ فِى طَلَبِهِ ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا شَدِيدًا ، فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِى الأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ ، فَقَتَلَ نَفْسَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عِنْدَ ذَلِكَ « إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ ، وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Dari Sahl bin Sa’ad ia mengatakan: Bahwa Rasulullah bertemu dengan orang-orang musyrik sehingga mereka saling menyerang, maka tatkala Rasulullah menuju ke kampnya, dan yang lain juga menuju ke kamp mereka, sementara di antara para sahabat Nabi ada seseorang yang tidak membiarkan seorangpun (dari musyrikin-pent) yang lepas dari regunya kecuali dia kejar dan dia tebas dengan pedangnya. Akhirnya para sahabat mengatakan: “Tidaklah seorangpun dari kita pada hari ini mencukupi seperti yang dicukupi Fulan itu.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Sesungguhnya dia termasuk penduduk Neraka” (dalam sebuah riwayat): Maka para sahabat mengatakan: “Siapa diantara kita menjadi penghuni Al-Jannah, bila dia saja termasuk penghuni An-Nar ?”
Maka seseorang diantara orang-orang mengatakan: Aku akan menguntitnya terus. Iapun keluar bersamanya, setiap kali orang itu berhenti ia ikut berhenti, dan jika dia cepat iapun cepat. Ia berkisah: Lalu orang itu terluka dengan luka yang parah, maka ia ingin segera mati sehingga ia letakkan (gagang) pedangnya di bumi dan ujungnya di antara dua dadanya kemudian dia mengayunkan dirinya di atas pedangnya, sehingga iapun membunuh dirinya. Lalu orang yang menguntitnya itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengatakan: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah”. Beliau mengatakan: “Kenapa ?”, Ia menjawab: “Orang yang engkau sebutkan tadi bahwa dia termasuk penghuni Neraka.” Lalu orang-orang tercengang dengan hal itu. Maka aku katakan: “Aku (akan membuktikan) untuk kalian tentangnya. Maka aku keluar menguntitnya sampai ia terluka dengan luka yang parah maka ia ingin cepat mati, akhirnya ia letakkan gagang pedangnya di bumi dan ujungnya di antara dua dadanya, lalu ia ayunkan dirinya di atas pedangnya sehingga iapun membunuh dirinya.“ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang benar-benar beramal dengan amalan penghuni Al-Jannah -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Neraka. Dan sungguh seseorang beramal dengan amalan penghuni Neraka -yang nampak bagi manusia- sementara dia termasuk penghuni Al-Jannah.” [Shahih, HR Al-Bukhari dan Muslim]

Sungguh benar-benar mencengangkan, penjuangan yang begitu gigih dalam jihad di jalan Allah, dan membuat kocar-kacir musuh, ternyata perjuangannya menjadi tidak begitu berarti manakala ia melanggar agama, bunuh diri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah persaksian mereka, hal itu karena kita sebagai manusia, banyak hal yang terluputkan dari kita, kita tidak mengetahui hal yang tersembunyi, hanyalah Allah yang tahu akhir dari nasib seseorang.

Kiranya kejadian-kejadian di atas menjadi pelajaran penting bagi kita semuanya, para sahabat Nabi yang mulia dengan keilmuan dan keimanan mereka bersaksi atas para sahabat yang lain yang memenuhi hari-hari mereka dengan perjuangan dan pengorbanan, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mencegah mereka dari persaksian-persaksian tersebut, kenapa? Sekali lagi ini urusan ghaib yang hanya diketahui oleh Dzat Yang Maha Tahu urusan itu, Allah ‘Azza wa Jalla.

Atas dasar itu, maka menjadi keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mereka saling-mewarisi dan mewariskan dari sejak zaman Nabi hingga kini, bahwa kita tidak bisa memastikan seorangpun secara tertentu dari muslimin bahwa dia akan masuk Surga karena sebuah amalan tertentu. Tentu saja, kepastian atas mereka yang kita peroleh informasinya dari wahyu ilahi, semacam Al-‘Asyroh Al-Mubasyraruna bil Jannah ‘, sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga’, diantaranya khalifah yang empat, atau yang semacam mereka.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang digelari Imam Ahlussunnah, karena kegigihannya dalam memperjuangkan Aqidah, mengatakan:
لا نشهد على أهل القبلة بعمل يعمله بجنة ولا نار نرجو للصالح ونخاف عليه ونخاف على المسيء المذنب ونرجو له رحمة الله
Dan kami tidak bersaksi atas ahlul qiblah (yakni muslimin) karena sebuah amalan yang dia amalkan bahwa ia pasti masuk surga atau neraka, kami berharap baik bagi seorang yang shaleh tapi kami tetap khawatir padanya, dan kami khawatir terhadap mereka yang berbuat jelek, tapi kami tetap mengharap rahmat Allah padanya. [Ushulus Sunnah]

Imam Ahmad yang merasakan pahit getirnya kejahatan penguasa saat itu, penyiksaan, penjara, intimidasi dalam waktu kurang lebih 3 masa khalifah yaitu Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, itu semua karena memperjuangkan aqidah, hampir-hampir nyawa melayang karenanya.

Bahkan sudah melayang nyawa sekian ulama yang mendahului beliau saat itu, namun itu tidak membuat beliau larut dalam perasaan yang membawa kepada persaksian yang tidak benar, walaupun kesedihan terasa begitu mendalam dalam sanubari.

Tidak ketinggalan, Al Imam Al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari, yang sebagian ulama menyebutnya sebagai kitab yang paling Shahih setelah Kitabullah, oleh karenanya umat Islam menyambutnya dengan lapang dada, beliau meletakkan sebuah bab berjudul:
باب لاَ يَقُولُ فُلاَنٌ شَهِيدٌ
“TIDAK BOLEH SESEORANG MENGATAKAN FULAN SYAHID”
Lalu beliau menyebutkan riwayat :
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِى سَبِيلِهِ ، اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِى سَبِيلِهِ »
Abu Hurairah berkata dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: ”Allah lebih tahu siapakah yang (benar-benar) berjihad di jalan-Nya, Allah lebih tahu siapakah yang terluka di jalan-Nya. ”
Ibnu Hajar menerangkan: [Tidak boleh Mengatakan Fulan Syahid] yakni dengan memastikan hal itu kecuali dengan (berita) dari wahyu, seolah-olah beliau (Al-Bukhari) mengisyaratkan kepada hadits Umar bahwa beliau berkhutbah lalu mengatakan: “Kalian katakan dalam peperangan-peperangan kalian ‘fulan syahid’ dan ‘fulan mati syahid’, barangkali dia telah memberatkan kendaraannya, ketahuilah janganlah kalian mengatakan semacam itu akan tetapi katakanlah seperti yang dikatakan Rasulullah: “Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia syahid”. “ Dan itu hadits hasan Riwayat Ahmad dan Said bin Manshur dan selain keduanya.

Aqidah inipun ditegaskan oleh Ath-Thohawi dalam buku aqidahnya:
ونرجو للمحسنين من المؤمنين ان يعفو عنهم ويدخلهم الجنة برحمته ولا نأمن عليهم ولا نشهد لهم بالجنة ونستغفر لمسيئهم ونخاف عليهم ولا نقنطهم
Kami berharap untuk orang-orang yang berbuat baik dari mukminin untuk Allah ampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam Al-Jannah dengan rahmat-Nya dan kami tidak merasa aman atas mereka serta tidak bersaksi bahwa mereka pasti dapat surga. Kami juga memintakan ampun untuk orang-orang yang berbuat jelek dan kami khawatir atas mereka tapi kami tidak putus asa pada mereka.

Dan begitulah sifat seorang mukmin, ia tidak merasa aman tentram dengan amalnya, karena yakin pasti diterima, bahkan ia selalu merasa khawatir, jangan-jangan amalnya tidak diterima, Aisyah bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah ayat :
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan (yakni dari shodaqoh atau yang mereka amalkan dari amal shalih), dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. [Al-Mukminun:60]
“Apakah maksudnya adalah seorang yang berzina dan meminum khamr serta mencuri?“ Rasulullah menjawab: “Tidak wahai putri Ash-Shiddiq, akan tetapi itu adalah seseorang yang berpuasa shalat, bersedekah dan khawatir amalannya tidak diterima.” [HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Demi Allah mereka mengamalkan ketaatan serta bersungguh-sungguh padanya tapi mereka juga takut kalau amalnya ditolak, sesungguhnya seorang mukmin menyertakan antara perbuatan baik dan rasa khawatir, sementara seorang munafiq menggabung antara perbuatan jelek dan perasaan tenang.” [Lihat Syarh At-Thahawiyah]

Para pembaca yang saya hormati, jujur saja, apakah yang dilakukan Imam Samudra cs suatu amal kebaikan? Seandainyapun itu suatu amal kebaikan, maka itupun tetap tidak membolehkan kita untuk memastikan bahwa itu diterima, bahkan hanya bisa mengharap, lebih-lebih memastikan syahid dan dapat surga serta bidadarinya. Hal itu sebagaimana penjelasan Allah, Rasul dan para ulama, inilah hukum Islam, jika kita mau menegakkan hukum Islam. Tapi kalau ternyata apa yang dilakukannya adalah suatu amal kejelekan, maka ini dari jenis yang kita khawatirkan, bahkan kekhawatiran besar.

Apa sebenarnya yang mereka lakukan?
Mari kita melihat sejenak, mereka telah menyebabkan lenyapnya nyawa seorang muslim, mereka telah membunuh dan melukai ratusan orang kafir para wisatawan asing, mereka telah menghancurkan gedung, mereka telah mengangkat senjata, muslimin kerepotan menerima tuduhan serupa, dan menimbulkan rasa takut di masyarakat, dan beberapa hal lain dengan alasan jihad.

Saya tidak ingin membahas semuanya, namun saya hanya akan menyoroti beberapa hal, itupun dengan singkat, agar tidak keluar dari maksud tulisan ini.

Pertama, menyebabkan lenyapnya nyawa seorang muslim, nyawa muslim walaupun hanya satu orang, maka itu sangat berharga di sisi Allah Ta’ala. Maka tidak boleh melakukan tindak kejahatan terhadap jiwa muslim dan membunuhnya tanpa alasan/cara yang benar. Barangsiapa yang melakukan hal itu berarti telah melakukan salah satu dosa besar dari dosa-dosa besar, Allah berfirman:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [An-Nisa:93] dan berfirman:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءتْهُمْ رُسُلُنَا بِالبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيراً مِّنْهُم بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.[Al-Maidah:32]

Al-Imam Mujahid (seorang Tabi’in, Ahli Tafsir) mengatakan: (seperti membunuh semua manusia seluruhnya) “dalam hal dosanya”. Ini menunjukkan besarnya masalah membunuh jiwa tanpa cara/alasan yang benar, dan Nabi bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إلا الله وَأَنِّي رسول اللَّهِ إلا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada ilah yang benar selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari 3 perkara: pezina yang telah menikah, jiwa dengan jiwa, orang yang keluar dari agama meninggalkan jama’ah” [Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الناس حتى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رسول اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فإذا فَعَلُوا ذلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ على اللَّهِ
”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah yang benar melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, bila mereka melakukan hal itu, mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungannya nanti diserahkan kepada Allah”. [Muttafaqun’alaih dari hadits ibnu Umar]

Dan dalam sunan Nasa’i dari hadits Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ على اللَّهِ من قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
”Sungguh lenyapnya dunia bagi Allah lebih ringan dari terbunuhnya seorang muslim”. [Shahih, HR At-Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu majah dan yang lain Shohih At-Targhib:2439]
وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى الْبَيْتِ فَقَالَ مَا أَعْظَمَكَ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكَ وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكَ
Dan Abdullah Ibnu Umar suatu hari memandang ke Ka’bah seraya mengatakan:”Betapa agungnya engkau dan betapa agungnya kehormatan engkau, tetapi seorang mukmin lebih besar kehormatannya disisi Allah dari pada engkau” [Shahih lighoirihi, HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, Shohih At-Targhib:2441]

Kedua, membunuh jiwa mu’ahad (orang-orang kafir yang memiliki perjanjian damai atau keamanan), diantara mereka adalah para wisatawan asing tersebut

Dari Abdullah bin ‘Amr bn Al-Ash dari Nabi shallallahu`alaihi wa sallam ia bersabda:
من قَتَلَ مُعَاهَدًا لم يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ من مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
”Barangsiapa yang membunuh Mu’ahad maka ia tidak mendapatkan bau surga padahal baunya dapat dicium dari jarak perjalanan 40 tahun” [HR Al-Bukhori dan Ibnu Majah]

Dan siapa saja yang dimasukkan oleh penguasa muslim dengan perjanjian aman maka jiwa dan hartanya juga terlindungi, tidak boleh menyentuhnya dan barangsiapa yang membunuhnya maka maka dia seperti yang disabdakan Nabi shallallahu`alaihi wa sallam…”tidak akan mendapat bau surga”, dan ini adalah ancaman yang keras bagi orang yang mencoba membunuh orang yang berada dalam perjanjian aman.
Maksudnya siapa saja yang masuk dengan perjanjian aman dari penguasa untuk kepentingan suatu maslahat yang dia pandang, maka tidak boleh mengganggunya atau bertindak jahat terhadapnya, apakah kepada jiwanya atau hartanya.

Ketiga, melakukan kerusakan di muka bumi, dengan menimbulkan ketakutan melalui aksi terornya, Allah berfirman:
إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. [Al-Maidah:33]

Ibnu Katsir mengatakan: kata Muharobah (memerangi) artinya melawan dan menyelisihi dan kata ini tepat diberikan kepada kekafiran atau qoth’u toriiq (penyamun jalanan) serta yang menakut-nakuti manusia dengan kejahatnnya di jalanan, demikian pula kata ‘merusak di bumi’ di berikan kepada berbagai macam kejahatan dan kejelekan. [Tafsir Al-Quran Al-Adhim:2/50]

Demikian pula kesimpulan Asy-Syaukani tentang makna ‘kerusakan di muka bumi’: Dan telah diperselisihkan tentang makna kerusakan di muka bumi dalam ayat ini, apakah itu? maka dikatakan dalam sebuah pendapat bahwa itu ‘syirik’. Dikatakan dalam pendapat lain bahwa itu ‘merampok atau mengganggu dengan kejahatan di jalan’, dan yang tampak dari susunan kalimat Al-Quran bahwa kata itu tepat untuk semua yang dapat disebut sebagai kerusakan di bumi, sehingga syirik adalah kerusakan di bumi, melakukan kejahatan di jalan juga kerusakan di bumi, menumpahkan darah dan merenggut kehormatan dan merampok harta juga kerusakan di muka bumi. Serta berbuat jahat terhadap hamba Allah tanpa alasan yang benar juga kerusakan di bumi, menghancurkan bangunan menebang pepohonan dan juga mengeringkan sungai juga kerusakan di bumi, dengan ini engkau tahu dengan tepat untuk menyebut ini semua sebagai kerusakan di bumi…[Tafsir Fathul Qadir]

Maka dari itu, siapapun yang melakukan kejahatan sebagaimana kriteria dia atas maka ia berhak mendapatkan hukuman yang Allah sebutkan dalam ayat yaitu, dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya secara menyilang atau diasingkan. Hal itu disesuaikan dengan besar kecilnya kejahatan yang dia lakukan setelah dipelajari dan terbukti kejahatannya, hukuman tersebut ditetapkan karena besarnya kejahatan yang dilakukan sehingga Allah menyebutnya sebagai peperangan terhadap Allah dan Rasul terutama bila diantara korbannya adalah muslimin.

Dilihat dari tiga masalah ini saja, maka tampak bahwa apa yang mereka (trio bomber dkk, red) lakukan bukanlah masalah sepele, bahkan merupakan ‘kejahatan kriminal yang amat besar’. Maka hukuman Hirobah-lah yang pantas bagi mereka menurut hukum Islam, seperti yang tersebut dalam surat Al-Maidah di atas, bila mereka konsekuen dengan tuntutan syari’at Islam, maka inilah syariat Islam bagi para pelaku kejahatan semacam ini.

Dari pemaparan secara singkat di atas, maka sangat keliru, bahkan salah besar, ketika seseorang berani memvonis surga atau syahid untuk mereka dengan amalan tersebut. Dan kesalahan vonis ini bukan hanya untuk mereka, bahkan untuk siapapun, kecuali bila ada wahyu ilahi yang menerangkan kepada kita bahwa seseorang syahid atau pasti masuk surga.

Maka berhati-hatilah, wahai kaum muslimin, untuk bicara tanpa ilmu !

Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawab.

Diambil dari: http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1365

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Surat An-Nisa`, Satu Bukti Islam Memuliakan Wanita

Posted on 11 September 2008. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Berbekal pengetahuan tentang Islam yang tipis, tak sedikit kalangan yang dengan lancangnya menghakimi agama ini, untuk kemudian menelorkan kesimpulan-kesimpulan tak berdasar yang menyudutkan Islam. Salah satunya, Islam dianggap merendahkan wanita atau dalam ungkapan sekarang ‘bias jender’. Benarkah?

Sudah kita maklumi keberadaan wanita dalam Islam demikian dimuliakan, terlalu banyak bukti yang menunjukkan kenyataan ini. Sampai-sampai ada satu surah dalam Al-Qur`anul Karim dinamakan surah An-Nisa`, artinya wanita-wanita, karena hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita lebih banyak disebutkan dalam surah ini daripada dalam surah yang lain. (Mahasinut Ta`wil, 3/6)

Untuk lebih jelasnya kita lihat beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang berbicara tentang wanita.

1. Wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.

Surah An-Nisa` dibuka dengan ayat:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (An-Nisa`: 1)

Ayat ini merupakan bagian dari khutbatul hajah yang dijadikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka khutbah-khutbah beliau. Dalam ayat ini dinyatakan bahwa dari jiwa yang satu, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pasangannya. Qatadah dan Mujahid rahimahumallah mengatakan bahwa yang dimaksud jiwa yang satu adalah Nabi Adam ‘alaihissalam. Sedangkan pasangannya adalah Hawa. Qatadah mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Tafsir Ath-Thabari, 3/565, 566)

Dalam hadits shahih disebutkan:

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kebengkokan akhlak dan lemahnya akal mereka. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam.”(Al-Minhaj, 9/299)

2. Dijaganya hak perempuan yatim.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku1. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya. Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)

Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

3. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

4. Hak memperoleh mahar dalam pernikahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

5. Wanita diberikan bagian dari harta warisan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa`: 7)

Sementara di zaman jahiliah, yang mendapatkan warisan hanya lelaki, sementara wanita tidak mendapatkan bagian. Malah wanita teranggap bagian dari barang yang diwarisi, sebagaimana dalam ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa`: 19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan, “Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)

Maksud dari ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)

Bila ada yang mempermasalahkan, kenapa wanita hanya mendapatkan separuh dari bagian laki-laki seperti tersebut dalam ayat:

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُنْثَيَيْنِ

“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….” (An-Nisa`: 11)

Maka dijawab, inilah keadilan yang sesungguhnya. Laki-laki mendapatkan bagian yang lebih besar daripada wanita karena laki-laki butuh bekal yang lebih guna memberikan nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Laki-laki banyak mendapatkan beban. Ia yang memberikan mahar dalam pernikahan dan ia yang harus mencari penghidupan/penghasilan, sehingga pantas sekali bila ia mendapatkan dua kali lipat daripada bagian wanita. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/160)

6. Suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.”2 (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)

7. Suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ (“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (Al-Minhaj, 10/58)

8. Bila seorang suami bercerai dengan istrinya, ia tidak boleh meminta kembali mahar yang pernah diberikannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا. وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 20-21)

9. Termasuk pemuliaan terhadap wanita adalah diharamkan bagi mahram si wanita karena nasab ataupun karena penyusuan untuk menikahinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi/ saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi/ saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kandung kalian (menantu)…” (An-Nisa`: 23)

Diharamkannya wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat di atas untuk dinikahi oleh lelaki yang merupakan mahramnya, tentu memiliki hikmah yang agung, tujuan yang tinggi yang sesuai dengan fithrah insaniah. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Di akhir ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“(Diharamkan atas kalian) menghimpunkan dalam pernikahan dua wanita yang bersaudara, kecuali apa yang telah terjadi di masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa`: 23)

Ayat di atas menetapkan bahwa seorang lelaki tidak boleh mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam ikatan pernikahan karena hal ini jelas akan mengakibatkan permusuhan dan pecahnya hubungan di antara keduanya. (Takrimul Mar`ah fil Islam, Muhammad Jamil Zainu, hal. 16)

Demikian beberapa ayat dalam surah An-Nisa` yang menyinggung tentang wanita. Apa yang kami sebutkan di atas bukanlah membatasi, namun karena tidak cukupnya ruang, sementara hanya demikian yang dapat kami persembahkan untuk pembaca yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi taufik.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena ibu ‘Urwah, Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma adalah saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.

2 HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1282

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Mengirim Pahala Bacaan Al Qur’an Untuk Mayyit

Posted on 11 September 2008. Filed under: Fatwa | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Pertanyaan 35:

Apabila dibacakan Al Qur’an, apakah pahalanya sampai kepada si mayyit?
Jawab:

Tidak sampai, dan ini adalah pendapat Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Qs. An-Najm: 39).

Dan juga hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dari hadist Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَه
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”.

Apabila anak adam meninggal dunia terputuslah amalannya, beliau tidak katakan amalan orang lain (melainkan amalannya –pentj), orang yang membolehkannya bersandar kepada alasan ini, dan sebenarnya tidak ada dalil yang tegas untuknya, bahkan dalil yang tegas adalah bahwa ketika dua anak perempuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meninggal dunia, dan Utsman bin Madz’un, Hamzah, serta beberapa orang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memerintahkan untuk mengirim bacaan untuk mereka? Atau beliau tidak memerintahkannya? Beliau tidak memerintahkan untuk membacakan Al Qur’an untuk mereka.

Manusia (sekarang) lebih memperhatikan bid’ah dan meninggalkan yang wajib, saya tidak katakan mereka meninggalkan sunnah, bahkan mereka meninggalkan yang wajib.

Katakan kepada mereka, orang-orang yang lalai; mana yang harus didahulukan membayarkan hutang-hutang si mayyit atau membacakan untuknya Al Qur’an?! (Akan tetapi) yang mereka dahulukan adalah membaca Al Qur’an. Mana yang lebih utama juga membayarkan hutang-hutangnya atau membacakan untuknya Al Qur’an?! Mereka mengutamakan membacakan Al Qur’an. Kaum muslimin telah mengambil ajaran Islam melalui taklid,

هَاتُواْ بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (Qs. Al Baqarah; 111).

Mana (riwayat yang menerangkan kalau) Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu membacakan Al-Qur’an untuk Fathimah radhiyallahu ‘anha disaat Fathimah radhiyallahu ‘anha wafat, mana (riwayat) tersebut dengan sanad yang shahih?! Mana (riwayat) anak-anaknya Abu Bakar (pernah) membacakan Al-Qur’an kepada Abu Bakar As-Shiddiq?!

Yang penting saudara-saudaraku fillah sekalian, kesengsaraan dan kerugian ada pada selain jalan Allah Ta’ala.

Apabila seseorang mewakafkan tanah demi bacaan Al Qur’an (agar dibacakan untuknya Al Qur’an -pentj) maka wakaf tersebut batil (tidak sah -pentj) dan dibagi-bagikan di antara ahli warisnya kecuali kalau para ahli waris ingin agar tanah tersebut tetap untuk kemaslahatan seperti untuk madrasah tahfidz Al Qur’an atau untuk sumur (umum) atau yang lainnya dari maslahat-maslahat yang bermanfaat, maka yang demikian itu tidak mengapa. Wallahul musta’an.

 


Sumber :

Ijabatus Sa’il no: 35

http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=35
Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan

Posted on 9 September 2008. Filed under: Fiqih, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , |

1. Pendahuluan
Puasa pada bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan dan merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S.Al Baqarah : 183).

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

“Islam itu dibangun atas lima perkara, syahadat Laa ilaaha illallah waa anna Muhammadan abduhu warasuluhu, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke Al-Bait (Ka’bah) dan puasa Ramadhan.” Muttafaqun ‘alaih.

Beliau shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebutkan Puasa Ramadhan sebagai salah satu rukun Islam yang tidak akan tegak agama itu kecuali dengannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang yang telah mencapai masa baligh dan memenuhi syarat-syarat taklif (pembebanan syari’at) padanya, wajib untuk melaksanakan perintah puasa Ramadhan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bagi seorang perempuan, kewajibannya untuk melaksanakan puasa Ramadhan sebagaimana halnya seorang laki-laki, adalah ketika telah mencapai masa baligh yang mana masa ini tidak ditentukan oleh usia semata, melainkan oleh beberapa faktor :

Pertama : haidh, yaitu keluarnya darah kotor dari kemaluannya. Bila seorang anak perempuan telah mengalami haidh, meskipun baru berumur 10 tahun, maka telah wajib baginya untuk berpuasa Ramadhan.

Kedua : Tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan.

Ketiga : Umur/usia 15 tahun sebagai batas maksimal seorang anak digolongkan telah baligh jika dua tanda baligh di atas belum muncul. Maka seorang anak yang telah berusia 15 tahun walaupun belum haidh dan belum tumbuh bulu di sekitar kemaluannya, dia telah wajib untuk berpuasa Ramadhan.

Dan adalah juga kewajiban orang tua untuk memperhatikan keadaan perkembangan anaknya, sehingga jika anak perempuan telah haidh walaupun dalam usia sekitar 10 tahun misalnya, orang tua tersebut segera menyuruh anaknya untuk berpuasa.

Wanita muslimah mukallaf yang terkena kewajiban puasa jika bulan Ramadhan telah tiba adalah wanita muslimah yang sehat (tidak sakit) dan muqim (berada di negerinya dan tidak dalam keadaan bersafar). Dan jika dia dalam keadaan sakit atau musafir (sedang dalam perjalanan) di dalam bulan Ramadhan maka boleh baginya berbuka puasa, dan wajib baginya untuk meng-qodho` (mengganti) pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari berbukanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (Q.S. Al Baqarah : 185).

Demikian pula halnya seseorang yang menjumpai (mendapati) bulan Ramadhan sedang usianya telah sangat lanjut dan telah lemah sehingga tidak kuat lagi untuk berpuasa atau seorang yang sakit tidak ada harapan lagi untuk sembuh dari penyakitnya pada waktu kapan pun, maka dia boleh berbuka puasa dan untuk setiap hari berbukanya dia berkewajiban untuk memberi makan seorang miskin. Dan ini dinamakan fidyah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Q.S.Al Baqarah : 184).
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25)

2. Wanita yang terkena pengecualian dari kewajiban puasa Ramadhan

a. Wanita haidh dan nifas

– Wanita haidh
* Wanita yang sedang mengalami masa haidh dikecualikan dari kewajiban berpuasa bahkan wajib baginya untuk meninggalkan puasa ketika sedang haidh dan puasa yang dikerjakan oleh wanita haidh batal dengan datangnya haidh. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

“Bukankah juga seorang wanita mengalami haidh, dia tidak shalat dan tidak berpuasa. Itulah (bentuk) kurangnya diennya (agamanya)”. Hadits riwayat Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu.

Dan telah ada ijma’ ‘ulama bahwa wanita yang haidh yang meninggalkan shalat dan puasa, sebagaimana yang dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 2/351 katanya : “Ummat telah sepakat bahwasanya diharamkan atas wanita yang haidh shalat wajib maupun sunnah dan mereka (ummat) sepakat akan jatuhnya (hilangnya) kewajiban shalat atas wanita haidh tersebut. Maka dia tidak perlu mengganti shalatnya jika telah bersih. Berkata Abu Ja’far Ibnu Jarir di dalam kitabnya Ikhtilaful Fuqoha` : “Ummat telah sepakat bahwa wajib bagi wanita haidh untuk meninggalkan semua shalat baik yang fardhu (wajib) maupun yang sunnah, dengan (meninggalkan) semua puasa baik yang fardhu maupun yang sunnah dan meninggalkan thowaf baik yang fardhu maupun yang sunnah, dan bahwa jika wanita haidh tersebut mengerjakan shalat atau berpuasa atau thowaf, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalan fardhunya maupun sunnahnya sama sekali””. Dan hal yang serupa juga dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Minhaj 1/637.

* Wajib bagi wanita tersebut untuk meng-qodho` (mengganti) puasa yang ditinggalkannya di bulan Ramadhan pada hari-hari yang lain dan tidak perlu meng-qodho` shalatnya. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya oleh seorang wanita yang bernama Ma’adzah katanya : “Kenapa wanita yang haidh meng-qodho` puasanya dan tidak meng-qodho` shalatnya ?” Beliau menjawab :

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat”. Muttafaqun ‘alaihi.

Beliau radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa perkara ini adalah termasuk perkara tauqifiyah dimana pada perkara tersebut nashlah yang mesti diikuti.

* Seorang wanita yang haidh mulai berhenti berpuasa sejak keluarnya darah haidh dan sejak itu pula kalau dia sedang berpuasa maka puasanya batal dan tidak boleh diteruskan meskipun tinggal beberapa saat waktunya dari waktu tenggelamnya matahari (berbuka puasa).

* Jika haidhnya sudah selesai maka dia mulai berpuasa dengan ketentuan :
Kalau haidhnya berhenti sebelum terbitnya fajar (bukan matahari), maka dia berniat untuk berpuasa lalu mulai berpuasa, meskipun dia belum sempat mandi bersih sampai terbitnya fajar dan sejak itu puasanya terhitung, sebagaimana hal ini dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bary 4/192 dari jumhur ahli ilmu, demikian pula Al-Qurthuby rahimahullahu dalam kitab Tafsirnya ketika menjelaskan tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”. (Q.S.Al Baqarah : 187).

Jika berhentinya haidh pada pertengahan hari puasa, maka yang harus dilakukan adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu berhentinya haidhnya sampai terbenamnya matahari, yang mana hal ini dilakukan dalam rangka pemuliaan dan penghargaannya terhadap waktu (hari “puasa”), kemudian dia wajib meng-qodho’ puasanya untuk hari itu.

* Tidak dianjurkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan pencegah dan penahan haidh, sebab haidh adalah sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala telah tetapkan bagi wanita, dan para wanita pada zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidaklah memaksakan diri mereka untuk mencegah/menahan datangnya haidh, bahkan tidak diketahui salah seorang dari mereka ada yang pernah melakukannya. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya dan obat tersebut tidak membahayakan kesehatannya dan dapat benar-benar menghentikan darah, maka puasanya sah dan tidak perlu meng-qodho`nya. Tetapi jika wanita tersebut ragu apakah darahnya benar-benar berhenti/tertahan atau masih ada yang keluar maka wanita tersebut masih dalam keadaan haidh, wajib untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya. Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan : “Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi tablet yang bisa menghalangi haidh agar dia bisa berpuasa (lengkap) jika tablet (obat-obat) ini tidak membahayakan kesehatannya”. Al-Muntaqa Min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan 3/148.

– Wanita yang sedang nifas
Wanita yang sedang nifas hukumnya sama dengan wanita haidh. Sebagaimana ijma’ nya para ahul ilmi bahwa wanita yang sedang nifas tidak halal untuk berpuasa dan wajib baginya untuk berbuka dan meng-qodho` puasanya pada hari-hari yang lain. Berkata Al-Imam An-Nawawy (dalam Al Minhaj 1/637) : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak wajib shalat dan puasa atas mereka.”

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=2)

3. Beberapa hal yang berkaitan haidh dan nifas sehubungan dengan puasa Ramadhan :

* Wanita haidh yang telah lengkap (cukup bilangan hari haidh menurut kebiasaannya), kemudian dia mandi dan melaksanakan puasa. Jika kemudian dia melihat sesuatu dari farjinya (kemaluannya) maka hal ini tidak menghalanginya untuk terus shalat dan puasa berdasarkan perkataan Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anhuma :

كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُفْرَةَ وَالْكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا

“Kami tidak menganggap kekuningan dan keputihan setelah suci sama sekali”. Hadits riwayat Bukhary dan Abu Daud dan ini lafazh Abu Daud.

* Jika darah haidhnya berhenti sebelum genapnya hari-hari kebiasaan haidhnya kemudian dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu setelah itu dia kembali melihat darah dari kemaluannya maka darah itu dianggap darah haidh dan dia masih dalam keadaan haidh sampai selesai masanya dan puasa yang telah dilakukannya dalam selang waktu antara berhentinya darah yang pertama dengan keluarnya darah untuk kedua kalinya, tidak diperhitungkan dan dia harus meng-qodho` nya.

* Ada sebagian wanita yang bisa mengalami haidh selagi hamil. Kalau memang itu adalah kebiasaan wanita tersebut maka ia dianggap haidh.

* Wanita nifas, demikian pula halnya jika waktu nifasnya telah genap 40 hari kemudian dia mandi lalu setelah itu ada darah lagi yang keluar setelah lewat 40 hari tadi maka hal ini tidaklah berpengaruh dan tidak dianggap darah nifas lagi dan sudah boleh shalat dan puasa, kecuali kalau selesainya waktu nifas bersambung dengan waktu haidhnya.

* Jika belum genap 40 hari darahnya terhenti, sehingga dia mandi lalu shalat dan berpuasa lalu tidak ada darah lagi setelah itu maka berarti masa nifasnya tidak sampai 40 hari dan hal ini mungkin saja terjadi.

* Jika setelah mandi lalu shalat dan berpuasa kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar maka dia harus segera menghentikan shalat dan puasanya dan ia dianggap masih dalam keadaan nifas.

* Darah yang keluar dari seorang wanita setelah keguguran (secara sengaja ataupun tidak) apakah juga mengharuskan dia untuk berbuka (tidak berpuasa)?

Jawab :
Jika janin yang keluar dari kandungan itu sudah berusia 4 bulan atau sudah bisa dibedakan anggota-anggota tubuhnya seperti kaki, lengan dan kepalanya maka wanita yang keguguran tersebut dianggap mengalami nifas dan padanya berlaku hukum wanita nifas, tidak boleh shalat dan puasa. Tetapi jika janinnya kurang dari 40 hari dan anggota-anggota tubuhnya masih belum berbentuk, maka tidaklah dia dianggap nifas.

4. Wanita hamil dan menyusui

Wanita hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah (keringanan) berupa bolehnya berbuka di bulan Ramadhan.

Diriwayatkan oleh Imam Abu ‘Isa no.715, Abu Daud no.2408 dan Ibnu Majah no.1667 dari hadits Anas bin Malik Al-Ka’by bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”.

Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para ‘ulama tentang bolehnya wanita menyusui dan hamil jika mengkhawatirkan dirinya atau mengkhawatirkan janinnya atau anaknya untuk berbuka.

Jika wanita hamil atau menyusui berbuka pada bulan Ramadhan karena mengkhawatirkan dirinya dan atau anaknya, maka wajib baginya untuk membayar fidyah berupa memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin, dan tidak meng-qodho` puasanya, kecuali kalau dia tidak khawatir terhadap dirinya dan atau anaknya jika ia berpuasa untuk mengganti puasanya (meng-qodho`nya) dan dia sanggup untuk itu, maka dia boleh meng-qodho`nya dan tidak usah membayar fidyah. Dalilnya adalah pengecualian/pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan tua, orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya dan wanita hamil serta wanita menyusui yang mengkhawatirkan dirinya atau anaknya dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang mampu untuk berpuasa (boleh bagi mereka untuk membayar) fidyah (berupa) memberi makan bagi orang miskin”.

Sebab penunjukan makna yang umum yang terdapat pada ayat ini dijelaskan pada ayat lainnya.

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.

Dan ditetapkan bagi laki-laki/wanita tua yang tidak sanggup lagi untuk berpuasa, orang sakit yang tidak lagi diharapkan bisa sembuh (karena penyakitnya yang berat dan berlangsung lama) demikian pula wanita hamil dan menyusui yang jika keduanya mengkhawatirkan diri dan atau anak-anaknya.

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

“Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.

dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).

Peringatan/catatan Penting tentang wanita mustahadhah

Wanita yang mengalami istihadhah yaitu wanita yang kedatangan darah yang tidak bisa digolongkan darah haidh.

Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihadhah.

Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251).

===========================================================

I. HUKUM-HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA.

1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).

2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).

Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).

3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.

4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.

5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.

6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=5)

II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)

Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.

Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).

Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.
“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.

Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.

Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.

(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=annisa&article=25&page_order=6)

III. I’TIKAF

1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta’ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.

2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :

دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ
“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.

3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.

4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.

5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.

6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.

7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.

8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.

9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta’ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).

Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

Diambil dari :
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1343
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1344

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Perkara Pembatal Pahala Puasa

Posted on 9 September 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه… وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]

Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.

Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa

Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.

Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ الشُّرْبِ
(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]

Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]

Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
– Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
– Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
– Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]

Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.

Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits berikut ini:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني امْرُؤٌ صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]

Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut

Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1347

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Meneropong Keabsahan Ilmu Hisab

Posted on 9 September 2008. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Mendekati bulan Ramadhan tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah Ta’ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah k segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.

Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin segera menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyyah di negeri ini baik oleh individu ataupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).

Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya sebagaimana Allah k nyatakan:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْناً

“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha buat kalian Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal itu telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyyah. Allah Ta’ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah alat untuk menentukan awal bulan Islam. Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah (menjadi 30).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam. Nabi mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia bahkan Arab.

Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah n bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi ini tersisihkan dan diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini: “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil karena mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal dilihat atau tidak dilihat.

Diantara mereka ada juga yang tidak menerima ucapan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya punya syubhat yang banyak karena mempercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya) atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidaknya hilal.

Banyak nash-nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.

Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan padanya. Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)

Allah Ta’ala mengabarkan bahwa hilal merupakan waktu untuk manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di penghujung bulan dalam satu tahun.

Allah Ta’ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap baik dengan syariat atau syarat maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar dan lain-lain.

Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Dan di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya, sehingga disebut hilal.

Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thobi’i (alami), nampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorangpun sesat dari agamanya. Dengan memperhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengkaburan) dalam agama Allah Ta’ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bahwasanya beliau bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ

“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)

Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah Ta’ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam.

Di sisi lain, seluruh para pembesar shahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka terhadap hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, ke-ummi-an ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah n bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan meng-hisab-nya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red).
Nabi n menerangkan: “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.

Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya, maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari,” berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan [1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah, tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.

Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memposisikan ru’yah dengan tepat secara terus menerus -hanya mendekati saja-, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa ke-ummi-an dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
– Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang dan jelas.
– Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
– Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakekatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.

Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu, karena ada yang lebih baik, dan karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab, maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barangsiapa yang masuk ke dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang menghantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ

“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma) (Shahih, HR. Muslim no. 2505)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indera mata. Maksudnya bukan tidak seorangpun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.

Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Oleh karena ini para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.

Dilarangnya Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan. Oleh karenanya orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab juga yang lainnya seperti Batlimus -yang dia adalah pemuka mereka-, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu hurufpun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan seperti Wisyyar Ad-Dailami dan semacamnya ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab –jika hisabnya benar- hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.

Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai Ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.

Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
– Berbeda karena ketajaman penglihatan.
– Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam mengfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
– Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
– Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
– Berbeda karena tingkat kebersihan udara.

Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikitpun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorangpun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh atau delapan atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126-189 dengan ringkas)

Beliau (Ibnu Taimiyyah) simpulkan: “Dan orang yang berpijak pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, iapun telah berbuat bid’ah dalam agama, dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)

Inilah penjelasan Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.

Ini pula yang difatwakan oleh panitia tetap untuk pembahasan ilmiah dan fatwa Saudi Arabia (Lajnah Da’imah), ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah Ta’ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali kelompok yang sedikit dari manusia yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasanya muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah: ‘Itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.’” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِذَا رَأَيْمُوْهُ فَصُوْمُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah menjadi tigapuluh.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam tidak mengaitkannya itu dengan hisab bintang-bintang dan perjalanannya. Yang demikian diamalkan sejak jaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam, para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.

Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada kebaikan padanya dan tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan berpijak padanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya: Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal, maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi) dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلا َنَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ وقال وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَأَشَارَ لأَصَابِعِهِ كُلِّهَا

“Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian demikian dan demikian dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini dan begini dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wassallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari, dan terdapat sebuah hadits dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَِّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ يَوْمًا

“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam juga bersabda:

لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau sempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2495)

Dan hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya, yang kesemuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah, sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar kepada hisab dalam masalah itu. Ibnu Taimiyyah rahimahullahtelah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Dan itulah yang benar, tiada keraguan padanya. Allahlah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hal. 5-6)

Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam:

الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرًوْنَ لَيْلَةً لاَ تَصُوْمُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُم فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2501)
Mereka mengatakan kalimat ‘tentukanlah’ maksudnya adalah menentukan dengan hisab tempat-tempat bulan.

Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar ini sangat rusak karena Ibnu ‘Umar sendiri yang meriwayatkan hadits: “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan -red). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (Al-Mishbahul Munir, hal. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata
فَاقْدِرُوا لَهُ
(maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam dengan lafadz:

فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْنَ

“Maka tentukanlah menjadi 30.”

Dalam riwayat Asy-Syafi’i dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz:

فَأَكْمِلُوا الْعِدَِّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat Al-Bukhari dari Al-Qa’nabi dari Malik dari ‘Abdullah bin Dinar dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah:

فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun-nadzhar bersama An-Nukat, hal. 100-102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.

Footnote :
1. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan perjalanannya….. Bahkan yang nampak dari konteks tersebut menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Menjelaskan yang demikian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30. Beliau tidak mengatakan bertanyalah kepada ahli-ahli hisab… Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit.” (Fathul Bari 4/127)

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1340

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kebohongan Mahdi versi Syi’ah

Posted on 15 Juli 2008. Filed under: Syi'ah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Oleh : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc

Para ulama telah membongkar kebohongan Mahdi versi Syi’ah dan membantah tuntas syubhat-syubhat mereka.

Di antara para ulama yang telah melakukannya adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, dan ulama-ulama masa kini. Untuk itu kami ringkaskan pembahasan berikut ini dari kitab Badzlul Majhud Fi Itsbati Musyabahatir Rafidhah Lil Yahud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili.

1. Al-Hasan Al-‘Askari sebagai bapak Al-Mahdi versi Syi’ah sebenarnya tidak mempunyai anak. Ia meninggal tanpa keturunan. Dan sungguh ini adalah hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang besar untuk membongkar kedok kedustaan mereka. Dan ini diakui oleh buku-buku Syi’ah sendiri seperti Al-Kafi karya Al-Kulaini, Al-Irsyad karya Al-Mufid, dan lain-lain.

2. Anggaplah kelahiran itu ada, tapi persembunyiannya yang lama ini membuat keberadaannya tiada arti. Ath-Thusi, ulama mereka, menyebutkan sebab tidak keluarnya adalah takut dibunuh. Ini adalah sebab yang dibuat-buat, karena dalam keyakinan mereka, ia akan muncul dan mendapat pertolongan dari Allah (Biharul Anwar, 52/191).
Lalu mengapa takut? Ataukah dia tidak beriman dengan berita-berita riwayat mereka itu? Demikian pula, bila dia takut dibunuh alias pengecut, maka ini –menurut mereka juga– tidak sesuai dengan syarat keimaman. Sebab, menurut mereka, syarat sebagai seorang imam adalah harus yang paling pemberani. (Al-Anwar An-Nu’maniyyah, 1/34)

3. Artinya pula, ia akan keluar nanti bila sudah aman. Lalu untuk apa keluar jika sudah aman, tidak ada perlunya?!

4. Sekarang negara Syi’ah sudah ada, yaitu Iran. Bukankah negara itu siap melindungi Mahdi mereka? Mengapa tidak keluar?

5. Kalau ia tidak bisa melindungi dirinya dari pembunuhan, bagaimana mau melindungi orang lain? Alasan yang dibuat-buat itu, justru menunjukkan bahwa Mahdi mereka memang tidak ada.

6. Mahdi mereka itu tidak ada maslahatnya dari sisi din dan dunia. Lebih-lebih di antara prinsip Syi’ah adalah bahwa hukum-hukum syariat tidak bisa dilaksanakan sampai munculnya Mahdi. Sementara Mahdi mereka hanya fiktif. Artinya, mereka hidup tanpa syariat.

Apakah ini bisa diterima oleh akal seorang muslim, siapapun dia? Oleh karenanya, mau tidak mau Khomeini (tokoh Syiah) harus mengakui realita ini, sehingga dia katakan: “Sesungguhnya, kita berada pada masa persembunyian besar (Mahdi) dan telah lewat masanya lebih dari 1.200 tahun… Sekarang sesungguhnya hukum-hukum Islam dan undang-undang syariat, apakah akan dibiarkan dan ditinggalkan sampai masanya muncul, supaya selama selang waktu persembunyian yang panjang masanya ini orang-orang menjadi tanpa beban, mereka berada dalam kebebasan semau mereka?

Maknanya bahwa syariat Islam hanya untuk waktu yang terbatas. Dalam kurun waktu 1 atau 2 abad saja. Dan ini adalah termasuk penghapusan syariat Islam yang paling jelek yang kami tidak sependapat dengannya. Demikian pula tidak seorang muslim pun sependapat….” (Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hal. 41-42, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)

Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili mengatakan: “Apa yang disebutkan oleh Khomeini bahwa keyakinan Al-Ghaibah (persembunyian Al-Mahdi) pada akhirnya mengarah kepada penghapusan syariat mereka. Ini adalah pendapat yang benar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tampakkan melalui lisannya, untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tegakkan hujjah atas mereka (orang-orang Syi’ah).” (Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/272)

Dari sini, mungkinkah Sunnah dan Syi’ah bergandeng tangan? Orang yang berakal tentu menjawab tidak mungkin. Hal itu bagaikan mencampur antara minyak dan air.
Atas dasar itu, maka segala ajakan menuju pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah adalah merupakan kesesatan dan upaya untuk mengubur al-wala` dan al-bara` serta menghapus identitas As-Sunnah dari Ahlus Sunnah.

Tidakkah kalian sadar –wahai pengikut aliran Syi’ah– akan kebatilan aqidah kalian ini? Dan ini baru satu masalah. Demikian pula aqidah-aqidah kalian yang lain. Tak jauh kebatilannya dari itu, bahkan banyak yang lebih batil darinya. Sadarlah dan kembalilah kepada Islam yang dibawa oleh Rasul Rabb semesta alam, Muhammad bin Abdillah Al-Qurasyi, Al-Hasyimi…
Wallahu a’lam.

Diambil dari : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=511

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Bagaimana sesungguhnya “menikah” dalam kacamata Islam?

Posted on 15 Juli 2008. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Menikah, sebagaimana praktik ibadah lainnya dalam Islam, juga terkepung oleh pelbagai penyimpangan. Bagaimana sesungguhnya “menikah” dalam kacamata Islam?

‘Imran bin Hiththan bin Zhabyan, seorang tabiin. Sebelum badai fitnah menghantam, ia seorang yang masyhur dengan menuntut ilmu dan hadits. Lantas, petaka pun tiba. Berawal dari dorongan hasratnya untuk menyadarkan putri pamannya, Hamnah, dari kungkungan paham Khawarij yang menyelimutinya. Ia pun beranjak coba merajut angan. Ia melangkah, mengikat tali kasih dengan putri berparas ayu Kharijiyah. Namun, angan tinggal angan. Citanya semula yang hendak menyadarkan Hamnah dari pemahaman Khawarij, ternyata sirna. Dirinya terfitnah. Pemahaman Khawarij sang istri justru menggerus benaknya. Lunturlah pemahaman Ahlus Sunnah yang lekat padanya. Jadilah ia seorang Khawarij. Ibnu Zhabyan As-Sadusi Al-Bashri, semula termasuk orang yang dijuluki ‘mata para ulama’, akan tetapi kini ia berubah menjadi seorang tokoh papan atas Khawarij. (Lihat Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi, 4/114-115, Tahdzibut Tahdzib, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, 3/317-318)

Sesungguhnya hati manusia semuanya ada di antara dua jari jemari Ar-Rahman. Jika menghendaki, Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa memalingkan setiap hati manusia sesuai yang Dia kehendaki. Hendaknya setiap manusia merasa dirinya tidak aman dari fitnah. Ketergelinciran hati manusia bisa disebabkan dari arah manapun. Inilah yang harus diwaspadai. Tak menutup kemungkinan pula ketergelinciran hati seseorang disebabkan karena pernikahan. Berapa banyak orang yang terjatuh pada kesyirikan, lantaran pernikahan dan prosesi yang menyertainya. Berapa banyak pula, disadari atau tidak, mereka terjatuh pada kemaksiatan. Menyadari hati yang bisa berubah-ubah, lemah, mudah terwarnai keadaan dan perlu tiang pancang nan kokoh, hendaknya seorang yang beriman kembali pada apa yang telah dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasar hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ قُلُوبَ بَـنـِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِـعِ الرَّحْمَنِ كَـقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَـشَاءُ. ثُمَّ قَـالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Sesungguhnya hati Bani Adam semuanya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman, seperti hati satu orang, Dia palingkan kemana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami pada ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)

Demikianlah yang dituntunkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memohon diberi ketetapan hati untuk senantiasa kokoh ada dalam ketaatan pada-Nya. Taat dalam setiap keadaan, termasuk saat menginjak ke pelaminan. Hingga dengan pernikahan tersebut, seseorang bisa menjadikannya sebagai wasilah (perantara) untuk meraup keteguhan iman. Pernikahan tersebut benar-benar menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, nikah itu adalah sepenggal bentuk ibadah, yang merupakan bentuk pengamalan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5063 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1401, penggalan dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Becerminlah dari Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha, seorang shahabiyah yang mulia. Ia menjadikan pernikahannya mampu mengantarkan kebaikan bagi dirinya, suaminya, kehidupan rumah tangganya, dan dakwah secara umum. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bertutur:

تَزَوَّجَ أَبُو طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ، فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الْإِسْلَامَ، أَسْلَمَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ قَبْلَ أَبِي طَلْحَةَ فَخَطَبَهَا فَقَالَتْ: إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ، فَإِنْ أَسْلَمْتَ نَكَحْتُكَ. فَأَسْلَمَ فَكَانَ صَدَاقَ مَا بَيْنَهُمَا
“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Yang menjadi mahar bagi pernikahan keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim memeluk Islam sebelum Abu Thalhah. Maka, Abu Thalhah pun lantas melamar Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim, ‘Sungguh aku telah memeluk Islam. Jika engkau hendak menikahiku, engkau harus memeluk Islam terlebih dulu.’ Kemudian Abu Thalhah pun memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi mahar (dalam pernikahan) keduanya.” (HR. An-Nasa`i dalam Sunan-nya, no. 3340. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini)

Dalam riwayat lain dari Tsabit, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah telah melamar Ummu Sulaim. Maka, Ummu Sulaim berkata, ‘Demi Allah, orang yang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak layak ditolak. Tetapi engkau lelaki kafir, sedangkan aku seorang muslimah. Tak halal bagiku untuk menikah denganmu. Jika engkau mau memeluk Islam, maka (keislamanmu) itu sebagai maharku. Aku tidak meminta yang selainnya.’ Lantas Abu Thalhah pun memeluk Islam dan itulah yang menjadi maharnya.” Tsabit berkata: “Tidak pernah aku mendengar sama sekali tentang mahar yang lebih mulia dari yang diberikan kepada Ummu Sulaim, yakni Islam.” (Sunan An-Nasa`i, no. hadits 3341 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Asy-Syaikh Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari hafizhahullah (salah seorang ulama terkemuka di Yaman), terkait kisah hadits di atas, memberikan nasihat yang laik dicamkan benar-benar oleh kaum muslimin. Kata beliau hafizhahullah, “Begitulah yang semestinya diucapkan seorang muslimah. Dia tidak tertipu dengan harta kekayaan yang dimiliki pihak lelaki. Padahal, Abu Thalhah tergolong orang Anshar yang kaya harta. (Namun demikian) Ummu Sulaim tidak meminta harta kekayaan yang banyak dari Abu Thalhah. Tidak meminta perhiasan emas, tidak juga yang lainnya. Yang diminta hanyalah dia (Abu Thalhah) memeluk Islam karena Allah Rabbul ‘alamin, sekaligus dijadikan mahar baginya. Abu Thalhah pun memeluk Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikannya seorang laki-laki beriman, shalih dan membantu (perjuangan) agama hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala mewafatkannya dalam Islam. Dengan (kecerdasan) akal seorang wanita beriman ini dan dengan keimanannya (Ummu Sulaim), ia menjadi pria tangguh, kokoh, dan berserah diri.” (Ni’matuz Zawaj wa Shalahuz Zaujaini, Abu Munir Abdullah bin Muhammad Utsman Adz-Dzammari, hal. 9)

Adapun larangan seorang muslimah dinikahkan dengan seorang laki-laki musyrik telah nyata dalilnya. Terkait masalah ini, Asy-Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili menyatakan bahwa pengharaman menikahkan muslimah dengan laki-laki musyrik, sama saja baik laki-laki tersebut mubtadi’ (melakukan bid’ah yang menjadikan dia musyrik, pen.) atau selainnya, maka hujjah dalam masalah ini jelas berdasar Al-Kitab dan ijma’ (kesepakatan) umat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
“Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak pula halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)

Maka, sungguh telah nyata kedua ayat di atas mengharamkan pernikahan muslimah terhadap orang kafir dan musyrik secara mutlak. Sama saja, baik dia seorang ahli kitab atau paganis (penyembah berhala) yang tidak memiliki kitab (bukan ahli kitab), tetap haram.” (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 377)

Sedangkan pengharaman seorang muslim menikah dengan wanita kafir musyrikah, berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang kepada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)

Dua ayat tersebut menjadi dalil atas pengharaman menikahi wanita musyrikah secara umum oleh kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan yang demikian terhadap wanita-wanita ahli kitab, berdasar firman-Nya:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (Al-Ma`idah: 5)

Maka, selama Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan keringanan dalam masalah menikahi para wanita ahli kitab, hal itu menjadi boleh. Adapun selain mereka, dari kalangan wanita-wanita musyrikah, larangan menikahi mereka tetap berlaku berdasar keumumannya. Seperti, (larangan menikahi) wanita-wanita penyembah berhala, patung-patung, bintang-bintang, dan api. Termasuk dalam hal ini, menghukumi mereka dari kalangan wanita-wanita pelaku kesyirikan dari kalangan ahli bid’ah, dihukumi karena kekafiran mereka. Hal ini jika mengaitkan para wanita tersebut kepada Islam. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaah min Ahlil Ahwa` wal Bida’, hal. 374)

Diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah, atsar yang dinukil dari para imam salaf menunjukkan keharaman menikahi ahli bid’ah yang telah sampai batas ambang kekafiran. Seperti, Jahmiyah dan Qadariyah. Maka tidak boleh menikahkan mereka kepada para wanita Ahlus Sunnah disebabkan kekufurannya. Apabila telah telanjur menikahkannya, maka wajib fasakh (membatalkan) pernikahannya ketika itu juga.

Terkait Syiah Rafidhah, beliau hafizhahullah menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu (dalam Majmu’ Fatawa, 32/61) saat menjawab pertanyaan tentang hukum menikah dengan Rafidhi (penganut paham Rafidhah, ed.) dan orang yang mengatakan tidak wajib shalat lima waktu. Kata Syaikhul Islam: “Tidak boleh seseorang menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya kepada seorang Rafidhi dan yang meninggalkan shalat. (Bila) saat menikahkannya atas dasar (pengetahuan) sesungguhnya dia seorang Sunni, menunaikan shalat lima waktu, kemudian diketahui bahwa dia seorang Rafidhi dan meninggalkan shalat, maka mereka harus mem-fasakh pernikahan tersebut.” (Ibid, hal. 380)

Dalam masalah pernikahan, Syiah menganut pemahaman membolehkan nikah mut’ah. Terjadi nikah mut’ah manakala seorang lelaki menikahi wanita dalam jangka waktu tertentu. Jika jangka waktu tertentu itu habis, maka selesailah ikatan pernikahan tersebut. Tidak membutuhkan talak. Tidak ada nafkah bagi wanita itu. Tidak ada beban tanggung jawab pada laki-laki terhadap anak-anak yang dilahirkan wanita tersebut (karena hubungan keduanya). Tidak pula mewarisi (harta) dari laki-laki tersebut. Ini model pernikahan jahiliah. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitabun Nikah, hal. 340)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan mut’ah pada perang Khaibar, yaitu tahun ketujuh dari hijrah. Setelah perjanjian Hudaibiyyah, sebelum Fathu Makkah. Kemudian saat perang Authas (nama tempat dekat kota Tha`if), disebut juga perang Hunain, tahun kedelapan hijrah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan mut’ah selama tiga hari sebagai bentuk rukhshah (keringanan). At-Tarkhish (rukhshah) artinya dibolehkan sesuatu yang asalnya terlarang dengan disertai adanya sebab yang membahayakan. Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ulama bahwa nikah mut’ah adalah batil. Dibolehkan saat diberlakukan rukhshah (pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.) dan setelah itu rukhshah itu dihapus. Yang masih memberlakukan nikah mut’ah ini hingga sekarang adalah Syiah Rafidhah.” (Tashilul Ilmam, hal. 340-341)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah secara tegas melarang nikah mut’ah. Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, berkata:

رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطَاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلَاثًا ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi rukhshah (keringanan) pada tahun Authas dalam masalah mut’ah selama tiga hari, lalu melarangnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 1405)

Diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mut’ah pada hari Khaibar. Beliau juga melarang makan daging keledai jinak pada hari itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 4216, dan Muslim dalam Shahih-nya, no. 1407)

 

Pernikahan dalam Adat Jawa

Pernikahan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral. Masyarakat Jawa meyakini bahwa saat peralihan dari tingkat sosial yang satu ke yang lain, merupakan saat-saat berbahaya. Karenanya, untuk mendapatkan keselamatan hidup, dilakukan upacara-upacara. Menjadi manten (pengantin) merupakan bagian dari peralihan itu sendiri. Tradisi yang berlangsung biasanya berupa petung, prosesi, dan sesaji.

Petung adalah musyawarah untuk memutuskan suatu acara penting dalam keluarga. Petung dina lazim dilakukan untuk menentukan hari baik pada acara hajatan, seperti hari penikahan. Selain melihat calon mempelai dari kriteria bibit (keturunan), bobot (berat, yakni dilihat dari harta bendanya), bebet (kedudukan sosialnya: priayi, rakyat biasa, atau status sosial lainnya), juga ditentukan melalui pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman menentukan jodoh berdasar nama, hari kelahiran, dan neptu (jumlah nilai hari kelahiran dan nilai pasarannya: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage). Melalui perhitungan-perhitungan yang didasarkan Primbon Betaljemur Adammakna, maka kedua mempelai akan ditentukan baik buruknya perjodohan.

Selain itu, dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa masih meyakini peristiwa kejugrugan gunung. Yaitu peristiwa kematian atau kecelakaan salah satu anggota keluarga dekat mempelai pengantin. Peristiwa itu diyakini sebagai isyarat buruk dari pernikahan yang akan dilakukan.

Termasuk kepercayaan baik-buruk dalam masalah pernikahan, dalam tradisi masyarakat Jawa masih ada yang meyakini bulan-bulan baik untuk pernikahan yaitu Rejeb dan Besar. Bulan-bulan buruk yaitu Jumadil Awal, Pasa, Sura, dan Sapar. (Lihat Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, Dr. Purwadi, dkk, Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, Vol. I, No. 2)

Bagaimana pandangan syariat terhadap keyakinan-keyakinan seperti di atas?

Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam, menyebutkan bahwa umat tertimpa malapetaka dengan tathayyur sejak menyimpang dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tathayyur adalah (anggapan) kesialan. Sungguh, orang-orang sesat telah sampai kepada masalah penetapan kesialan hingga taraf yang membahayakan. Pada sebagian orang, nasib sial ditentukan karena waktu, hari-hari, bulan-bulan, atau tahun-tahun. Sebagian lagi menentukannya dengan angka-angka, misal angka 13. Ada lagi yang menentukan nasib sial dengan burung, seperti dengan burung hantu, gagak, dan lainnya. Ketahuilah, tathayyur (menentukan sial tidaknya sesuatu) adalah termasuk macam kesyirikan (perbuatan menyekutukan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Irsyadun Nazhir ila Ma’rifati ‘Alamatis Sahir, hal. 85)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلاَ إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-A’raf: 131)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Thiyarah adalah syirik. Dan tak seorangpun di antara kita kecuali (sungguh telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari itu), akan tetapi Allah telah menghilangkannya dengan tawakal (kepada-Nya).” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya, no. 3910, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdulwahhab menyatakan (terkait hadits di atas) bahwa hal ini menjadi penjelas perihal pengharaman thiyarah. Karena hal itu termasuk syirik, terkait dengan menggantungkan hati kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dikatakan dalam Syarhus Sunnah, bahwa thiyarah dikategorikan sebagai syirik karena mereka meyakini, sesungguhnya thiyarah bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudarat pada mereka, jika mereka telah mengamalkan apa yang diharuskan. Maka, hal ini seperti mereka menyekutukan (sesuatu) bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amr, (bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya): “Barangsiapa yang mengurungkan keperluannya karena thiyarah, maka dia telah melakukan kesyirikan.” Para sahabat bertanya, “Maka, apa kaffarah (tebusan) untuk hal itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tidak ada ilah (sesembahan yang berhak diibadahi) kecuali Engkau.” (Lihat Fathul Majid, hal. 287)

Mudah-mudahan dengan menjaga prosesi pernikahan dari segala bentuk kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, pernikahan pun jadi diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Biduk rumah tangga pun siap melaju dengan diiringi keikhlasan, kesabaran, dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin

 


Oleh : Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafrudin

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=630

 

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Al Wala` Wal Bara` Ala Ikhwanul Muslimin

Posted on 8 Juli 2008. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Ikhwanul Muslimin (untuk selanjutnya disingkat IM) bisa diibaratkan seperti lokomotif bagi gerbong-gerbong kelompok harakah (pergerakan) Islam dewasa ini¹. Pasalnya, IM tergolong kelompok paling tua dalam dunia harakah, bahkan telah banyak melahirkan kelompok-kelompok pergerakan yang muncul setelahnya.

Demikian pula para tokohnya. Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hasan Al-Hudhaibi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Ash-Shawwaf, Musthafa As-Siba’i, Umar At-Tilmasani, Muhammad Hamid Abu Nashr, Yusuf Qardhawi, Muhammad Al-Ghazali, Fathi Yakan, Hasan At-Turabi, Abul A’la Al-Maududi, Al-Ghanusyi, Sa’id Hawa dan yang lainnya adalah “orang-orang lama” yang dijadikan narasumber dan “tempat kembali” bagi para aktivis pergerakan. Sontak, kondisi semacam ini cukup mengkhawatirkan… Terkhusus ketika fakta membuktikan bahwa penyimpangan telah terjadi dari dalam IM. Sebagaimana pernyataan Ali Asymawi (mantan tokoh IM yang pernah mendekam di balik terali besi selama 23 tahun dalam perjalanannya bersama mereka), “Menurutku IM (ketika itu) merupakan induk seluruh kelompok (tanzhim) Islam di dunia Arab, karena IM-lah yang paling tua dan yang melahirkan berbagai kelompok setelahnya. Segala bentuk penyimpangannya pun bersumber dari dalam IM sendiri.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-’Adnani, hal. 76)
Para pembaca, bahasan kali ini tidak-lah menyingkap seluruh penyimpangan IM. Akan tetapi khusus penyimpangan mereka dalam hal Al-Wala` dan al-Bara` yang merupakan tali keimanan yang paling kokoh. Rasulullah n bersabda:

أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي الله

“Tali keimanan yang terkokoh adalah berloyal karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 11.537 dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1.728)

Apa itu Al-Wala` dan Al-Bara`?

Al-Wala` adalah loyalitas dan kecin-taan kepada Allah k dan Rasul-Nya serta kaum mukminin. Sedangkan al-Bara` adalah benci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya serta musuh-musuh kaum mukminin.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya, setelah mencintai Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya, maka wajib mencintai wali-wali Allah  dan memusuhi musuh-musuh-Nya. Dan di antara prinsip (aqidah) Islam yang terpenting adalah bahwa setiap muslim yang beraqidah Islam wajib loyal dan mencintai orang-orang yang berpegang teguh dengannya (aqidah Islam) dan memusuhi para penentangnya. Sehingga diapun loyal dan mencintai orang-orang yang bertauhid lagi mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah subhanallahu wa ta’ala semata, dan membenci/ memusuhi orang-orang yang menyekutukan Allah. Prinsip ini telah ada dalam ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersama beliau yang kita diperintah untuk meneladani mereka. Allah azza wa jalla berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu selama-lamanya, sampai kamu mau beriman kepada Allah semata’.” (Al-Mumtahanah: 4) [Al-Wala` wal-Bara` Fil Islam, hal. 3]
Prinsip inipun terus berkesinam-bungan hingga masa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman tentang prinsip Al-Wala`:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ. وَمَنْ يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَالَّذِيْنَ آمَنوُا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُوْنَ

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55-56)

مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangatlah keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang terhadap sesama mereka.” (Al-Fath: 29)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
Adapun firman Allah subhanallahu wa ta’ala tentang prinsip al-Bara`:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي اْلقَوْمَ الَّظالِمِيْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin-pemimpin (mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Ma`idah: 51)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia.” (Al-Mumtahanah: 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا اْلكُفْرَ عَلَى اْلإِيْمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْن

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran di atas keimanan. Dan barangsiapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 23)

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيْرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)

Slogan Peruntuh Al-Wala` Wal-Bara`

Mungkin anda sering mendengar slogan persatuan yang diproklamirkan Hasan Al-Banna, sang pendiri IM. Slogan yang berbunyi, “(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan.”

Misi apakah yang terselubung di balik slogan tersebut?
Ali Asymawi berkata: “IM getol sekali mendengungkan slogan mereka yang amat terkenal di kalangan kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’. Sebuah slogan yang diluncurkan dalam upaya memegang tali kendali (umat) dan menggiring segala laju permasalahan untuk kepentingan mereka.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Bagaimanakah aplikasi dari slogan tersebut di kalangan IM?
Ali Asymawi berkata: “(Dalam mengaplikasikannya, –pen.) tidak ada upaya pembenahan atau pembersihan hal-hal negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita di tengah-tengah kelompok pergerakan Islam. Hingga akhirnya (penyimpangan itu pun, -pen.) bercokol dengan kokohnya di seluruh penjuru dunia. Faktor penyebabnya adalah terjatuhnya mayoritas mereka ke dalam sikap ekstrim (berlebihan) –ketika menerapkan slogan tersebut–.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Fakta dan data di lapangan menun-jukkan benarnya keterangan Ali Asymawi (akan dijelaskan secara rinci nantinya). Terlebih hari-hari ini, ketika slogan itu lebih dikongkritkan dalam bahasa-bahasa yang keren, lugas dan terkesan adem: “Islam Warna-warni”, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, dll, yang digandrungi oleh banyak kelompok, ormas, dan parpol. Selidik punya selidik, ternyata dalam realisasinya meruntuhkan prinsip al-wala` wal-bara`. Apa misi di balik itu?
Jawabnya adalah idem, seperti keterangan Ali Asymawi tentang IM. Atau, mungkin ada jawaban lain…? Wallahul Musta’an.

Akibatnya, semakin bercokollah penyimpangan/ kebatilan pada individu ataupun kelompok, karena tidak ada upaya pembenahan, pembersihan hal-hal negatif ataupun meluruskan penyimpangan yang telah menggurita (sebagaimana pernyataan Ali Asymawi). Bahkan ketika ada yang berupaya meluruskan penyimpangan tersebut, justru malah mendapatkan serbuan komentar: “Kayak yang bener sendiri”, “Ndak usah ngurusi orang lain”, “Masing-masing kan punya dasar”, “Ribut terus, orang kafir sudah sampai ke bulan kita masih ngurusi khilafiyyah”, dan lain sebagainya. Padahal seringkali upaya pembenahan dan pelurusan itu berkaitan dengan masalah aqidah.

Saudara, contoh di atas erat kaitannya dengan internal kita kaum muslimin. Dan lebih mengherankan, ketika kaitannya dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang kafir lainnya yang Allah azza wa jalla wajibkan kita untuk bara` (berlepas diri/membenci) mereka sebagaimana dalam ayat-ayat yang disebutkan di awal bahasan. Berondongan komentar pun acap kali didengar, “Mereka itu saudara kita”, “Semua agama sama”, dan lain sebagainya.

Mungkin anda merasa janggal, khususnya kaitannya dengan IM. Bukankah pada tahun 1948, IM terlibat kontak senjata melawan orang-orang Yahudi Israel di Palestina?!
Jawabnya adalah: Benar. Namun apa motivasinya?
Hasan Al-Banna berkata (tentang kasus Palestina): “Untuk itu kami tetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk bergabung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun telah memuji mereka dan men-jadikan antara kita dengan mereka keter-kaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul Mus-limun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)

Kalau bukan karena agama, lalu apa?
Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang Yahudi bukan karena urusan aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan karena statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi karena mereka merampas (tanah Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran) hal. 207)

Fatwa Ulama tentang Slogan IM Itu
Manakala para tokoh IM telah berlebihan dalam merealisasikan slogan mereka itu, maka jerit peringatan dari dalam tubuh IM pun terdengar, sebelum adanya fatwa para ulama. Lagi-lagi Ali Asymawi mengatakan: “Untuk itu, aku melihat bahwa sekaranglah saatnya memberi peringatan dan membuka jendela-jendela, agar sinar mentari dan udara segar bisa masuk ke lorong-lorong jamaah (IM) yang telah pengap dan membusuk aromanya. Dan juga, agar pengalaman hidupku bersama mereka dapat menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda untuk tidak gegabah dalam mencari jalan hidupnya, mempertimbangkan secara matang ke mana kakinya hendak dilangkahkan, dan tidak mudah hanyut dalam memberikan loyalitas dan ketaatannya pada siapapun… Karena Allah k telah mengaruniakan kita akal fikiran sebagai kehormatan bagi anak manusia. Tidaklah sepantasnya kita menyia-nyiakannya, agar tidak mudah dijadikan bulan-bulanan oleh siapapun dan bergerak di bawah slogan apapun.” (At-Tarikh As-Sirri Lijama’atil Ikhwanil Muslimin, hal. 4. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 76)

Adapun fatwa para ulama, antara lain:

1. Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.
Beliau berkata: “Ya, wajib untuk saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati berupa kebenaran, dakwah kepada kebenaran tersebut dan memper-ingatkan (umat manusia) dari apa yang dilarang Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya. Adapun saling toleran dalam perkara yang diperselisihkan, maka tidak bisa dibenarkan secara mutlak, bahkan harus dirinci. (Yaitu) di saat perkara tersebut termasuk masalah ijtihad yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka tidak boleh di antara kita saling mengingkari. Sedangkan bila perkara tersebut jelas-jelas menyelisihi nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wajib diingkari dengan hikmah, nasehat dan diskusi dengan cara terbaik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 3/58-59. Lihat Zajrul Mutahawin Bidharari Qa’idah Al-Ma’dzirah wat Ta’awun, karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman, hal. 128)

2. Fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah.
Beliau berkata ketika mengkritik para pengusung slogan di atas: “Merekalah orang yang pertama kali menyelisihinya. Kami yakin bahwa penggalan (pertama, -pen.) dari slogan tersebut benar, yaitu ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’. Ini tentunya dipetik dari firman Allah k:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِّرِ وَالتَّقْوَى

“Saling tolong-menolonglah dalam perkara kebaikan dan ketaqwaan.” (Al-Ma`idah: 2)
Adapun penggalan kedua ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka harus dipertegas… Kapan? (Yaitu) ketika kita saling menasehati. Dan kita katakan kepada yang berbuat kesalahan: ‘Engkau salah, dalilnya adalah demikian dan demikian.’ Bila dia belum puas dan kita lihat dia seorang yang ikhlas (pencari kebenaran, -pen.) maka kita tolerir dia, dan saling tolong-menolong dengannya dalam perkara-perkara yang disepakati. Adapun bila dia seorang penentang kebenaran lagi sombong dan berpaling darinya, maka saat itulah tidak berlaku penggalan kedua dari slogan tersebut dan tidak ada toleransi di antara kita dalam perkara yang diperselisihkan itu.” (Majalah Al-Furqan, Kuwait, edisi 77, hal. 22. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 130)

3. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau berkata: “Slogan mereka ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara-perkara yang disepakati’, ini benar. Adapun ‘Dan saling toleran dalam perkara-perkara yang diperselisihkan’, maka ini harus dirinci:
 Bila termasuk perkara ijtihad yang memang dibolehkan berbeda, maka hendaknya kita saling toleran, dan tidak boleh ada sesuatu di hati karena perbedaan tersebut.
 Adapun bila termasuk perkara yang tertutup pintu ijtihad, maka kita tidak boleh toleran kepada orang yang menyelisihinya. Dan diapun harus tunduk kepada kebenaran. Jadi bagian pertama benar, sedangkan bagian akhir harus dirinci.” (Ash-Shahwah Al-Islamiyyah, Dhawabith Wa Taujihat, I/218-219. Lihat Zajrul Mutahawin, hal. 129)

Fenomena Al-Wala` Wal Bara ‘ala IM

Demikianlah koreksi para ulama atas slogan IM di atas. Lalu bagaimanakah fenomena IM di dalam merealisasikannya? Simaklah keterangan berikut ini!

1. Garis besar Al-Wala` wal-Bara` ala IM.
 Hasan Al-Banna dalam momentum peringatan HUT IM yang ke-20 (5-9-1948) berkata: “Gerakan IM tidaklah memusuhi aqidah, agama, atau kelompok apapun.” (Qafilah Al-Ikhwan, karya As-Sisi, I/211. Lihat Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 132)

 Muhammad Al-Ghazali berkata: “Selaras dengan sejarah lama, maka kamipun berkeinginan untuk membentangkan tangan-tangan kami dan membuka telinga dan hati kami untuk setiap seruan yang mempersatukan agama-agama, dan mendekatkan antar pemeluknya serta menghilangkan sebab-sebab perpecahan dari hati-hati mereka.” (Wamin Huna Na’lam, hal. 150. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 60)

2. Sikap IM terhadap Yahudi dan Nasrani
 Hasan Al-Banna berkata (tentang kasus Palestina): “Untuk itu kami menetapkan bahwa permusuhan kami dengan Yahudi bukanlah permusuhan agama. Karena Al-Qur`an telah menganjurkan untuk bergabung dan berkawan dekat dengan mereka. Dan Islam merupakan syariat kemanusiaan sebelum menjadi syariat kaum tertentu. Islam pun telah memuji mereka dan men-jadikan antara kita dengan mereka keterkaitan yang kuat.” (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdatsun Shana’at Tarikh, I/409-410. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 59)

 Yusuf Qardhawi berkata: “Kami memerangi orang-orang Yahudi bukan karena urusan aqidah, akan tetapi karena urusan tanah. Kami memerangi mereka bukan karena statusnya sebagai orang-orang kafir, akan tetapi karena mereka merampas (tanah Palestina).” (Surat Kabar Ar-Rayah, Qatar edisi 4696, 25 Januari 1995. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha (lampiran) hal. 207)

 Musthafa As-Siba’i berkata: “Islam bukanlah agama yang memerangi agama Nashrani, bahkan mengakui dan memuliakan agama Nashrani… Islam tidak membedakan antara muslim dan Nashrani. Islam tidak memberikan hak lebih terhadap muslim atas hak Nashrani dalam kedudukan di pemerintahan…” (Ath-Thariq Ilal Jama’atil Um, hal. 134)

 Hasan At-Turabi dalam ceramahnya yang berjudul Ta’dilul Qawanin, berkata: “Boleh bagi seorang muslim untuk menjadi Yahudi atau Nashrani, seperti halnya mereka (Yahudi dan Nashrani) dibolehkan untuk menjadi muslim.”

Di kesempatan ceramahnya yang lain dengan tema Ad-Daulah Baina Nazhariyyah Wa Tathbiq, berkata: “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengkafirkan Yahudi dan Nashrani.” (Isyruna Ma’kha-dzan ‘Ala As-Sururiyyah, hal. 2. Lihat Majalah Asy Syari’ah edisi Fenomena Sinkretisme Agama, hal. 21)

3. Sikap IM terhadap Syi’ah Rafidhah.
Syi’ah Rafidhah adalah rintisan Abdullah bin Saba‘ seorang Yahudi dari Yaman. Di antara keyakinan kelompok ini adalah: Al-Qur`an (kaum muslimin) yang ada telah mengalami perubahan dan pengurangan sehingga tak tersisa lagi kecuali hanya 1/3 dari aslinya; para shahabat telah murtad (sepeninggal Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam) kecuali beberapa orang saja; para istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah pelacur; imam-imam mereka ma’shum dan kedudukannya di atas malaikat dan nabi; dan lain sebagainya (untuk lebih rincinya, lihat Rubrik Manhaji Majalah Asy Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa dan Syi’ah Menikam Keluarga Nabi)

Bagaimanakah sikap IM terhadap mereka? Simaklah keterangan tokoh-tokoh mereka:
 Umar At-Tilmasani berkata: “Pada th 1940-an –sesuai apa yang kuingat– Sayyid Al-Qummi (tokoh Syi’ah) mengunjungi IM di markas besarnya, saat-saat Al-Imam Asy-Syahid (Hasan Al-Banna, -pen.) berjuang keras untuk mempersatukan seluruh madzhab… Kami pun bertanya kepadanya (Hasan Al-Banna, -pen.) tentang perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Maka dia melarang kami untuk masuk ke dalam masalah-masalah riskan semacam ini.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, karya Dr. Izzuddin Ibrahim hal. 5-21. Lihat Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hal. 56)

 Salim Bahnasawi berkata: “Sejak terbentuknya lembaga pendekatan antara madzhab-madzhab Islam yang diprakarsai Al-Imam Al-Banna dan Al-Imam Al-Qummi, kerjasama antara IM dengan Syi’ah pun terus berlangsung, yang akhirnya membuahkan kunjungan Al-Imam Nuwab Shafawi (tokoh Syi’ah) ke Kairo pada tahun 1954 M.”
Dia juga berkata: “Dan itu bukan hal aneh, karena manhaj (prinsip) kedua kelompok sama-sama mendukung kerja sama tersebut.” (Mauqif Ulama’ Al-Muslimin, hal. 13. Lihat Tahafutusy Syi’arat Wa Suquthul Aqni’ah, karya Abdul ‘Aziz bin Syabib Ash-Shaqr, hal. 32)

Abdul Aziz bin Syabib Ash-Shaqr berkata: “Ketika Hasan Al-Banna wafat, warisan (pemikiran) yang busuk ini diambil oleh seluruh petinggi IM dan diterapkan di negerinya masing-masing. Sebagaimana yang dilakukan Umar At-Tilmisani –Mursyid Aam (pimpinan umum IM)– di Mesir, Musthafa As-Siba’i di Syria, Hasan At-Turabi di Sudan, Al-Ghanusyi di Tunis, Fathi Yakan di Lebanon dan Al-Maududi di Pakistan.” (Tahafutusy Syi’arat, hal. 33)

Bagaimanakah sikap IM terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan lainnya?
Pembaca, jika sikap mereka ter-hadap Syi’ah demikian mesranya, bahkan juga sikap mereka terhadap Yahudi dan Nashrani yang jelas-jelas musuh Allahazza wa jalla dan Rasul-Nya, maka bisa dipastikan jawabnya adalah: idem. Artinya, toleransi tinggi akan dipersembahkan IM untuk mereka. Demikianlah “GBHN” al-wala` wal-bara` ala mereka. Masih ingatkah perkataan Hasan Al-Banna dan Muhammad Al-Ghazali yang telah lalu?!

Penutup
Setelah menelusuri sebagian kecil (saja) perkataan tokoh-tokoh IM seputar sikap terhadap agama-agama kafir dan para pemeluknya (Yahudi, Nashrani dan yang lainnya), atau pun sikap terhadap kelompok-kelompok bid’ah dan sesat, maka sungguh mencolok sekali rapuhnya Al-Wala` wal-Bara` ala mereka. Padahal Al-Wala` wal-Bara` merupakan tali keimanan terkokoh. Tidak-kah ini cukup sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal?!

Sebagai penutup simaklah nasehat Syaikh kami Al-’Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad –hafizhahullah– di bawah ini:
“Sudah sepatutnya –bahkan seharusnya– bagi pengikut da’i tersebut (Hasan Al-Banna, -pen.) untuk tidak merealisasikan perkataannya (slogan di atas, –pen.) yang berujung pada toleransi terhadap kelompok-kelompok sesat, bahkan yang paling sesatnya semacam Syi’ah Rafidhah. (Dan) hendaknya memperhatikan penerapan kaidah ‘Cinta karena Allahazza wa jalla dan benci karena Allah azza wa jalla, berloyal karena Allah subhanallahu wa ta’ala dan memusuhi karena Allah subhanallahu wa ta’ala yang tidak ada ruang toleransi bagi orang-orang yang menyimpang lagi sesat dalam perkara-perkara yang menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jamaah.” (Zajrul Mutahawin, hal. 8)

Pembaca, demikianlah sajian kami sebagai bentuk tanggung jawab dan nasehat untuk kaum muslimin. Semoga hidayah Allahsubhanallahu wa ta’ala selalu mengiringi kita semua.
Amin.

1 IM didirikan oleh Hasan Al-Banna di kota Ismailiyyah Mesir, pada bulan Maret/April 1928 (Dzulqa’dah 1327 H). (Lihat Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 23)

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=304

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Bahaya Pemikiran Takfir Sayyid Quthb

Posted on 28 Juni 2008. Filed under: Akidah, IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Nasehat, Tokoh Sempalan | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis dalam kertas ini. Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal dan hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.

Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada gerakan, keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran Sayid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat. “Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan bahaya pemikiran.

Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan pemikiran Sayid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah sebagai rujukan utamanya.

KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”

Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India) berkata: “Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)

Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayid dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal. 182 cet. 12: “Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah, yaitu laa hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud dalam syariat dan perintahnya.”

Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash: Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: “Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar.” (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)

Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa Al-ilah adalah al-musta’li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi Dhilal 6/4010) yang semuanya itu bermakna kurang lebih sama yaitu “Yang Menguasai”.

Demikianlah Sayid mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “yang berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para ulama Ahlus Sunnah.

Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: “Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia.” (Tafsir At-Thabari 20/102)

Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: “Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/398)

Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau al-musta’li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?

Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan pencipta— telah diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah.

Allah berfirman tentang mereka:

قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ

Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ (Al-Mukminun: 84-89)

Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’ (Al-Anbiya: 25)

Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah, serta mencakup puji-pujian lisan seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah dalam rangka (menghambakan diri) dan beribadah kepada Allah. Tidak diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab dan bahasa Arab dalam “pemahaman”nya itu. Dia berkata:

“…bahwasanya mereka (orang-orang Arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah dan makna laa ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi.” (Fi Dhilal 2/1005).

Dia juga berkata pada halaman berikutnya:

“Laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah kecuali untuk Allah dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah.” (Fi Dhilal 2/1006).

Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata:

“Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka. Bahkan al-ilah menurut orang-orang arab adalah al-ma’bud (yang diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … Bukan bermakna sesuatu yang mereka berhukum kepadanya.” (hal. 63)

Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk kuburan. UZZA yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim, atau HAKIMIYAH!

Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH.

Ingat! Yang kita bantah di sini bukan kewajiban bertahkim kepada Allah, melainkan pemahaman sempit Sayid dengan mengatasnamakan bahasa Arab dan orang-orang Arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah HAKIM.

.

KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH

Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52:

“Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan.” (Fi Dhilal 4/2114)

Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah dalam masalah rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama ahlus sunnah. Dia mengatakan:

“…perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah Arab. Hanya saja yang selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah rububiyah. Yaitu masalah penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Dhilal)

Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid tidak dapat membedakan antara uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya pandangan Sayid terhadap laa ilaha illallah ini?!

.

PENGKAFIRAN SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya:

“…termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah….” (Fi Dhilal)

Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi Dhilalil Qur`an dan yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah. Dan penafsiran Sayid terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari HAKIMIYAH, KEKUASAAN dan KEPEMIMPINAN semata.

Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 106:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan musyrik. (Yusuf: 106)

Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan:

“Dan di sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat yang dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk kepada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk ditutup1. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari penguasa para hamba….

Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah….” (Fi Dhilal 4/2023)

Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya besar: Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al-Qur`an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya dalam masalah kesyirikan.

Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata:

“Sesungguhnya kesyirikian mereka (jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah hakimiyah.” (Fi Dhilal 3/1492)

Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah di negerinya? Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena –menurutnya— kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan bukan keyakinan!

Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika mendengar Raja Najasyi meninggal:

قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ
Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari! Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)

Bagaimana pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah tauhid dan beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!

ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP

Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok):

“Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti….”

Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu:

“…kami menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih tetap menginginkan untuk menjadi muslimin.”

Lihatlah dia menyebut kaum muslimin dengan ungkapan: “Orang-orang yang ingin menjadi muslimin!”

Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah:

“Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah cahaya ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak mendapatkan keberadaan Dien ini…. Sesungguhnya keberadaan Dien telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syariat Allah semata dalam segala aspek kehidupan.

Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkannya. Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi muslimin. Mereka seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin.

Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin menjadi muslimin?” (Al-Adalah hal. 183-184)

Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayid yang berbahaya di antaranya anggapan beliau bahwa:

1. Kehidupan Islam telah tiada.

2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.

3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam.

4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.

5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.

Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayid Quthb ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki pandangan!

.

UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA

Sayid Quthb berkata:

“Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat….” (Fi Dhilal 2/1057)

Bahkan lebih kejam lagi dia berkata:

“…yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan….

Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah.” (Fi Dhilal 2/1057)

Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan kaum muslimin dan menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?

.

MASJID MENURUT SAYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH

Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:

وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)

Dia berkata:

“…inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:

1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan “kelompok mukmin” yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan dan melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.

2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslim” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci.” (Fi Dhilal 3/1816)

Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti ini dibiarkan?!

Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud “kelompok mukmin”, “kelompok muslim” dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.

.

JALAN KELUAR MENURUT SAYID

Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah….

Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi “kelompok muslim”? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini:

“Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ
…atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…. (Al-An’am: 65)

kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang di sekelilingnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat jahiliyah….” (Fi Dhilal 2/1125)

Inilah jalan keluar menurut Sayid, yaitu dengan menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Tidakkah Sayid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulamanya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah?!

.

PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN SENDIRI

Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:

1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:

“Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia….” (Awlawiyat hal. 110)

2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal. 115:

“Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir (pengkafiran) di kalangan beberapa ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan hakimiyah Allah karena tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu.”

3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan— sebagai berikut:

“Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara… bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain….” (Lihat kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah hal. 279)

Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayid Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari “kawan” satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: “…Dan buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh negatif.” (hal. 110)

Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jamaah apa, dia hanya mengatakan “kelompok kecil” dan “kelompok besar”.

Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan Hizibnya dengan prinsip mereka yang terkenal:

“KITA SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG KITA BERBEDA”.

Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, salafiyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan mereka?

.

SIKAP SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN radhiyallahu ‘anhu

Ikhwani fiddien a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka (kaum Khawarij) sejelek-jelek makhluk?

Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan Khawarij dan Syiah, khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu ‘anhuma.

Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah Utsman radliallahu ‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata:

“Kami condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar, pent). Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al-Adalah, hal. 206). Mengapa?

Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang Utsman sebagai berikut:

“Sesungguhnya di antara kejelekan yang muncul adalah bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayah di dalamnya.” (Al-Adalah dalam terjemahan terbitan pustaka hal. 270)

Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita tentang Utsman yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu ‘anhum…dst. Kemudian dia berkata:

“…Dan bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dari ruh Islam ini. Maka mereka saling memanggil untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah dari bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan kepikunannya— tidak dapat memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayah….” (Al-Adalah hal. 187, cet kelima dan secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan PUSTAKA hal. 272)

Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh Utsman. Dia berkata:

“…akhirnya, terjadilah pemberontakan atas Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan. Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan “kaca mata Islam” dan merasakan urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat kepada ruh Islam dan arahannya daripada sikap Utsman atau lebih tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.” (Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162 cet. ke 12 dengan beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan terakhir ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’ dan dalam terjemahan, hal. 275)2

Seharusnya dia mengucapkan: “Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan dengan ruh saya….” Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya (penulis) sudah menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan sekaligus pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali tulisan tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan Ahli Bid’ah!

Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.

Sumber: SALAFY edisi XVI/Dzulhijjah/1417/1997


[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya yang mengikuti kebiasaan orang-orang kafir barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi?

[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A’lam.

Oleh : Ustadz Muhammad Umar As-Sewed

sumber : http://darussalaf.org/stories.php?id=82

Mu’tazilah, Sekte Sesat Pemuja AkalAqidahHikmah Ilahi di Balik Musibah yang Melanda

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sayyid Quthub kaki tangan Hasan al Banna

Posted on 26 Juni 2008. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin) | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Al Quthbiyyah disandarkan (dinasabkan) pada ajaran Sayyid Quthub. Sayyid Quthub adalah anggota (anak-buah, red) Hasan al Banna yang sangat loyal kepada Ikhwanul Muslimin dan menjalankan dengan baik semua apa yang dikehendaki Hasan al Banna.

Sayyid Quthub adalah seorang yang menghabiskan umurnya dengan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Termasuk salah seorang murid al ‘Aqqad (sastrawan dan pemikir) yang sangat membenci komunis. Sayyid Quthub banyak menulis buku-buku umum yang tidak berhubungan dengan Islam.

Dia juga menulis banyak kisah dan syair-syair umum (sosial). Dia hanya seorang penulis dan kutu buku. Setelah itu ia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan memba’iat al Hadhami. Ia menjadi seorang anggota Ikhwanul Muslimin yang sangat loyal, membela dakwah dan konsep-konsep Ikhwan dengan pena dan buku-bukunya.

(Setelah) Hasan al Banna terbunuh, lalu Al Hadhami dan Jamal Abdul Nasher membelanya dan dapat mengkudeta pemerintah raja Faruq.

Dalam perjalanan pemerintahannya, terjadilah silang pendapat antara Jamal Abdul Nasher dan Ikhwanul Muslimin, sehingga banyak dari anggota Ikhwanul Muslimin yang dipenjara termasuk Sayyid Quthub. Di penjara dia menulis tafsir Al Quran yang berjudul “Fi Zhilalil Qur’an” (edisi Indonesia Di bawah Naungan Al Quran) dan kitab-kitab lainnya.

Setelah keluar dari penjara, Sayyid masih aktif menulis dan menyusun konsep-konsep revolusi, pemutarbalikan Islam dan kudeta terhadap pemerintah. Konsep-konsep tersebut dia adopsi dari AbulA’la Al Maududi dan Hasan Al Banna.

Selanjutnya ia menghidupkan tanzhim di masa As Sindi dan memperbaharui tandzim di atas tandzim khusus – tanzhim khususnya dipaparkan Al ‘Isymari dalam buku “Sirriyatut Tarikh Ikhwanul Muslimin,” (sejarah Rahasia Ikhwanul Muslimin). Ia sebutkan bahwa pemimpin pengganti as Sindi adalah Shalih Al’Isymari.

Pada masa pemerintahan Jamal Abdul Nasher, Shalih Al Isymari disingkirkan dari keanggotaan tandzhim khusus dan setelah itu Sayyid Qutb memperalat Ali Isymari untuk memperbarui tanzhim khusus dan melengkapi anggota Ikhwannul Muslimin dengan senjata dan alat-alat kerusuhan (bahan peledak).

Ali ‘Isymari mengabarkan bahwa mereka membawa senjata, gerakan ini disokong seorang wanita muslimah bernama Zainal Al Ghazali. Dialah pemasok dana dan senjata yang didapat dari beberapa negara.

Selanjutnya Ali ‘Isymari yang pernah duduk bersama Sayyid Quthub mengatakan bahwa apabila terjadi suatu gangguan terhadap dakwahnya (IM), Sayyid memerintahkan agar mereka segera menuntaskannya dengan melancarkan berbagai macam kerusuhan dan peledakan besar, seperti mensabotase jembatan-jembatan, pusat-pusat listrik dan tempat-tempat lainnya, hingga akhirnya dapat menggulingkan Jamal Abdun Nasher.

Sayyid Quthub dalam bukunya “Limadza yahjuruni ?” (Mengapa Mereka Mengucilkanku ?”) mengakui bahwa dialah yang merancang berbagai macam peledakan dan kerusuhan. Ucapannya persis sama dengan apa yang dikatakan Ali Al ‘Isymari dalam bukunya “Sejarah Rahasia Ikhwanul Muslimin.”

Sayyid Quthub berupaya mengulang sejarah “tanzhim khusus” dengan cara melakukan peledakan-peledakan, serta mengumpulkan senjata-senjata dan melatih anggota membiasakan gerakan-gerakan yang serupa. Sayyid Quthub adalah seorang konseptor Ikhwanul Muslimin yang merancang pemikiran tersebut sebagai sebuah filsafat pengkafiran yang mendatangkan kerancuan agama.

Sayyid Quthub mengkafirkan pemerintah dan masyarakat muslimin. Dialah yang menafsirkan kalimat Tauhid (Laa ilaaha illa ALLAH) dengan tafsir bid’ah yang kaum salaf tidak pernah menafsirkannya. Disamping itu, ia membuang semua Tauhid Asma’ dan Sifat ALLAH yang ada dalam Al Quran. (Karena) Ia adalah seorang penganut tasawuf. Tafsirnya terhadap ayat 1 dari Surat Al Ikhlas قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
, cukuplah sebagai buktinya (Dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, red).

Ia juga seorang aqlani (rasionalis, pemuja akal) yang lebih mengutamakan logika daripada nash Al Quran dan Asunnah. Bukti-bukti yang menunjukkan ia seorang aqlani adalah :
1. Ia mencela orang yang berpoligami. Menurut logika Sayyid, kalau jumlah kaum wanita banyak daripada kaum pria, baru boleh dijalankan poligami. Pemikirannya ini mirip dengan pemikiran orang-orang kiri (komunis, red).
2. Tentang masalah perbudakan, ia berpendapat bahwa perbudakan sekarang sudah tidak ada dan dahulu perbudakan hanya ada pada kelompok tertentu.
3. Kalau sudah tegak daulah Islam dengan cara yang ia tempuh atau jalan pengikutnya, ia akan mengambil semua harta manusia kemudian ia bagi-bagikan walaupun sebagian rakyatnya memiliki harta dengan jalan yang benar. Caranya ini persis cara-cara komunis. Darimana dalilnya ? Tidak ada, ia berbicara semaunya.

Oleh karena itu, kalau kita tanyakan kepada teman-teman Sayyid : apakah ia seorang ahli fiqih ? Bukan. Apakah ia memiliki fatwa-fatwa dalam masalah ekonomi, muammalah dan ibadah ? Tidak. Apakah ia pernah menulis kita-kitab ushul fiqih ? Tidak pernah . Apakah ia pernah membahas masalah hadits-hadits dan atsar shahabat ? Tidak pernah. Apakah ia menafsirkan ayat-ayat hukum dalam Al Quran dengan mengikuti metode Al Qurthubi dan membawakan dalil-dalil Al Qur’an sendiri dan As Sunnah ? Tidak. Bahkan ia menafsirkan Al Quran dengan jalan logika dan tidak merujuk kepada kitab-kitab tafsir Ulama terdahulu.

Ia membuang sifat-sifat ALLAH, ia memberikan tafsir yang keliru, mengangkat masalah-masalah tasaquf dan komunisme, mengkafirkan kaum muslimin, melemparkan kerancuan agama kepada Muhammad bin Surur dan pengikutnya, sehingga mereka mengambil konsepnya dalam berdakwah.

Saya katakan bahwa Sayyid ini seorang Ikhwanul Muslimin pengekor Hasan AL Banna, yang fanatik, walaupun dia seorang yang pandai berbicara, beradab dan ahli sastra.

Orang yang semacam dia tidak patut mendapat pujian, khususnya bila kita bandingkan dengan Washil bin Atha’ seorang tokoh mu’tazilah yang berakhlaq baik dan pemberani. Namun demikian, Ulama salaf tetap mencelanya, tidak memperhatiakn akhlaq dan kefasihannya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid ketika memuji kefasihan dan akhlaq Sayyid Quthub.

Apakah yang masuk ke dalam agama dari kefasihan ?

Kami berargumen dengan Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak maka banyak dari kalangan sufi yang ahli bahasa, nahwu dan akhlaq yang baik. Tapi yang kita jadikan patokan adalah shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang dapat membedakan antara hak dan yang batil, bukan mereka.

Syaikh Rabi Bin Hadi Al Madkhali ketika membantah kita “Munthalaq Al Kitab was Sunnah” karya Syaikh Bakr Abu Zaid, berkata, “Ia soerang lelaki yang menyelisihi Kitab dan As Sunnah dalam bab ini. Syaik Bakr Abu Zaid datang dan memberikan padaku beberapa lembar kertas yang sangat kecil kemudian memuji Sayyid Quthub. Ia (Sayyid) seorang yang baik katanya.” Syaikh Rabi’ berkata, “Ini ucapan yang salah.” Kemudian kertas yang berisi pujian terhadap Sayyid Quthub tadi diedarkan (oleh pengikut IM, penerjemah). Seolah masalahnya adalah masalah ta’at buta terhadap Syaikh Bakr, untuk membantah bahwa ucapan Syaikh Rabi’ tidak benar.

Dimana sisi ucapan dan dalil Syaikh Bakr yang menjelaskan ucapan Syaikh Rabi’ itu salah ??? Apakah Anda telah membantah beliau dengan rinci ? Dimana Anda terangkan, ucapakan Syaikh Rabi’ salah dengan keterangan kitab-kitab Sayyid Quthub ? Atau ucapan Syaikh batil dengan dalil ini.

Mereka tidak melakukan hal itu semuanya, tetapi memakai metode Ikhwanul Muslimin yaitu ketaatan buta. Bila ia mengatakan tidak benar, maka kita harus berkata tidak benar tanpa melihat dalil-dalil dan hujjah. Sayikh Bakr Abu Zaid telah salah dalam memutuskan dan bersikap, semoga ALLAH membimbing kita dan beliau.

Dan Alhamdulillah, beliau telah bertaubat dari kesalahannya dan menulis kitab “Hukum Intima” (Hukum Bergabung dengan Golongan-golongan) serta kitab-kitab bagus lainnya.

Ternyata beliau baru tahu bahwa Ikhwanul Muslimin mengedarkan kertasnya tadi di Yaman dan negeri lainnya disertai foto Sayyid Quthub dan diberi judul “Nashihah Adz Dzahab” (Nasihat Emas).

Cukuplah bagi beliau mengetahui kesalahannya dari siapa yang menyebarkan kertas itu. Ternyata mereka adalah musuh Syaikh Bakr sendiri, musuh manhaj yang haq.

Kita kembali kepada pembahasan Sayyid Quthub dan melihat masalah yang terjadi di masanya. Ia tidak mampu memimpin jama’ah Ikhwanul Muslimin karena organisasi tersebut telah dinyatakan terlarang di Mesir. Jama’ah dan kantornya telah dibubarkan. Lalu apa yang dilakukan Sayyid ?

Tidak kehilangan akal, dia menulis buku-buku yang telah disebarluaskan di masyarakat. Buku-bukunya penuh dengan racun, filsafat, pengkafiran muslimin, kudeta “Islami” dan lain sebagainya. Banyak pengagum atau pengikut Sayyid Quthub terpengaruh dengan pemikirannya.

(Ditulis oleh Syaikh Ayyid asy Syamari, pengajar di Makkah al Mukaramah, dalam rangka menjawab pertanyaan sebagian jama’ah Ahlusunnah wal Jama’ah asal Belanda tentang perbedaan Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah, Sururiyah dan Yayasan Ihya ut Turats. Penerbit Maktabah As-Sahab 2003. Judul asli Turkah Hasan Al Banna wa Ahammul Waritsin. Penerjemah Ustadz Ahmad Hamdani Ibnul Muslim.)

sumber : http://salafy.or.id/print.php?id_artikel=337

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Kitab Fadha’il Al-A’mal dalam Timbangan As-Sunnah

Posted on 26 Juni 2008. Filed under: JT (Jama'ah Tabligh), Manhaj | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Bagi yang mengenal Jamaah Tabligh, kelompok yang ‘berdakwah’ keliling dari masjid ke masjid, besar kemungkinan akan mengetahui Kitab Fadha’il Al-A’mal, buku wajib yang dipegangi dan dijadikan rujukan kelompok tersebut dalam ‘berdakwah’. Bagi para ‘pendakwah’ mereka ataupun orang-orang yang ‘berlatih dakwah’ bersamanya, kedudukan kitab itu di sisi mereka setara dengan Kitab Shahih (Al-Bukhari Muslim).

Membicarakan Fadha`il Al-A’mal, kitab yang ditulis Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi, tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sebuah kelompok shufiyyah yang para pengikutnya kini semakin menjamur di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kelompok inilah yang dikenal dengan nama Jamaah Tabligh. Adanya hubungan yang erat di antara keduanya karena Jamaah Tabligh menjadikan kitab ini sebagai salah satu sandaran dalam mengamalkan rutinitas harian mereka, baik dibaca di beberapa waktu sehabis shalat fardhu atau menjadikannya sebagai ta’lim akhir malam sebelum tidur, tergantung kesempatan yang diberikan masjid setempat. Atau tergantung waktu yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukannya secara rutin. Hal ini menunjukkan demikian pentingnya peranan kitab ini dalam membentuk fikrah dan akidah seorang tablighi (pengikut Jamaah Tabligh –red). Sebab, apa yang mereka dengarkan tentunya akan diupayakan untuk diwujudkan menjadi suatu amalan dalam berislam.
Sehingga kami memandang perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang kedudukan kitab ini berdasarkan timbangan As-Sunnah dan memperingatkan mereka dari berbagai kesalahan dan penyimpangan yang terdapat dalam pembahasannya.

Secara umum, kitab ini banyak memuat hadits-hadits Rasulullah n yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya, dan banyak penukilan perkataan kaum shufi yang jika seseorang meyakini hal tersebut, dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dan penyimpangan. Wal ‘iyadzu billah.
Asy-Syaikh Hamud bin Abdullah At-Tuwaijiri rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir Min Jama’ah At-Tabligh (hal. 11-12):
“Kitab terpenting bagi orang yang menjadi tablighiyyin adalah kitab Tablighi Nishab (Fadha`il Al-A’mal), yang ditulis salah seorang pemimpin mereka bernama Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi. Dan mereka memiliki perhatian demikian besar terhadap kitab ini dan mengagungkannya sebagaimana Ahlus Sunnah mengagungkan kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), dan kitab-kitab hadits lainnya. Para tablighiyyin telah menjadikan kitab kecil ini sebagai sandaran dan referensi baik bagi orang India, maupun bangsa ‘ajam (non Arab) lainnya yang mengikuti ajaran mereka. Dalam kitab ini termuat berbagai kesyirikan, bid’ah khurafat, serta banyak sekali hadits-hadits palsu dan lemah. Maka hakekatnya, ini merupakan kitab jahat, sesat, dan fitnah. Kaum tablighiyyin telah menjadikannya sebagai referensi untuk menyebarkan bid’ah dan kesesatannya, melariskan serta menghiasinya di hadapan kaum muslimin awam, sehingga mereka lebih sesat jalannya dari hewan ternak.”1

Adapun secara rinci, maka pembahasan kami bagi menjadi beberapa sub bahasan:

Pertama: Al-Kandahlawi dan Takhrij Haditsnya
Sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa kitab ini banyak memuat hadits-hadits lemah, mungkar, palsu, bahkan tidak ada asalnya. Terkadang sebagian riwayat tersebut diketahui penulisnya. Namun sangat disayangkan, takhrij hadits itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, di mana kitab ini ditulis dalam bahasa Urdu (salah satu bahasa resmi di Asia Selatan, red.), kemudian dibaca mayoritas kaum muslimin yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka pun menganggap baik kitab ini dan menyangka bahwa semuanya boleh dijadikan sebagai hujjah. Selanjutnya mereka membaca lalu menjadikannya sebagai keyakinan. Maka terjerumuslah mereka dalam penyimpangan dan kesesatan. Demikian pula ketika kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Malaysia, tidak diterjemahkan takhrij haditsnya. Ini menyebabkan para tablighi dan simpatisannya membaca kitab tersebut tanpa membedakan antara hadits-hadits yang bisa diterima dan yang tertolak. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa contoh tentang apa yang kami sebutkan:

1. Disebutkan dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, bab Fadhilah Adz-Dzikr2 hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَمَّا أَذْنَبَ آدَمُ الذَّنْبَ الَّذِي أَذْنَبَهُ، رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ. فَقَالَ: تَبَارَكَ اسْمُكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَى عَرْشِكَ فَإِذَا فِيْهِ مَكْتُوبٌ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ أَعْظَمَ عِنْدَكَ قَدْرًا عَمَّنْ جَعَلْتَ اسْمَهُ مَعَ اسْمِكَ. فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ: يَا آدَمُ إِنَّهُ آخِرُ النَّبِيِّيْنَ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ وَلَوْ لاَ هُوَ مَا خَلَقْتُكَ

Ketika Adam telah berbuat dosa, ia pun mengangkat kepalanya ke atas langit kemudian berdoa: “Aku meminta kepada-Mu berkat wasilah Muhammad, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Siapakah Muhammad (yang engkau maksud)?” Maka Adam menjawab: “Maha berkah nama-Mu ketika engkau menciptakan aku, akupun mengangkat kepalaku melihat Arsy-Mu, dan ternyata di situ tertulis: Laa ilaaha illallah Muhammadun Rasulullah. Maka akupun mengetahui bahwa tidak seorang pun yang lebih agung kedudukannya di sisi-Mu dari orang yang telah engkau jadikan namanya bersama dengan nama-Mu.” Maka Allah berfirman kepadanya: “Wahai Adam, sesungguhnya dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu, kalaulah bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu.”3

Hadits ini diterjemahkan begitu saja tanpa menerjemahkan takhrij hadits yang disebutkan Al-Kandahlawi. Dia berkata setelah itu: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir, Al-Hakim, Abu Nu’aim, Al-Baihaqi yang keduanya dalam kitab Ad-Dala`il, Ibnu ‘Asakir dalam Ad-Durr, dan dalam Majma’ Az-Zawa`id (disebutkan): Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam Al-Ausath dan Ash-Shaghir, dan dalam (sanad)-nya ada yang tidak aku kenal. Aku berkata: Dan dikuatkan yang lainnya berupa hadits yang masyhur: “Kalau bukan karena engkau, aku tidak menciptakan jagad raya ini”, Al-Qari berkata dalam Al-Maudhu’at: “Hadits ini palsu.”

Cobalah pembaca perhatikan. Hadits ini pada hakekatnya telah diketahui oleh penulisnya sebagai hadits yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, bahkan tidak dikuatkan dengan adanya jalan (sanad) lain. Namun ucapan ini tidak diterjemahkan, sehingga para pembaca kitab ini menyangka bahwa hadits ini termasuk hadits yang bisa diamalkan. Rincian kedudukan hadits ini bisa dilihat dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (1/25) dan kitab At-Tawassul mulai hal. 105, dst. Kedua kitab tersebut karya Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, di mana beliau menghukumi hadits tersebut sebagai hadits palsu.

2. Disebutkan pula dalam kitab tersebut, pada bab yang sama4, hadits dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan bersedih. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Mengapa aku melihatmu bersedih?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, semalam aku berada di sisi anak pamanku, si fulan yang telah meninggal dunia.” Maka Rasul bertanya, “Apakah engkau mentalqinnya dengan Laa ilaaha illallah?” Ia menjawab, “Telah kulakukan, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ia mengucapkannya?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Telah wajib baginya surga.” Abu Bakar bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang yang masih hidup mengucapkan kalimat itu?” Beliau bersabda, “Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka. Kalimat itu merontokkan dosa-dosa mereka.”

Hadits ini pun disebutkan tanpa diterjemahkan takhrijnya, padahal Al-Kandahlawi mengomentari hadits tersebut dengan mengatakan: “Diriwayatkan Abu Ya’la, dalam sanadnya terdapat Za`idah bin Abi Raqqad, ditsiqahkan (dianggap terpercaya, red.) oleh Al-Qawariri, namun dilemahkan Al-Imam Al-Bukhari dan yang lainnya5. Demikian yang terdapat dalam Majma’ Az-Zawa`id6.”
Perkataan ini tertulis dalam bahasa Arab, sehingga tidak pernah dibaca para pembacanya.

3. Disebutkan pula pada bab yang sama7 hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengucapkan:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ أَحَدًا صَمَدًا لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

maka Allah akan menuliskan baginya 2.000.000 kebaikan.”
Hadits ini diterjemahkan pula maknanya tanpa menerjemahkan komentarnya yang mengatakan: “Diriwayatkan At-Thabrani, demikian dalam At-Targhib dan Majma’ Az-Zawa`id. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Faid Abul Warqa, ia ditinggalkan haditsnya (matruk).”
Dan hal yang seperti ini sangat banyak kita dapatkan dalam kitab ini.

Kedua: Hadits Lemah, Palsu dan bahkan Tidak Ada Asalnya

Di samping poin pertama yang kami sebutkan, di dalam kitab ini pun banyak sekali termuat hadits-hadits yang lemah, palsu, bahkan tidak ada asalnya dalam kitab-kitab sunnah, tanpa ada komentar sedikit pun. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang umatnya untuk meriwayatkan satu ucapan kemudian menisbahkannya kepada beliau tanpa ada penelitian tentang kebenaran riwayat tersebut, atau menukilkan pendapat para ulama yang dijadikan sebagai sandaran dalam menghukumi suatu riwayat. Rasulullah bersabda:

فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya, diriwayatkan lebih dari seratus shahabat g)

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan mengatakan segala yang didengarnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

Disebutkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah ketika beliau menyebutkan beberapa hal yang menjadi kritikan atas Jamaah Tabligh: “Membacakan hadits-hadits yang lemah, palsu, dan tidak ada asalnya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Hindarilah banyak memberitakan hadits dariku. Maka barangsiapa yang menisbahkan kepadaku, maka hendaklah mengucap-kan kebenaran atau kejujuran. Barangsiapa mengada-ada sesuatu atasku yang aku tidak ucapkan, maka hendaklah dia persiapkan tempat duduknya dalam neraka’. (HR. Al-Imam Ahmad, dari hadits Abu Qatadah)8
Dan berikut ini akan kami sebutkan pula beberapa contoh tentang hal ini:

1. Disebutkan dalam bab Fadhilah Shalat, hal. 288, hadits yang berbunyi:
“Shalat akan membuat mulut setan menjadi hitam dan akan mematahkan punggungnya.” (Jami’us Shaghir)
Dalam kitab Al-Jami’ush Shagir berbunyi demikian, yang artinya: “Shalat itu menghitamkan wajah setan, dan sedekah itu akan mematahkan punggungnya.” Hadits ini merupakan hadits yang sangat lemah. Karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdullah bin Muhammad bin Wahb Al-Hafizh. Ad-Daruquthni berkata tentangnya: “Matruk (ditinggalkan haditsnya).” Dan ada perawi lain bernama Zafir bin Sulaiman. Adz-Dzahabi berkata tentang dia: “Lemah sekali.” Dan hadits ini sangat dilemahkan oleh Al-Albani dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 3560.

2. Disebutkan dalam bab Fadhilah Adz-Dzikr hal. 432, ia berkata: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah enam puluh tahun.”
Padahal hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana telah diterangkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 1/173. Adapun riwayat yang shahih, dengan lafadz:

لَقِيَامُ رَجُلٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ سَاعَةً أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةٍ سِتِّيْنَ سَنَةً

“Berdirinya seseorang di jalan Allah sesaat lebih afdhal dari beribadah selama enam puluh tahun.” Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/1901.

3. Demikian pula yang disebutkan dalam bab Fadhilah Al-Qur`an, hal. 644, bahwa barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur`an di siang hari, maka malaikat akan mendoakannya hingga malam hari, dan barangsiapa yang menamatkannya di awal malam, maka para malaikat mendoakan-nya hingga pagi hari.
Padahal hadits inipun lemah, sebagaimana telah diterangkan Al-’Allamah Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, 10/4591.

Ketiga: Membawa Pemahaman Kaum Shufiyyah

Kitab ini banyak sekali menukil afkar (pemikiran) kaum Shufiyyah yang dapat menjerumuskan kaum muslimin ke dalam berbagai penyimpangan yakni kerusakan aqidah, sikap ekstrim dalam beribadah, dan semisalnya. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika kitab ini menjadi buku pegangan seorang tablighi, dikarenakan Jamaah Tabligh merupakan kelompok yang dibangun di atas empat tarekat shufiyyah: Naqsyabandiyyah, Jusytiyyah, Sahrawardiyyah, dan Qadiriyyah.9

Berikut ini, akan kami nukilkan pula beberapa perkataan yang dinukilkan dari kaum Shufiyyah:
Disebutkan pada bab Fadhilah Shalat, hal. 316-317, Al-Kandahlawi berkata: Asy-Syaikh Abdul Wahid rah. a10, seorang sufi yang masyhur, mengatakan bahwa pada suatu hari beliau didatangi rasa kantuk yang luar biasa, sehingga beliau tertidur sebelum menyelesaikan dzikir malam itu. Di dalam mimpinya beliau melihat seorang gadis berpakaian sutera hijau yang amat cantik sementara seluruh tubuh hingga kakinya sibuk berdzikir. Gadis tersebut bertanya kepada beliau, adakah keinginan beliau untuk memilikinya? Dia mencintai beliau, kemudian dibacanya beberapa bait syair. Setelah bangun dari tidurnya, beliau bersumpah bahwa beliau tidak akan tidur pada malam hari. Diriwayatkan bahwa selama 40 tahun beliau shalat shubuh dengan wudhu shalat ‘Isya.

Dalam kisah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama: Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk berbuat ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beribadah, dan memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya sesuai dengan kemampuan. Sehingga, agama ini menghendaki agar seorang muslim mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan nasyath (giat), sehingga mampu mengerjakan ibadah tersebut dalam keadaan khusyu’ dan sesempurna mungkin. Dan apabila ia dalam keadaan mengantuk, maka dianjurkan baginya beristirahat hingga rasa kantuk tersebut hilang.

Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memasuki masjid, ternyata ada sebuah tali yang terbentang di antara dua tiang, lalu beliau bertanya, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Tali ini milik Zainab11, jika ia lesu (berdiri untuk shalat), diapun bergantung dengannya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lepaskan (tali) itu. Hendaklah salah seorang kalian shalat di saat giatnya. Jika ia lesu, maka hendaklah ia tidur.”

Demikian pula yang diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

“Jika salah seorang kalian dalam keadaan mengantuk, sementara dia shalat. Maka hendaklah ia tidur sampai hilang rasa kantuknya. Karena sesungguhnya jika salah seorang kalian shalat dalam keadaan mengantuk, dia tidak mengetahui. Jangan sampai dia hendak beristighfar lalu tanpa sadar ia mencerca dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Kedua: Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melaksanakan shalat malam adalah apa yang beliau sebutkan dalam haditsnya, yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَكَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ

“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud . Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud, beliau tidur di pertengahan malam, bangun di sepertiga malam, dan tidur seperenam malam.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Disebutkan pula dalam kitab ini, hal. 484 dari Syaikh Waliyullah yang berkata dalam kitab Qaulul Jamil: “Ayah saya telah berkata bahwa ketika saya baru belajar suluk, dalam satu nafas dianjurkan supaya membaca Laa ilaaha illallah sebanyak dua ratus kali,” Syaikh Abu Yazid Qurtubhi berkata: “Saya mendengar bahwa barang-siapa membaca kalimat Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, ia akan terbebas dari api neraka. Setelah mendengar hal itu, saya membaca untuk istri saya sesuai dengan nishab12 tersebut. Tidak lupa, saya juga membaca untuk nishab diri saya sendiri. Di dekat saya, tinggal seorang pemuda yang terkenal sebagai ahli kasyaf13. Dia juga kasyaf tentang surga dan neraka. Namun saya agak meragukan kebenarannya. Pada suatu ketika, pemuda tersebut ikut makan bersama kami. Tiba-tiba ia berkata dan meminta kepada saya sambil berteriak, katanya: “Ibu saya masuk neraka, dan telah saya saksikan keadaannya.” Karena melihat kegelisahan pemuda tersebut, saya berpikir untuk membacakan baginya satu nishab bacaan saya untuk menyelamatkan ibunya, di samping juga untuk mengetahui kebenaran mengenai kasyaf-nya. Maka, saya membacanya sebanyak 70.000 kali sebagai nishab yang saya baca untuk diri saya itu, guna saya hadiahkan kepada ibunya. Saya meyakini dalam hati bahwa ibunya pasti selamat. Tidak ada yang mendengar niat saya ini kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah beberapa waktu, pemuda tersebut berteriak, “Wahai paman, wahai paman, ibu saya telah bebas dari api neraka.” Dari pengalaman itu, saya memperoleh dua manfaat: Pertama, saya menjadi yakin tentang keutamaan membaca Laa ilaaha illallah sebanyak 70.000 kali, karena sudah terbukti kebenarannya. Kedua, saya menjadi yakin bahwa pemuda tersebut benar-benar seorang ahli kasyaf.”

Cobalah perhatikan kisah ini. Jika seorang muslim membaca dan meyakini cerita khurafat ini, maka dia akan terjatuh ke dalam berbagai penyimpangan, di antaranya:

* Menetapkan wirid tertentu dengan bilangan yang telah ditetapkan, lalu menyebutkan keutamaannya, yang semuanya tidak bersumber dari pembawa syariat: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini jelas merupakan bid’ah yang jahat dan menyesatkan. (silahkan baca kembali Majalah Asy-Syari’ah Vol. I/No. 07/1425 H/2004, Bid’ahnya Dzikir Berjamaah)

* Apa yang disebut sebagai ahli kasyaf adalah dusta belaka. Karena tidak seorang pun yang dapat mengetahui nasib seseorang di akhirat, apakah dia pasti masuk ke dalam surga ataukah neraka, kecuali yang dikabarkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba yang dikehendaki-Nya dari kalangan para rasul-Nya. Firman-Nya:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلىَ غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

“(Dialah) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Dan penukilan-penukilan yang seperti ini banyak sekali terdapat dalam kitab Fadha`il Al-A’mal, karya Muhammad Zakaria tersebut. Sehingga, hendaklah kaum muslimin berhati-hati dari kitab ini, dan mencari kitab-kitab yang jauh lebih selamat, yang bisa mengantarkan seseorang untuk mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti kitab Shahih Al-Bukhari pada kitab Ar-Raqa‘iq, Al-Adab, dan yang semisalnya. Demikian pula Shahih Muslim pada kitab Ad-Dzikr dan Al-Bir Wash-Shilah Wal-Adab, dan kitab-kitab sunnah yang lainnya. Atau seperti Riyadhus Shalihin, karya Al-Imam An-Nawawi, Al-Kalim Ath-Thayyib, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah14, dan masih banyak lagi kitab-kitab sunnah yang jauh lebih baik dan selamat dari berbagai penyimpangan.

Wallahu a’lam.


___________________________________________________________________________________________________________________

1 Al-Qaulul Baligh, hal. 11-12

2 Hal. 497, versi Bahasa Indonesia, terbitan Ash-Shaff, Yogyakarta, Sya’ban tahun 1421 H.

3 Dalam cetakan tersebut terdapat kekurangan dalam penukilan lafadz Arabnya, maka disempurnakan oleh penulis dari referensi lainnya.

4 Hadits no. 32, hal. 503

5 Al-Imam Al-Bukhari tidak hanya melemahkannya, bahkan menghukuminya: munkarul hadits. Dan bila Al-Imam Al-Bukhari menghukumi seorang rawi dengan hukum ini, maka maksudnya adalah tidak dihalalkan mengambil riwayat dari perawi tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan Ibnul Qaththan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Semua yang aku tetapkan sebagai munkarul hadits maka tidak halal mengambil riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 1/119, tarjamah Aban bin Jabalah Al-Kufi)

6 Fadhilah Dzikr, hal 504.

7 Hal. 507, hadits ke-35

8 Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 96

9 Al-Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, Hamud At-Tuwaijiri, hal. 11

10 Demikian tertulis, maksudnya radhiallahu anhu.

11 Terjadi silang pendapat tentang Zaenab yang dimaksud dalam hadits ini. Ada yang mengatakan Zaenab bintu Jahsy, salah seorang Ummul Mukminin. Ada pula yang mengatakan Hamnah bintu Jahsy, yang memiliki nama lain Zaenab. Karena semua anak perempuan Jahsy dipanggil dengan nama Zainab. (Dalil Al-Falihin, 1/287)

12 Nishab artinya bahagian.

13 Ahli kasyaf adalah seseorang yang mampu melihat segala hal ghaib, karena hijab telah diangkat darinya. Begitulah anggapan mereka, namun hakekatnya semua itu adalah bohong belaka.

14 Yang keduanya telah ditakhrij dan ditahqiq hadits-haditsnya oleh Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=326
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Dr. Yusuf al-Qaradhawi Da’i Sesat Perusak Syari’at

Posted on 23 Juni 2008. Filed under: IM (Ikhwanul Muflisin), Manhaj, Tokoh Sempalan | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Sesungguhnya bencana yang tengah menimpa umat dewasa ini adalah menjamurnya kelompok-kelompok orang yang berani memanipulasi (memalsukan) “selendang ilmu” dengan mengubah bentuk syari’at Islam dengan istilah “tajdidi” (pembaharuan), mempermudah sarana-sarana kerusakan dengan istilah “fiqih taisiir” (fiqih penyederahanaan masalah), membuka pintu-pintu kehinaan dengan kedok “ijtihad” (upaya keras untuk mengambil konklusi hukum Islam), melecehkan sederet sunnah-sunnah Nabi dengan kedok “fiqih awlawiyyat” (fiqih prioritas), dan berloyalitas (menjalin hubungan setia) dengan orang-orang kafir dengan alasan “memperindah corak (penampilan) Islam”.

Tokoh yang menjadi pentolannya adalah seorang tukang fatwa lewat parabola, Yusuf bin Abdillah Al-Qaradhawi, yang berusaha keras menyebarkan gagasan-gagasan pemikiran di atas lewat tayangan-tayangan parabola, jaringan-jaringan internet, konfrensi-konfrensi, studi-studi keislaman, ceramah-ceramah, dan lain-lain.

Lembaran-lembaran kertas yang ada di hadapan pembaca ini memuat ringkasan dari beberapa ide pemikiran tokoh ini (Qaradhawi) yang dengan berbagai cara berusaha melariskan ide-ide pemikiran tersebut. Sengaja penulis tampilkan gagasan-gagasan Qaradhawi ini sebagai upaya memberi nasehat kepada umat Islam, dan sebagai pernyataan berlepas diri, serta memberi peringatan kepada umat Islam agar selalu waspada terhadap tokoh ini (Qaradhawi) dan tokoh-tokoh lain yang seide dengannya.

Bagi orang yang ingin mengetahui secara rinci uraian tentang gagasan-gagasan pemikiran Qaradhawi berikut sanggahan-sanggahannya, semuanya telah tercantum di dalam kitab “Al-I’laam binaqdi Al-Kitab Al-Halal wa Al-Haram” (“Kritik terhadap kitab ‘Halal dan Haram’ “Qaradhawi) karya Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan[1], juga “Ar-Raddu ‘Ala Al-Qaradhawi” karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[2], Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Manshur Al-‘Udainiy, serta kitab-kitab lainnya .

Kemudian, kami mendapati dalam artikel-artikel M. Shodiq Mustika banyak menukil pernyataan Yusuf Qaradhawi ini. Sejauh pengamatan kami, kami mendapati 2 (dua) artikel yang mana beliau (baca: M.Shodiq) menukil secara keseluruhan dari buku terjemahan karya Yusuf Qaradhawi –Allahu Ta’ala A’lam-.

Sebagaimana kami kemukakan di atas, maka pada kesempatan ini kami hanya akan membahas tentang penyelewengan-penyelewengan Yusuf Qaradhawi dengan berbagai bukti yang kami miliki. Adapun kesesatan-kesesatan Yusuf bin Abdillah Qaradhawi Al-Mishriy diantaranya adalah sbb;

Berusaha Menyatukan Antara Sunni dan Syi’ah

Pada acara “Hiwar Maftuh” yang diadakan pada tanggal 18/1/1425 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 9/3/2000 Masehi Yusuf bin Abdillah Al-Qaradhawi berkata:

”Yakni, saya mengetahui hal ini (penyatuan antar madzhab islamiy) sejak berpuluh-puluh tahun lamanya.Saya mulai mengetahuinya semenjak di kota Kairo, diantara orang-orang yang menyerukan hal ini adalah Syaikh Abdul Majid Saliim, Mahmud Saltut, Abdul ‘Aziz ‘Isa, Syaikh Muhammad Al-Madaniy serta Hasan Al-Banna bersama mereka. Dan Syaikh Taqiyuddin Al-Qummiy[3] pergi ke markaz Ikhwanul Muslimin dan Syaikh Hasan Al-Banna menerima beliau. Beliau (baca:Syaikh Hasan Al-Banna) adalah mursyid pertama (Ikhwanul Muslimin, pent)…”.

Fatwa Ulama Tentang Penyatuan Madzhab Antara Ahlus Sunnah Dan Syia’h

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya: Dari apa yang Anda ketahui tentang sejarah Rafidhah (Syi’ah), bagaimana sikap Anda terhadap orang-orang yang menyeru terhadap penyatuan antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah (Syi’ah)?

Maka Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah menjawab sbb:

التقريب بين الرافضة وبين أهل السنة غير ممكن؛ لأن العقيدة مختلفة ، فعقيدة أهل السنة والجماعة توحيد الله وإخلاص العبادة لله سبحانه وتعالى ، وأنه لا يدعى معه أحد لا ملك مقرب ولا نبي مرسل وأن الله سبحانه وتعالى هو الذي يعلم الغيب ، ومن عقيدة أهل السنة محبة الصحابة رضي الله عنهم جميعا والترضي عنهم والإيمان بأنهم أفضل خلق الله بعد الأنبياء وأن أفضلهم أبو بكر الصديق ، ثم عمر ، ثم عثمان ، ثم علي ، رضي الله عن الجميع ، والرافضة خلاف ذلك فلا يمكن الجمع بينهما ، كما أنه لا يمكن الجمع بين اليهود والنصارى والوثنيين وأهل السنة ، فكذلك لا يمكن التقريب بين الرافضة وبين أهل السنة لاختلاف العقيدة التي أوضحناها

“Penyatuan antara Ahlus Sunnah dengan Rafidhah adalah suatu hal yang tidak mungkin, dikarenakan aqidah yang berbeda. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan ibadah hanya kepadanya semata, serta mereka tidak menyembah seorangpun dalam beribadah kepada-Nya, tidak dengan (wasilah) para malaikat maupun dengan para rasul yang diutus-Nya, dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah yang mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Dan termasuk aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, meridhai mereka, dan mengimani bahwa mereka adalah sebaik-baiknya makhluk (manusia, pent) setelah para nabi. Orang yang paling mulia di antara mereka (para sahabat, pent) adalah: Abu Bakr Ash-Shidiq, Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhilallahu anhum. Sedangkan aqidah Rafidhah (Syi’ah) menyelisihi hal ini, maka tidak mungkin menyatukan antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Sebagaimana tidak mungkin menyatukan antara Yahudi dan Nashara, para penyembah kubur dan Ahlus Sunnah. Demikian juga tidak mungkin menyatukan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah dikarenakan perbedaan dalam masalah aqidah sebagaimana yang nampak jelas bagi kita”[4]

Tahukah pembaca apa yang menyebabkan beliau dan orang-orang mengikuti beliau berusaha keras untuk mewujudkan hal ini?, insyaAllah Anda akan mendapatkan jawabannya pada poin berikutnya.

.

Kaidah “Emas” Ikhwanul Muslimin dan Yusuf Qaradhawi

Berkata Yusuf Qaradhawi pada acara yang sama sbb:

وموقف الإخوان واضح من زمن طويل أنهم يحاولون تجميع الأمة الإسلامية كلها، وكانت قاعدتهم هي القاعدة الذهبية التي أقامها الشيخ رشيد رضا رحمه الله وتبناها الشيخ حسن البنا نتعاون فيما اتفقنا عليه ويعذر بعضنا بعضا في ما اختلفنا فيه
“Dan sikap ikhwan (Al-Muslimin, pent) sangatlah jelas dari dahulu kala bahwasannya mereka berusaha untuk menyatukan seluruh umat islam. Dan sesungguhnya kaidah mereka ini adalah “kaidah emas” yang mana kaidah ini pertama kali diusung oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah kemudian diikuti oleh Syaikh Hasan Al-Banna (kaidah itu adalah, pent): “Kita saling bekerjasama dengan apa-apa yang telah kita sepakati dan kita saling memaafkan dengan apa-apa yang kita saling berbeda pendapat padanya’”.

Maka janganlah Anda heran apabila dalam tubuh Ikhwanul Muslimin akan terdapat banyak golongan, ada Nashara, Kuburiyin, Syi’ah, Asy’ariyyah, Jama’ah Tabligh dll hal ini dikarenakan “kaidah emas” mereka di atas. Dan sebab kaidah inilah Yusuf Qaradhawi mengucapkan kalimat seperti di atas.

.

Yusuf Qaradhawi Menolak Hadits Perpecahan Umat

Dari Halaqah program “Syari’a Wal Hayaah” tertanggal 28/09/2003 Masehi dengan judul Halaqah “At-Taqrib Bainal Madzahib Islamiyyah” berkata Yusuf Qaradhawi:

أولاً: أنا يعني لست ممن يُصَحِّح هذا الحديث، يعني الحديث دا هناك من العلماء من رده ومنهم الإمام ابن الوزير الذي يعني رد هذا الحديث وخصوصاً الزيادة التي تقول يعني “كلها في النار إلا واحدة”، قال احذر هذه الزيادة فإنها من دسيس الملاحدة
Pertama: Saya adalah termasuk orang yang tidak menshahihkan hadits ini (perpecahan umat, pent). Di sana ada beberapa ulama yang menentangnya (tentang kshahihan hadits, pent) dan di antara orang yang menentang keshahihan hadits ini adalah Al-Imam Ibn Al-Wazir terutama ia menolak penambahan pada kalimat “semuanya masuk Neraka kecuali satu”. Ia berkata:’Hati-hatilah dari penambahan ini, karena penambahan ini berasal dari tipuan orang-orang atheis’.

.

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Tentang Hadits Perpecahan Umat

فتوى للشيخ الفقيه بن عثيمين حول هذا الحديث
السؤال: له سؤال أخير يقول وجدت في تفسير ابن كثير حديثاً يقول فيه الرسول صلى الله عليه وسلم ما معناه ستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة فهل هذا الحديث صحيح وما هي الفرق الضالة من هذه الفرقة الناجية؟
هذا الحديث صحيح بكثرة طرقه وتلقي الأمة له بالقبول فإن العلماء قبلوه وأثبتوه حتى في بعض كتب العقائد وقد بين النبي عليه الصلاة والسلام أن الفرقة الناجية هي الجماعة الذين اجتمعوا على ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه من عقيدة وقول وعمل فمن التزم ما كان عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم من العقائد الصحيحة السليمة والأقوال والأفعال المشروعة فإن ذلك هو الفرقة الناجية ولا يختص ذلك بزمن ولا بمكان بل كل من التزم هدي الرسول عليه الصلاة والسلام ظاهراً وباطناً فهو من هذه الجماعة الناجية وهي ناجية في الدنيا من البدع والمخالفات وناجية في الآخرة من النار

Soal: Saya mendapati dalam kitab Tafsir Ibn Katsir beberapa hadits, ia menyebutkan bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang maknanya “akan terpecah belah umat ini (Islam) menjadi 73 golongan semuanya akan masuk Neraka kecuali satu” apakah hadits ini shahih, dan siapakah golongan yang sesat dari golongan yang selamat ini?

Jawab: “Hadits ini shahih dengan berbagai jalan (sanad) dan umat menerima hadits ini. Sesungguhnya para ulama menerima dan menetapkan (keshahihan hadits ini, pent) sampai-sampai dalam beberapa kitab aqidah membahas hal ini. Sungguh, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan kepada kita tentang golongan yang selamat adalah “al-jama’ah” yang mana mereka itu adalah orang-orang yang menetapi apa-apa yang mana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berada padanya dalam masalah aqidah, perkataan, serta perbuatan. Barangsiapa yang beriltizam dengan apa-apa yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berada padanya dalam masalah aqidah yang shahih dan selamat, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan yang ditentukan oleh syari’at, maka mereka itu adalah golongan yang selamat. Golongan ini (baca:Al-Firqatun Najiyyah, pent) tidaklah dikhususkan oleh zaman dan tempat, bahkan barangsiapa yang beriltizam dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam baik secara zhahir maupun bathin maka dia termasuk golongan yang selamat ini. Golongan ini di dunia selamat dari perkara-perkara bid’ah serta perselisihan dan di akhirat selamat dari siksa api Neraka”. (Fatawa Nuur ‘alal Darb).

Kami berkata: Sesungguhnya kabar tentang perpecahan umat ini telah diterangkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah[5], dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Ali Imron: 105).

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…” (QS. Asy-Syura: 13).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” (QS. Al-An’am: 153).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’: 115).

Sedangkan untuk pembahasan keshahihan hadits perpecahan umat, silakan Anda milihat langsung di kitab Zhilalul Jannah Takhrij Kitabus Sunnah oleh Al-Muhadits Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

Ternyata Yusuf Qardhawi tidak hanya menolak hadits perpecahan umat ini saja, beliau pun menolak hadits-hadits lainnya yang tidak sesuai dengan akal beliau. Di antaranya hadits-hadits tersbut adalah sbb:

a. Di dalam “Shahih Muslim” terdapat hadits marfu’ (hadits yang rangkaian perawinya sampai kepada Nabi) yang shahih:

إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu masuk nereka”.

Dan para ulama telah sepakat tentang kepastian hal itu (yaitu bahwa ayah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) masuk Neraka, pent.)

Berkata Qaradhawi mengomentari tentang hadits di atas :

”Dosa apakah yang diperbuat Abdullah bin Abdul Muthalib sehingga ia berada di neraka sedangkan dia adalah ahli fatrah (orang yang hidup di masa kekosongan wahyu antara kurun Nabi Isa ‘Alaihis Salam dan masa kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, peny.) dan yang shahih ialah bahwa mereka selamat dari azab”.

Kemudian ia menyebut kemungkinan yang terbersit olehnya yaitu ia mengartikan kalimat Abi (ayahku) dalam hadits di atas sebagai Abu Thalib karena ia adalah paman nabi dan paman adalah ayah. Kemudian ia membuangnya jauh-jauh seraya berkata:

”Akan tetapi itu adalah kemungkinan yang terlemah menurutku karena ia bertentangan dengan yang tersurat dari satu sisi. Dari sisi lain, apa dosa ayah laki-laki yang bertanya (sehingga ia masuk neraka). Yang tampak ialah karena ayahnya itu mati sebelum Islam. Oleh karena itu aku ber-tawaqquf terhadap hadits ini hingga jelas bagiku sesuatu yang menyejukkan dada. Adapun syaikh kami, Muhammad Al Ghazali telah menolak hadits tersebut secara terang-terangan … .”

Sampai perkataannya :

”Akan tetapi terhadap hadits shahih aku lebih memilih untuk bersikap tawaqquf tanpa menolaknya secara mutlak, khawatir apabila terdapat makna yang belum aku ketahui”. (Kaifa Nata’aamalu Ma’as Sunnah An Nabawiyah, halaman 97-98)

b. Di dalam “Shahih Bukhari” dan “Shahih Muslim” tercantum hadits marfu’ yang shahih:

يُوْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ
“Maut (kematian) akan didatangkan (pada hari kiamat) dalam bentuk seekor domba jantan berwarna sangat biru”. (H.R. Bukhari – Muslim)

Qaradhawi berkata:

“Telah dapat diketahui dengan yakin (pasti) yang kepastiannya telah ditetapkan oleh akal dan wahyu bahwa kematian itu bukan seekor domba jantan atau sapi jantan atau salah satu jenis binatang”.

c. Di dalam “Shahih Bukhari” tercantum hadits marfu’ yang shahih:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) yang menguasakan urusan (pemerintah) mereka kepada wanita”. (H.R. Bukhari)

Qaradhawi berkata:

“Ketentuan ini hanya berlaku di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di mana hak untuk menjalankan pemerintahkan ketika itu hanya diberikan kepada kaum laki-laki sebagai sikap kesewenang-wenangan. Adapun di zaman sekarang ini ketentuan ini tidak berlaku”.

4. Disebutkan di dalam hadits yang shahih:

مَا رَأَيْتُ مِن ناَقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَسْلَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Aku tidak pernah melihat makhluk yang kurang sempurna akalnya dan kurang sempurna ketaatan mengamalkan agamanya yang lebih mampu menggoyahkan hati seorang laki-laki yang teguh sekalipun daripada masing-masing orang di antara kalian (kaum wanita)”.

Qaradhawi berkata :

“Sesungguhnya pernyataan ini terlontar dari ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk bergurau”.

5. Disebutkan dalam hadits shahih:

لاَ يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“Seorang muslim tidak dijatuhi hukuman bunuh (hukum qishash) disebabkan membunuh orang kafir”.

Setelah Qaradhawi menyatakan bahwa seorang muslim harus dijatuhi hukum bunuh (qishash) disebabkan ia membunuh orang kafir – suatu pernyataan yang bertentangan dengan ketentuan yang terkandung di dalam hadits di atas – Qaradhawi berkata:

“Sesungguhnya pendapat ini (pendapat yang mengatakan bahwa seorang muslim harus dijatuhi hukuman qishash lantaran membunuh orang kafir, pent.) adalah pendapat yang benar, yang tidak layak pendapat yang lainnya diterapkan di zaman kita ini. Dan dengan memperkuat pendapat ini, berarti kita telah membatalkan semua argumen (alasan) pendapat lain. Dengan begitu berarti kita telah mengibarkan bendera syari’at Islam yang putih cemerlang (terang-benderang)”.

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat Qaradhawi yang meyimpang (sesat) dalam mensikapi Sunnah Nabi di samping pendapat-pendapat Qaradhawi yang telah diutarakan di atas.

.

Yusuf Qaradhawi dan Israel (Yahudi)

Berkata Yusuf Al-Qaradhawi:

نحن لا نقاتل إسرائيل من أحل الإسلام, ولكن نقاتلها من أجل الإحتلام
“Kami tidaklah memerangi Israel di karenakan Islam, akan tetapi kami memerangi Israel di karenakan perebutan masalah tanah”[6].

Yaa Qaradhawi, dimanakah pemahaman Anda terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah yang menerangkan kepada kita bahwa kaum muslimin memerangi ”para penentang-Nya” dikarenakan masalah agama (Baca: agar mereka memeluk Islam, pent).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran: 85).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat: 33).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (QS. Al-Baqarah: 120).

Na’am, apakah dalam ayat di atas disebutkan “sampai mereka mengembalikan tanah kalian !!!?” .Tidaklah mereka ridho kepada kita sampai kita mengikuti millah (agama) mereka wahai saudaraku.

Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:

إنك ستأتي قوم من أهل الكتاب؛ فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله الا الله, و أن محمد رسول الله
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahlil Kitab; maka hendaklah hal yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah ‘persaksian bahwasannya tidak ada ilah yang berhaq di sembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”.

Hal yang pertama kali di dakwahkan adalah kalimat Tauhid (Kalimat Laa Ilaha Ilallah Muhammad Rasulullah, pent) bukan masalah negera atau tanah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. At-Taubah: 24).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أمرت أن أقتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله, و أن محمد رسول الله, ويقموا الصلاة, ويؤتوا الزكاة, فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم و أموالهم إلا بحق الإسلام, وحسابهم على الله

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia agar mereka mengucapkan syahadat bahwasannya tidak ada ilah yang berhaq disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka melakukan hal yang demikian maka tidak halal bagi kami darah dan harta mereka kecali karena haq Islam, dan perhitungannya hanya pada Allah”.

Dalam Shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar dan hadits Buraidah dalam shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

ادعهم إلى الإسلام, فإن أبوا فالجزية, فإن أبوا فالقتال
“Serulah mereka (untuk memeluk, pent) Islam, apabila mereka enggan/menentang maka baginya Jizyah, dan apabila mereka (masih) menentang maka perangilah mereka”.[7]

Demikianlah hakikat permusuhan kita dengan para penentang agama Allah.

.

Yusuf Qaradhawi dan Kebebasan Wanita

Qaradhawi berusaha mengoyak tabir (hijab) yang menutupi kaum wanita dengan berbagai cara yang dapat ia lakukan. Berulangkali Qaradhawi menyatakan bahwa memisahkan tempat kaum wanita dari tempat kaum pria hukumnya adalah bid’ah dan tergolong tradisi yang tidak berasal dari ajaran Islam[8], dan bahwa sekat (pembatas) yang memisahkan tempat kaum wanita dari tempat kaum pria harus dilenyapkan.

Qaradhawi berkata dengan redaksi berikut ini:

“Dalam usiaku yang telah mencapai 70 tahun aku pernah pergi ke Amerika untuk menghadiri konfrensi-konfrensi Islam. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa ceramah-ceramah yang disampaikan dalam konfrensi-konfrensi Islam tersebut diikuti oleh para peserta wanita yang berada di suatu tempat (ruangan), sedang ceramah-ceramah yang diikuti oleh para peserta pria disampaikan di tempat (ruangan) yang lain. Suasana yang serba kaku tampaknya meliputi audiens (hadirin) dan terkesan bahwa mereka meniru-niru tradisi Barat, sehingga mereka berpegang pada pendapat yang kaku dan meninggalkan pendapat yang kuat. Akibatnya para peserta pria ditempatkan di ruang pertemuan yang terpisah dari ruang pertemuan para peserta wanita.[9]

Mengenai acara yang sama, Qaradhawi berkata :

“Padahal konfrensi-konfrensi semacam ini merupakan kesempatan bagi seorang pemuda untuk menatap seorang pemudi sehingga hatinya menjadi tertarik, lalu si pemuda dapat leluasa menanyakan tentang identitas si pemudi yang dengan sebab itu Allah bukakan pintu hati muda-mudi tersebut, dan di belakang pertemuan itu terbentuklah keluarga yang islamiy”.

Pada acara yang sama pula (Konfrensi Islam), ketika Qaradhawi dihampiri oleh seorang laki-laki yang ditugaskan untuk memberikan kata sambutan sebelum Qardhawi menyampaikan ceramah khusus di hadapan para peserta wanita, Qaradhawi berkata :

“Telah saya katakan kepada orang laki-laki yang ditugaskan untuk memberikan kata sambutan : ‘Apa peran Anda dalam acara ini ? Seharusnya peran Anda ini digantikan oleh salah seorang akhwat, karena pokok pembahasan yang akan diutarakan dalam ceramah adalah khusus untuk mereka (akhwat). Oleh karena itu salah seorang di antara akhwat itulah yang seharusnya memberikan kata sambutan sebagai pengantar ceramahku, mengucapkan sepatah kata, dan mengajukan pertanyaan-pernyataan, yang dengan cara ini berarti kita melatih mereka (akhwat) dalam bidang leadhersheap (kepemimpinan). Tatapi sayangnya sikap sewenang-wenang dari kaum laki-laki masih saja menimpa kaum wanita sampai-sampai sikap sewenang-wenang ini terjadi dalam urasan-urusan khusus kaum wanita’.”

Qaradhawi mengatakan bahwa wanita-wanita yang berhijab pun harus tampil dalam acara-acara televisi dan tayangan-tayangan parabola,[10] dan para wanita harus ikut serta dalam acara-acara pementasan drama dan sandiwara.[11]

Bahkan Qaradhawi menuturkan bahwa dia mempunyai dua orang puteri yang telah menamatkan studinya di beberapa universitas di Inggris – di sini sebenarnya Qardhawi ingin mengajak orang untuk mendukung budaya ikhtilath (campur-baur laki-laki dengan para wanita di satu tempat), budaya yang tak tahu malu – sehingga kedua puteri Qaradhawi tersebut mandapat gelar doktor, yang satu orang di bidang fisika nuklir dan yang lainnya di bidang biokimia.[12]

Demikian catatan kecil kami terhadap da’i sesat Yusuf bin Abdillah Al-Qoradhawi Al-Mishriy.

.

Ditulis Oleh Seorang Hamba yang Selalu Mengharap Ampunan-Nya

Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan

Jahra, Kuwait: Sabtu, 01 Dzul Qo’dah 1428 H – 11 November 2007 M

 


Catatan Kaki:

1) Anggota Kibar Ulama (Persatuan Ulama-ulama besar) Saudi Arabia.

2) Ahli Hadits abad 20, berasal dari Yaman.

3) Seorang Ulama Syi’ah.

4) Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, jilid: 5.

5) Makna tali Allah dalam ayat ini adalah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Fadhaailul Qur’an, hal: 75; Ad-Darimi 2/43; Ibn Nashir dalam As-Sunnah no. 22; Ibn Ad-Dhurais dalam Fadhaailul Qur’an, 74; Ibn Jarir dalam Tafsir-nya no. 7566 (Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir Al-Mishriy); At-Thabari dalam Tafsir-nya 9/9031; Imam Al-Ajuri dalam Asy-Syari’ah, hal: 16; Ibn Baththah dalam Al-Ibaanah no. 135. Riwayat ini Shahih.

6) Dinukil dari kitab Raad ‘alal Qordlowi, hal: 17. Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wada’iy rahimahullah. Cet: Daarul Atsar, Shona’a-Yaman.

7) Idem, hal: 17-18 dengan sedikit perubahan.

8) Qardhawi mengutarakan pernyataan ini di beberapa kitab karangannya, dan diberbagai acara serta di berbagai seminar yang Qardahwi ditunjuk menjadi pembicaranya. Di antaranya kitab “Awlawiyyaat Al Harakah Al Islaamiyyah” halaman 67, kitab “Malaamih Al Majtama’ Al Muslim” halaman 3, dan kitab “Markaz Al Mar’ah” halaman 41-130.

9) Qardhawi mengemukakan pernyataan ini pada pertemuan yang bertemakan “Tahaddiyaat Al Mar’ah Al Muslimah Fi Al Gharbi” yang merupakan bagian dari acara “Asy Syari’ah wa Al Hayaah” yang diselenggarakan pada tanggal 13 Juni 1999M.

10) Qardhawi mengemukakan perkataan ini dalam pertemuan yang bertemakan “Al Fadhaa’iyyaat” (“Tayangan-tayangan Parabola”) yang merupakan bagian dari acara “Asy-Syari’ah wa Al Hayaah” yang diadakan pada tanggal 13 Juni 1999M.

11) Majalah “Al Mujtama’” Edisi no. 1319 tanggal 9 Jumada Ats Tsaaniyah 1419H.

12) Tabloid “Akhbaar Al Usbuu’” Edisi no. 401, hari Sabtu, 5 Maret, 1994M. Lihat majalah “Sayyidatuhum” Edisi 678, tanggal 5 Maret 1994M.Sumber: http://www.muslimah-salafiyah.blogspot.com

sumber: http://abdurrahman.wordpress.com/2007/11/10/membungkam-suara-para-perusak-syariat-pembebek-dai-sesat-yusuf-qardlowi/
Read Full Post | Make a Comment ( 7 so far )

Membongkar Kesesatan Syiah

Posted on 20 Juni 2008. Filed under: Syi'ah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi’ah?

Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji)

Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)

Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani)

Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.

Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili)

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)

Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:

“Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36).

Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.
Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah.

Siapakah Pencetusnya?

Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)

Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?

Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur’an

Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata :

“Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (ada) 17.000 ayat.”

Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata:

“…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.”
(Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).

Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah

Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata:

“Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)

Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata:

“Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir)

Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)

Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:

“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…” (yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)

(Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib)

Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18)

Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wasallam- lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah:

“Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)

Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata:

“Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)

Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata:

“Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)

Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17)

Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata:

“Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.

d. Tentang Taqiyyah

Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80)

Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami:

“Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196).

Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata:

“Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”

Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata:

“Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)

e. Tentang Raj’ah

Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata:

“Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada’

Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata):

“Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252).

Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.

Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata:

“Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192)

Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah

Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.

1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata:

“Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)

2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata:

“Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)

3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas.

4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

“Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)

5. Al-Imam Al-Bukhari berkata:

“Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125)

6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata:

“Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi)

Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.

 


Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc
sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=142
Read Full Post | Make a Comment ( 4 so far )

Kesesatan Syi’ah : Taqiyyah

Posted on 20 Juni 2008. Filed under: Syi'ah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Seseorang belumlah dikatakan mengenal hakekat Syi’ah Rafidhah dengan sebenar-benarnya bila belum mengetahui hakekat taqiyyah disisi mereka. Padahal dengan taqiyyah inilah, mereka berhasil mengelabui sekian banyak kaum muslimin.

Maka janganlah kita tercengang kalau mendengar atau membaca sedemikian ragam tanggapan positif sebagian kaum muslimin terhadap mereka seperti: “Para penganut Syi’ah Rafidhah merupakan bagian dari kaum muslimin, Negara Iran yang resmi berasaskan aqidah Syi’ah Ja’fariyah (bagian dari sekte Syi’ah Rafidhah) adalah negara Islam, Khomeini merupakan tokoh revolusi Islam Iran, gagasan untuk diadakan taqrib (persatuan pandangan) antara Syi’ah dan Sunni (Ahlus Sunnah), anggapan bahwa aqidah Syi’ah Rafidhah yang menyatakan bahwa para sahabat Nabi telah kafir, Al Qur’an telah mengalami perubahan hanyalah sekedar tuduhan Ahlus Sunnah semata”.

Definisi Taqiyyah
Taqiyyah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Menyembunyikan dan menjaga. (Lisanul Arab 15/401 dan Al Qamus Al Muhith hal. 1731)

Sedangkan secara terminologi syariat, taqiyyah memiliki arti: Menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka. (Disarikan dari Atsarut Tasyayyu’ hal 33 – 34)

Taqiyyah Menurut Tinjauan Syariat Islam

Islam sebagai agama yang sempurna dan penuh rahmat telah mengatur hubungan penganutnya dengan orang-orang kafir yang zhalim dan menguasai kehidupan keagamaan kaum muslimin. Pada saat yang sama, Islam juga sangat memperhatikan kelangsungan hidup para pemeluknya.

Dalam rangka mencapai dua keadaan itu, Islam memberikan salah satu solusi kepada umatnya berupa taqiyyah berdasarkan bimbingan dalil-dalil syar’i. Di dalam dalil–dalil tersebut terdapat kriteria-kriteria yang membolehkan seorang muslim melakukan taqiyyah. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
1. Dia tidak mampu melakukan hijrah syar’i dari negeri orang kafir yang dia tinggal di dalamnya, karena alasan (udzur) yang syar’i pula. (An Nisaa’: 97-98)
2. Taqiyyah dilakukan dihadapan orang-orang kafir. (Ali Imran: 28)
3. Taqiyyah ditempuh karena dia benar-benar dalam keadaan dipaksa untuk mengucapkan atau mengerjakan kekufuran. (An Nahl: 106)
4. Bersamaan itu, dia benar-benar merasa ketakutan dari kejahatan orang-orang kafir. (Ali Imran: 28)
5. Walaupun demikian, hatinya tetap tenang dan kokoh diatas keimanan. (An Nahl: 106)

Taqiyyah Menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah

Atas dasar riwayat-riwayat batil yang ada pada mereka, maka dapat dipastikan bahwa mereka telah berbuat 3 kesalahan fatal:
A. Definisi Taqiyyah Yang Bertentangan Dengan Definisi Taqiyyah Secara Syar’i
Di dalam Al Kasykul 1/202 karya Yusuf Al Bahrani mengatakan: “ Yang dimaksud dengan taqiyyah adalah menampakkan kesamaan dengan keyakinan agama orang-orang yang menyelisihi mereka karena adanya rasa takut.”

Al Kulaini meriwayatkan -dengan dusta- dari Abu Ja’far, beliau berkata: “Berkumpullah dengan mereka (orang-orang yang menyelisihi Syi’ah Rafidhah -red) secara dhahir namun selisihilah mereka secara batin”.

Al Khomeini di dalam Kasyful Asrar hal. 147 mendefinisikan makna taqiyyah: “Seseorang yang mengucapkan atau mengamalkan sesuatu, berbeda dengan kenyataan (hatinya) yang membatalkan timbangan-timbangan syariat …”.

Tampak dari ucapan-ucapan mereka bahwa definisi taqiyyah menurut Syi’ah Rafidhah:
1. Tidak membedakan apakah taqiyyah mereka amalkan dihadapan kaum muslimin atau orang-orang kafir. Lalu apa bedanya mereka dengan orang-orang munafik di jaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam ?!.
2. Apa yang mereka sembunyikan bukanlah keimanan namun justru kekufuran tatkala berkumpul dengan kaum muslimin.
3. Taqiyyah mereka tidak memperhatikan timbangan-timbangan atau kriteria-kriteria syar’i.

B. Kedudukan dan Keutamaan Taqiyyah yang Berlebihan Menurut Syi’ah Rafidhah
1. Taqiyyah adalah pokok agama mereka.
Al Kulaini di dalam Al Kafi 2/174 menukilkan –dengan dusta- ucapan Abu Ja’far: “Taqiyyah merupakan agamaku dan agama para pendahuluku. Tidak ada keimanan bagi seseorang yang tidak bertaqiyyah”. Dalam riwayat lain -dengan dusta- dari Abu Abdillah: “Tidak ada agama bagi seorang yang tidak bertaqiyyah”.
2. Taqiyyah adalah kemuliaan agama seseorang.
Al Kulaini di dalam Al Kafi 2/176 meriwayatkan –dengan dusta- ucapan Abu Abdillah kepada Sulaiman bin Khalid: “Wahai Sulaiman, sesungguhnya engkau diatas agama yang apabila seseorang menyembunyikannya (bertaqiyyah), maka Allah akan muliakan dia. Barangsiapa menampakkannya maka Allah akan hinakan dia”.
3. Taqiyyah merupakan sebuah ibadah yang paling dicintai Allah
Abu Abdillah mengatakan di dalam Al Kafi 2/219 karya Al Kulaini –dengan dusta- : “Tidaklah Allah diibadahi dengan suatu amalan yang lebih Dia cintai daripada Al Khab’u. Aku (periwayat) bertanya: “Apa itu Al Khab’u ? Beliau menjawab: “Taqiyyah”.
4. Taqiyyah merupakan seutama-utama amalan hamba.
Di dalam Tafsirul Askari hal. 163 dinukilkan -dengan dusta- bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Taqiyyah merupakan salah satu amalan mukmin yang paling utama. Dia menjaga diri dan saudaranya dengan taqiyyah dari orang-orang jahat (kaum muslimin -red).
5. Taqiyyah merupakan semulia-mulia akhlak.
Dari Al Baqir, dia berkata: “Semulia-mulia akhlak para imam dan orang-orang mulia dari kelompok kami adalah taqiyyah”. (Al Ushul Ashliyah hal. 320 karya Abdullah Syabbar)
6. Hukum taqiyyah setingkat tauhid dan shalat wajib
Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat mengatakan: “Taqiyyah hukumnya wajib. Barangsiapa meninggalkannya maka kedudukannya seperti meninggalkan shalat wajib.”
Dia meriwayatkan didalam kitab tersebut dari Ali bin Hasan –dengan dusta– beliau berkata: “Allah mengampuni seluruh dosa seorang mukmin dan mensucikannya di dunia dan akhirat kecuali 2 dosa: meninggalkan taqiyyah dan meninggalkan hak-hak saudaranya (saudara sesama Syi’ah Rafidhah –red).”
7. Mereka membatasi kewajiban bertaqiyyah sampai munculnya Imam Mahdi
Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat juga mengatakan: “Taqiyyah hukumnya wajib. Tidak boleh menghapus kewajiban itu sampai muculnya Imam Mahdi…”.

C. Munculnya Amalan-Amalan Kemungkaran Sebagai Realisasi Pandangan Sesat Mereka Terhadap Taqiyyah

1. Pengkafiran kaum muslimin yang tidak melakukan taqiyyah ala Syi’ah Rafidhah
Al Qummi di dalam Al I’tiqadaat ketika menyebutkan tentang kewajiban taqiyyah, mengatakan: “… Barangsiapa meninggalkan (taqiyyah) sebelum munculnya Imam Mahdi maka dia telah keluar dari agama Allah, agama Imamiyyah dan menyelisihi Allah, Rasul serta para imam mereka.”
2. Pembolehan untuk melakukan taqiyyah didalam segala keadaan walaupun dalam keadaan tidak terpaksa
Ath Thusi meriwayatkan –dengan dusta– di dalam Al Amaali hal. 229 dari Ash Shadiq, beliau berkata: “Bukanlah dari golongan kami, seseorang yang tidak menjadikan taqiyyah sebagai syiar dan bajunya walaupun ditengah orang-orang yang dia percayai. Hal itu tetap dia lakukan agar selalu menjadi tabiatnya ketika ditengah orang-orang yang mengancamnya.”
3. Ibadah yang diiringi dengan taqiyyah memiliki keutamaan besar
Ash Shaduq di dalam Man Laa Yahdhuruhul Faqih 1/266 meriwayatkan –dengan dusta– dari Abu Abdillah, berkata: “Tidaklah salah seorang diantara kalian menunaikan shalat wajib sesuai waktunya lalu shalat lagi dengan taqiyyah bersama mereka (kaum muslimin) dalam keadaan berwudlu’ kecuali Allah tulis (keutamaan) baginya sebesar 25 derajat. Oleh karena itu berharaplah kalian untuk mendapatkannya.”
4. Riwayat-riwayat para Imam mereka yang bertolak belakang dengan aqidah mereka dianggap sebagai taqiyyah (diringkas dari Firaqusy Syi’ah hal. 85-87 karya An Naubakhti)
5. Penafsiran yang batil terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala
Surat Fushshilat 34 :
وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
yang artinya: “Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejelekan. Balaslah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik.”
Abu Abdillah berkata: “Kebaikan itu adalah taqiyyah, sedangkan kejelekan itu adalah terang-terangan di dalam beragama.” (Al Kafi 2/173 karya Al Kulaini)

Sedangkan ‘cara yang lebih baik’ itu adalah taqiyyah. (Al Kafi hal. 482 karya Al Kulaini)

Surat Al Hujurat 13 :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
yang artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling taqwa.”

Ash Shadiq – seorang syi’i – berkata: “Yaitu orang-orang yang paling mengetahui tentang taqiyyah.” (Al I’tiqadaat karya Al Qummi)

Aqidah Taqiyyah Merupakan Ciri Khas Syi’ah Rafidhah

Di dalam Al I’tiqadaat karya Al Qummi diriwayatkan –dengan dusta– dari Ali bin Husain, beliau berkata: “Kalau seandainya tidak ada taqiyyah maka wali-wali kami tidak akan dikenal diantara musuh-musuh kami.”

Hakekat Taqiyyah Syi’ah Rafidhah Sama Dengan Kemunafikan

Sangat tepat untuk dinyatakan bahwa hakekat taqiyyah mereka tidaklah beda dengan kemunafikan di masa kenabian Rasul Shallallahu ‘alaihi wassallam. Padahal Allah Ta’ala banyak memperingatkan sifat-sifat mereka (kaum munafik) di dalam kitab-Nya, diantaranya:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Artinya : “Dan jika mereka (kaum munafik) bertemu dengan orang-orang beriman mereka berkata: ‘Kami beriman.’ Namun bila mereka bertemu dengan para syaithan, mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami bersama kalian. Kami hanyalah mengejek mereka (kaum muslimin).” (Al Baqarah: 14)

Allah juga berfirman :
قُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
yang artinya: “Mereka (orang-orang munafik) mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di hatinya.” (Al Fath: 11)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam mengingatkan tentang keadaan mereka:
“Dan kalian akan dapati sejelek-jelek manusia adalah yang bermuka dua, yaitu dia mendatangi suatu kaum dengan satu wajah dan mendatangi kaum yang lain dengan wajah yang lain pula.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ahli Bait Berlepas Diri Dari Taqiyyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam Minhajus Sunnah 2/46 menyebutkan bahwa Allah membersihkan kaum mukminin dari kalangan Ahli Bait dari perbuatan taqiyyah. Bahkan mereka merupakan manusia paling jujur dalam keimanan. Agama mereka adalah ketaqwaan dan bukan taqiyyah.

(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 39/III/II/1425. Diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli Syi’ah dan Taqiyyah)

Diambil dari : http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=950

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

Kesesatan Syi’ah : Nikah Mut’ah..

Posted on 20 Juni 2008. Filed under: Syi'ah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Jika kaum muslimin memiliki pandangan bahwa pernikahan yang sah menurut syariat Islam merupakan jalan untuk menjaga kesucian harga diri mereka, maka kaum Syi’ah Rafidhah memiliki pandangan lain. Perzinaan justru memiliki kedudukan tersendiri di dalam kehidupan masyarakat mereka. Bagaimana tidak, perzinaan tersebut mereka kemas dengan nama agama yaitu nikah mut’ah. Tentu saja mereka tidak ridha kalau nikah mut’ah disejajarkan dengan perzinaan yang memang benar-benar diharamkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataan-lah yang akan membuktikan hakekat nikah mut’ah ala Syi’ah Rafidhah.

 

Definisi Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terkait hukum perceraian dan warisan. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi dengan beberapa tambahan)

 

Hukum Nikah Mut’ah

Pada awal tegaknya agama Islam nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam beberapa sabdanya, di antaranya hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui kami kemudian mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi. Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah ‘azza wa jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)

 

Gambaran Nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di dalam beberapa riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jelas sekali gambaran nikah mut’ah yang dulu pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Gambaran tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

 

Nikah Mut’ah menurut Tinjauan Syi’ah Rafidhah

Dua kesalahan besar telah dilakukan kaum Syi’ah Rafidhah ketika memberikan tinjauan tentang nikah mut’ah. Dua kesalahan tersebut adalah:
A. Penghalalan Nikah Mut’ah yang Telah Diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
Bentuk penghalalan mereka nampak dari kedudukan nikah mut’ah itu sendiri di kalangan mereka. Ash-Shaduq di dalam kitab Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkannya maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini selain agama kami.”
Di dalam halaman yang sama, Ash-Shaduq mengatakan bahwa Abu Abdillah pernah ditanya: “Apakah nikah mut’ah itu memiliki pahala?” Maka beliau menjawab: “Bila dia mengharapkan wajah Allah (ikhlas), maka tidaklah dia membicarakan keutamaan nikah tersebut kecuali Allah tulis baginya satu kebaikan. Apabila dia mulai mendekatinya maka Allah ampuni dosanya. Apabila dia telah mandi (dari berjima’ ketika nikah mut’ah, pen) maka Allah ampuni dosanya sebanyak air yang mengalir pada rambutnya.”
Bahkan As-Sayyid Fathullah Al Kasyaani di dalam Tafsir Manhajish Shadiqiin 2/493 melecehkan kedudukan para imam mereka sendiri ketika berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan nikah mut’ah satu kali maka derajatnya seperti Al-Husain, barangsiapa melakukannya dua kali maka derajatnya seperti Al-Hasan, barangsiapa melakukannya tiga kali maka derajatnya seperti Ali radhiyallahu ‘anhu, dan barangsiapa melakukannya sebanyak empat kali maka derajatnya seperti aku.”

B. Betapa Keji dan Kotor Gambaran Nikah Mut’ah Ala Syi’ah Rafidhah
1. Akad nikah
Di dalam Al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya Al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: “Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi, pen) bila aku telah berduaan dengannya?” Maka beliau menjawab: “Engkau katakan: Aku menikahimu secara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian.” Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah ridha dan halal bagi si pria untuk menggaulinya. (Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’i hal. 28-29 dan 31)

2. Tanpa disertai wali si wanita
Sebagaimana Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia ridha walaupun tanpa ijin kedua orang tuanya.” (Tahdzibul Ahkam 7/254)

3. Tanpa disertai saksi (Al-Furu’ Minal Kafi 5/249)

4. Dengan siapa saja nikah mut’ah boleh dilakukan?
Seorang pria boleh mengerjakan nikah mut’ah dengan:
– wanita Majusi. (Tahdzibul Ahkam 7/254)
– wanita Nashara dan Yahudi. (Kitabu Syara’i’il Islam hal. 184)
– wanita pelacur. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
– wanita pezina. (Tahriirul Wasilah hal. 292 karya Al-Khumaini)
– wanita sepersusuan. (Tahriirul Wasilah 2/241 karya Al-Khumaini)
– wanita yang telah bersuami. (Tahdzibul Ahkam 7/253)
– istrinya sendiri atau budak wanitanya yang telah digauli. (Al-Ibtishar 3/144)
– wanita Hasyimiyah atau Ahlul Bait. (Tahdzibul Ahkam 7/272)
– sesama pria yang dikenal dengan homoseks. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 54)

5. Batas usia wanita yang dimut’ah
Diperbolehkan bagi seorang pria untuk menjalani nikah mut’ah dengan seorang wanita walaupun masih berusia sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. (Tahdzibul Ahkam 7/255 dan Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37)

6. Jumlah wanita yang dimut’ah
Kaum Rafidhah mengatakan dengan dusta atas nama Abu Ja’far bahwa beliau membolehkan seorang pria menikah walaupun dengan seribu wanita karena wanita-wanita tersebut adalah wanita-wanita upahan. (Al-Ibtishar 3/147)

7. Nilai upah
Adapun nilai upah ketika melakukan nikah mut’ah telah diriwayatkan dari Abu Ja’far dan putranya, Ja’far yaitu sebesar satu dirham atau lebih, gandum, makanan pokok, tepung, tepung gandum, atau kurma sebanyak satu telapak tangan. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/457 dan Tahdzibul Ahkam 7/260)

8. Berapa kali seorang pria melakukan nikah mut’ah dengan seorang wanita?
Boleh bagi seorang pria untuk melakukan mut’ah dengan seorang wanita berkali-kali. (Al-Furu’ Minal Kafi 5/460-461)

9. Bolehkah seorang suami meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada orang lain?
Kaum Syi’ah Rafidhah membolehkan adanya perbuatan tersebut dengan dua model:
a. Bila seorang suami ingin bepergian, maka dia menitipkan istri atau budak wanitanya kepada tetangga, kawannya, atau siapa saja yang dia pilih. Dia membolehkan istri atau budak wanitanya tersebut diperlakukan sekehendaknya selama suami tadi bepergian. Alasannya agar istri atau budak wanitanya tersebut tidak berzina sehingga dia tenang selama di perjalanan!!!
b. Bila seseorang kedatangan tamu maka orang tersebut bisa meminjamkan istri atau budak wanitanya kepada tamu tersebut untuk diperlakukan sekehendaknya selama bertamu. Itu semua dalam rangka memuliakan tamu!!!
(Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 47)

10. Nikah mut’ah hanya berlaku bagi wanita-wanita awam. Adapun wanita-wanita milik para pemimpin (sayyid) Syi’ah Rafidhah tidak boleh dinikahi secara mut’ah. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 37-38)

11. Diperbolehkan seorang pria menikahi seorang wanita bersama ibunya, saudara kandungnya, atau bibinya dalam keadaan pria tadi tidak mengetahui adanya hubungan kekerabatan di antara wanita tadi. (Lillahi… Tsumma Lit-Tarikh hal. 44)

12. Sebagaimana mereka membolehkan digaulinya seorang wanita oleh sekian orang pria secara bergiliran. Bahkan, di masa Al-‘Allamah Al-Alusi ada pasar mut’ah, yang dipersiapkan padanya para wanita dengan didampingi para penjaganya (germo). (Lihat Kitab Shobbul Adzab hal. 239)

 

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu Menentang Nikah Mut’ah

Para pembaca, bila kita renungkan secara seksama hakikat nikah mut’ah ini, maka tidaklah berbeda dengan praktek/transaksi yang terjadi di tempat-tempat lokalisasi. Oleh karena itu di dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan tentang penentangan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –yang ditahbiskan kaum Syi’ah Rafidhah sebagai imam mereka- terhadap nikah mut’ah. Beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai piaraan pada saat perang Khaibar.” Beliau (Ali radhiyallahu ‘anhu) juga mengatakan bahwa hukum bolehnya nikah mut’ah telah dimansukh atau dihapus sebagaimana di dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 5119.

Wallahu A’lam Bish Showab.

Sumber: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 33/IV/II/1425, Yayasan As Salafy Jember.

(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-14 Tahun ke-3 / 04 Maret 2005 M / 23 Muharrom 1426 H. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=14&th=3)

 

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=901
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Ketenangan Hati Dengan Berdzikir

Posted on 19 Juni 2008. Filed under: Nasehat | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan:

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan,

مَثَانِيَ, artinya diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji dan ancaman, sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang padanya nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini termasuk bukti keagungan Al-Qur`an dan keindahannya. Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala  mengetahui kebutuhan makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta menyempurnakan akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan air bagi tanaman.Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak disirami, ia akan layu bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu disirami maka dia akan baik dan berbuah dengan berbagai macam buah yang bermanfaat. Demikian pula hati. Ia selalu memerlukan pengulangan makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna dari Al-Qur`an hanya disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan tepat sasaran dan tidak akan membuahkan hasil.

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:

“Adh-Dhahhak berkata:  yaitu mengulang kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: مَثَانِيَ, yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang kisah Nabi Musa, Hud, dan nabi-nabi yang lain, ‘alaihimussalam.”

Kemudian Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan:

“Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa makna مَثَانِيَ adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya (kebalikannya). Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian orang-orang kafir, menyebutkan sifat surga kemudian sifat neraka.”
Jadi dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu bersama kebalikannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan agar kita paham apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan:

وَبِضِدِّهَا تَتَمَيَّزُ الْأَشْيَاءُ
Dan dengan kebalikannya, sesuatu dapat dibedakan.

Dalam masalah musik pun demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan bagaimana jalan orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.

.

Orang yang Baik, Berakal dan Beruntung

1. Orang-orang cerdik (ulul albab) selalu berdzikir.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Ali-Imran: 191)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu mengatakan:

“Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan ini.”

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, ini mencakup seluruh dzikir dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring.
Maka pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan beruntung. Yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.

2. Orang-orang beriman tenang hati mereka dan tentram dengan berdzikir.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menyatakan,

“Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang beriman, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”
Maksudnya, akan hilang gundah gulana dan kegoncangannya, serta akan datang kebahagiaan dan ketentramannya.

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada Penciptanya.

3. Orang yang beruntung adalah orang yang menjauhi perbuatan sia-sia yang tidak berguna.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
“Telah beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.” (Al-Mu`minun: 1-3)

Makna  اللَّغْوِ telah dijelaskan oleh para ulama.

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan:

“Az-Zajjaj berkata, اللَّغْوِ adalah semua kebatilan, perkara sia-sia dan tidak serius, kemaksiatan, serta segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Sesungguhnya اللَّغْوِ di sini maknanya adalah kesyirikan.” Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Ia (اللَّغْوِ) adalah seluruh kemaksiatan.”
Makna  مُعْرِضُونَ (berpaling darinya) adalah menjauhi dan tidak melirik kepadanya.

Inilah beberapa sifat dan kriteria orang-orang yang beriman. Mereka selalu menjaga waktu dan berupaya untuk memanfaatkannya untuk perkara yang membawa maslahat, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Mereka selalu berdzikir dengan membaca Al-Qur`an atau dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencari ketenangan dan ketentraman dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka pantas sekali bila mereka menjadi orang yang beruntung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

.

Orang-Orang yang Tidak Terbimbing

Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar, mereka menjauh dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan larut dalam godaan-godaan setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit….” (Thaha: 124)

Kalimat  أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي (berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir rahimahullahu, artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru mengambil bimbingan dari yang lain.”
Jadi, orang yang mendengarkan musik dan lagu-lagu, berarti ia telah berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarangnya.

Adapun  مَعِيشَةً ضَنْكًا (penghidupan yang sempit), para ahli tafsir berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menafsirkan bahwa adalah kehidupan yang sempit, seperti dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ada juga yang menyatakan bahwa maknanya adalah amalan dan rizki yang jelek, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Malik bin Dinar. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah adzab kubur. Ini dinukil dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahkan ada yang mengatakan bahwa (pendapat) ini marfu’ sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Bazzar rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala ضَنْكًا (yang sempit), beliau menjelaskan:

“Kehidupan yang sempit yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan adalah bahwa orang tersebut akan disiksa dengan 99 ekor ular yang memakan dagingnya sampai hari kiamat.” Riwayat ini dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah.

Al-Bazzar rahimahullahu juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyatakan adalah adzab kubur. Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan sanad hadits ini hasan.
Kaidah tafsir menyatakan:

“Manakala ada penafsiran yang banyak dan tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat itu dibawa kepada semua makna yang ada.”

Walhasil, Ibnu Katsir rahimahullahu menyimpulkan bahwa tidak ada ketenangan dan kelapangan dada bagi orang yang menjauh dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

.

Orang yang Menjauh dari Dzikir akan Ditemani Setan yang  Menyesatkannya

Termasuk hukuman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan atas orang yang menjauh dari dzikir –dan orang yang senang dengan lagu dan musik termasuk dalam hal ini– adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengirim setan dan membiarkannya menyesatkan orang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Dzat Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf: 36)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu mengatakan,

“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hukuman yang keras bagi orang yang berpaling dari peringatan-Nya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:  وَمَنْ يَعْشُ artinya, “dan barangsiapa yang berpaling dan menghalangi”,  عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ yaitu Al-Qur`an yang agung, yang merupakan nikmat yang terbesar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Maka, siapa yang menerimanya berarti dia telah menerima pemberian yang terbaik, dan beruntung mendapatkan hasil yang terbesar. Sebaliknya, siapa yang menjauh darinya atau menolaknya, maka dia telah gagal dan merugi, serta tidak akan berbahagia selamanya. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kirimkan kepadanya setan yang membangkang untuk menemani dan menyertainya, memberikan janji-janji dan angan-angan, serta mendorongnya berbuat maksiat. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari hal ini.

Dari paparan Al-Qur`an yang sangat jelas tadi, orang yang berakal tentunya akan memilih perkara yang jelas membawa manfaat, yaitu selalu berdzikir, membaca Al-Qur`an, dan mengamalkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik shalat maupun yang lain, yang akan menentramkan hati dan membawa kebahagiaan ukhrawi. Dia juga akan berusaha keras meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakannya, meskipun perkara ini telah mendarah daging pada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing kita kepada jalan yang benar sebagaimana telah ditegaskan:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut: 69)

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberikan motivasi, bahwa ketika semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang dalam suatu perkara, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala juga lebih besar. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya cobaan.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, no. 57, Ibnu Majah, Kitabul Fitan, no. 23. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan gharib.” Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 110)

Wallahu a’lam

 


Oleh : Al-Ustadz Jauhari, Lc

http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=657
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Akhir Kehidupan Sang Nabi Palsu

Posted on 18 Juni 2008. Filed under: Ahmadiyah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , |

Ajaran Ahmadiyah banyak mendapat penentangan dari para ulama di India. Di antara ulama yang terdepan menentangnya adalah Asy-Syaikh Tsana`ullah Al-Amru Tasri. Karena geram, Ghulam Ahmad akhirnya mengeluarkan pernyataan pada tanggal 15 April 1907 yang ditujukan kepada Asy-Syaikh Tsana`ullah.

Di antara bunyinya:
“…Engkau selalu menyebutku di majalahmu (‘Ahlu Hadits’) ini sebagai orang terlaknat, pendusta, pembohong, perusak… Maka aku banyak tersakiti olehmu… Maka aku berdoa, jika aku memang pendusta dan pembohong sebagaimana engkau sebutkan tentang aku di majalahmu, maka aku akan binasa di masa hidupmu. Karena aku tahu bahwa umur pendusta dan perusak itu tidak akan panjang… Tapi bila aku bukan pendusta dan pembohong bahkan aku mendapat kemuliaan dalam bentuk bercakap dengan Allah, serta aku adalah Al-Masih yang dijanjikan maka aku berdoa agar kamu tidak selamat dari akibat orang-orang pendusta sesuai dengan sunnatullah.
Aku umumkan bahwa jika engkau tidak mati semasa aku hidup dengan hukuman Allah yang tidak terjadi kecuali benar-benar dari Allah seperti mati dengan sakit tha’un, atau kolera berarti AKU BUKAN RASUL DARI ALLAH…
Aku berdoa kepada Allah, wahai penolongku Yang Maha Melihat, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, Yang mengetahui rahasia qalbu, bila aku ini adalah pendusta dan perusak dalam pandangan-Mu dan aku berdusta atas diri-Mu malam dan siang hari, ya Allah, maka matikan aku di masa hidup Ustadz Tsana`ullah. Bahagiakan jamaahnya dengan kematianku –Amin–.
Wahai Allah, jika aku benar dan Tsana`ullah di atas kesalahan serta berdusta dalam tuduhannya terhadapku, maka matikan dia di masa hidupku dengan penyakit-penyakit yang membinasakan seperti tha’un dan kolera atau penyakit-penyakit selainnya….
Akhirnya, aku berharap dari Ustadz Tsana`ullah untuk menyebarkan pernyataan ini di majalahnya. Kemudian berilah catatan kaki sekehendaknya. Keputusannya sekarang di tangan Allah.
Penulis, hamba Allah Ash-Shamad, Ghulam Ahmad, Al-Masih Al-Mau’ud. Semoga Allah memberinya afiat dan bantuan. (Tabligh Risalat juz 10 hal. 120)

Apa yang terjadi? Setelah berlalu 13 bulan 10 hari dari waktu itu, justru Ghulam Ahmad yang diserang ajal. Doanya menimpa dirinya sendiri.

Putranya Basyir Ahmad menceritakan: Ibuku mengabarkan kepadaku bahwa Hadrat (Ghulam Ahmad) butuh ke WC langsung setelah makan, lalu tidur sejenak. Setelah itu butuh ke WC lagi. Maka dia pergi ke sana 2 atau 3 kali tanpa memberitahu aku. Kemudian dia bangunkan aku, maka aku melihatnya lemah sekali dan tidak mampu untuk pergi ke ranjangnya. Oleh karenanya, dia duduk di tempat tidurku. Mulailah aku mengusapnya dan memijatnya. Tak lama kemudian, ia butuh ke WC lagi. Tetapi sekarang ia tidak dapat pergi ke WC, karena itu dia buang hajat di sisi tempat tidur dan ia berbaring sejenak setelah buang hajat. Kelemahan sudah mencapai puncaknya, tapi masih saja hendak buang air besar. Diapun buang hajatnya, lalu dia muntah. Setelah muntah, dia terlentang di atas punggungnya, dan kepalanya menimpa kayu dipan, maka berubahlah keadaannya.” (Siratul Mahdi hal. 109 karya Basyir Ahmad)

Mertuanya juga menerangkan: “Malam ketika sakitnya Hadhrat (Ghulam Ahmad), aku tidur di kamarku. Ketika sakitnya semakin parah, mereka membangunkan aku dan aku melihat rasa sakit yang dia derita. Dia katakan kepadaku, ‘Aku terkena kolera.’ Kemudian tidak bicara lagi setelah itu dengan kata yang jelas, sampai mati pada hari berikutnya setelah jam 10 pagi.” (Hayat Nashir Rahim Ghulam Al-Qadiyani hal. 14)

Pada akhirnya dia mati tanggal 26 Mei 1908.
Sementara Asy-Syaikh Tsana`ullah tetap hidup setelah kematiannya selama hampir 40 tahun. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala singkap tabir kepalsuannya dengan akhir kehidupan yang menghinakan, sebagaimana dia sendiri memohonkannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kini siapa yang sadar dan bertobat setelah tersingkap kedustaannya?
Wallahu a’lam bish-shawab

Oleh : Al-Ustadz Qomar ZA
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=679

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

“Beda” Ahmadiyah Lahore & Ahmadiyah Qadiyani..

Posted on 16 Juni 2008. Filed under: Ahmadiyah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Firqah Ahmadiyah memiliki aqidah yang sangat bertolak belakang dengan aqidah kaum muslimin pada umumnya, sehingga mestinya mereka tidak boleh menamakan diri mereka dengan muslimin. Semestinya juga mereka tidak menamakan tempat ibadah mereka dengan masjid. Kami akan sebutkan beberapa contoh aqidah yang sangat menonjol pada mereka diantaranya:

1. Meyakini bahwa mereka memiliki sesembahan yang memiliki sifat-sifat manusia, seperti puasa, shalat, tidur, bangun, salah, benar, menulis, menandatangani, bahkan bersenggama dan melahirkan. Seorang pemeluk Ahmadiyah bernama Yar Muhammad mengatakan: “Bahwa Al-Masih Al-Mau’ud (yakni Ghulam Ahmad) suatu saat pernah menerangkan tentang keadaannya: ‘Bahwa dia melihat dirinya seolah-olah seorang wanita, dan bahwa Allah memperlihatkan kepada dirinya kekuatan kejantanannya’.” (Dhahiyyatul Islam karya Yar Muhammad hal. 34)
Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah). Maha Suci sesembahan kaum muslimin dari sifat semacam itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidaklah serupa dengan-Nya sesuatupun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Yang mereka sifati itu adalah sesembahan mereka, bukan sesembahan muslimin.

2. Bahwa para Nabi dan para Rasul tetap diutus sampai hari kiamat, tidak tertutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tentu hal ini menyelisihi Al-Qur`an, hadits yang mutawatir, dan ijma’ muslimin.

3. Bahwa Ghulam Ahmad adalah Nabi dan Rasul.
Hal ini telah terbukti kepalsuannya.

4. Bahwa Ghulam Ahmad lebih utama dari seluruh Nabi dan Rasul, termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

5. Bahwa wahyu turun kepada Ghulam Ahmad.
Wahyu hanyalah turun kepada Nabi yang sesungguhnya, dan itu telah terputus dengan Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hazm rahimahullahu yang telah lewat.

6. Bahwa yang membawa wahyu kepadanya adalah malaikat Jibril ‘alaihissalam.

7. Bahwa dia memiliki agama yang terpisah dari seluruh agama, dan bahwa mereka memiliki syariat yang tersendiri. Umat mereka adalah umat yang baru, umat Ghulam Ahmad.
Atas dasar hal ini, semestinya mereka tidak menyandarkan diri mereka kepada Islam dan hendaknya dengan terang-terangan mereka memproklamirkan antipati mereka kepada Islam, serta tidak menyebut tempat ibadah mereka sebagai masjid.

8. Bahwa mereka memiliki kitab tersendiri yang kedudukannya menyerupai Al-Qur`an. Terdiri dari 20 juz, namanya adalah Al-Kitabul Mubin.

9. Bahwa Qadiyan seperti Makkah dan Madinah, bahkan lebih utama dari keduanya.

10. Bahwa haji mereka adalah dengan menghadiri muktamar tahunan di Qadiyan.

11. Menghapuskan syariat jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir.
Demi kelanggengan Tuhan mereka yang sesungguhnya yaitu para penjajah.

12. Menganggap kafir seluruh umat Islam, yakni selain mereka.

13. Mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Isa ‘alaihissalam.
Di antara yang dia ucapkan tentang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Nabi (Muhammad) memiliki 3.000 mukjizat, namun mukjizatku melebihi 1.000.000 mukjizat.” (تحفة كولره:40 وتذكرة الشهادتين:41 karya Ghulam Ahmad)

Di antara ucapannya tentang Nabi Isa ‘alaihissalam adalah: “Sesungguhnya Isa adalah seorang pecandu khamr dan perilakunya jelek.” (حاشية ست بجن:172 karya Ghulam Ahmad)
Dia katakan juga: “Sesungguhnya Isa cenderung kepada para pelacur, karena nenek-neneknya dahulu adalah para pelacur.” (ضميمة انجام آثم، حاشية ص 7 karya Ghulam Ahmad)

Semua itu adalah tuduhan yang sama sekali tiada berbukti. Bahkan, siapa yang sesungguhnya pencandu khamr? Lihatlah kisah berikut ini. Ghulam menulis surat kepada salah seorang muridnya di Lahore agar mengirimkan kepadanya wine dan membelinya dari toko seseorang yang bernama Belowmer. Ketika Belowmer ditanya wine itu apa, ia menjawab: “Salah satu jenis yang sangat memabukkan dari jenis-jenis khamr yang diimpor dari Inggris dalam kemasan tertutup.”1
Persaksian semacam ini banyak dari pengikutnya, mereka sadari atau tidak. Majalah Ahmadiyah Al-Fadhl juga menyebutkan: “Sesungguhnya Al-Masih Al-Mau’ud Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Sehingga tidak mengapa baginya bila bercampur baur dengan wanita-wanita, menjamah mereka, memerintahkan mereka untuk memijit-mijit kedua tangan dan kakinya. Bahkan yang semacam ini menyebabkan pahala, rahmat, dan berkah.” (edisi 20 Maret 1928 M)

Adapun tentang Nabi ‘Isa ‘alaihissalam cukup bagi kaum muslimin firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ إِنَّمَا أَنَاْ رَسُوْلُ رَبِّكِ لأَهَبَ لَكِ غُلاَمًا زَكِيًّا
“Ia (Jibril) berkata (kepada Maryam): ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci’.” (Maryam: 19)

14. Mencela para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

15. Bahwa dia adalah Al-Masih Al-Mau’ud.

16. Bahwa dia adalah Al-Imam Mahdi.
Tentang dua hal terakhir, telah kami bantah dalam majalah Asy-Syari’ah edisi 33 tentang Imam Mahdi dan edisi 35 tentang Turunnya Nabi Isa.

Ahmadiyah Lahore
Sebagaimana diketahui, muncul perpecahan di tubuh Ahmadiyah, khususnya setelah kematian “Nabi” mereka Mirza Ghulam Ahmad. Muncul sebagai pecahan Ahmadiyah Qadiyan apa yang kemudian dikenal dengan Ahmadiyah Lahore.
Di Indonesia pun demikian. Ada yang mengikuti asalnya, sehingga di Indonesia ada yang disebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia disingkat JAI yang berpusat di antaranya di Parung, Bogor, sebagai wujud dari Ahmadiyah Qadiyan. Ada juga Gerakan Ahmadiyah Indonesia disingkat GAI yang berpusat di Yogyakarta sebagai wujud dari Ahmadiyah Lahore.

Sengaja kami membahas secara khusus Ahmadiyah Lahore ini walaupun dengan ringkas, karena gerakan ini menampakkan penampilan yang lebih ‘bersahabat’ dengan umumnya muslimin, yaitu dengan menampilkan bahwa mereka tidak meyakini Ghulam Ahmad sebagai Nabi, namun sekadar pembaru.

Untuk diketahui, pimpinan Ahmadiyah Lahore ini adalah Muhammad Ali. Dia belajar ilmu-ilmu sains dan memperoleh gelar magister, namun tidak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya ia direkrut untuk menjadi pendamping Nabi palsu Ghulam Ahmad, sehingga dapat memperkokoh kenabiannya dengan adanya potensi menyebarkan kesesatan mereka di kalangan terpelajar. Untuk itu ia digaji oleh penjajah Inggris dengan gaji yang sangat tinggi ketika itu, lebih dari 200 Rupee. Padahal para petinggi negara saja kala itu gajinya tidak lebih dari 50 Rupee.

Mulailah ia bekerja dengan menjabat sebagai pemimpin redaksi salah satu majalah bulanan Ahmadiyah. Sepeninggal Ghulam Ahmad ia menjadi musyrif (direktur) majalah tersebut dan diserahkan kepadanya tugas penerjemahan makna Al-Qur`an ke bahasa Inggris, yang tentu disisipkan padanya penyelewengan-penyelewengan ala Ahmadiyah. Awalnya terjemahan ini dipimpin oleh khalifah Ghulam yang pertama yaitu Nuruddin. Disebutkan dalam majalah mereka Al-Fadhl, 2 Juni 1931 M, “Sesungguhnya hadhrat khalifah yang pertama bagi Al-Masih Al-Mau’ud (Ghulam Ahmad) dahulu mendiktekan penerjemahan makna-makna Al-Qur’an kepada Ustadz Muhammad Ali. Beliau (Muhammad Ali) mengemban pekerjaan tersebut dan mengambil gaji sebesar 200 Rupee perbulan.”

Dengan berjalannya waktu dan perkenalan yang semakin mendalam, terjadilah ketidakcocokan antara dia dengan Ghulam Ahmad, karena apa yang dia ketahui bahwa Ghulam Ahmad menumpuk harta umat untuk kepentingan pribadi dan tidak mengikutsertakannya dalam kekayaan tersebut. Sehingga Ghulam mengatakan: “Mereka menuduh kita makan harta haram. Apa hubungan mereka dengan harta ini?2 Seandainya kita berpisah dengan mereka, mereka tidak akan mendapatkan harta walaupun satu qirsy.”3

Sepeninggal Ghulam Ahmad serta perebutan warisan berupa harta pemberian dari Inggris dan perolehan dari pengikutnya, penjajah Inggris hendak menciptakan trik baru untuk menjaring komunitas muslimin dalam jaring kesesatan. Mereka melihat jurus yang lalu kurang ampuh. Terlebih dengan tersingkapnya kenabian palsu Ghulam Ahmad oleh para ulama Islam, sehingga kaum muslimin pun waspada dari segala penipuannya. Penjajah Inggris pun khawatir bila usahanya lenyap bersama kelompok yang murtad ini. Sehingga mereka menunjuk pembantu kecilnya, Muhammad Ali, yang memimpin kelompok yang beroposisi dengan pewaris tahta Ghulam Ahmad demi kepentingan penjajah untuk membuat jamaah baru dan memproklamirkan bahwa Ghulam Ahmad tidak menyerukan kenabian dirinya, bahkan ia hanya menyerukan bahwa dirinya adalah pembaru agama Islam. Tujuan proklamasi ini adalah untuk menjerat muslimin yang belum terjerat dalam jaring Ghulam Ahmad karena menyadari kepalsuannya, agar dapat masuk dalam jaringnya secara perlahan. Atau paling tidaknya akan menjauh dari agama Islam dan ajaran-ajarannya, termasuk berjihad melawan penjajah.

Demikian proses kelahiran kelompok ini, yang pada hakikatnya bukan karena perbedaan aqidah dengan Ahmadiyah Qadiyan sebagaimana kesan yang terpublikasi. Semua itu terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang termuat dalam surat kabar Ahmadiyah Lahore. Di antaranya: “Kami adalah pelayan-pelayan pertama untuk hadhrat Al-Masih Al-Mau’ud (Ghulam Ahmad). Dan kami beriman bahwa beliau adalah Rasulullah yang jujur yang benar, dan bahwa ia diutus untuk membimbing orang-orang di zaman ini serta memberikan hidayah kepada mereka, sebagaimana kami beriman bahwa tiada keselamatan kecuali dengan mengikutinya.”4

Bahkan Muhammad Ali sendiri menuliskan: “Kami meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah Al-Masih Al-Mau’ud dan Mahdi yang dijanjikan. Dia adalah Rasulullah dan Nabi-Nya. Allah tempatkan dia pada sebuah tempat dan kedudukan, sebagaimana ia terangkan sendiri (yakni lebih utama dari seluruh para Rasul, ed.), sebagaimana kami mengimani bahwa tiada keselamatan bagi yang tidak beriman.”5
Adapun ucapannya: “Sesungguhnya kami tidak meyakini bahwa Ghulam Ahmad itu Nabi Allah dan Rasul-Nya, bahkan kami meyakininya sebagai mujaddid (pembaru) dan muslih,”6 maka Asy-Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir berkomentar: “Tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataannya yang lalu dan yang sesungguhnya.”

Kesimpulannya bahwa Ahmadiyah Lahore menampakkan keyakinan bahwa Ghulam Ahmad hanya sebatas pembaru. Namun pada hakikatnya sama dengan Ahmadiyah Qadiyan dalam hal keyakinan, walaupun para pengikutnya mungkin ada yang mengetahui hakikat ini dan ada yang tidak.
Yang jelas, keyakinan Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah pembaru pun sangat keliru dan salah parah. Karena tanpa tedeng aling-aling dengan tegas, yang bersangkutan Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagi Nabi dan Rasul. Ini merupakan kekafiran. Ditambah lagi berbagai penyimpangan yang ada, seperti yang telah dijelaskan.
Nah, apakah orang semacam ini pantas disebut sebagai pembaru agama Islam? Atau justru pembaru ajaran Musailamah Al-Kadzdzab dan yang mengikuti jalannya? Sadarlah wahai ulul albab.

1 Keterangan dari Nur Ahmad Al-Qadiyani dalam majalah Al-Fadhl, 20 Agustus 1946 M, dinukil dari makalah Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Al-Mutanabbi Al-Qadiyani wa Ihanatuhu Ash-Shahabah hal. 300.
2 Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir mengomentari: Bagaimana mereka tidak ada hubungan, sementara mereka berserikat dalam memperkokoh kenabian?!
3 Surat putra Ghulam kepada Nuruddin, terdapat dalam Haqiqat Al-Ikhtilaf karya Muhammad Ali, Aisar Al-Qadyaniyyah Fi Laahur, hal. 50.
4 صلح بيغام surat kabar Ahmadiyah Lahore edisi 7 September 1913 M.
5 Review of Religions juz 3 no. 11 hal. 411.
6 Review of Religions juz 9 no. 7 hal. 248.

Oleh : Al-Ustadz Qomar ZA
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=677

Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kemunculan Nabi Palsu, Pertanda akan Datangnya Kiamat

Posted on 16 Juni 2008. Filed under: Ahmadiyah, Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Kemunculan nabi-nabi palsu di muka bumi ini sesungguhnya merupakan salah satu tanda dari sekian tanda hari kiamat. Di antara mereka, ada yang sekadar mengaku-ngaku. Namun ada pula yang “mendakwahkan” ajarannya sehingga punya banyak pengikut.

Kemunculan para Nabi palsu adalah salah satu tanda akan bangkitnya hari kiamat sekaligus tanda kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana apa yang beliau beritakan akan kemunculan mereka benar sesuai kenyataan yang ada, karena beliau berucap dari wahyu bukan dari hawa nafsu dan kedustaan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ

“Tidaklah hari kiamat bangkit sehingga dibangkitkan para (Dajjal) pendusta, pembohong, mendekati 30 orang. Masing-masing mengaku bahwa dirinya adalah Rasulullah.” (Shahih, Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab ‘Alamatun Nubuwwah fil Islam, Muslim Kitabul Fitan Wa Asyrathus Sa’ah, Bab La Taqumus Sa’ah Hatta Yamurra Ar-Rajul bi Qabri Ar-Rajul… no. 3413)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتـِي بِالْـمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ في أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

“Tidak akan bangkit hari kiamat sehingga beberapa qabilah dari umatku bergabung dengan musyrikin dan sehingga beberapa qabilah dari umatku menyembah berhala-berhala, dan sesungguhnya akan muncul pada umatku para pendusta berjumlah 30 masing-masing mereka mengaku nabi dan akulah penutup para nabi tiada nabi sesudahku.” (Shahih, HR. Abu Dawud Kitabul Malahim Wal Fitan, Bab Dzikrul Fitan wa Dala`iluha no. 4252)

Terbukti, apa yang beliau ucapkan terjadi. Telah muncul di masa beliau -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- Musailamah Al-Kaddzab di Yamamah yang kemudian terbunuh pada masa kekhalifahan Abu Bakar.
Lalu muncul Al-Aswad Al-‘Anasi di Yaman dan terbunuh sebelum meninggalnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu muncul Sajjah, seorang wanita yang mengaku Nabi kemudian dinikahi Musailamah. Tapi setelah kematian Musailamah, ia bertaubat dan masuk Islam kembali.

Muncul kemudian Thulaihah bin Khuwailid Al-Asadi, yang pada akhirnya ia bertaubat dan kembali memeluk Islam.

Kemudian muncul Mukhtar Ibnu Abi ‘Ubaid Ats-Tsaqafi.

Lalu muncul Al-Harits dan beberapa orang yang lain pada masa khilafah ‘Abbasiyyah. (Fathul Bari, 6/617)

Di masa akhir ini muncul Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani.
Tak ketinggalan, ada pula yang mengaku Rasul di negeri kita ini, yaitu Ahmad Mushaddeq yang menamai kelompoknya Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, yang kemudian mengaku bertaubat.1
Dan terus akan bermunculan Nabi maupun Rasul palsu, sehingga muncullah pamungkas mereka, yaitu Dajjal. (Fathul Bari, 6/617)

Sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam khutbahnya saat gerhana di masanya:

وَأَنَّهُ وَاللهِ لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَخْرُجَ ثَلاَثُونَ كَذَّاباً، آخِرُهُمُ الْأَعْوَرُ الدَّجَّالُ

“Dan sungguh –demi Allah– tidak akan bangkit hari kiamat sehingga muncul 30 pendusta, dan yang terakhir dari mereka adalah yang buta sebelah, Ad-Dajjal.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 5/16)
Yang pada akhirnya nanti ia akan mengaku bahwa dirinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Empat dari Nabi-Nabi palsu itu adalah wanita. Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ وَدَجَّالُونَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ، مِنْهُمْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَإِنِّي خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

“Di tengah umatku ada para pendusta, pembohong berjumlah 27. Empat dari mereka adalah wanita. Aku adalah penutup para Nabi, tiada nabi setelahku.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 5/396)
Tentang bilangan 30 (tiga puluh)2 Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan: “Bukan yang dimaksud oleh hadits adalah setiap orang yang mengaku nabi secara mutlak. Karena jumlah mereka tidak terhitung. Mayoritas mereka, pengakuan kenabiannya muncul karena penyakit gila… Tapi yang dimaksudkan (berjumlah sekitar 30) adalah yang memiliki kekuatan dan syubhat.” (Fathul Bari, 6/617)

Siapakah yang Mengklaim Kenabian?
Kenabian hanya akan diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling dusta. Dan tidak akan tersamarkan antara yang ini dengan yang itu, kecuali bagi sebodoh-bodohnya orang. Bahkan isyarat-isyarat pada keadaan masing-masing yang mengaku nabi akan menyingkap hakikat keduanya. Tidak seorangpun mengklaim sebagai Nabi dari kalangan pendusta tersebut, kecuali nampak padanya kebodohan, kedustaan, dan kejahatan serta pengaruh kekuasaan setan atasnya, yang akan diketahui oleh orang yang memiliki daya pemilah walaupun hanya sedikit.

Dari Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Wajib atas kalian untuk berlaku jujur karena kejujuran itu akan menyampaikan kepada perbuatan baik dan perbuatan baik itu akan menyampaikan kepada Al-Jannah. Dan tetaplah seseorang berlaku jujur dan berusaha untuk itu sehingga ia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhi oleh kalian perbuatan dusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan menyampaikan kepada perbuatan jahat dan perbuatan jahat itu akan menyampaikan kepada neraka, dan tetaplah seseorang itu berdusta dan berusaha untuk dusta sehingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 150 dengan diringkas)

Dari hadits tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang yang mengaku-ngaku nabi niscaya akan tampak dari tindak tanduknya serta tutur katanya yang menunjukkan kedustaannya, karena kedustaan akan berbuah kejahatan.

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba adalah di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Lalu, di antara bentuk kemuliaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka adalah ditutupnya para nabi dan rasul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disempurnakannya agama yang lurus baginya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan dalam Kitab-Nya, juga rasul-Nya dalam Sunnahnya yang mutawatir bahwa tidak ada Nabi setelah beliau, agar semua orang yang mengaku-ngaku nabi tahu bahwa dirinya adalah pendusta, pembohong, penipu, sesat dan menyesatkan, walau bagaimanapun dia bersulap dan membawa berbagai macam sihir serta jimat-jimat…

Itu semua adalah palsu dan kesesatan, menurut pandangan orang yang berakal. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berlakukan terhadap Al-Aswad Al-‘Anasi dari Yaman serta Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah. Dari kejadian-kejadian dan kata-kata yang (dengan itu) semua orang yang berakal dan paham, mengetahui bahwa keduanya adalah pendusta dan sesat, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknati keduanya. Demikian pula semua yang mengaku-ngaku Nabi sampai pada hari kiamat, sampai pada akhirnya Al-Masih Ad-Dajjal. Masing-masing pendusta tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan bersama mereka perkara-perkara yang dengannya para ulama dan kaum mukminin dapat bersaksi tentang kedustaan pengakuannya. Ini termasuk kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap makhluk-Nya. Karena sesungguhnya mereka –dengan realita yang pasti– tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, kecuali hanya secara kebetulan, atau karena mereka punya tujuan tertentu di balik amar ma’ruf nahi mungkar mereka itu. Mereka pasti berada pada puncak kedustaan dan kejahatan dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِيْنُ. تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيْمٍ

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa.” (Asy-Syu’ara`: 221-222)

Berbeda dengan keadaan para Nabi. Sesungguhnya mereka pada puncak kebaikan, kejujuran, kelurusan, istiqamah, serta keadilan dalam apa yang mereka katakan, mereka perintahkan dan mereka larang. Bersamaan dengan itu, segala yang mendukung mereka berupa hal-hal yang luar biasa, dalil-dalil yang jelas, dan bukti-bukti yang sangat nyata. Semoga shalawat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan salam-Nya selalu tercurah kepada mereka, senantiasa dan selalu selama masih ada langit dan bumi.” (Tafsir Al-Qur`anil Al-’Azhim, 3/502)

____________________________________________________________________________________________________

1 Demikian pula para pengikutnya mengaku bertaubat. Tentang taubat mereka ini, banyak kalangan yang tidak bisa disepelekan, meragukan kesungguh-sungguhan taubat mereka dengan indikasi yang cukup kuat. Sehingga kaum muslimin harus tetap mewaspadai ajaran-ajarannya. Tak mustahil mereka akan berganti baju.

2 Sebagian riwayat menyebut 30, sebagian menyebut mendekati tigapuluh, dan sebagian menyebut 27. Tidak ada kontradiksi antara riwayat-riwayat itu. Riwayat yang menyebut 30 atas dasar jabrul kasr, penggenapan dalam penyebutan bilangan, dan hal ini biasa dalam ungkapan bahasa Arab. (Fathul Bari, 13/87)

Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=674

 

Amal Termasuk Bagian dari ImanAqidah >  Mu’tazilah, Sekte Sesat Pemuja Akal


Artikel Terkait:

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Iman menurut Ahlussunnah

Posted on 16 Juni 2008. Filed under: Akidah, Murji'ah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Iman menurut Ahlussunnah wal jama’ah adalah keyakinan dengan hati, pengikraran dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat.

Jadi Iman terdiri dari tiga bagian:
Pertama, keyakinan hati dan amalan hati, yakni keyakinan dan pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik. ” (Az-Zumar: 33-34)

Adapun amalan hati di antaranya adalah niat yang benar, ikhlas, cinta, tunduk dan semacamnya terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sebagaiman firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 2 atau yang lainnya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. ”

Kedua, ikrar lisan dan amalan lisan. Ikrar lisan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengakui konsekuensi dari kedua kalimat tersebut. Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan “La Ilaha Illallah” dan bahwasanya aku adalah Rasulullah. (Shahih, HR Bukhari dan Muslim)

Sedangkan amalan lisan adalah sebuah amalan yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan lisan, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, tasbih, tahmid, takbir, do’a istighfar, dan lain-lain. Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Fathir: 29)

Ketiga, amalan anggota badan yaitu sebuah amalan yang tidak terlaksana kecuali dengan anggota badan seperti ruku’, sujud, jihad, haji dan lain-lain. Allah berfirman dalam surat Al-Haj ayat 77-78, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan agar kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.”
Kesalahan Memahami Hakekat Iman

Ada beberapa kelompok yang salah dalam memahami makna iman dari hakekatnya yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka adalah:

1. Khawarij dan Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa iman adalah ucapan, keyakinan, dan amal akan tetapi menurut mereka iman itu satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi atau bercabang-cabang. Tidak bertambah juga tidak berkurang, sehingga jika sebagian iman hilang berarti hilang semua. Karena itu mereka menghukumi bagi yang tidak beramal atau yang berdosa besar adalah kekal di neraka.

2. Murjiah, mereka terdiri dari tiga kelompok:
– Iman adalah hanya yang terdapat dalam hati, yakni pengetahuan hati saja. Ini keyakinan kelompok Jahmiyyah. Kelompok yang lainnya mengatakan, iman adalah juga amalan hati.
– Iman hanya ucapan lisan. Mereka adalah pengikut kelompok Karramiyyah.
– Iman hanya pembenaran dalam hati dan ucapan lisan. Mereka adalah kelompok Murjiatul Fuqaha’.

 

_____________________________________________________________________________________

Sumber bacaan: Ziyadatul Iman wa Nuqshanuhu karya As-Syaikh Abdurrazzaq al Abbad

Oleh : Al Ustadz Qomar Suaidi

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=64

 

Shalawat Bid’ah ‘Buatan’ SUFIAqidah >  Amal Termasuk Bagian dari Iman

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Sejarah Munculnya Ahmadiyah

Posted on 14 Juni 2008. Filed under: Ahmadiyah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , |

Banyak sisi kelam dari kisah hidup para nabi palsu yang terkubur oleh puja dan puji para pengikutnya. Mirza Ghulam Ahmad adalah contoh yang amat layak diketengahkan. Bagaimana sesungguhnya akhlak dari “nabi” orang-orang Ahmadiyah ini?

Dengan menengok –walau sekilas– tentang sejarah munculnya sekte Ahmadiyah ini, diharapkan kita akan mengenal dengan jelas jati diri mereka dan pimpinan mereka.1

Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan di daerah Qadiyan, salah satu daerah di wilayah Punjab, di sebuah keluarga yang bekerja dengan setia pada penjajah Inggris. Dahulu ayahnya adalah salah satu pengkhianat muslimin. Dia melakukan makar terhadap muslimin serta membantu penjajahan Inggris guna memperoleh kedudukan. Ini sebagaimana disebutkan sendiri oleh Ghulam Ahmad dalam bukunya Tuhfah Qaishariyyah (hal. 15): “Sesungguhnya ayahku Ghulam Murtadha dahulu termasuk orang yang memiliki hubungan baik dan mesra dengan pemerintah Ingris. Ia punya posisi di kantor pemerintah. Ia membantu pemerintah (Inggris) saat orang-orang sebangsa dan seagamanya melawan Inggris, dengan bantuan yang baik pada tahun 1851 M. Dia bahkan membantu Inggris dengan 50 tentara dan 50 kuda darinya sendiri….”

Di masa remajanya, Ghulam Ahmad belajar sebagian buku-buku bahasa Urdu dan bahasa Arab dari ustadz-ustadz yang kurang dikenal. Juga belajar sedikit dari ilmu perundang-undangan, kemudian bekerja menjadi pegawai di Siyalkot dengan gaji hanya 15 Rupee per bulannya (hal. 278-279). Lalu dia meninggalkan pekerjaannya tersebut, sehingga menjadi pengangguran. Saat itu ia mulai mempelajari buku-buku agama Hindu dan Nashrani, karena dialog antar agama saat itu tengah ramai di India. Mayoritas muslimin menghormati ulama dan munadzir (ahli dialog) mereka serta membantu mereka sesuai kemampuan, dengan segala yang mereka miliki baik harta maupun jiwa. Sehingga Ghulam Ahmad di awal munculnya menampakkan bahwa dirinya adalah seorang pembela Islam. Dia pandang pekerjaan ini mudah baginya dan mulia. Ia juga bisa memperoleh harta dengan cara ini yang tidak dia peroleh dengan menjadi pegawai.

Maka yang pertama kali dia lakukan adalah mengumumkan perlawanannya terhadap agama Hindu. Iapun menulis beberapa makalah di sebagian surat kabar, disusul dengan memproklamirkan perlawanannya terhadap Nashrani. Sontak kaum muslimin mengarahkan perhatiannya kepadanya. Ini terjadi pada tahun 1877 M dan 1878 M.

Lalu ia mengumumkan bahwa dirinya telah memulai menulis kitab sebanyak 50 (limapuluh) jilid, membantah segala sanggahan orang kafir terhadap Islam. Oleh karenanya, hendaknya kaum muslimin segera menyumbangkan dananya agar segera tercetak. Saat-saat itu juga, ia mulai mengumumkan tentang karamah-karamahnya yang palsu, sehingga orang-orangpun menganggap ia bukan hanya sekadar orang berilmu tapi juga seorang wali. Maka segeralah muslimin mengirimkan dana yang cukup besar untuk mencetak kitab tersebut2.

Kemudian ia menerbitkan Juz pertamanya dengan judul Barahin Ahmadiyah pada tahun 1880 M. Tetapi isinya justru dipenuhi dengan pengumuman-pengumuman serta karamah-karamahnya. Lalu keluar juz kedua tahun 1882 M dan isinya tidak jauh dari yang pertama. Kemudian ia keluarkan juz ketiga tahun 1884 M, lalu juz keempat. Sesampainya kitab-kitab tersebut di tangan muslimin, mereka heran dan kecewa. Karena bukannya mengisi lembaran kitabnya dengan sanggahan orang-orang kafir dan bantahannya, tapi justru dengan karamah-karamah dan puja-pujian terhadap penjajah Inggris.

Ketika itu, para ulamapun paham bahwa sesungguhnya ia hanya menipu kaum muslimin. Yang patut disebutkan juga bahwa kitab yang dia janjikan 50 jilid itu ternyata tidak terbit kecuali hanya 5 jilid. Ketika ditanya tentang orang-orang yang telah menyumbang untuk mencetak kitabnya tersebut, ia hanya menjawab: “Tidak ada bedanya antara lima dan limapuluh kecuali hanya satu titik.”3
Alhasil, penjajah Inggris telah memanfatkannya dan menyuguhkan kepadanya segala yang istimewa dan berharga, sehingga iapun berkhianat sebagaimana ayahnya berkhianat. Namun pengkhianatan ayahnya hanya terhadap bangsa dan rakyat negaranya, tapi si anak ini berkhianat terhadap agamanya dan pemeluk agamanya. Akhirnya iapun bekerja atas gaji penjajah Inggris dan dengan bimbingan mereka.

Awal proklamasinya pada tahun 1885 M dengan pengakuan bahwa dirinya adalah seorang Mujaddid (pembaru). Lalu pada tahun 1891 M dia mengaku bahwa dirinya adalah Mahdi yang dijanjikan akan muncul. Pada tahun yang sama juga, dia mengaku bahwa dirinya Al-Masih Al-Mau’ud (yang dijanjikan), namun ia adalah nabi yang mengikuti nabi sebelumnya. Setelah itu, pada tahun 1901 M dia menyatakan bahwa dirinya adalah Nabi yang berdiri sendiri, yakni memiliki syariat tersendiri, bahkan lebih utama dari seluruh para Nabi dan Rasul.

Orang-orang yang berilmu sesungguhnya telah menduga kuat sebelum penobatan dirinya sebagai Nabi bahwa hal itulah sebenarnya yang dia inginkan. Akan tetapi Ghulam mengingkari hal itu dengan sekuatnya dan mengatakan: “Aku meyakini semua yang diyakini Ahlus Sunnah, sebagaimana aku meyakini bahwa Muhammad adalah penutup para nabi, dan barangsiapa yang mengaku kenabian setelahnya berarti dia kafir, dusta. Karena aku mengimani bahwa kerasulan dimulai dari Adam dan berakhir sampai Rasulullah.”4

Lalu sedikit meningkat dengan motivasi dari penjajah, sehingga dia mengatakan: “Aku bukan nabi, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan aku muhaddats dan kaliim (yang diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) agar memperbarui agama Al-Mushthafa.”5
Lalu meningkat lagi secara bertahap, katanya: “Aku bukan Nabi, akan tetapi Muhaddats, dan Muhaddats itu berkekuatan nabi, bukan benar-benar Nabi.”6
Lalu, “Muhaddats itu adalah Nabi yang kurang… seolah jembatan antara para Nabi dan umat-umat mereka.”7

Lebih dari itu, dia mengatakan: “Aku bukan Nabi yang menyerupai Muhammad atau aku datang dengan syariat yang baru, bahkan seluruh yang ada, aku adalah Nabiyyun muttabi’ (Nabi yang mengikuti).”8
Lalu “Aku adalah Al-Masih yang Rasul beritakan tentangnya.”9
Pada akhirnya mengatakan: ”Demi Allah Yang rohku pada genggaman-Nya, Dialah yang mengutus aku dan menamaiku dengan Nabi… dan menampakkan untuk kebenaran pengakuanku, ayat-ayat nyata yang jumlahnya mencapai 300 ribu bukti.”10

Padahal dia yang mengatakan sebelum itu: “Tidaklah ada yang mengaku sebagai Nabi setelah Muhammad kecuali dia adalah saudara Musailamah Al-Kadzdzab, kafir, orang yang jelek”11
Dia juga mengatakan: “Kami melaknat orang yang mengaku nabi setelah Muhammad.”12
Dengan demikian Mirza Ghulam Ahmad adalah terlaknat, kafir, pendusta dan sangat jelek, berdasarkan persaksiannya sendiri.

Satu Contoh Kenabian Ghulam Ahmad
Seorang Nabi tentu membawa berita-berita kenabian, karena Nabi berarti pembawa berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (lihat Al-Qamus Al-Muhith). Berita tersebut sebagai bukti akan kebenaran kenabian yang dia klaim. Itulah pula yang dilakukan oleh Nabi kita Muhammad bin Abdillah Al-Qurasyi. Sebagai salah satunya adalah berita akan munculnya para pendusta yang mengaku Nabi, dan itu telah terbukti. Berita tersebut hanya salah satu dari sekian banyak berita kenabian beliau. Para ulama telah membukukannya dalam karya-karya mereka yang mereka beri judul Dala`il An-Nubuwwah, semacam yang ditulis oleh Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah

Lalu bagaimana dengan Nabi Ahmadiyah ini? Kami akan berikan salah satu contoh berita kenabiannya, yang ia jadikan sebagai tolok ukur kebenaran kenabian atau kedustaannya.
Alkisah, salah seorang kerabat Ghulam Ahmad bernama Ahmad Bik suatu saat memerlukan bantuan Ghulam karena suatu masalah yang dia alami. Ghulam pun mengatakan: “Aku akan membantumu dengan syarat kamu nikahkan aku dengan anak perempuanmu, Muhammadi Baijum.”

Usia Ghulam ketika itu di atas 50 tahun dan dalam kondisi banyak mengidap penyakit. Ahmad Bik pun tidak menerima syarat tersebut, sehingga beranglah Ghulam Ahmad karena penolakan itu. Mulailah ia mengancam Ahmad Bik. Begitu kasmarannya terhadap si wanita tersebut sampai ia mengatakan: “Sesungguhnya Allah memperlihatkan kepadaku dalam bentuk (wahyu) kenabian, bahwa anak perempuan Ahmad Bik menikah denganku. Padahal keluarganya tidak setuju dan melarang. Akan tetapi Allah menikahkannya denganku dan menghilangkan segala penghalang. Tidak seorangpun yang dapat menghalangi terwujudnya pernikahan ini.” (Izalatul Auham hal. 396 karya Ghulam Ahmad)
Lebih dari itu bahkan dia mengatakan: “Bila berita kenabian ini tidak terwujud, maka aku menjadi yang terjelek dari orang-orang yang jelek, wahai orang-orang yang dungu.”

Dalam masa penantian terwujudnya “berita kenabian” itu, Ghulam terus berusaha merayu Ahmad Bik dengan berbagai macam janji dan pengharapan. Sehingga ia menulis surat kepada Ahmad Bik yang berisi: “Saudaraku yang mulia Ahmad Bik, semoga Allah berikan keselamatan kepadamu. Saat ini aku baru saja selesai dari amalan muraqabah, sehingga aku tidur dan aku melihat bahwa Allah memerintahkan aku agar memperlihatkan kepadamu dengan syarat kamu nikahkan aku dengan anak perempuamu yang besar dan masih perawan, agar kamu berhak mendapatkan kebaikan-kebaikan dari Allah, barakah-barakah-Nya, nikmat-nikmat-Nya serta kemuliaan dari-Nya, serta memberikan kepadamu jalan keluar dari kesulitan dan musibah. Tapi, jika kamu tidak memberikan anak perempuanmu kepadaku maka engkau akan menjadi sasaran peringatan dan hukuman.

Aku sampaikan juga kepadamu apa yang Allah perintahkan kepadaku agar kamu mendapat nikmat Allah dan pemuliaan-Nya, dan agar Ia bukakan untukmu perbendaharaan-perbendaharaan nikmat… Aku juga siap untuk menandatangani perjanjian yang kamu bawa kepadaku. Lebih dari itu, seluruh milikku untukmu dan untuk Allah. Demikian juga, aku siap membantu anakmu Aziz Bik untuk mendapatkan pekerjaan di kepolisian, sebagaimana aku akan nikahkan dia dengan anak perempuan seorang yang kaya raya dari muridku.”13

Ketika ia melihat bahwa rayuan-rayuan tersebut tidak membuahkan apapun maka ia mulai merendah dan meminta-minta belas kasihan Ahmad Bik. Ia tuliskan dalam surat berikutnya: “Aku berharap darimu dengan penuh adab dan segala kelemahan, agar kamu terima pernikahanku dengan anak perempuanmu, karena pernikahan ini pasti menyebabkan keberkahan dan membukakan untuk kalian pintu-pintu rahmat, yang tidak tergambar oleh kalian. Barangkali kalian juga tahu bahwa berita kenabian ini telah tersebar luas di kalangan ribuan manusia bahkan ratusan ribu manusia. Dunia pun melihat realisasi dari kenabian ini. Ribuan orang-orang Kristen juga berharap agar kenabian ini tidak terealisasi, sehingga mereka menertawakan kita. Namun Allah akan menghinakan mereka dan menolong aku. Oleh karena itu, aku berharap darimu agar membantu aku dalam merealisasikan kenabian ini.”

Ternyata upaya inipun tidak membuahkan hasil. Maka ia berusaha mencari jalan lain dengan cara memaksa dua anaknya untuk membantu memaksa Ahmad Bik, yaitu Sulthan Ahmad dan Fadhl Ahmad. Bila tidak, maka mereka berdua diharamkan dari warisan. Bahkan istrinya juga diancam untuk diceraikan bila tidak membantu. Dia katakan: “Bila anak perempuan Ahmad Bik menikah dengan seseorang selainku, maka hari itu juga Sulthan Ahmad haram dari warisanku, dan dia tidak lagi punya hubungan denganku serta ibunya kuceraikan. Adapun anakku Fadhl Ahmad, ia juga haram dari warisanku bila ia tidak menceraikan istrinya, yaitu anak perempuan dari saudara perempuan Ahmad Bik, dan tidak ada lagi hubungan denganku seperti halnya saudaranya, Sulthan Ahmad.”14

Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak lain untuk membuktikan imitasi kenabiannya. Gadis dambaan Ghulam Ahmad itupun akhirnya menikah dengan seorang militer bernama Sulthan Bik. Akhirnya, kesedihan yang dalam dan penyesalan yang tiada terukur menyelimuti pembawa berita kenabian palsu itu. Laknat dan doa jelek pun dia tuai karena dia sendiri yang menanamnya: “Bila berita kenabian ini tidak terwujud maka aku menjadi yang terjelek dari orang-orang yang jelek, wahai orang-orang yang dungu.”

Namun tanpa rasa malu, ia tetap bersikukuh akan kebenaran berita kenabian itu. Sehingga ia menuliskan: “Aku memohon kepada Allah dengan sungguh-sungguh di hadapan-Nya, sehingga aku diberi ilham, ‘Niscaya aku akan perlihatkan kepada mereka ayat-ayatku, bahwa wanita ini akan menjanda dan suaminya akan mati, demikian pula ayahnya. Dalam kurun waktu 3 tahun lagi, wanita itu akan kembali kepadaku dan tidak seorangpun mampu menghalangi.”15

Dia juga mengatakan: “Demi Allah yang mengutus Muhammad dengan kebenaran. Ini jujur, ini benar, bahwa wanita itu menikah denganku, DAN AKU JADIKAN BERITA INI SEBAGAI TOLOK UKUR KEJUJURAN ATAU KEDUSTAANKU. Tidaklah kukatakan ini melainkan setelah Allah beritakan kepadaku tentangnya.”

Waktu berjalan. Hari berganti hari. Namun sampai waktu yang dijanjikan bahkan melebihinya, sang suami tak kunjung mati walau hidupnya di bawah desingan peluru dan mortir. Suatu keadaan yang membuat pengaku nabi ini semakin gundah. Tertuang padanya berbagai laknat dan cercaan, sehingga ia berdoa: “Akhirnya aku memohon kepada Allah, wahai Ilah, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berilmu, jika berita kenabian tentang pernikahan dengan anak perempuan Ahmad Bik ini dari sisi-Mu maka wujudkanlah, agar menjadi hujjah atas makhluk-Mu, dan agar Engkau bungkam dengannya mulut-mulut orang yang hasad dan jelek. Jika KENABIAN INI BUKAN DARI-MU ya Allah, maka binasakan aku dalam keadaan hina dan merugi. Dan jadikan aku terlaknat dalam pandangan-Mu.”16
Sungguh-sungguh terjadi, doa itu bagai bumerang buatnya. Sampai ajal menjemput Ghulam Ahmad dalam keadaan yang menghinakan, suami Muhammadi Baijum masih tetap menghirup udara dan tetap berada di samping sang istri, bahkan hidup sampai lebih dari 40 tahun sepeninggal Nabi palsu yang terbongkar kepalsuannya dengan persaksiannya sendiri.
Sungguh ini merupakan pukulan telak bagi Ahmadiyah, yang mereka tidak mendapatkan jalan keluar darinya.

Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir menyebutkan sampai 10 berita kenabian palsu semacam ini dalam makalahnya Al-Mutanabbi Al-Qadiyani wa Tanabbu`atuhu. Tentunya jumlah itu bukan sebagai pembatas. Namun, adakah bukti kepalsuan ini mendapatkan tempat di hati pada pengikut Ahmadiyah?
Ternyata tidak, kecuali bagi mereka yang mendapat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena yang buta sesungguhnya bukanlah mata mereka, tapi kalbu mereka.

___________________________________________________________________________________________________

1 Pembahasan berikut ini diringkas dari kumpulan makalah Asy-Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir, seorang ulama besar di Pakistan.
2 Bisa dilihat pengumuman-pengumuman tersebut dalam Tabligh Risalat kumpulan pengumuman Ghulam Al-Qadiyani juz 1 hal. 25 dan Tabligh Risalat Juz 2 hal: b dan Juz 1 hal. 13.
3 Yakni angka nol dalam tulisan Arab adalah titik. Hanya itu bedanya. Pernyataannya tercantum dalam يقدمه براهين أحمد juz 5 hal 7.
4 I’lanul Ghulam, pernyataan Ghulam tanggal 12 Oktober 1891, dalam kumpulan Tabligh Risalat juz 2 hal. 2.
5 Mir`aat Kamalaat Al-Islam hal. 383
6 Himayat Al-Busyra, karya Ghulam hal. 99
7 Izalatul Auham, karya Ghulam hal. 529
8 Titimmatu Haqiqatul Wahyi, karya Ghulam hal. 86
9 Izalatul Auham, karya Ghulam hal. 683
10 Titimmatul Wahyi, karya Ghulam hal. 68
11 Anjam Aatsim, karya Ghulam hal. 28
12 Pernyataan Ghulam dalam Tabligh Risalat juz. 6 hal. 2.
13 Surat Ghulam Al-Qadiyani kepada Ahmad Bik, dinukil dari غيب نوشته hal. 100 tanggal 20 Februari 1888 M.
14 Pengumuman Ghulam Ahmad 2 Mei 1891 dinukil dari Tabligh Risalat, 2/9.
15 Ilham Ghulam Ahmad, dinukil dari غيب نوشته
16 Pengumuman Ghulam Ahmad pada 27 Oktober 1894 M dalam Tabligh Risalat, karya Qasim Al-Qadiyani, 3/186.

Penulis : Oleh: Al-Ustadz Qomar ZA
http://asysyariah.com/print.php?id_online=676
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Pengadilan Terbuka Bagi Penghujat Allah dan Rasul-Nya

Posted on 12 Juni 2008. Filed under: JIL (Jaringan Iblis Laknatullah) | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Ali radhiallahu ‘anhu berkata:

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya yang menjadi tolak ukur di dalam agama ini adalah akal pikiran niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas dua khufnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud di dalam Sunan-nya no. 162.
Guru kami, Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah berkata di dalam kitab Al-Jami’us Shahih Mimma Laisa fish Shahihaini (1/61) Bab Ma Ja’a Fi Dzammi Ra’yi (Bab Tercelanya Mengutamakan Akal Pikiran): “Hadits ini shahih.” Para perawinya adalah perawi kitab Shahih kecuali Abdu Khair, namun dia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in sebagaimana dinukilkan di dalam kitab Tahdzibut Tahdzib).

Ucapan shahabat yang mulia di atas mengisyaratkan kepada kita tentang kedudukan akal di dalam agama, dan bahwa agama ini tidaklah diukur dengan akal pikiran namun kembalinya kepada nash, yaitu apa kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan apa kata Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun kita dapati ada sebagian manusia yang sangat mengagungkan akal sehingga mereka memposisikan akal tersebut di atas Al Qur’an dan As-Sunnah. Bila sesuai dengan akal, mereka terima, dan bila bertentangan dengan akal –menurut mereka– mereka tolak atau simpangkan maknanya.

Islam Memuliakan Akal
Allah menganugerahkan kepada manusia nikmat berupa akal pikiran yang dengannya manusia terangkat kepada tingkatan taklif ilahiyyah (memikul beban syariat sebagai hamba yang mukallaf). Dengan akal itu pula manusia mengetahui taklif tersebut dan dapat memahaminya.1 Allah bekali pula manusia dengan fithrah yang bersesuaian dengan wahyu yang mulia dan agama yang haq, yang dibawa oleh para rasul Allah alaihimush shalatu wassalam, yang Allah syariatkan dan Allah jadikan sebagai jalan hidup bagi manusia tersebut, yang mana wahyu dan agama yang haq ini tersampaikan lewat lisan para rasul yang mulia shalawatullahi wa salamuhu alaihim ajma‘in. (Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallahi fihil Hikmah wal ‘Aql, Asy-Syaikh Rabi‘, hal. 33)

Dengan demikian, Islam tidaklah menelantarkan akal, dan tidak pula mengangkatnya lebih dari porsinya namun akal ditempatkan pada tempatnya dan digunakan dengan semestinya.
Al Qur’an yang mulia telah banyak memberikan dorongan kepada kita untuk mempergunakan akal pikiran. Kita diperintahkan untuk memikirkan Al Qur’an hingga sampai pada keyakinan tentang kebenarannya, sebagaimana kita diperintah untuk memikirkan ciptaan Allah untuk menambah keyakinan kita kepada-Nya.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an (memikirkan dan merenungkannya)? Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka ? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan…” (Ar-Rum: 8)
Allah membuat banyak permisalan dalam Al Qur’an agar kita memikirkannya, seperti ketika Dia menceritakan tentang permisalan kehidupan dunia:

“Permisalan kehidupan dunia itu hanyalah seperti air yang Kami turunkan dari langit lalu bercampurlah dengannya tumbuh-tumbuhan bumi dari apa yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi itu telah memakai perhiasannya dan indah (subur menghijau dengan berbagai jenis tanamannya) sementara pemiliknya yakin mereka akan mampu memetik dan menikmati hasilnya (dari tanam-tanaman tersebut), datanglah perintah Kami pada waktu malam dan siang (sehingga rusak dan hancurlah tanaman yang sudah diharapkan tadi). Lalu Kami jadikan tanaman itu seperti sudah dituai seakan-akan ia tidak pernah ada di hari kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat Kami bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Yunus: 24)

Islam Membimbing Akal
Akal memiliki kemampuan yang terbatas sehingga ia tidak dapat mencapai seluruh hakikat yang ada. Bila akal dilepaskan begitu saja tanpa bimbingan niscaya ia bisa keliru dan terjerumus dalam kesesatan. Sebagaimana kemaksiatan pertama yang dilakukan oleh makhluk terhadap Rabbnya, ketika Iblis diperintah untuk sujud kepada Adam ‘alaihissalam sebagai tanda penghormatan kepada Adam, Iblis enggan karena ia merasa lebih mulia dan lebih tinggi daripada Adam. Ia diciptakan dari api sementara Adam dari tanah. Menurut akal Iblis, api itu lebih mulia daripada tanah.

“Aku lebih baik daripadanya (Adam), Engkau ciptakan aku dari api sementara dia Engkau ciptakan dari tanah liat.” (Al-A’raf: 12)
Dengan begitu, akal perlu dibimbing oleh wahyu dan harus tunduk dengan wahyu, karena wahyu itu dari firman Allah dan perkataan-Nya yang suci sementara akal adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Karena akal itu terbatas, syariat menetapkan ia tidak boleh berdalam-dalam membahas perkara yang tidak mungkin dijangkau, seperti di antaranya memikirkan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hakikat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا
“Ilmu mereka (makhluk) tidak dapat meliputi Allah.” (Thaha: 110)
Selain itu juga wahyu dan akal yang sehat tidaklah saling bertentangan. Wahyu sebagai dasar pijakan, timbangan dan pengoreksi akal ketika ia menyimpang dari kebenaran. Dengan begitu akal harus menganggap baik apa yang dianggap baik oleh syariat dan mengganggap jelek apa yang dianggap jelek oleh syariat. Akal seperti inilah yang dikatakan akal sehat.

Agama Bukan dari Akal Pikiran
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata: “Agama ini datang dari Allah tabaraka wa ta`ala, bukan dari akal dan pendapat manusia. Ilmunya dari sisi Allah melalui Rasul-Nya, maka janganlah engkau mengikuti agama dengan hawa nafsumu yang menyebabkanmu terpisah dari agama hingga engkau keluar darinya. Tidak ada dalil bagimu untuk menolak syariat dengan akal atau hawa nafsu karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan agama ini (As Sunnah) kepada para shahabat. Para shahabat adalah Al-Jama’ah dan As-Sawadul A’zham. As-Sawadul A’zham adalah kebenaran dan orang yang berpegang dengannya.” (Syarhus Sunnah, hal. 66)

Yang Berbicara Agama dengan Akal adalah Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Para perusak agama dari kalangan aqlaniyyun menempatkan akal di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Nama kelompok mereka bisa berbeda-beda namun sama dalam sikap memposisikan akal mereka. Satu dari sekian kelompok tersebut yang sekarang ini para da’inya sedang berteriak-teriak memasarkan kesesatannya di negeri ini adalah kelompok yang diistilahkan Jaringan Islam liberal (JIL)2 ataupun yang sejenis pemikirannya. Orang-orang dalam jaringan ini berbicara tentang agama seenak perut mereka dan menurut akal-akalan mereka, tidak dilandasi dengan Al Qur’an, tidak pula dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan tidak pula dengan bimbingan para ulama pendahulu kita yang shalih.

Padahal posisi keilmuan mereka terhadap agama ini sangat memprihatinkan. Bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang bodoh namun tidak tahu bahwa dirinya bodoh. Walaupun ada di antara mereka yang bergelar profesor, doktor dan gelar kesarjanaan lainnya, namun mereka tidak paham sama sekali terhadap agama Allah ini. Sekilas kami membaca apa yang mereka tulis dalam buku-buku mereka dan juga dalam situs mereka di internet. Sungguh kita tidak mendapatkan dalil. Mungkin ada penyebutan dalil, namun tidak pada tempatnya atau apa yang dibawakan itu lemah dari sisi ilmu riwayah wa dirayah.

Ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Terlebih lagi dalam ilmu hadits, ilmu yang mulia ini mereka tidak paham sama sekali sehingga biasa kita dapati mereka menolak hadits dengan perkataan yang membuat tertawa orang awam terlebih lagi orang yang alim, seperti ketika mereka menolak hadits-hadits tentang jilbab dinyatakan hadits-haditsnya ahad (Kritik atas Jilbab, situs JIL, 4/6/2003).
Mereka membantah Al Qur’an dengan akal mereka atau dengan ucapan orang kafir. Begitu pula terhadap hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mereka menghinakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian kenyataan yang ada pada kelompok sesat antek-antek Yahudi ini. Jangankan orang rendahan mereka, orang yang ditokohkan di kalangan mereka sebagai da’i mereka, seperti Ulil Abshar Abdalla, kenyataan sesungguhnya adalah orang yang bodoh. Jangankan terhadap syariat, dalam masalah bahasa Arab pun terlihat kedunguannya. Satu contoh, ketika ia ditantang untuk mubahalah (saling berdoa agar dilaknat Allah bagi yang berdusta) dalam satu seminar di Bandung, ia mengelak dengan beralasan bahwa mubahalah itu berarti mengajak goblok, karena mubahalah itu dari kata bahlul (goblok).
Lihatlah kebodohan orang ini. Tidakkah kau tahu, Rasulullah pernah diperintah oleh Allah untuk menantang mubahalah kepada ahlul kitab, apakah mungkin dikatakan Allah menyuruh Nabi-Nya berlaku goblok?!!

“Maka siapa yang mendebatmu dalam perkara ini setelah datang kepadamu ilmu maka katakanlah: “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan (panggil pula) anak-anak kalian, (kami panggil) istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah dan kita mohon kepada Allah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali ‘Imran: 61)
Bila dalam bahasa saja orang semacam ini ketahuan bodohnya lalu apatah lagi dalam masalah syariat. Orang sebodoh ini berniat menyusun kitab tafsir Al Qur’an (Situs JIL, 12/1/2004), maka tentu kita akan bertanya kepadanya, dengan ilmu apa dia akan menulis tafsir? Adakah pengetahuan dia dalam masalah ini, ataukah ia kembali pada hawa nafsunya dan pada ucapan najis orang-orang kafir/orientalis yang punya hasad kepada Islam dan muslimin?

Catatan Hitam Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Catatan-catatan yang dibawakan di sini tidaklah secara keseluruhan mengingat keterbatasan halaman yang ada, sehingga hanya kita bawakan beberapa di antaranya beserta bantahan singkat terhadap mereka:
– Mereka menganggap hukum Islam itu zalim sehingga bila diterapkan syariat Islam yang pertama jadi korban adalah kaum wanita (situs JIL, 16/9/2001). Padahal justru hukum di luar Islamlah yang zalim, sementara hukum Allah adalah seadil-adil dan sebaik-baik hukum. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki padahal hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
– Mereka menggugat kebenaran Islam karena kata mereka kebenaran agama itu relatif (situs JIL, 24/8/2002). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih agama Islam ini sebagai agama yang Dia ridhai:
وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Adakah seorang yang beriman akan meyakini bahwa Allah meridhai Islam yang belum tentu kebenarannya? Na’udzubillah min dzalik.
– Mereka menyamakan semua agama. Jelas hal ini menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ ألإِسْلاَمُ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

“Siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima agama itu darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
– Mereka mengajak melihat kebenaran pada agama lain, tanpa menganggap hanya Islam agama yang benar (Zuly Qodir, Islam Liberal, hal. 134, Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, hal. 138-143). Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan dengan gamblang kekafiran orang-orang Nasrani dan kalangan non muslim lainnya:

“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam,’ padahal Al-Masih sendiri bekata: ‘Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu maka pasti Allah mengharamkan jannah baginya dan tempatnya adalah an-naar, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali sesembahan yang satu (Allah). Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah: 72-73)

Nurcholis Majid membatasi musyrikin dengan para penyembah berhala Arab sementara paganis India, China dan Jepang dimasukkannya sebagai ahli kitab karena dianggap memiliki kitab suci yang intinya tauhid, sehingga agama yang tidak diterima disisi Allah hanyalah agama penyembah berhala Arab. (Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Ulil Abshar Abdalla, situs JIL). Ketahuilah, musyrikin itu adalah semua orang yang menyekutukan Allah dalam peribadatan sehingga paganis India, China dan Jepang ataupun selainnya dari kalangan Yahudi dan Nasrani, semuanya itu musyrikin.
– Lontaran yang dilemparkan oleh Ulil Abshar Abdalla juga tak kalah sesatnya. Dalam harian Kompas, terbitan Senin 18-10-2002, ia menulis artikel Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam yang isinya ia membagi syariat Islam menjadi ibadah dan muamalah. Yang ibadah untuk diikuti, sedang yang muamalah seperti berjilbab, pernikahan, jual beli, hukum qishash, dsb, tidak usah diikuti. Ia menyatakan Islam adalah nilai generis yang bisa ada di Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, dan bisa jadi kebenaran Islam ada dalam filsafat Marxisme. Ia juga menghina dan mengolok-olok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya). (situs JIL, 18/11/2022). Memang orang bodoh ini tidak memahami firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan jika engkau tanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu, tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?’ Tidak perlu kalian minta udzur karena kalian telah kafir setelah kalian beriman.” (At-Taubah: 65-66)

– Si Ulil ini pula dengan lancangnya menganggap halal apa yang diharamkan oleh Allah I seperti pernyataannya bahwa vodka (sejenis minuman keras) bisa dihalalkan di Rusia karena daerahnya sangat dingin. Padahal dalam kasus yang sama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Dailam Al-Himyari tentang minuman memabukkan yang diminum untuk mengatasi hawa dingin di daerah yang sangat dingin, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Bahkan mereka yang tidak mau berhenti meminumnya diperintahkan untuk dibunuh (HR. Ahmad, 4/231, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’us Shahih, 1/122-123).

– Sama pula nyeleneh-nya ucapan Prof. Dr. Said Aqiel Siradj yang menyatakan agama Yahudi, Kristen dan Islam semuanya membawa misi tauhid.

– Demikian pula ucapan DR. Jalaluddin Rakhmat bahwa kafir itu bukanlah label aqidah dan keyakinan namun merupakan label moral (situs JIL, 15/9/2003).

• Mereka memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dengan mencintai dan mengagumi pemikiran mereka, sehingga orang-orang ini bangga bisa menimba ilmu di negeri Barat (situs JIL, 8/3/2004). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/ teman dekat kalian, karena sebagian mereka adalah kekasih bagi yang lainnya. Siapa di antara kalian yang loyal terhadap mereka maka sungguh ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Catatan-catatan hitam yang ada ini tak jauh dari apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah ketika memberikan gambaran tentang kaum munafiqin:
“Mereka itu telah berpaling dari Al Qur’an dan As-Sunnah dengan mengolok-olok dan merendahkan orang yang berpegang dengan keduanya. Mereka menolak untuk terikat dengan hukum dua wahyu tersebut karena merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka dari ilmu yang sebenarnya tidaklah bermanfaat banyaknya ilmu tersebut bagi diri mereka, kecuali hanya menambah kejelekan dan kesombongan. Maka engkau lihat mereka selama-lamanya berpegang teguh untuk mengolok-olok wahyu yang pasti.
الله يستهزئ بهم و يمدهم في طغيانهم يعمهون
“Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang ambing dalam kesesatan mereka yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 15) [Shifatul Munafiqin, hal. 7]

Hukuman bagi Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Dengan sebagian catatan hitam yang telah dituliskan, maka wajib bagi penguasa kaum muslimin memberikan hukuman yang keras bagi pengikut hawa nafsu ini dalam rangka menunaikan nasehat terhadap agama Allah. Kalau perlu ditangkap, maka ditangkap. Atau dipenjara, dipukul, diasingkan, ataupun dipenggal lehernya dan hendaknya jangan diberikan keringanan sebagai peringatan akan bahaya perbuatan hawa nafsu yang mengkaburkan agama Allah.

Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syari’ah, bab Hukuman yang diberikan Al-Imam dan Penguasa kepada penghujat Allah dan Rasul-Nya (pengikut hawa nafsu) mengatakan: “Sepantasnya bagi pemimpin kaum muslimin dan para gubernurnya di setiap negeri bila telah sampai padanya kabar yang pasti tentang pendapat/madzhab seseorang dari pengikut hawa nafsu yang menampakkan pendapat/madzhabnya tersebut, agar menghukum orang tersebut dengan hukuman yang keras. Siapa di antara pengekor hawa nafsu itu yang pantas untuk dibunuh maka dibunuh. Siapa yang pantas untuk dipukul, dipenjara dan diperingatkan maka dilakukan hal tersebut padanya. Siapa yang pantas untuk diusir maka diusir dan manusia diperingatkan darinya.”
Bila ada yang bertanya: “Apa argumen perkataanmu itu?”

Maka dijawab dengan jawaban yang tidak akan ditolak oleh para ulama yang Allah memberikan manfaat dengan ilmunya. Lihatlah bagaimana ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu mencambuk Shabigh At-Tamimi4 dan beliau menulis surat pada para pegawai beliau agar mereka memerintahkan Shabigh berdiri di hadapan manusia hingga Shabigh ini mengumumkan kejelekan dirinya.
‘Umar juga menetapkan larangan kepada manusia untuk memberi sesuatu pada Shabigh dan manusia diperintah pula untuk memboikotnya (tidak mengajaknya bicara, tidak duduk bersamanya). Demikianlah keadaan Shabigh seterusnya ia hina di tengah-tengah manusia.
Lihat pula Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Di Kufah ia membunuh sekelompok orang yang mengaku-aku bahwa Ali adalah tuhan mereka. Ali menggali parit untuk mereka lalu membakar mereka dengan api.

Begitu pula ‘Umar ibnu Abdil ‘Aziz menulis surat kepada ‘Adi ibnu Arthah berkenaan dengan kelompok Qadariyyah5: “Engkau minta mereka untuk bertaubat dari pemahaman sesat mereka. Bila mereka mau maka diterima taubatnya, bila tidak maka penggallah leher mereka.”
Adapun Hisyam bin Abdil Malik (dari kalangan umara Bani Umayyah) telah memenggal leher Ghailan6 dan menyalibnya setelah ia memotong tangan Ghailan.
Demikian pula yang terus menerus berlangsung, para penguasa setelah mereka pada setiap zaman berbuat demikian terhadap pengekor hawa nafsu. Bila telah pasti hal itu di sisi mereka, mereka pun memberikan hukuman pada si pengekor hawa nafsu tersebut dengan hukuman yang sesuai dengan apa yang mereka pandang, sementara para ulama tidak mengingkari perbuatan penguasa tersebut. (Kitab Asy-Syariah, Al-Al-Imam Al-Ajurri, hal. 967-968) 7

Penutup
Terlalu banyak yang bisa kita tuliskan dan paparkan untuk membongkar kesesatan kelompok akal-akalan seperti JIL ini. Sebagaimana yang kami sebutkan di atas, sampah kesesatan yang mereka muntahkan kepada umat tidak dibangun di atas dalil sedikitpun. Semoga tulisan ini membuka mata hati masyarakat kita untuk mewaspadai kelompok-kelompok sesat yang ada agar mereka mencari jalan keselamatan dengan kembali kepada agama Allah I dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Foot note:
1 Berbeda halnya dengan hewan yang tidak diberikan akal oleh Allah maka hewan tidak dibebani dengan perintah-perintah dan larangan-larangan syariat.
2 Namun nama yang sepantasnya buat mereka adalah Jaringan Sesat Pengkaburan dan Pembinasa Islam yang disokong dan dikoordinasi oleh kuffar Yahudi.
4 Shabigh ini suka mempertanyakan ayat-ayat yang mutasyabihah.
5 Qadariyyah adalah kelompok yang sesat dalam memahami taqdir Allah. Mereka mengatakan bahwa af‘alul ‘ibaad (perbuatan-perbuatan hamba) terjadi semata-mata karena iradah (kehendak) dan qudrah (kemampuan) makhluk, tidak ada di dalamnya pengaruh iradah dan qudrah Allah. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 116)
Sehingga hamba berbuat sekehendak mereka, dengan iradah dan qudrah mereka, dan bukan karena Allah yang menghendaki mereka untuk berbuat.
6 Ghailan ini berbicara tentang taqdir dengan pemahaman yang sesat. (Asy-Syariah, hal. 970)
7 Inilah yang menimpa setiap pengekor hawa nafsu. Bila mereka yang memikul kesalahan sedemikian rupa harus menanggung hukuman-hukuman yang sedemikian berat, maka bagaimana kiranya orang yang keluar dari mulutnya ucapan-ucapan kufur, penghinaan dan pengolok-olokan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta agama-Nya.

Diambil dari: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=178

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

JIL – Pengikut & Pemuja Iblis

Posted on 12 Juni 2008. Filed under: JIL (Jaringan Iblis Laknatullah) | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan ini akan senantiasa dijaga oleh Allah sampai hari kiamat. Namun, sudah menjadi sunatullah (ketetapan Allah. ed) bahwa akan selalu muncul orang-orang ataupun kelompok yang berusaha merusak atau pun memunculkan kekaburan pada agama yang sudah jelas ini.

Diantaranya adalah perusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih mengedepankan akal dibanding nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Gerakan ini muncul di banyak tempat dan sudah berlangsung sejak dulu. Termasuk di Indonesia, gerakan ini sekarang dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).

Menurut pemahaman Ahlus Sunnah, satu hal yang sudah mapan (sudah pasti dan tetap) dalam aqidah bahwa dalam memahami agama ini harus selalu mendahulukan Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasar pemahaman Salafus Shalih dibanding akal. Manakala ada sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka harus kita singkirkan. Hal ini berdasarkan apa yang Allah jelaskan dalam kitab-Nya dan Rasulullah sebutkan dalam Sunnahnya, diantaranya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لاَ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

اتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّيْ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10)

Nabi Shalllahu ‘alaihi wassalam bersabda:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنّتِيْ
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat setelah berpegang dengan keduanya yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.” (Riwayat Al-Hakim dari Abu Hurairah, 1/172, lihat Shahih Al-Jami’ no. 2937 dan Ash-Shahihah no. 1761)

Ketika masa semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak muncul fitnah, datang sebuah pemikiran atau paham bahwa akal harus didahulukan daripada wahyu (dalil naqli) ketika keduanya bertentangan -menurut pemahaman penganutnya-. Paham taqdimul aql ‘alan naql (mendahulukan akal dari pada naqli) yang berarti pula taqdisul ‘aql (mengkultuskan akal) ini, jika kita teliti silsilah nasabnya (asal-usulnya), maka ia akan berujung pada Iblis la’natullah ‘alaihi. Dialah yang pertama kali menggunakan akalnya untuk menolak perintah Allah Ta’ala tatkala Allah Ta’ala memerintahkan dia bersama malaikat sujud kepada Nabi Adam. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوْا لآدَمَ فَسَجَدُوْا إِلاَّ إِبْلِيْسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِيْنَ۰قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (Al-A’raf: 11-12)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perbuatan menentang wahyu dengan akal adalah warisan Syaikh Abu Murrah (iblis). Dialah yang pertama kali menentang wahyu dengan akal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.” (Ash-Shawa’iqul Mursalah, 3/998, lihat pula Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 207)

Manhaj (metodologi) ini kemudian diwarisi oleh para pengikut iblis dari kalangan musuh para Rasul. Diantaranya adalah kaum Nabi Nuh yang melakukan penentangan terhadap dakwah beliau. Mereka berkata sebagaimana dikisahkan oleh Allah Ta’ala :

فَقَالَ الْمَلأُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلاَّ بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلاَّ الَّذِيْنَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِيْنَ

“Dan berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami. Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang yang hina dina diantara kami yang mudah percaya begitu saja. Kami tidak melihat kamu memiliki kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (Hud: 27)

Yakni, orang-orang yang menentang Nabi Nuh berkata bahwa mereka (para pengikut Nabi Nuh) mengikuti beliau tanpa dipikir benar-benar (Tafsir As-Sa’di, hal. 380). Orang-orang kafir itu beralasan, mereka tidak mengikuti Nabi Nuh ‘alaihissalam karena menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang rasionya maju dan berpikir panjang, sedang pengikut para rasul berakal pendek (lekas percaya).

Hal yang sama terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah mengatakan tentang orang-orang munafiq dalam firman-Nya:

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ آمِنُوْا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوْا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ أَلاَ إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَكِنْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak tahu.” (Al-Baqarah: 13)

Tokoh paham ini yang muncul di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah Dzul Khuwaishirah. Dialah yang mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam : “Bertaqwalah kepada Allah wahai Muhammad dan berbuat adillah (dalam hal pembagian).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1219, 1581 dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam Al-Mustakhraj ‘ala Muslim, 3/129)
Orang ini tahu akan keharusan berbuat adil tapi ia tidak tahu cara adil menurut syariat. Ia menyangkal cara pembagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam -untuk orang-orang yang beliau maksudkan agar lunak hati mereka- dengan pandangan akalnya, ia menganggap bahwa pembagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam itu tidak adil walaupun Nabi membaginya dengan petunjuk dari Allah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam pun berkata: “Yang di langit telah mempercayakan aku, sedangkan kalian tidak percaya kepadaku?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1219, 1581 dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam Al-Mustakhraj ‘ala Muslim, 3/129)

Sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam masih ada orang yang mewarisi pemikiran itu bahkan dikembangkan menjadi lebih sistematis. Mereka tulis dalam karya-karya mereka lalu dijadikan sebagai rujukan dalam banyak permasalahan. Maka jadilah akal sebagai hakim dalam berbagai masalah. Apa yang diputuskan akal, itulah yang benar. Dan apa yang ditolaknya maka itu tentu salah. Salah satu “ahli waris” dari paham ini adalah kelompok Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia dengan semata akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat tahun 415 H), salah satu tokoh terkemuka paham ini mengatakan ketika menerangkan urutan dalil: “Yang pertama adalah dalil akal karena dengan akal bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk …karena Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal…” (Fadhlul I’tizal hal. 139, dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-’Aqliyyah min As-Sunnah An-Nabawiyyah, 1/97)

Perkataan orang-orang Mu’tazilah ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits yang telah disebut di muka. Karena itu, alasan seperti ini tidak bisa diterima (karena salah), apapun alasannya. Lebih-lebih karena dalilnya juga cuma dari akal, dimana akal ini satu sama lain bisa berbeda pandangan (dalam memahami sesuatu). Lantas pandangan siapa yang mau dijadikan standar?

Bahkan apa yang dia katakan itu “…karena dengannya bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk…” adalah pernyataan yang salah menurut dalil naqli dan akal yang sehat. Tidak secara mutlak demikian. Allah Ta’ala berfirman:

وَوَجَدَكَ ضَالاًّ فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Dhuha: 7)

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَهْدِيْ بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِيْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

Jadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri sebelum diberi wahyu tidak mengetahui perincian syariat, tidak tahu mana yang baik dan yang buruk secara detail apalagi selain beliau.

Bagi yang berakal sehat, dia akan tahu, misalnya, bahwa shalat adalah sesuatu yang baik setelah diberi tahu syariat. Tahu mencium Hajar Aswad itu baik, tahu melempar jumrah itu baik, tahu jeleknya daging babi sebelum ditemukan adanya cacing pita di dalammnya, dan banyak pengetahuan lainnya semua adalah dari syariat. Dengan demikian syariatlah yang menerangkan baik atau jeleknya sesuatu.

Memang terkadang akal dapat menilai baik buruknya sesuatu namun hanya pada perkara yang sangat terbatas, seperti baiknya kejujuran dan jeleknya kebohongan. Dalam permasalahan lain, terutama dalam perkara aqidah dan ibadah, akal banyak tidak tahu bahkan butuh bimbingan wahyu untuk mengetahuinya.

Perkataan Al-Qadhi Abdul Jabbar berikutnya: “Karena Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal,” kalimat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk melandasi pendapatnya. Karena Allah berbicara dengan orang yang berakal bukan untuk membolehkan akal mendahului wahyu. Namun agar mereka memahami ayat Allah, tunduk padanya dan tidak menentangnya. Ini hanya satu contoh ucapan tokoh Mu’tazilah.

Masih banyak ucapan sejenis yang menyelisihi nash Al-Qur’an dan As Sunnah.

Kita langsung melompat pada zaman akhir-akhir ini dimana muncul pula para pemikir semacam Muhammad Abduh. Orang ini berkata: “Telah sepakat pemeluk agama Islam –kecuali sedikit yang tidak terpandang– bahwa jika bertentangan antara akal dan dalil naqli maka yang diambil adalah apa yang ditunjukkan oleh akal.” (Al-Islam wan Nashraniyyah hal. 59 dinukil dari Al-‘Aqlaniyyun hal. 61-62)

Ia kesankan pendapatnya adalah pendapat jumhur (mayoritas) umat, sedangkan pendapat lain (yang justru mencocoki kebenaran) merupakan pendapat minoritas yang tidak perlu ditoleh. Yang benar adalah sebaliknya. Justru pendapat seluruh Ahlus Sunnah dari dulu sampai saat ini dan yang akan datang, bahwa akal itu harus mengikuti dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Sedang mereka (orang-orang Mu’tazilah dan pengikutnya) adalah golongan minoritas yang tidak perlu dilihat orangnya dan pendapatnya.

Tokoh berikutnya adalah Muhammad Al-Ghazali yang mengatakan: “Ketahuilah bahwa sesuatu yang telah dihukumi oleh akal sebagai sebuah kebathilan, maka mustahil untuk menjadi (bagian) agama. Agama yang haq adalah kemanusiaan yang benar dan kemanusiaan yang benar adalah akal yang tepat (sesuai) dengan hakikat, yang bercahaya dengan ilmu, yang merasa sempit dengan khurafat dan yang lari dari khayalan…” (Majalah Ad-Dauhah Al-Qathariyyah edisi 101/Rajab1404 H dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 64)

Akal siapa yang kau maksud, wahai Muhammad Al-Ghazali? Pada kenyataannya yang kau maksudkan adalah akal-akal seperti yang kau miliki. Kamu jadikan akal itu sebagai alat untuk menghukumi benar tidaknya syariat. Sampai kau ingkari begitu banyak hadits shahih walaupun dalam Shahih Al-Bukhari, terlebih hadits lain seperti hadits tentang seorang muslim tidak boleh di-qishash bunuh dengan sebab membunuh orang kafir, hadits tentang dajjal, hadits tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan banyak lagi yang lain. (Kasyfu Mauqifil Ghazali, hal. 45-46)

Lain halnya dengan akal yang terbimbing dengan wahyu, mengambil ilmu dari wahyu tersebut dan berjalan dengan petunjuknya. Akal yang demikian tidak akan bertentangan dengan agama Allah. Meski demikian, bukan akal yang dijadikan hakim untuk menentukan kebenaran dan menempatkan wahyu di belakangnya.

Demikianlah paham ini senantiasa diwarisi dari generasi ke generasi walaupun terpaut waktu sekian lama. Warisan iblis ini sampai sekarang masih ada dan sungguh benar perkataan orang arab: “Likulli qaumin warits” (setiap kelompok/sekte itu ada yang mewarisi) dan sejelek-jelek warisan adalah warisan iblis, sehingga muncul berbagai pertanyaan di benak ini, yang mengingatkan kita pada firman Allah:

أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُوْنَ
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Adz-Dzariyat: 53)

‘Ala kulli hal (bagaimanapun), ini adalah upaya setan untuk menyelewengkan manusia dari agama Allah Ta’ala menuju kepada kehancuran yang nyata.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya membenturkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul semua kerusakan di alam semesta. Dan itu adalah lawan dari dakwahya para rasul dari semua sisi karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada pendapat akal dan musuh mereka justru sebaliknya. Para pengikut rasul mendahulukan wahyu daripada ide dan hasil olah pikir akal. Sedang para pengikut iblis atau salah satu wakilnya, mendahukukan akal dari pada wahyu.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 1/292, lihat pula I’lamul Muwaqqi’in, 1/68-69, Mauqif Al-Madrasah, 1/86)

Lebih parah, metodologi ini menjadi ciri khas para ahli bid’ah dalam berdalil seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syathibi ketika menerangkan cara berdalil ahli bid’ah. Beliau berkata: “Mereka menolak hadits-hadits yang tidak sesuai dengan tujuan dan madzhab mereka dengan alasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan akal dan tidak sesuai dengan konsekuensi dalil.” (Al-I’tisham, 1/294). Beliaupun mengatakan: “Mayoritas ahli bidah berpendapat bahwa akal dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruk (yakni tanpa wahyu). Pernyataan ini merupakan sandaran pertama dan kaidah mereka dimana mereka membangun syariat di atasnya sehingga itu lebih utama dalam ajarannya. Mereka tidak curiga pada akal tapi terkadang curiga pada dalil ketika terlihat tidak sesuai dengan mereka sehingga mereka menolak banyak dalil yang syar’i.” (Mukhtashar Al-I’tisham, hal. 46).Wallahu a’lam.

 


Penulis: Al Ustadz Qomar ZA, Lc

Judul asli Penyembah Akal Adalah Pengikut Iblis

sumber http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=170

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kesesatan Al Ghazali & Ihya Ulumuddin

Posted on 10 Juni 2008. Filed under: Akidah, Sufi / Tasawuf | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي اْلأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ

“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)

Ibnu Mas’ud z berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)

Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara global.

1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)

Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى

“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَمَّا قَضَى اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ

“Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)

2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)

Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوُلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh yang baik adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah jalan yang lurus.”

Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)

Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah k dari hal itu).

3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)

Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)

Rasulullah n bersabda:

خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى

“Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Shahihul Jami’, 6/361]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)

Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.

Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ

“Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)
Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)
Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)

5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)

Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)

Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan jelas menyatakan:

لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ

“Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)

Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).

6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)

Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah1, nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)

Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)

Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ

“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang didoakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)

Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا

“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)

7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan dengan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)

Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)

Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
Allah k berfirman:

الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah.

Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)

Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
* Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
* Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya.
* Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
* Tidak berbicara.
* Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
* Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
* Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)

Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.

Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)

9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)

Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an.

Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)

Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ

“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)

10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)

Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)

Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)

Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)

11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti nikah.
Al-Ghazali berkata: “Barang siapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى

“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)

Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3

Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’.

Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”4

Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”

Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”

Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”

Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.

_______________________________________________________________________________________________

1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
3 Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
4 Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)

http://asysyariah.com/print.php?id_online=325


Kafirnya Orang Yang Mengaku NabiAqidah >  Fitnah al-Masih ad-Dajjal

 

 

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...