Archive for Februari 27th, 2011

Keutamaan Berdzikir

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , |

Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan pengampunan). Dan bersyukurlah kepadaKu, serta jangan ingkar (pada nikmatKu)”. (Al-Baqarah, 2:152).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai, orang-orang yang beriman, berdzikirlah yang banyak kepada Allah (dengan menyebut namaNya)”. (Al-Ahzaab, 33:42).

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, maka Allah menyediakan untuk mereka pengampunan dan pahala yang agung”. (Al-Ahzaab, 33:35).

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut (pada siksaanNya), serta tidak mengeraskan suara, di pagi dan sore hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (Al-A’raaf, 7:205).

 

Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang yang tidak ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang yang mati.[1]

 

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا بَلَى قَالَ ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى

“Maukah kamu, aku tunjukkan perbuatanmu yang terbaik, paling suci di sisi Rajamu (Allah), dan paling mengangkat derajatmu; lebih baik bagimu dari infaq emas atau perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu, lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata: “Mau (wahai Rasulullah)!” Beliau bersabda: “Dzikir kepada Allah Yang Maha Tinggi”.[2]

 

Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ، فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu kepadaKu, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rahmat) bila dia ingat Aku. Jika dia mengingatKu dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika dia menyebut namaKu dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”.[3]

 

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ اْلإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

Dari Abdullah bin Busr Radhiallahu’anhu, dia berkata: Bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya syari’at Islam telah banyak bagiku, oleh karena itu, beritahulah aku sesuatu buat pegangan”. Beliau bersabda: “Tidak hentinya lidahmu basah karena dzikir kepada Allah (lidahmu selalu mengucapkannya).”[4]

 

Rasul Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ: {الـم} حَرْفٌ؛ وَلَـكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, akan mendapatkan satu kebaikan. Sedang satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh semisalnya. Aku tidak berkata: Alif laam miim, satu huruf. Akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”[5]

 

وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِيْ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِيْ غَيْرِ اِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ نُحِبُّ ذَلِكَ. قَالَ أَفَلاَ يَغْدُوْ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ، أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ اْلإِبِلِ

Dari Uqbah bin Amir Radhiallahu’anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam keluar, sedang kami di serambi masjid (Madinah). Lalu beliau bersabda: “Siapakah di antara kamu yang senang berangkat pagi pada tiap hari ke Buthhan atau Al-Aqiq, lalu kembali dengan membawa dua unta yang besar punuknya, tanpa mengerjakan dosa atau memutus sanak?” Kami (yang hadir) berkata: “Ya kami senang, wahai Rasulullah!” Lalu beliau bersabda: “Apakah seseorang di antara kamu tidak berangkat pagi ke masjid, lalu memahami atau membaca dua ayat Al-Qur’an, hal itu lebih baik baginya daripada dua unta. Dan (bila memahami atau membaca) tiga (ayat) akan lebih baik daripada memperoleh tiga (unta). Dan (bila memahami atau mengajar) empat ayat akan lebih baik baginya daripada memperoleh empat (unta), dan demikian dari seluruh bilangan unta.”[6]

 

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ

Barangsiapa yang duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, pastilah dia mendapatkan hukuman dari Allah dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu tempat lalu tidak berdzikir kepada Allah, pastilah mendapatkan hukuman dari Allah.”[7]

 

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ
“Apabila suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat kepada Nabinya, pastilah ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka, maka jika Allah menghendaki bisa menyiksa mereka dan jika menghendaki mengampuni mereka.”[8]

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً
“Setiap kaum yang berdiri dari suatu majelis, yang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, maka mereka laksana berdiri dari bangkai keledai dan hal itu menjadi penyesalan mereka (di hari Kiamat).”[9]

 


1 HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 11/208. Imam Muslim meriwayatkan dengan lafazh sebagai berikut:
“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk dzikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuk dzikir, laksana orang hidup dengan yang mati”. (Shahih Muslim 1/539).

2 HR. At-Tirmidzi 5/459, Ibnu Majah 2/1245. Lihat pula Shahih Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/316

3 HR. Al-Bukhari 8/171 dan Muslim 4/2061. Lafazh hadits ini riwayat Al-Bukhari.

4 HR. At-Tirmidzi 5/458, Ibnu Majah 2/1246, lihat pula dalam Shahih At-Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/317.

5 HR. At-Tirmidzi 5/175. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 3/9 dan Shahih Jaami’ush Shaghiir 5/340.

6 HR. Muslim 1/553.

7 HR. Abu Dawud 4/264; Shahihul Jaami’ 5/342.

8 Shahih At-Tirmidzi 3/140.

9 HR. Abu Dawud 4/264, Ahmad 2/389 dan Shahihul Jami’ 5/176.

.

sumber:

KITAB HISNUL MUSLIM

Kumpulan Doa dan Dzikir Dari Al Quran dan As Sunnah

Said bin Ali Al Qahthani

Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Fiqih | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , |

Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.

A. Sujud Tilawah

Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)

Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha :

“Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak”. (HR. Muslim)

Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … .” (Al Bayyinah : 5)

Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu“. (Az Zumar : 65)

Definisi Sujud Tilawah

Secara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.

Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya

Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.

Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :

1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :

“Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)

2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu ‘anhu berkata :

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)

Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu ‘anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.

Pada hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :
“Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.” ] (HR. Bukhari)

Perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudhihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .” (Taudhihul Ahkam, halaman 167)

Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :

“Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud”. (Al Insyiqaq : 20-21)

Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu A’lam.

Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm”. (HR. Bukhari)

Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :

“Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca –dalam hal ini Zaid bin Tsabit– tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.

Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiyallahu ‘anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu ‘anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.

Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah

Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :

1. Pendapat Madzhab Syafi’i

Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).

2. Pendapat Madzhab Hanafi

Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.

3. Pendapat Madzhab Hanbali

Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.

Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)

Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dhaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dhaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”

Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.”

Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).

Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dhaif –(HR. Abu Dawud, 1403, ed)–. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 273)

Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”

Abu Dawud berkata : “Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dhaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”

Pendapat kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)

Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dhaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.

Namun, meskipun hadits ini dhaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)

Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :

  1. Al A’raf ayat 206.
  2. Ar Ra’d ayat 15.
  3. An Nahl ayat 50.
  4. Maryam ayat 58.
  5. Al Isra’ ayat 109.
  6. Al Hajj ayat 18.
  7. Al Hajj ayat 77.
  8. Al Furqan ayat 60.
  9. An Naml ayat 26.
  10. As Sajdah ayat 15.
  11. Shad ayat 24.
  12. An Najm ayat 62.
  13. Fushilat ayat 38.
  14. Al Insyiqaq ayat 21.
  15. Al ‘Alaq ayat 19.

Tata Cara Sujud Tilawah

Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudhu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.

Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”

Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudhu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudhu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudhu ketika ada halangan atau gangguan wudhu.

Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudhunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudhu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.”

Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudhu maupun yang tidak.

Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudhihul Ahkam.

Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”

Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya shahih.”

Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.

Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :

1. Tidak diharuskan berwudhu.

2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.

3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.

Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)

Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.

4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.

6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.

7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :

سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta”. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)

Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.

B. Sujud Syukur

Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudhihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.

Hukum Sujud Syukur

Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :

a. Hadits dari Abi Bakrah :

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)

b. Hadits :

“Bahwasanya Ali radhiallahu ‘anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)

c. Hadits Anas bin Malik :

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.”
d. Hadits Abdurrahman bin Auf :

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)

Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani  sebagai berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu ‘anhum.

Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :

1. Sujud Ali radhiallahu ‘anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.

2. Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.

Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?

Imam Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : “Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudhu dan sucinya pakaian dan tempat.”

Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.

Imam Yahya mengatakan pula : “Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”

Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)

Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudhu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu A’lam.

Kesimpulan

Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.

2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.

3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.

4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.

6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudhu terlebih dahulu.

Wallahu A’lam.

________________________________________________________________________

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Zuhair bin Syarif dalam Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM)

sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=59
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Kedudukan Wanita Dalam Islam

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

Propaganda-propaganda penghancuran kian menyeruak di tengah kehidupan kaum muslimin. Tidak pernah terbayang jika mereka tengah diintai oleh lawan yang kuat dan tangguh, tiba-tiba terdengar satu kaum atau daerah atau beberapa orang telah menanggalkan baju kemuliaannya dan berpindah agama. Sesungguhnya banyak cara dan jalan bagi Iblis untuk menjerat dan menyesatkan hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menggiring mereka menuju neraka Sa’ir.

Banyak pengikut yang siap dikomando olehnya dalam upaya penghancuran ini, dan terlalu banyak dalang yang siap menjalankan kemauan Iblis la’natullah ‘alaih. Banyak pemikir yang siap merancang jalan-jalan penyesatan. Banyak tokoh agama yang siap membelokkan jalan yang lurus. Dan banyak da’i yang siap menjadi penyeru kepada jalan Iblis. Terpeliharalah orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan binasalah orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Banyaknya jalan Iblis untuk menjerat lawannya dan banyaknya pendukung dalam melaksanakan niatnya, mengharuskan kita agar selalu siap menghadapinya dengan persenjataan yang lengkap dan bekal yang cukup. Tidak ada senjata yang paling ampuh untuk menghadapi kekuatan Iblis dan segala manuvernya selain ilmu agama. Dan tidak ada perbekalan yang lengkap dalam perjalanan jihad melawannya melainkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا

“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan bagi kalian furqan (pembeda).” (Al-Anfal: 29)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan kepadanya, niscaya Allah akan menjadikan dia faqih dalam agama.”

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”

Wanita dalam Islam

Kaum wanita memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Allah Maha Adil dalam menentukan syariat-Nya, dan Maha Bijaksana dalam meletakkan hukum-hukum-Nya untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka dengan berbagai bentuk dan cara. Di antaranya:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka, agar terjaga kehormatan mereka. Sebagaimana dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian.”

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membebankan mereka untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka, sebagaimana di dalam surat An-Nisa` ayat 5:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)

Dan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang muttafaqun ‘alaih:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian.”

Dan hadits dalam riwayat Abu Dawud (no. 1695):

كَفَى بِالـْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukup sebagai dosa, seseorang yang menyia-nyiakan tanggungannya.”

3. Kaum wanita diperintahkan untuk menutup seluruh tubuh mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

4. Kaum wanita tidak boleh bepergian dalam sebuah safar melainkan harus disertai mahram, melihat kondisi seorang wanita yang lemah serta membutuhkan perlindungan dan pemeliharaan. Sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu (no. 1086-1087) dan Muslim rahimahullahu (no. 1338-1339) dari hadits Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhum.

5. Kaum wanita dilarang ber-tabarruj (bersolek) seperti wanita jahiliah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى

“Dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.”

6. Urusan talak perceraian tidak diserahkan kepada wanita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 236:

لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.”

Juga dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Perceraian di tangan kaum lelaki dan tidak di tangan selainnya.” (Zadul Ma’ad, 5/278)

7. Tidak diwajibkan bagi wanita untuk ikut memikul amanat jihad fi sabilillah, sebagaimana telah dibebankan kepada kaum lelaki. (lihat kitab Kasyful Wa’tsa` Bizajril Khubatsa` Ad-Da’in ila Musawatin Nisa` bir Rijal wa Ilgha` Fawariqil Untsa karya Asy-Syaikh Abu Abdurrahman Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri)

Beberapa bentuk perlakuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kaum wanita di atas, jika dipelajari dan ditinjau dengan akal yang sehat dan fitrah yang bersih, akan diketahui bahwa itu semua merupakan cara untuk menjaga eksistensi wanita. Dan semuanya adalah perlakuan yang bijak dan adil, sesuai dengan kodrat mereka. Namun berapa dari wanita yang memahami diri dan kemuliaannya?

Wanita dalam Pandangan Jahiliah

Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya. Dalam keadaan seperti ini, bagaimanakah wanita diperlakukan di masa tersebut? Bagaimana status sosialnya menurut mereka?

Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah. Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Hak-hak mereka diberangus meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya selama dia sebagai seorang perempuan. Karena adat yang terjadi di antara mereka adalah prinsip “Tidak bisa mewarisi kecuali orang yang menghunus pedang dan yang melindungi gadis.” Dia tidak memiliki hak memprotes atau ikut bermusyawarah dalam urusan suaminya. Segala urusannya diserahkan kepada walinya. Dan adat bangsa jahiliah yang paling buruk adalah mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Perbuatan ini menunjukkan puncak kekejaman, kebengisan, dan kebiadaban sebagaimana telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya nan suci:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh?” (At-Takwir: 8-9)

Tujuan bangsa Arab dalam penguburan itu beragam. Di antara mereka ada yang menguburkan anak perempuan karena mengkhawatirkan kehormatan mereka dan khawatir mendapat celaan. Karena mereka adalah orang-orang yang senang melakukan penyerangan dan peperangan. Hal ini bisa menjadikan anak-anak perempuan mereka menjadi tawanan musuh, menurut mereka. Ini merupakan puncak kerendahan dan kehinaan. Dan kabilah bangsa Arab yang pertama kali melakukan penguburan terhadap anak-anak perempuan mereka adalah kabilah Rabi’ah.

Di antara mereka ada yang mengubur anak perempuan hidup-hidup disebabkan keadaan hidup yang sangat melilit, sulitnya mata pencaharian, dan fakir. Kemiskinan itulah mendorong mereka melakukannya. Telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Kitab-Nya:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Al-Isra`: 31)

 

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ مِنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka’.” (Al-An’am: 151)

Adapula di antara mereka yang membunuh anak mereka karena kecemburuan dan khawatir mendatangkan aib. Karena mereka bisa mendatangkan penyakit, seperti hitam atau gemuk dan sebagainya. Sungguh mereka telah melakukan perbuatan biadab yang membuat hati luka tersayat dan air mata berlinang.

Fenomena kedzaliman ini telah menjadi aturan masyarakat dan diterapkan pada diri perempuan yang tidak berdosa. Islam datang mengharamkan perbuatan biadab tersebut dan memberi hukuman yang setimpal bagi orang yang melakukannya.

Wanita dalam Pandangan Orang Kafir

1. Wanita dalam pandangan bangsa Yunani

Yunani digolongkan sebagai bangsa pendahulu yang paling tinggi dan paling banyak peradabannya. Keadaan kaum wanita pada masa mereka berada dalam tingkat kemunduran dalam segala segi kehidupan, sehingga mereka tidak memiliki kedudukan sedikitpun di masyarakat. Bahkan muncul suatu keyakinan bahwa sesungguhnya kaum wanita adalah penyebab penderitaan dan musibah bagi seseorang. Sehingga tidak heran jika mereka menempati posisi yang paling rendah. Karena kedudukan mereka yang rendah itulah, kaum lelaki tidak duduk bersama mereka dalam satu meja makan.

Pada generasi berikutnya terjadi perubahan akibat arus syahwat, perangai kebinatangan dan hawa nafsu, yang menarik mereka untuk memberikan kebebasan kepada kaum wanita dalam urusan yang hanya terbatas pada seks. Sehingga para wanita tak ubahnya seperti pelacur-pelacur. Akibatnya, kaum wanita sebagai pelacur menempati posisi yang tinggi. Mereka menjadi pusat yang dikelilingi oleh segala aktivitas masyarakat Yunani. Bahkan mereka membuat hikayat-hikayat untuk para pelacur.

2. Wanita dalam pandangan bangsa Romawi

Mereka adalah bangsa yang telah mencapai puncak kejayaan dan ketinggian setelah bangsa Yunani. Kita melihat aturan-aturan bangsa ini condong kepada kedzaliman, kejahatan dan penyiksaan kepada kaum wanita. Di antara ucapan mereka yang berkaitan dengan wanita: “Sesungguhnya belenggu belum tercabut dan benangnya belum lepas.” Yakni, di dalam masyarakat mereka, seorang suami memiliki hak yang penuh terhadap istrinya, sebagaimana hak raja atas rakyatnya. Sehingga dia mengatur istrinya sesuai dengan hawa nafsunya. Kaum lelaki memandang kaum wanita hanya sebagai pelampiasan nafsu birahi, tidak lebih dari itu. Mereka hidup di atas persaingan untuk meraih wanita telanjang. Mereka juga mempermudah urusan perceraian karena sebab yang sangat sepele. Banyaknya perceraian itu mengakibatkan para wanita menganggap kebaikan hidup mereka berdasarkan jumlah suami, tanpa memiliki rasa bersalah dan malu. Yang lebih aneh dari itu semua, apa yang telah disebutkan oleh Al-Qudai Jaarum (340-420 M) tentang seorang wanita yang telah menikah terakhir kali pada hitungan yang ke-23, sementara dia merupakan istri yang ke-21 bagi suaminya yang baru.

Akibat semua itu, negara Romawi hancur dengan kehancuran yang keji sebagaimana hancurnya bangsa Yunani sebelumnya. Semua itu karena mereka tenggelam dalam syahwat kebinatangan, yang hal itu tidak pantas terjadi pada hewan apalagi pada manusia.

3. Wanita di negeri Persia

Sebuah negeri yang telah menguasai hukum di sebagian besar negara, yang menentukan kekuasaan, membuat undang-undang dan aturan-aturan. Kita melihat bahwa undang-undang tersebut merendahkan serta mendzalimi kaum wanita. Mereka menentukan hukuman yang amat sangat berat bagi kaum wanita hanya dengan kesalahan yang ringan. Pada saat yang sama, kaum lelaki memiliki kebebasan yang mutlak dan hukuman tidak ditimpakan kecuali kepada kaum wanita. Sehingga, kalau seorang wanita terjatuh dalam kesalahan yang berulang-ulang maka dia harus membunuh dirinya sendiri. Saat itu juga terdapat aturan bahwa kaum wanita dilarang untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki di luar kalangan Zaradashty (penyembah matahari). Sementara laki-laki memiliki kebebasan mengatur sesuai dengan nafsunya. Kebiasaan lain adalah bila wanita dalam keadaan haid, maka dia dipindahkan dari kota ke tempat yang jauh di luar kota. Tidak ada seorangpun yang boleh mendekatinya kecuali para pelayan yang menyuguhkan makanan untuknya.

4. Wanita di negeri Cina

Secara umum masyarakat Cina berada dalam kehidupan yang kacau dan biadab. Mereka bebas berhubungan seks tanpa memiliki rasa malu. Sehingga anak-anak hanya mengenal ibu mereka dan tidak mengenal bapak mereka. Dalam masyarakat ini, wanita tidak memiliki hak kecuali menerima perintah dan melaksanakannya. Tidak boleh memprotes. Masyarakat Cina dahulu memiliki adat yang mengakar. Di mana seorang ayah harus berjalan di atas adat yang sudah umum, yaitu wanita tidak berhak memperoleh warisan dan tidak boleh menuntut harta bapaknya sedikitpun. Mereka juga menyamakan kaum wanita itu dengan air mengalir yang membersihkan kotoran, yakni dianggap sebagai kesenangan dan harta warisan.

5. Wanita di India

Keadaan kaum wanita di negeri India tidaklah lebih baik dibanding keadaan mereka di negeri Yunani dan Romawi. Wanita dalam pandangan mereka adalah sebagai budak, sedangkan kaum lelaki sebagai tuan. Karena, dalam pandangan mereka, seorang gadis menjadi budak terhadap bapaknya, seorang istri menjadi budak bagi suaminya, seorang janda menjadi budak terhadap anak-anaknya. Keumuman bangsa Hindu berkeyakinan bahwa kaum wanita merupakan unsur dosa dan penyebab kemunduran perangai serta jiwa. Bila sang suami meninggal maka dia tidak memiliki hak hidup, sehingga ia harus mati pada hari ketika suaminya mati, dengan cara dibakar di atas satu tungku.

6. Wanita dalam pandangan Yahudi

Menurut bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk yang hina dan rendah sebagaimana barang jualan jelek yang di jual di pasar-pasar. Hak-haknya dirampas, dan mereka diharamkan dari hak waris jika warisan tersebut berupa harta. Adapun ayah, jika meninggalkan hutang berupa barang kebutuhan rumah, maka hutang tersebut dibebankan kepada kaum wanita. Namun jika meninggalkan harta, maka sedikitpun wanita tersebut tidak mendapatkan bagian. Bila menikah, wanita tidak diberi mahar meskipun harta calon suaminya berlimpah.

Dan jika harta warisan tersebut kembali ke anak perempuan karena tidak memiliki saudara laki-laki, maka ia tidak boleh menikah dengan keturunan yang lain. Ia juga tidak berhak mengalihkan warisannya kepada keturunan selainnya. Mereka memandang bahwa kaum wanita bagi kaum lelaki merupakan salah satu pintu Jahannam. Di mana wanita merupakan sebab yang akan menjerumuskan ke dalam dosa. Di antara anggapan mereka, wanita adalah sumber segala musibah yang menimpa manusia. Dan mereka meyakini bahwa kaum wanita merupakan laknat, karena dialah penyebab menyelewengnya Nabi Adam ‘alaihissalam.

Jika mereka tengah datang bulan alias haid, konsekuensinya adalah tidak diajak makan, duduk, serta tidak boleh menyentuh bejana, agar bejana tersebut tidak menjadi najis. Dia diasingkan di sebuah kemah, lalu roti dan air ditaruh di depannya. Dan dia tetap berada di kemahnya sampai dia suci.

7. Wanita dalam pandangan Nasrani

Agama Nasrani datang ke Eropa berupaya untuk mengatasi kekacauan yang telah meluas di masyarakat Barat ketika itu, yaitu kekacauan etika dan kemungkaran yang membuat kita miris. Padahal hewan yang lebih rendah saja jauh dari hal itu. Mereka menetapkan teori-teori yang diyakini sebagai obat penyembuh terhadap segala marabahaya. Namun kenyataan yang ada justru sebaliknya. Di antara teori-teori mereka adalah menganggap wanita sebagai sumber kemaksiatan, asal kejelekan dan kejahatan. Wanita bagi kaum lelaki adalah salah satu pintu Jahannam. Oleh karena itu, wanita menjadi sumber gerakan dalam berbuat dosa. (Lihat secara ringkas kitab Nisa` Haular Rasul karya Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi)

Emansipasi, Adakah di dalam Islam?

Jika seruan emansipasi bermotif:

1. Memperjuangkan hak-hak kaum wanita sehingga sama dalam kehidupan dengan hak-hak kaum lelaki,

2. Mengangkat kedudukan kaum wanita agar setara dengan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan,

3. Memerdekakan kaum wanita dari belenggu keterbelakangan sehingga sama dengan kaum lelaki dalam kemajuan,

Tentunya prinsip emansipasi yang demikian sangatlah bertentangan dengan keadilan Islam sebagai agama yang telah mengatur kehidupan setiap manusia, sekaligus juga menyelisihi kandungan keindahan wahyu. Di mana wahyu telah memisahkan serta menentukan bagi laki-laki dan wanita adanya hak serta kewajiban yang tidak sama. Begitu juga, wahyu telah menentukan perbedaan-perbedaan dalam banyak perkara, seperti adanya perbedaan dalam hal penciptaan, bersuci, shalat, pelaksanaan jenazah, zakat, puasa dan i’tikaf, haji, aqiqah, jihad, kepemimpinan dan perang, nikah, talak, khulu’, li’an dan ‘iddah, hukum had dan qishash, serta perbedaan dalam masalah hak waris. (Kasyful Wa’tsa` karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri)

Berjalan di atas ketentuan wahyu, sesungguhnya adalah sebuah pengangkatan, perjuangan dan kemerdekaan bagi kaum wanita yang sesuai dengan fitrah penciptaan mereka. Sebaliknya, meninggalkan bimbingan wahyu akan menyebabkan kehancuran dan kebinasaan.

Bahaya Seruan Emansipasi

Propaganda emansipasi wanita adalah sebuah lagu lama yang diembuskan oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Selama kaum muslimin –terutama kaum wanitanya– konsekuen dengan agama dan Sunnah Nabinya, tentunya kehidupan mereka akan baik dan bersih. Dengannya mereka akan mengetahui seluk-beluk musuh. Ini semua membuat benci musuh-musuh Islam khususnya Yahudi dan Nasrani. Maka disebarkanlah paham baru ini, emansipasi wanita, untuk memecah belah umat Islam, memperluas kerusakan di antara mereka, mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah pingitan, serta menghilangkan rasa malu dari mereka. Setelah semuanya itu terjadi, akan mudah bagi Yahudi dan Nasrani untuk menguasai dunia Islam serta menghinakan kaum muslimin.

Pada protokol zionis disebutkan: “Kita wajib berusaha memperluas kerusakan akhlak di setiap penjuru (negara-negara Islam) agar dengan mudah menguasai mereka.”

Glastone, seorang Inggris yang fanatik mengatakan: “Tidak mungkin menguasai negara-negara timur (negara-negara Islam) selama kaum wanitanya tidak menanggalkan hijab dari wajahnya. (Caranya adalah) menutup Al-Qur`an dari mereka, mendatangkan minuman-minuman keras dan narkoba, pelacuran, serta kemungkaran-kemungkaran lain yang melemahkan agama Islam.”

Propaganda emansipasi ini disambut hangat oleh orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyimpangan dan penyelewengan. Orang yang hidupnya tidak lain kecuali melampiaskan hawa nafsu birahi semata. Bahkan dukungan-dukungan materi mengucur deras untuk melariskan propaganda ini. Dukungan terhadap propaganda Yahudi untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin ini dipimpin oleh ‘Persatuan Yahudi Internasional dan Salibisme’ seperti:

1. Markus Fahmi, seorang Nasrani, menerbitkan buku yang berjudul Wanita di Timur tahun 1894 M. Dia menyerukan wajibnya menanggalkan hijab atas kaum wanita, pergaulan bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu dan larangan kawin lebih dari satu orang.

2. Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya untuk mendirikan persatuan istri-istri Mesir. Yang menjadi sasarannya adalah persamaan hak talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab, serta pergaulan bebas.

3. Ahli syair, Jamil Shidqi Az-Zuhawis. Dalam syairnya, dia menyuruh kaum wanita Irak membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan kaum pria. Dia juga menyatakan bahwa hijab itu merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat. (Lihat secara ringkas risalah Al-Huquq Az-Zaujiyah fil Kitab was Sunnah wa Bayanu Da’wati Hurriyyati Al-Mar`ah karya Hasyim bin Hamid bin ‘Ajil Ar-Rifa’i)

Kerusakan propaganda ini sesungguhnya telah diketahui oleh orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang suci. Cukuplah melirik bahaya yang akan timbul melalui propaganda ini sebagai salah satu dari sekian bentuk perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan propaganda ini tidaklah bertujuan melainkan untuk mengikis dan menghancurkan aqidah kaum muslimin.

Emansipasi dan Aqidah

Aqidah mengajarkan agar setiap hamba menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar Islam dan menerima dengan sepenuh hati segala perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa memilah-milahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala–dengan kemahaadilan dan kebijaksanaan-Nya– telah membuat aturan dan jalan di atas ilmu-Nya, yang harus ditaati dan ditempuh. Semuanya itu bertujuan agar mereka selamat di dunia dan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلاً

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi khalil-Nya.” (An-Nisa`: 125)

Propaganda emansipasi wanita jelas-jelas menghancurkan prinsip ketundukan terhadap segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pasrah menerima segala keputusan-Nya. Padahal semuanya dibangun di atas ilmu-Nya, keadilan, dan kebijaksanaan-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________________________________________________________

Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

Judul Asli: Emansipasi, Propaganda Untuk Meruntuhkan Aqidah

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=616
Read Full Post | Make a Comment ( None so far )

Tidak Akan Beruntung Suatu Kaum Jika Dipimpin Oleh Seorang Wanita

Posted on 27 Februari 2011. Filed under: Nasehat, Wanita | Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , |

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, telah berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya no. 19507, 19547, 19556, 19573, 19603, 19612; Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Maghazi bab Kitabi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaishar no. 4425, Kitabul Fitan no. 7099, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan an Rasulillah no. 2188, Al-Imam An-Nasa`i rahimahullahu dalam kitab Adabul Qudhah no. 5293.

Jalur Periwayatan Hadits

Hadits ini diriwayatkan dari jalan Mubarak bin Fadhalah Abu Fadhalah Al-Bashri, ‘Auf bin Abi Jamilah Al-Bashri, Humaid bin Abi Humaid Ath-Thawil, semuanya meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terdapat riwayat lain yang diriwayatkan dari jalan Ahmad bin Abdul Malik Al-Harani yang meriwayatkan dari Bakr bin Abdul Aziz, dari Abu Bakrah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Juga dari jalan ‘Uyainah bin Abdurrahman Al-Ghathafani, dari ayahnya, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jalan Periwayatan Hadits

Dalam hadits ini terdapat riwayat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Para ulama ahlul hadits seperti Al-Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, ‘Ali ibnul Madini rahimahumullah mempermasalahkan periwayatan beliau dari para sahabat seperti Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum, bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu tidak mendengar (meriwayat)-kan dari para sahabat yang disebutkan tadi.

Qatadah rahimahullahu berkata: “Demi Allah, tidak pernah Al-Hasan Bashri rahimahullahu menyampaikan hadits kepada kami dari para ahli Badr secara langsung.”

Namun riwayat beliau dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu telah ditetapkan sebagai riwayat yang sah atau akurat. Meskipun dalam hadits ini bentuk periwayatan dengan menggunakan kata “dari” yang mengandung kemungkinan (mendengar langsung atau tidak).

Akan tetapi Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits no. 2704 dalam Kitab Ash-Shulhi bab Qaulin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lil Hasan ibn ‘Ali: “Ali bin Abdullah Al-Madini telah berkata kepadaku: bahwa mendengarnya Al-Hasan Al-Bashri dari Abu Bakrah telah pasti bagi kami dalam hadits ini.” (Fathul Bari, 5/375)

Al-Hafizh rahimahullahu berkata bahwa sanad hadits di atas semuanya adalah orang-orang Bashrah. Dan telah berlalu pada Kitab Ash-Shulhi pendapat yang menyatakan bahwa Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu telah mendengarkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. (Fathul Bari, 13/67)

Sebab Periwayatan Hadits

Hadits ini mempunyai sebab periwayatan. Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mengatakan:

لَقَدْ نَفَعَنِي اللهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ. قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan sebab suatu kalimat yang aku dengar dari Nabi pada saat terjadinya fitnah Perang Jamal. Di mana waktu itu hampir-hampir aku akan bergabung dengan Ashabul Jamal (pasukan yang dipimpin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan berperang bersama mereka.” Lalu beliau berkata: “(Yaitu sebuah hadits) ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka. Beliaupun bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” (HR. Al-Bukhari no. 4425)

Adapun pada riwayat lain dalam Sunan At-Tirmidzi disebutkan bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَصَمَنِي اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى. قَالَ: مَنْ اسْتَخْلَفُوا؟ قَالُوا: ابْنَتَهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً. قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ يَعْنِي الْبَصْرَةَ ذَكَرْتُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِي اللهُ بِهِ

“Allah telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengarkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggalnya Kisra. Beliau berkata: ‘Siapa yang mereka angkat sebagai Kisra baru?’ Mereka berkata: ‘Putrinya.’ Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita’.” Kemudian Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang ke negeri Bashrah, aku ingat ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Allah melindungiku dengannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2188, dan beliau mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.”)

Penjelasan Hadits

Abu Bakrah adalah Nufai’ bin Harits Ats-Tsaqafi, meninggal pada tahun 52 H. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata: Musaddad berkata: “Abu Bakrah dan Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma meninggal pada tahun yang sama.”

Kisra adalah Kisra bin Abrawaiz bin Hurmuz, raja Persia. Ia mempunyai anak laki-laki bernama Syairawaih. Syairawaih mempunyai anak perempuan bernama Buran. Adapun sebab diangkatnya Buran sebagai raja adalah ketika terjadi pemberontakan terhadap Kisra yang dipimpin oleh putranya sendiri (Syairawaih) hingga dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya, lalu merebut kekuasaannya.

Ketika ayahnya tahu bahwa anaknya berbuat demikian (menginginkan untuk membunuhnya), iapun melakukan siasat (tipu daya) untuk membunuh anaknya setelah kematiannya nanti, dengan menaruh racun pada sebagian lemari khusus. Dalam lemari tersebut diletakkan racun yang mematikan. Dan dia menulis di atasnya bahwa barangsiapa yang mengambil sesuatu dari lemari ini, ia akan memperoleh demikian dan demikian.

Syairawaih pun membaca tulisan tersebut dan mengambil sesuatu yang ada di dalamnya. Inilah yang menjadi penyebab kematian Syairawaih. Dan ia tidak dapat bertahan hidup lama setelah ayahnya meninggal kecuali enam bulan saja. Ketika Syairawaih meninggal, tidak ada seorang pun saudara laki-lakinya yang menggantikan kedudukan raja, karena ia telah membunuh semua saudara laki-lakinya tersebut atas dasar ketamakan untuk menguasai tahta kerajaan Persia. Sehingga tidak ada seorang laki-laki pun yang menjadi pewaris kerajaan. Mereka juga tidak menginginkan tahta kekuasaan kerajaan jatuh kepada pihak lain, sehingga mereka mengangkat seorang wanita yang bernama Buran, anak Syairawaih, atau cucu Kisra.

كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ

“Hampir-hampir aku bergabung dengan Ashabul Jamal (yaitu Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) dan berperang bersama mereka.”

Awal kejadiannya adalah ketika ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dibaiat menjadi khalifah. Keluarlah Thalhah dan Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma menuju Makkah. Keduanya mendapati ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang baru saja menunaikan ibadah haji. Terjadilah kesepahaman di antara mereka untuk bergerak menuju Bashrah dan meminta bantuan manusia untuk menuntut atas kematian ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sampailah berita itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan beliau pun keluar menyambut mereka dan terjadilah Perang Jamal, akibat upaya orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Dinisbahkan kepada Jamal (yaitu unta yang dijadikan tunggangan Aisyah radhiyallahu ‘anha) dan beliau berada dalam sekedup (semacam tandu di atas punggung unta) sambil mengajak manusia kepada ishlah (perbaikan).

قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى

“Dia berkata: ‘Ketika disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Kerajaan Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai raja mereka’.”

Yang berkata di sini adalah Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu. Perkataan ini sebagai penjelasan (tafsir) lafadz “kalimat” pada ucapan beliau: “Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat.” Di sini terdapat faedah tentang digunakannya istilah kalimat (kata) untuk mengungkapkan kalam (kalimat) yang banyak.

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Dalam riwayat ini kalimat امْرَأَةً dengan berharakat fathah atau manshub karena berkedudukan sebagai maf’ul (obyek). Pada riwayat Humaid terdapat lafadz:

وَلَى أَمْرَهُمُ امْرَأَةٌ

dengan kalimat امْرَأةٌُ berharakat dhammah atau marfu’ karena berkedudukan sebagai fa’il (subyek).

Dalam riwayat Al-Isma’ili dari jalan An-Nadhr bin Syumail, dari ‘Auf, di akhir riwayat terdapat tambahan: Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dan saya mengetahui bahwa Ashabul Jamal tidak akan berhasil.”

Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Ibnu Baththal menukil dari Al-Muhallab, yang nampak dari hadits adalah bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu terkesan menuduh dan merendahkan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha atas apa yang telah beliau perbuat. Namun tidaklah demikian perkaranya. Karena telah diketahui bahwa Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu sependapat dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hal menuntut ishlah di antara manusia dan bukanlah tujuan mereka untuk berperang. Ketika perang berkecamuk, tidaklah orang yang bersamanya menjadi bagian dari perang tersebut. Dan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabut kembali pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, namun beliau berfirasat bahwa mereka tidak akan menang ketika melihat orang-orang bersama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bawah perintahnya. Hal itu berdasarkan apa yang telah beliau dengarkan (yaitu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita”).”

Kemudian Al-Hafizh rahimahullahu berkata: “Dan yang lebih memperjelas perkara ini bahwa tidak seorang pun yang menukilkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya menentang kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tidak pula mereka menyeru agar salah seorang di antara mereka untuk dipilih menjadi khalifah.

Yang diingkari oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan orang-orang yang bersamanya terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah larangan beliau radhiyallahu ‘anhu membunuh orang-orang yang membunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dan meninggalkan qishash. ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menunggu keluarga ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu berhukum kepadanya dalam perkara tersebut. Dan apabila telah terbukti pada seseorang bahwa dialah pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu barulah ditegakkan qishash terhadapnya. Maka berselisihlah mereka karena sebab itu. Ketika orang-orang yang dinisbahkan perang kepadanya merasa khawatir bahwa mereka (pihak ‘Ali dan ‘Aisyah) akan berdamai, maka mereka pun mengobarkan peperangan, dan terjadilah apa yang terjadi. Ketika pihak ‘Ali radhiyallahu ‘anhu menang, Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu pun memuji pendapatnya untuk tidak ikut serta perang bersama Ashabul Jamal meskipun pendapat beliau sama dengan pendapat Aisyah radhiyallahu ‘anha, yaitu menuntut balas atas pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu At-Tin rahimahullahu berkata: ‘Sebagian ulama berdalil dengan hadits Abu Bakrah ini tentang tidak bolehnya seorang wanita menjadi pemutus perkara. Dan ini pendapat jumhur ulama. Sebaliknya Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berpendapat boleh bagi seorang wanita memutuskan perkara dalam hal yang persaksiannya diterima. Demikian pula sebagian pengikut Malikiyah membolehkan secara mutlak’.” (Fathul Bari, 13/69, 8/159-160)

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang wanita tidak boleh mengurusi pemerintahan dan putusan pengadilan. Tidak boleh pula baginya menikahkan dirinya sendiri ataupun menjadi wali nikah bagi orang lain.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ At-Tirmidzi)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata setelah menyebutkan ayat:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu takutkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya.”

Ayat ini menerangkan bahwa laki-laki adalah pemimpin atas wanita, yaitu dia sebagai pemimpin, pembesar dan penguasa serta pendidik bagi mereka, ketika terjadi kebengkokan pada wanita itu. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) yaitu karena laki-laki lebih utama dari wanita dan lebih baik. Karena itulah kenabian dikhususkan kepada kaum laki-laki. Demikian pula kekuasaan yang agung berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak akan beruntung suatu kaum manakala menyerahkan urusan kepemerintahannya kepada seorang wanita.” (HR. Al-Bukhari)

Demikian pula dalam urusan hakim dan sebagainya. “Mereka dimuliakan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka” yaitu berupa mahar, nafkah, dan beban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atasnya untuk wanita sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Maka pada diri kaum lelaki terdapat keutamaan di atas kaum wanita. mereka memiliki keutamaan atas wanita dan pengutamaan, sehingga sangatlah selaras keberadaan (laki-laki) menjadi pemimpin atas wanita. “Dan laki-laki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan.”

‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, maknanya adalah sebagai pemimpin-pemimpin atas para wanita, yaitu wanita menaatinya pada perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Dan bentuk ketaatan itu diwujudkan dengan cara seorang istri berbuat baik kepada suami serta menjaga hartanya. Demikian pula pendapat Muqatil, As-Suddi dan Adh-Dhahhak.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Seorang wanita datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan bahwa suaminya telah menamparnya. Rasulullah pun menanggapi dengan mengatakan al-qishash (dibalas). Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,” yaitu tanpa adanya qishash. (Tafsir Al-Qur`anul ‘Azhim, 1/465)

Telah cukup jelas bahwa kepemimpinan dan kekuasaan tidak akan mungkin berakhir dengan keberuntungan jika yang memimpin atau yang berkuasa adalah seorang wanita. Tidak ada ruang bagi wanita untuk iri hati terhadap karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala lebihkan pada kaum laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa`: 32)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Mujahid rahimahullahu, ia berkata: Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki dapat berperang dan kita kaum wanita tidak. Bagi kita separuh bagian dari warisan kaum lelaki.” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Dan janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Ya Rasulullah, bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang laki-laki. Apakah dalam perkara amalan kami juga demikian? Jika ada seorang wanita berbuat kebaikan hanyalah dicatat untuknya separuh dari kebaikan tersebut?” Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat: “Janganlah kamu iri terhadap karunia yang telah Allah berikan berikan bagi sebagian kamu atas sebagian yang lain.” Sesungguhnya ini adalah keadilan dari-Ku dan Aku yang membuatnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/462)

Wallahu a’lam bish-shawab


Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=615
Read Full Post | Make a Comment ( 1 so far )

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...